tag:blogger.com,1999:blog-72667776737737157772024-03-08T10:23:31.495-08:00Elegi Sebuah ReuniCerita ini hanyalah fiktif belaka ada pun nama-nama yang tertera tak ada hubungan dengan siapa pun dan hanya merupakan rekaan sajaUnknownnoreply@blogger.comBlogger119125tag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-47814551426834167962011-05-27T18:10:00.000-07:002011-10-06T10:31:52.087-07:00001B. Bougenville.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-GSED-f9aUhA/TeBOmCbhCuI/AAAAAAAAAM4/eVlsn76p06E/s1600/bougenville_putih%2Borange.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 470px; height: 312px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-GSED-f9aUhA/TeBOmCbhCuI/AAAAAAAAAM4/eVlsn76p06E/s400/bougenville_putih%2Borange.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611571551097916130" border="0" /></a><span><span style="font-weight: bold;">Rahma memandang wajah Lorna</span>. Wajah itu tak pernah membuatnya bosan, senang melihat wajah gadis bermata biru itu ceria kembali, tetapi sesungguhnya yang tercermin di wajah itu tak seperti apa yang dirasakan di baliknya.<br />Keduanya saling menatap sejenak, tanpa bergeming. Lalu bersama-sama tertawa.<br />"Lihatlah!"<br />“<span style="font-style: italic;">What</span>?” tanya Lorna.<br />“Bunga itu!”<br />“Iya, bunga apaan?”<br />“Bougenville tahu!” sergah Rahma sengit.<br />“Kenapa?”<br />"Hhhh..." Rahma gemas karena Lorna tak mengerti maksudnya.<br />Rahma sesungguhnya ingin memberitahukan bahwa kapling tempat mereka sering memarkir kendaraan kini sudah terhalang pagar, sepintas tak lagi melihat tanaman bunga itu, namun harus cari tempat parkir lain sebelum memastikan apa yang dilihatnya.<br />Kapling mereka adalah tempat di mana mereka dulu biasa memarkir kendaraan di samping lapangan voli. Tidak jauh dari tempat itu pernah tumbuh sebuah pohon bougenville, yang berbunga sepanjang hari, yang ingin dilihatnya kembali, untuk membangkitkan kenangan yang pernah hadir di tempat itu agar bersemi kembali, karenanya bernyanyilah keduanya sebuah lagu yang pernah dipopulerkan oleh Broery Marantika yang berjudul Bougenville.<br /><br /><span style="font-style: italic;">....</span><br /><span style="font-style: italic;">Bougenvil merah ungu</span><br /><span style="font-style: italic;">Yang pernah kau genggam dalam tanganmu.</span><br /><span style="font-style: italic;">Bougenvil lambang kasih</span><br /><span style="font-style: italic;">Yang pernah kau serahkan pada diriku.</span><br /><span style="font-style: italic;">Kini hanya....</span><br /><br />Nyanyian mereka seketika terhenti. Betapa tidak. Pohon Bougenville yang diharapkan bisa dilihat kembali, ternyata sudah tidak ada lagi di tempatnya, pohon itu sudah tidak tumbuh lagi di tempatnya, tidak ada lagi yang bisa dilihat, telah lenyap tanpa bekas, seakan tak pernah tumbuh pohon itu di tempat itu.<br />Tempatnya pernah tumbuh kini terasa lapang, gersang dan lengang, sudah berubah menjadi lahan parkir sepeda motor. Padahal dulu, pohon itu selalu berbunga dengan daun dan bunganya yang rimbun sekali, merambat menjulang. Ada beberapa pohon juga pernah tumbuh bersama di tempat itu, seperti flamboyan, beluntas, dan kembang sepatu. Di saat jam istirahat mereka suka sekali berdiri di bawah pohon bougenville, menikmati keindahannya, mengamati kupu-kupu yang terbang dari satu ke satu bunga yang lain, suasananya ketika itu damai dan nyaman.<br />“Nah benar kan seperti dugaanku! Kemana pohon bougenville itu?” tanya Rahma keheranan.<br />Lorna juga terperangah, tak menimpali pertanyaan Rahma. Tenggorokannya terasa tercekat. Memandang hampa ke tempat di mana pohon bougenville pernah tumbuh. Raut wajahnya membersit kekecewaan yang dalam.<br />Terlintaslah bayangan di masa lalu, saat dirinya menggenggam bunga-bunga bougenville berwarna putih, yang dipungut dari bunga yang berjatuhan di sekitar tempatnya berdiri, bunga yang dititipkan seorang lelaki, yang ketika itu sedang bermain bola voli, yang awalnya mengejar bola yang menggelinding dan berhenti dekat kakinya, lalu dirinya membantu memungut bola itu. Pada saat bersamaan, lelaki itu melihat bunga-bunga bougenville berserakan di sekitar kakinya, dan memungutinya yang berwarna putih, lalu menitipkan bunga itu kepadanya, bertukar bola yang dipegangnya. Masih terasa sentuhan telapak tangan lelaki itu saat menggenggam punggung tangannya. Juga masih terngiang di telinganya saat lelaki itu mengucapkan kata-kata.<br />“Tolong titip ya, jaga bunga ini agar tetap bersih, sayang warnanya yang putih terkena debu. Aku mau meneruskan bermain dulu...”<br />Tetapi ternyata lelaki itu tidak pernah meminta kembali bunga itu, hingga kini. Entahlah! Mengapa bunga-bunga itu tidak pernah dimintanya kembali? Sampai bunga itu berubah mengering. Ataukah dia telah lupa? Entahlah! Seingatnya, bunga itu tak pernah juga dibuang. Seingatnya bunga itu selalu dijaganya. Menjauhkannya dari debu seperti yang diminta, hingga kemudian bunga bougenville putih itu berubah menjadi bunga-bunga kertas.<br />Kini tidak lagi ingat, di manakah gerangan bunga-bunga yang pernah dititipkan kepadanya itu tersimpan? Yang pasti selama ini, dirinya tidak pernah merasa membuangnya. Bahkan ucapan lelaki itu dituliskannya dalam buku hariannya, yang dulu kerap dibacanya bila dirinya diserang kerinduan. Tetapi kemanakah semua itu? Bunga bougenville dan buku harian itu? Ah, lupa. Itu sudah lama sekali, bertahun-tahun yang lampau.<br />Itulah awal mengenal lelaki itu, lelaki yang kemudian mengisi hari-harinya dengan segala problema hingga kini, yang juga belum tahu bagaimana pada akhirnya. Apakah akan berakhir tanpa kejelasan? Apakah kehadirannya di reuni ini untuk menuntaskan dan memperoleh kejelasan agar hari-harinya tak lagi sekelam seperti yang dirasakannya kini?<br />“Hai!” Rahma menegur.<br />Lorna tersentak. Lamunannya menguap dalam ruang sanubarinya.<br />"Mikirin dia?"<br />"Ah, enggak!"<br />"Mikirin bougenville?"<br />"Ah, enggak!"<br />"Dia dosa sama kamu!"<br />"Rahma!" Lorna memekik.<br />Rahma tertawa.<br />Hilangnya tanaman bougenville memberinya kesan asing saat dirinya menjejaki halaman sekolahnya dulu. Tak hanya itu, di luar pagar sekolah di mulut gerbang di tepi jalan raya, dulu beberapa tukang becak selalu nongkrong di tempat itu menunggu murid yang pulang sekolah.<br />"Kenapa?" tanya Rahma yang sudah berdiri di dekatnya.<br />Lorna mengangkat bahu.<br />"Apa yang kamu rasakan?"<br />"Tak sama lagi seperti dulu," jawabnya.<br />Lorna merasakan perubahan penataan bangun akibat penambahan yang tidak padu dengan desain asli bangunan serta tanaman-tanaman yang kini hilang. Semua yang dilihatnya kini, seakan memutus mata rantai bahwa dirinya pernah tumbuh di tempat itu. Bangunan sekolahnya terkesan sempit, akibat penambahan bangunan yang berjejal dipaksakan.<br />Lorna menghela nafas berat. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah saat itu. Tapi dia berusaha menepiskannya dengan menengadah, memandangi ranting-ranting pohon trembesi, yang tak lagi lembab.<br />Sementara langit bersinar cerah. Berwarna biru. Seperti biru warna matanya.</span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-87165172362406482062011-05-22T09:15:00.000-07:002011-06-28T01:02:45.271-07:00116. Di Penginapan Samboja<span style="font-weight: bold;">Bulan putih menggantung di langit </span><span>saat</span> Lorna berpamitan kepada Dewa untuk menemui Rahma dan Grace di kamarnya. Saat itu dia sedang berbaring di samping Dewa. Sementara bulan bundar tersenyum di luar jendela. Lampu kamar yang gelap sengaja dimatikan agar hanya cahaya bulan saja yang memberikan penerangan. Dengan begitu suasana terasa adem.<br />Keduanya berbaring setelah mandi bersama beberapa saat yang lalu.<br />"Boleh aku menemui mereka dulu, setelah itu kita beristirahat?" tanya Lorna dengan pandangan mata masih menatap langit-langit yang temaram.<br />"Temuilah mereka!"<br />Lorna berbalik menempatkan dagunya di puncak dada Dewa. Memandangnya.<br />"Hanya sebentar kok."<br />Dewa membelai wajahnya.<br />"Aku tak ingin membuatmu terbelenggu."<br />Lorna menggeleng lemah.<br />"Lorna tak merasa terbelenggu."<br />"Anggap seakan aku tak di sini sehingga kamu bisa bergerak bebas."<br />"Mana bisa Dewa?"<br />"Bebaslah. Mereka sahabat dekatmu."<br />Telapak tangan Lorna membekap kedua pipi Dewa.<br />"Lorna hanya tak ingin melewatkan waktu sedetikpun saat bersamamu."<br />Dewa tersenyum.<br />"Kalau Dewa ingin tidur. Tidurlah. Nanti Lorna menyusul," bisik Lorna lembut.<br />Dewa menatapnya teduh.<br />"Pergilah. Temani mereka. Aku tak ingin ada kesan dalam pikiran mereka aku memonopolimu."<br />Lorna tersenyum. Jari telunjuknya mengelus ujung hidung Dewa yang bangir.<br />"Terima kasih. Kamu baik sekali. Mereka tak akan berpikiran seperti itu..."<br />Telapak tangan Dewa lantas menarik punggung lehernya perlahan, membuat wajah Lorna mendekat beradu wajah. Sesaat kemudian Dewa melumat bibirnya yang ranum, bibir Lorna terasa lembut dan manis.<br />"Aku mencintaimu, De," bisik Lorna lembut. Bibirnya basah bekas pilinan bibir Dewa.<br />"Aku juga mencintaimu, Na. Aku ingin mengajakmu bercinta malam ini."<br />Lorna lantas membenamkan ujung hidungnya ke pipi Dewa dan menghirupnya.<br />"Bercintalah dengan Lorna sepuasmu, Lorna mau temui mereka dulu ya?"<br />"Temuilah!"<br />"Bye!" kata Lorna sebelum menutup pintu kamar.<br />"Bye!"<br />Lorna membuka pintu kamar Rahma dan Grace.<br />"Hai!"<br />Rahma dan Grace yang berada di atas tempat tidur menyambutnya senang.<br />"Hai, juga!"<br />"Kemana Dewa?"<br />"Kutinggalkan di kamar..."<br />Lorna kemudian ikut nimbrung bersama mereka.<br />"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Lorna ingin tahu, sebab ketika masuk tadi dia melihat keduanya serius banget membicarakan sesuatu.<br />"Kamu!" jawab Grace jujur.<br />"Ada apa denganku?"<br />"Ternyata kamu pintar nyanyi," kata Rahma.<br />"Ah. Dewalah yang hebat!"<br />"Memang...dia juga!"<br />"Eh, Na. Boleh dong dikopikan rekaman penampilanmu di bar bersama Dewa tadi?"<br />"Maksudmu?"<br />"Si Erwin kan mensyuting kalian?"<br />Lorna menatap Grace dan Rahma bergantian.<br />"Keberatan?" tanya Grace.<br />"Ah, nggak. Besok saja kusuruh Imel untuk minta kopiannya."<br />Wajah Rahma dan Grace seketika ceria.<br />"<span style="font-style: italic;">Thank you</span>, bidadari cantik!" kata Rahma.<br />"Syuting tinggal sehari besok. Paling setengah hari. Setelah itu kita bebas. Sehabis syuting kita belanja pakaian renang. Kalian tentu tak membawa. Dewa berencana membawa kita memutari pulau Bali."<br />"Asyik..." sela Grace.<br />"Mungkin kita akan menginap di pesisir utara Bali."<br />Pintu kamar ada yang mengetuk.<br />"Dewa?" tanya Rahma.<br />"Bukan!" jawab Lorna.<br />"Bisa tolong bukain, Grace!" pinta Lorna.<br />"Siapa?"<br />"Titi!"<br />"O... o..."<br />Grace beranjak membuka pintu. Titi membawa nampan berisi makanan dan minuman yang dipesan Lorna sebelum masuk ke kamar Rahma.<br />"Makasih, Titi. Sudah taruh saja di atas nakas..." kata Grace.<br />"Buat Mas Dewa bagaimana, Non?" tanya Titi pada Lorna.<br />"Letakkan di situ saja, nanti biar aku yang membawa ke sana. Kamu istirahat saja. TV nyalakan kalau Titi mau nonton sambil tiduran."<br />"Ya, Non!" jawab Titi kemudian segera keluar kamar.<br />Pandangan mata Rahma dan Grace sebentar-sebentar tertuju pada cincin yang melingkar di jari manis Lorna. Selama ini mereka berdua tidak begitu memperhatikan, apakah cincin itu sudah ada sejak mereka bertemu kembali dengan Lorna, atau cincin itu muncul setelah Lorna berkumpul kembali dengan Dewa?<br />Apa yang menjadi perhatian Grace dan Rahma sudah tentu berhubungan dengan pembicaraan yang tanpa sengaja mereka berdua dengar saat keduanya berbincang dalam kendaraan saat dalam perjalanan kembali ke penginapan.<br />"... kamu bukanlah Lorna yang kukenal sebelum kita berpisah. Saat ini kamu adalah Lorna yang kini menjadi kekasihku, tunanganku, walau lebih dari itu, kamu sudah kuanggap sebagai isteriku."<br />Ucapan itu seakan masih terngiang dalam pendengaran Rahma dan Grace. Sebelum Lorna datang bergabung di kamarnya. Keduanya membahas ucapan Dewa. Bahwa Lorna merupakan tunangannya. Lalu kapan mereka berdua bertunangan? Barangkali cincin di jari manis Lorna adalah cincin pertunangan itu. Yang mereka berdua yakini hanyalah bahwa keduanya memang diberi tugas untuk merancang undangan dan pesta pernikahan mereka, meski waktunya belum ditentukan. Ancang-ancangannya setelah acara reuni.<br />"Kenapa?" tanya Lorna ketika Grace tertangkap olehnya memperhatikan cincin di jari manisnya.<br />"Cincinmu bagus!" kata Grace.<br />Rahma memandang Grace. Lorna memandang Rahma. Curiga, menangkap maksud tatapan kedua sahabatnya itu.<br />Lorna lantas tersenyum.<br />"Lorna ngerti..." kata Lorna kemudian.<br />"Ya sudah kalau sudah ngerti," kata Rahma.<br />"Tapi kenapa kalian tak tanya?" tanya Lorna.<br />"Takut akan membuatmu pingsan kayak di pembukaan reuni," jawab Grace.<br />Lorna tertawa renyah, diikuti Rahma, lalu Grace.<br />"Kita sudah bertunangan."<br />"Kita juga sudah tahu kok!" jawab Grace dan Rahma bersamaan.<br />"Dari mana kalian tahu?"<br />"Dari cincin yang kamu pakai!" jawab Grace dan Rahma bersamaan kembali.<br />Lorna diam sejenak.<br />"Maafkan Lorna tak memberitahu kalian."<br />"Nggak apa!" jawab Rahma dan Grace bersamaan.<br />Keduanya memperhatikan dengan seksama wajah Lorna yang melakukan hal yang sama, bergantian.<br />"Dewa sudah melamarku..."<br />"Itu maksudku!" ujar Grace segera mencubit manja kedua pipi Lorna.<br />Rahma pun ikut mencubit dagu Lorna gemas.<br />"Bilang begitu saja kok susah amat. Kita berdua nggak bakal bocorin ke teman-teman," kata Grace berusaha menggelitik pinggang Lorna.<br />Ketiga sahabat itu sejenak terlibat pergumulan, bercanda, yang pada akhirnya ketiganya terlentang menghadap langit.<br />"Sepertinya impianmu sudah tercapai," kata Rahma kepada Lorna.<br />Lorna tak menimpali.<br />"Belum!" Grace menyergah.<br />"Kenapa?"<br />"Perkawinan adalah pelengkapnya," kata Rahma.<br />"Agar lengkap. Itu tugas kalian," Lorna lalu menimpali.<br />Grace dan Rahma mengangguk dengan tatapan ke langit-langit kamar.<br />"Beres!" jawab keduanya bersamaan.<br />"Tadi kupikir kalau Lorna pergi meninggalkan Dewa, aku mau menggantikannya," goda Grace masih terlentang memandang langit-langit kamar.<br />Grace dan Lorna tersenyum.<br />"Perasaanku juga sama, Grace. Apalagi setelah menyaksikan aksinya di bar tadi," Rahma menambahkan.<br />Grace dan Lorna tersenyum.<br />"Mana mau Dewa sama kalian, apalagi kalian sudah tidak pera..."<br />Garce dan Rahma lalu mengeroyoknya dengan gelitikan di pinggang dan lehernya.<br />"Memangnya dia masih perjaka kok nuntutnya perawan!" kata Grace.<br />"Iya. Mentang-mentang kamu masih..." Rahma menambahkan seraya berusaha menggigit leher Lorna.<br />Lorna menggelinjang.<br />Ketiganya bercanda hingga kelelahan. Terlentang berjajar memandangi langit-langit kamar.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-58131267606393535732011-02-05T21:06:00.000-08:002011-12-10T04:13:43.903-08:0031. Menyibak Tirai Kenangan.<span style="font-weight: bold;">Dewa mengajak pulang</span> kembali, walau Lorna masih berharap Dewa mau membawanya pergi kemana saja sesukanya. Jadi bukan sekedar mencari tempat untuk makan. Keinginannya agar bisa bersamanya lebih lama. Meski demikian, Lorna berusaha menghibur hati, bila itu menjadi kemauan Dewa, sebab besok mereka berdua akan pergi ke Bali. Tentu perlu waktu menyiapkan segala sesuatunya. Barangkali itu yang jadi alasan Dewa tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu.<br />“Lain kali aku ingin mengajakmu kemping!”<br />Kata Dewa saat di perjalanan.<br />“Hai!” Lorna memekik girang.<br />“Mau?”<br />“Mau sekali! Kemana? Kapan?” Lorna pun mencecar pertanyaan bertubi.<br />“Maumu kemana?”<br />“Tempat yang pernah kita datangi dulu!”<br />Dewa langsung menangkap.<br />“Dewa tak datang di penutupan reuni,” Lorna mengingatkan.<br />“O, itu. Oke! Kita akan kemping di sana!”<br />Lorna memeluknya lebih ketat.<br />“Terima kasih, Dewa!”<br />Dewa tersenyum. Lorna merasa heran, karena tiba-tiba Dewa memutar arah motornya, berbalik arah kembali.<br />Lorna bertanya.<br />“Ada yang ketinggalan, De?”<br />“Ada!” jawab Dewa setelah arah motor kembali naik ke atas.<br />“Apa yang tertinggal, De?!”<br />“Kenangan!”<br />“<span style="font-style: italic;">What</span>?!”<br />“Kenangan!”<br />“Kenangan siapa?”<br />“Kita!”<br />“Hai! Apa itu?” teriak Lorna.<br />Awalnya Lorna belum mengerti, dan baru menangkap maksudnya, saat mereka hanya melintasi tempat yang baru disinggahi untuk makan ikan bakar. Dewa terus memacu sepeda motornya ke jalanan menanjak.<br />Beberapa saat kemudian melintasi desa Junggo. Jalanan yang dilalui sebelumnya menanjak terjal, menandakan mereka berada pada bagian kaki gunung.<br />“Dewa! Kamu membawaku ke tempat itu. Apa namanya?” teriak Lorna bertanya.<br />"Cangar!"<br />"Oh, iya Cangar!"<br />Kegembiraan menyelimuti wajahnya. Dewa tersenyum-senyum. Ingin melunasi hutang gadis itu yang tidak terpenuhi di penutupan reuni kemarin.<br />“Masih kukenang saat kita sama-sama di sana?” tanya Lorna.<br />“Ya! Kamu yang membuat kenangan itu tak pudar!”<br />“Ah, Dewa. Kamu yang bikin tak pudar!”<br />"Kamu!"<br />"Kamu!"<br />"Kamu!"<br />"Kamu!"<br />Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. Hati Lorna terbilam kebahagiaan.<br />Jalanan yang dilalui berliku. Di desa Junggo mereka sempat berhenti untuk melepaskan helm, agar bisa merasakan suasana alam tanpa terganggu helm yang membatasi. Sembari menyempatkan singgah ke sebuah toko untuk membeli beberapa minuman kaleng. Setelah itu kembali meneruskan perjalanan.<br />Laju motor diperlambat agar perjalanan terasa santai. Merasakan sejuknya udara di lereng gunung Arjuno. Melihat hamparan tanaman sayur di kanan kiri jalan. Terlihat hamparan tanaman brokoli. Ladang kentang dan wortel yang luas.<br />Pohon apel banyak ditanam di daerah ini. Dulu pohon apel belum sampai menjangkau di daerah ini. Ketika itu iklimnya masih belum cocok, tetapi sekarang lebih cocok. Budidaya tanaman lain juga dikembangkan di wilayah ini. Terdapat beberapa perusahaan melakukan budidaya bunga potong dan jamur.<br />Lorna tertawa ceria. Wajahnya menempel ketat pada pipi Dewa.<br />“Kenangan siapa yang tertinggal?” Lorna bertanya berbisik untuk menggoda Dewa manja.<br />Dewa tersenyum, berusaha mengecup pipi Lorna dari samping. Karena usahanya untuk mengecup tak sampai, Lorna yang memberikan pipinya. Wajahnya di kedepankan biar bisa dikecupnya. Lantas Dewa berhasil mendaratkan bibirnya ke pipi Lorna. Kecupan Dewa terasa hangat bagi Lorna.<br />Lorna tersenyum senang.<br />"<span style="font-style: italic;">I love you!</span>" ujar Dewa.<br />Lorna tertawa renyah.<br />"<span style="font-style: italic;">I love you too</span>, Dewa!" jawab Lorna seraya memeluk Dewa dengan gemas.<br />Betapa indahnya hari ini baginya. Kenapa hal ini tak terjadi sedari dulu?<br />“Tapi waktunya tak cukup berlama-lama di sana, De?” Lorna mengingatkan.<br />“Untuk kali ini kita tak perlu berlama-lama. Sekedar melihat situasinya saja!” jawab Dewa pendek.<br />“Boleh juga!”<br />“Kita hanya mampir. Melihatnya dari atas. Tak perlu masuk ke dalam. Nanti saja, kita puaskan di lain waktu.”<br />“Melihat dari atas bagaimana maksudmu?”<br />“Dari sisi jalan yang mulai menurun menuju lokasi.”<br />Memasuki desa Jurangkuali kontur jalan mulai mendatar hingga tempat yang dimaksud Dewa. Mereka lalu berhenti di pinggir jalan. Tempat pemberhentian mereka yang memiliki pandangan leluasa ke lokasi Cangar.<br />“O, di sini yang kau maksud! Oh, ya benar! Terlihat jelas sekali dari atas sini!”<br />Lorna berdiri merapat memeluk lengan Dewa. Pandangan keduanya mengedar ke sekeliling. Melihat hamparan hutan pinus. Tempat itu sekarang dikenal sebagai Taman Hutan Rakyat Suryo. Gunung Welirang terlihat lebih jelas. Asap belerang keluar dari puncaknya yang kuning. Mengepul tiada henti. Di tempat itu dieksploitasi mineral belirang.<br />“Mau mandi air panas?”<br />“Nanti kalau bersama Dewa ke sana.”<br />Keduanya berdiri bersandar pada sepeda motor. Dewa memeluk Lorna sambil menikmati minuman kaleng.<br />Lorna masih menyeka wajahnya dengan tisu basah yang tak pernah lupa dibawanya. Perasaannya damai bila berada di samping Dewa. Perasaan yang sempat hilang lama. Ternyata Dewalah kunci dari semua persoalannya selama ini.<br />Dewa menarik tubuhnya dan merangkulnya. Lorna membalas dengan melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa. Keduanya berusaha mengenang kembali apa yang pernah terjadi di tempat itu saat masih bersekolah.<br />“Kamu datang di penutupan kemarin?”<br />Lorna mengangguk.<br />“Aku mencarimu.” kata Lorna halus.<br />Dewa mengangguk.<br />"Aku merasakan itu," jawab Dewa seraya membelai wajahnya.<br />Lorna memberikan wajahnya agar leluasa dibelai Dewa. Belaian itu memberinya perasaan nyaman.<br />Dewa memandangnya sayu. Lorna balas menatapnya.<br />“Maafkan aku mengecewakanmu,” Dewa meminta maaf.<br />“Sudah Dewa tebus hari ini,” jawab Lorna dengan suara lunak.<br />“Belum sepenuhnya. Kalau kita kemping nanti, itu baru tertebus.”<br />“Hari ini Lorna merasa Dewa telah menebusnya. Kemping nanti akan jadi pelengkapnya.”<br />Kemudian keduanya diam. Menikmati suasana alam. Menikmati perasaan lega yang kini dirasakan.<br />Dewa menyibakkan rambut Lorna ke belakang.<br />“Kamu yakin mau ikut ke Bali besok?”<br />Lorna mengangguk.<br />“Tak mengganggu jadwal kegiatanmu?” tanya Dewa.<br />Lorna menggeleng. Dewa lantas merangkulnya lebih erat.<br />Agar bisa bersamamu, kukorbankan apapun yang bisa menjadi penghalang kebersamaan ini. Kata Lorna dalam hati.<br />"Aku kehilangan kamu, saat kusadari kamu tak hadir di sana," kata Lorna dengan pandangan mengarah ke bawah ke lokasi di mana kemarin rombongan reuni mereka menutup acara.<br />"Kupikir kamu tak hadir," kata Dewa menanggapi.<br />Lorna mengangguk.<br />"Lorna mengerti, mungkin Dewa berpikir Lorna masih di rumah sakit."<br />Dewa tak menimpali. Sesungguhnya apa yang ada dipikiran Dewa lain. Dia beranggapan bahwa Lorna sedang tak berkeinginan menerimanya. Jadi akan sulit dirinya menjumpai di acara itu.<br />"Seharusnya mereka kemping di tempat itu." kata Dewa.<br />"Kalaupun ada acara kemping. Lorna tak akan ikut karena kamu tak ada di antara mereka."<br />Dewa merengkuh bahunya lebih merapat ke tubuhnya.<br />"Kamu sepertinya ingin bersamaku."<br />"Kenapa tidak?"<br />Kemudian keduanya diam. Pandangannya masih mengedar melihat pemandangan yang terbuka. Udara mulai terasa dingin. Kabut mulai turun di lereng gunung, menyelimuti hutan pinus. Keheningan suasana sesekali dipecahkan suara pekik burung. Desah suara air sungai yang mengalir dalam hutan terdengar lamat-lamat.<br />“Aku sudah membintangi beberapa iklan, De,” Lorna berusaha berterus terang untuk memecah keheningan di antara mereka. Dia ingin mengungkapkan agar tak ada beban yang menggelayuti. Dan berusaha mengetahui, apakah Dewa keberatan dengan kegiatannya? Sebab Lorna tidak ingin di kemudian hari ada persoalan yang timbul. Lorna ingin melihat reaksi Dewa.<br />Dewa mengangguk-angguk.<br />“Aku nyaris tak pernah melihat acara tivi.”<br />Lorna mengangguk, tidak ingin mengomentari.<br />“Lorna tak mau terlibat kegiatan <span style="font-style: italic;">entertaint</span>. Lorna berusaha menjauhi reportase.”<br />Dewa mengangkat alis.<br />“Kenapa?”<br />“Tak tertarik!”<br />Dewa mengangguk-angguk.<br />“Barangkali tak lama lagi teman-teman kita akan tahu kalau beberapa iklan yang tayang, aku yang membintangi di dalamnya. Itu kulakukan untuk memajukan usahaku di Jakarta.”<br />“Aku mengerti.”<br />“Dewa keberatan?”<br />Dewa menggeleng dan menjawab.<br />“Itu bagus! Seharusnya begitu. Kamu layak menjadi bintang!”<br />“Ah!”<br />“Sungguh!”<br />“Tapi, Lorna tak ingin itu!”<br />“Jalani saja!”<br />“Lorna tak ingin popularitas!”<br />“Popularitas adalah pendapat orang.”<br />“Lorna takut! Tak siap dengan gosip!”<br />Dewa merangkulnya lebih erat. Menarik wajahnya agar tengadah. Lantas mengecup bibirnya sesaat. Lorna berharap lebih, tetapi Dewa tak melakukannya. Sebaliknya Lorna yang tak tahan akan kerinduannya, lantas bereaksi memagut bibir Dewa, melampiaskannya dengan gemas.<br />Dewa membalas, namun berusaha mengakhiri, tak ingin menarik perhatian orang. Lantas bibirnya segera dilepaskan dari bibir Lorna yang basah.<br />“Aku tahu kamu rindu. Nanti di rumah kita teruskan. Takut ada kamera mengawasi kita,” kata Dewa dengan suara lirih.<br />“Maafkanlah Lorna,” Lorna tersipu.<br />"Aku tahu. Aku pun rindu. Tapi kamu kan takut gosip. Ini bisa jadi gosip!"<br />Wajah Lorna bersemu merah.<br />"Maafkanlah Lorna, De."<br />“Perasaanku sama. Aku juga ingin menciummu selamanya. Tak ingin kulepas bibirku dari bibirmu.”<br />“Hai!”<br />“Setuju?”<br />Lorna mengangguk.<br />“Aku mencintaimu!”<br />“Lorna juga mencintaimu!”<br />Lorna membenamkan wajahnya ke bawah leher Dewa. Dewa merengkuh memeluknya hangat.<br />"De!"<br />"Ya?"<br />"Terima kasih menerimaku kembali..."<br />"Ah!" Dewa menyergah, "Aku tak pernah membencimu. Aku tak pernah menyuruhmu pergi. Aku tak pernah menolakmu. Tak ada alasan bagiku untuk tak menerimamu."<br />"Aku takut kehilanganmu, Dewa."<br />Dewa menatapnya tajam.<br />Lorna diam menunggu Dewa bicara.<br />"Selama ini aku seperti berjalan dalam gelap. Meraba mencari pijakan dengan lentera yang padam. Setelah lentera kembali bersinar membuat jalanku tak lagi gelap, dan kutemukan kembali pijakan. Lentera itu adalah dirimu."<br />"Oh, Dewa!" ucap Lorna lalu memeluk Dewa erat, "Selama ini Lorna juga merasa sepi tak berujung sejak jauh darimu. Dewa tak cuma sahabat. Dewa tak cuma teman. Dewa tak cuma seorang kakak. Lebih dari itu Dewa..."<br />Dewa merangkul. Menarik wajah Lorna dan mencium bibirnya sesaat. Menyeka pelupuk matanya yang mulai berkaca-kaca.<br />"Jiwakulah yang merasa kesepian jauh darimu," bisik Dewa.<br />Lorna melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa dengan erat.<br />"Papi dan Mami tahu hubungan kita?" tanya Dewa.<br />Lorna menatap dan ragu untuk menjawab.<br />"Katakanlah!"<br />Sebelum menjawab Lorna memandang wajah Dewa dengan seksama. Untuk mencoba mencari siratan makna yang terpancar, apakah itu akan menjadi sebuah persoalan?<br />"Kenapa diam? Ada yang salah dengan pertanyaanku?"<br />Lorna menggeleng lemah.<br />"Hanya <span style="font-style: italic;">Mommy</span> yang tahu," jawab Lorna perlahan.<br />Dewa tersenyum. Senyumnya menepiskan kecemasan bila Dewa memiliki pandangan lain.<br />"Kenapa?" Lorna ganti bertanya.<br />"Perasaanku tak nyaman," jawab Dewa pendek.<br />"Kenapa?"<br />"Kenapa aku yang menjadi pacarmu?"<br />"Kenapa?"<br />"Melihat hubungan kita selama ini seperti sebuah pepatah saja."<br />"Pepatah apa itu?"<br />"Pepatah Jawa!"<br />"Iya apa?"<br />"<span style="font-style: italic;">Kawitaning trisno jalaran soko kulino</span>!"<br />"Apa artinya?"<br />"Cinta datang dari kebiasaan, biasa bertemu, berkumpul, ya seperti hubunganmu denganku."<br />Lorna tertawa.<br />"Ah, ya enggak!" Lorna mencoba membantah, "Lorna cinta Dewa karena ada peristiwa yang membuat kita saling tahu tentang diri kita masing-masing."<br />"Kamu benar!" kata Dewa yang menenteramkan hati Lorna.<br />Keduanya diam kembali. Menikmati suasana alam yang damai. Inginnya seperti itu. Kenangan yang pernah terjadi di tempat itu membuat keduanya sesungguhnya enggan beranjak pulang. Tetapi mengingat mereka harus pergi ke Bali besok, dan harus melakukan persiapan. Dengan berat hati harus meninggalkan tempat itu.<br />“Kita sudahi dulu nanti kita rencanakan dengan baik kalau ingin kembali kemari,” bisik Dewa .<br />Lorna menatap sayu, mengangguk.<br />Dewa tersenyum.<br />"Atau Lorna masih mau di sini?"<br />“Lorna terserah pada Dewa,” jawab Lorna pelan.<br />"Kalau tak ada acara makan malam di tempatmu. Kita bisa berdiri di sini hingga gelap."<br />Lorna tersenyum.<br />"Tapi kurasa kita akan kedinginan bila matahari mulai redup," Dewa menambahkan.<br />Lorna membelai wajah Dewa..<br />"Lorna tak kuatir. Dewa bisa menghangatkanku."<br />Dewa balas tersenyum.<br />"Kemarilah! Peluk aku! Peluklah aku, si mata biru! Peluk aku Lorna!"<br />Lorna lantas memeluk Dewa dengan senyum bahagianya. Dia merasakan sikap yang diberikan Dewa sikap dewasa. Sikap yang sanggup memberinya kenyamanan selain <span style="font-style: italic;">Daddy</span>-nya.<br />"Aku senang bisa bersamamu di sini," kata Dewa lirih.<br />"Lorna juga!"<br />Dewa menatap wajahnya.<br />"Kamu cantik sekali!" bisik Dewa.<br />"Terima kasih, Dewa!"<br />"Kenapa kamu cantik sekali?"<br />Lorna tersenyum.<br />"Karena Dewa melihat Lorna begitu!" jawab Lorna manja.<br />Dewa tertawa renyah.<br />"Tepat! Kalau kamu kulihat jelek, artinya mataku yang jelek."<br />Lorna tertawa.<br />Keduanya tertawa.<br />Lorna memeluk pinggang Dewa.<br />Dewa merangkulnya hangat.<br />Wajah Lorna tenggelam di dada Dewa.<br />Wajah Dewa tenggelam dalam kelebatan rambut Lorna yang harum.<br />"Lain kali kita kemari lagi," bisik Dewa.<br />Lorna mengangguk.<br />"Kita pulang?"<br />Lorna mengangguk lagi.<br />"<span style="font-style: italic;">I love you, De</span>!"<br />Lalu Dewa membalas di telinganya dengan lembut.<br />"Aku pun demikian, Bidadariku."<br />Sebutan bidadari membuatnya merasa ada kuutuhan bahwa <span style="font-style: italic;">Mommy </span>dan <span style="font-style: italic;">Daddy</span>-nya berada pada diri Dewa.<br />Lorna tersenyum dengan mata terpejam sebelum melepaskan pelukannya.<br />Sesaat kemudian keduanya sudah melaju meninggalkan tempat itu. Seiring kabut putih yang tiba-tiba melintas di hadapan, menutupi pemandangan. Kabut yang datang ibarat tirai yang menutupi seribu kenangan yang pernah terbentuk di tempat itu.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-61045815903512886912010-09-11T16:06:00.000-07:002010-12-01T07:55:43.290-08:00"Kalau aku tak berat memikirkan akibat yang akan dirasakan mereka. Aku bisa mengambil tindakan nekat..."<br />"Seperti apa?"<br />Matanya yang dingin menatapnya tajam. Tak segera langsung menjawab.<br />"Aku akan menghabisinya..."<br />"Ah!"<br />Mata yang dingin itu tak lagi menatapnya. Dilemparkan ke kejauhan. Seperti ada kekosongan yang dalam.<br />"Itulah yang akan terjadi..."<br />"Tapi kau tak serius bukan?"<br />"Aku serius!"<br />"Ah!"<br />"Kau meragukanku?"<br />"Tidak! Sama sekali tidak!"Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-26262273333921344142010-08-14T22:04:00.000-07:002011-12-09T12:25:59.089-08:00115. Di Perjalanan.<span style="font-weight: bold;">Dibiarkan angin menyelinap dari sela jendela</span>, meski udara dalam ruang kendaraan sesungguhnya terasa sejuk. Dewa tak bermaksud menutup kaca jendela itu karena merasa ragu. Dia juga mengabaikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul di benaknya. Apakah jendela itu sengaja dibuka Lorna, ataukah sudah dalam keadaan seperti itu saat mereka memasuki kendaraan?<br />Dia memperhatikan Lorna tengah menyibakkan rambut yang berkibaran diterpa angin yang menyelinap masuk dari sela jendela yang setengah terbuka itu. Ada kepenatan membersit di rona wajahnya. Pandangannya yang sayu menatap ke luar jendela. Membuat Dewa ragu menegur. Biasanya, bila mereka berdua duduk bersanding seperti ini, gadis itu selalu duduk merapatkan diri kepadanya. Tapi kali ini sikapnya tak sebagaimana kebiasaanya yang selalu melendot penuh kemanjaan.<br />Dewa masih memandanginya seksama dengan kalem. Bersabar menunggu dan berharap gadis itu akan bersikap seperti itu. Namun dia menarik nafas pendek saat Lorna menyandarkan kepala ke sandaran bangku. Lalu memejamkan matanya. Seperti tak peduli akan keberdaannya yang tengah memperhatikannya.<br />Akhirnya Dewa tak tahan untuk tidak merajuk, lantaran ada perasaan iba yang menyelinap dalam sanubarinya. Dewa mengingsut duduknya. Mendekatinya. Menyelinapkan lengannya ke belakang leher gadis itu. Merengkuhnya agar kepalanya menyandar ke dadanya. Kemudian berkata dengan berbisik.<br />"Ada yang kau pikirkan, hm?" tanyanya dengan suaranya lembut.<br />Lorna tak menjawab. Sebaliknya membenamkan wajahnya ke dada Dewa.<br />Dewa mengusap rambutnya lembut.<br />"Kulihat kamu lelah?" tanyanya kembali.<br />Lantaran pertanyaannya tak dijawab. Dewa tak ingin mengajukan pertanyaan lain, walau ada rasa penasaran dengan kediamannya itu. Barangkali Lorna memang benar-benar merasa lelah.<br />Tanpa bersuara Dewa berdiam diri, dan membiarkan dadanya menjadi sandaran wajah gadis itu.<br />Rahma dan Grace yang duduk di bangku di depannya nampak juga bersandar memejamkan mata. Grace menutup wajah dengan saputangan. Sementara Dewa berjaga agar Lorna bisa bersandar nyaman di dadanya. Tak ingin mengusiknya.<br />Tetapi beberapa saat kemudian, ada sesuatu yang dirasakan mengganggu. Kaos t-shirt di bagian dadanya terasa basah dan hangat. Perlahan kemudian dia berusaha memperhatikan wajah Lorna. Ternyata gadis itu tak tertidur sebagaimana yang dipikirkannya, dilihatnya dari sela pelupuk matanya mengalir air mata. Bibirnya nampak gemetar berusaha menahan isak.<br />Walau dengan perasaan heran dan terkejut. Dewa lantas membenamkan bibirnya untuk mengecup pelupuk mata yang basah itu.<br />"Ada apa, sayang?" bisik Dewa lembut.<br />Ucapan Dewa seperti hembusan angin yang terasa menyejukkan. Pertanyaan lembut itu membuat Lorna lantas merengkuh erat pinggang Dewa. Walau berusaha menggeleng seakan menjawab bahwa dirinya tak apa-apa. Tapi tak membuat Dewa meredakan usahanya mencari tahu gerangan yang membuatnya merasa sedih.<br />"Aku mencintaimu, De!"<br />Dewa menghela nafas. Lega.<br />"Aku tahu. Aku juga mencintaimu, Na."<br />"Kamu baik sekali."<br />Dewa tersenyum getir.<br />"Apa yang membuatmu merasa sedih seperti ini?"<br />"Lorna, tak merasa sedih..."<br />"Tetapi kenapa menangis?"<br />"Entahlah, Lorna, tiba-tiba merasa iba saat memandangimu."<br />"Aku bahagia."<br />"Lorna tahu Dewa bahagia. Tapi tidak demikian perasaan yang Lorna rasakan tiba-tiba. Dari dulu hingga kini, Dewa selalu melakukan pengorbanan buat Lorna. Tak berubah. Apa yang Dewa lakukan dengan mendampingi Lorna di Bali, Lorna tahu, ini bukan dunia Dewa. Yang Dewa lakukan tak lebih hanya untuk menjaga dan membuat Lorna merasa bahagia."<br />"Aku merasa bahagia bila kamu merasa seperti itu."<br />"Tapi, Lorna merasa tak nyaman begitu menyadari waktu Dewa kini lebih tercurah untuk melayani Lorna. Mengantar Lorna ke mana saja. Menuruti apa yang menjadi keinginan Lorna. Menyanyikan lagu buat Lorna. Memanjakan Lorna. Padahal pertemuan kita belum lama berselang setelah bertahun-tahun Lorna meninggalkanmu. Tak adil buatmu."<br />Dewa lalu cepat memutuskan ucapan Lorna dengan membenamkan bibirnya ke bibir Lorna yang gemetar menahan isaknya. Bibirnya memilin sejenak bibir Lorna yang pasrah saat bibirnya dilumat lelaki yang selama bertahun-tahun menciptakan dendam kerinduan dalam hidupnya.<br />Dewa melepaskan pagutan bibirnya.<br />"Jangan berlebihan menilaiku seperti itu apalagi mengungkit perpisahan itu."<br />Bola mata biru jernih itu menatapnya dengan bibir sedikit terbuka, basah. Mengharap agar Dewa tak melepaskan pagutan itu. Tapi Dewa lalu mengecup bibir itu sejenak. Dan melepaskan kembali.<br />Lorna pun merebahkan wajahnya kembali ke dada Dewa. Dewa lantas berbisik lembut ke telinganya.<br />"Kamu lelah, sayang. Kamu bukanlah Lorna yang kukenal sebelum kita berpisah. Saat ini kamu adalah Lorna yang kini menjadi kekasihku, tunanganku, walau lebih dari itu, kamu sudah kuanggap sebagai isteriku."<br />"Dewa!"<br />Lorna memeluk erat Dewa.<br />"Lorna tahu, Dewa. Dewa juga sudah Lorna anggap suami. Karenanya, Lorna pasrah saja kepada Dewa," bisik Lorna dengan suara perlahan dan lunak.<br />Dewa mengecup dahinya.<br />"Jangan bersedih..."<br />"Lorna tak sedih. Lorna bahagia."<br />Lorna terdiam sejenak sebelum menambahkan ucapannya.<br />"Lorna takut kehilangan Dewa."<br />Dewa lalu memeluknya erat.<br />"Jangan terbawa kecemasan seperti itu."<br />"Semakin dekat Dewa, membuat Lorna semakin takut jauh dari Dewa."<br />Sesungguhnya Grace dan Rahma tidak tertidur. Walau pelupuk mata keduanya terpejam, namun telinga keduanya mendengar dengan seksama pembicaraan keduanya. Hatinya larut seperti halnya yang dirasakan Lorna.<br />"Apa yang harus kulakukan agar Lorna tak menjadi cemas seperti itu?" tanya Dewa untuk mencari jawaban agar kegelisahan Lorna hilang.<br />"Jangan jauh dariku, De"<br />"Kenapa berpikiran begitu?"<br />"Takut kehilangan Dewa."<br />"Aku menjagamu, Na."<br />Dewa mencium kening Lorna.<br />"Seperti saat kita masih bersekolah dulu?"<br />"Lebih dari itu!"<br />"Lorna rindu saat-saat seperti itu."<br />"Aku pun rindu!"<br />Dewa menarik nafas panjang. Seakan merasakan hisapan kehampaan bila mengingat saat-saat mereka berdua kerap bersama. Walau tak sedekat dan bisa berpelukan seperti saat ini.<br />Lorna memejamkan matanya. Membayangkan saat-saat mereka masih menjadi teman sekolah. Masa-masa itu terasa indah untuk dikenang.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-62188181765308414932010-08-01T09:12:00.000-07:002011-12-09T14:19:28.476-08:00114. Nyanyian Dewa.<span style="font-weight: bold;">Mentari menabur cahaya keemasan</span> menciptakan senja kemerahan di pergantian temaramnya malam. Pepohonan di pantai menjadi bayang-bayang gelap. Demikian pula permukaan air laut yang berkilau, memantul warna merah. Melengkapi suara deburan ombak dan lidah laut yang berdesah berterampasan membasahi pasir.<br />Lorna melingkarkan tangan ke pinggang Dewa, yang disambut belitan lengan Dewa pada lehernya. Jejak langkah mereka tercipta di belakang. Sementara angin darat yang bertiup mengibarkan helaian rambut Lorna yang keemasan tertimpa sinar senja. Wajah Lorna pun nampak lembayung. Alam telah melukis keindahan itu.<br />"Berkumpul kembali bersamamu membuat hidup Lorna seperti mimpi."<br />Dengan tatapan masih ke batas cakrawala Dewa menimpali ucapan Lorna.<br />"Hidup itu sendiri sesungguhnya mimpi. Hanya kita masih belum terjaga. Saat terjaga seringkali akan dihadapkan pada kenyataan yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginan kita."<br />Mereka menghentikan langkahnya.<br />"Lihatlah hari yang sudah tua. Mentari mulai mengubur suasana di batas horison, menjadi gelap sunyi namun terasa damai."<br />Dewa membalikkan tubuh Lorna sehingga berhadapan. Telapak tangannya mendekap pipi-pipi Lorna dengan lembut. Keduanya saling berpandangan.<br />"Aku ingin hari-hariku bersamamu terasa indah penuh kedamaian seperti laiknya matahari yang menyelesaikan tugasnya menyambut malam di peraduannya."<br />"Apakah kamu akan membawaku serta?"<br />"Tentu. Kita akan melaluinya bersama-sama."<br />Lorna menjatuhkan wajahnya ke dada Dewa. Tangannya merengkuh dan memeluk ketat. Dewa pun membenamkan hidungnya ke dalam rambut Lorna yang lebat dan menghirup aromanya.<br />Keduanya kemudian berdiam diri di tengah keheningan suasana senja keemasan. Meresapi indahnya kebersamaan. Kerlap-kerlip pantulan cahaya mentari di atas permukaan air seperti bunga-bunga cahaya yang melatarbelakangi saat Lorna merasakan sedemikian damai dalam pelukkan Dewa.<br />Tiba-tiba.<br />"Cut."<br />Lalu terdengar suara tepuk tangan.<br />Dewa dan Lorna masih berpelukan ketika membalikkan badan. Namun keduanya tak peduli pada banyak tatapan yang ditujukan kepada diri mereka berdua.<br />"Bagus! Bisa langsung ke dalam. Kita langsung ambil <span style="font-style: italic;">indoor</span>," kata Erwin kepada Lorna.<br />Lorna hanya tersenyum, menggandeng Dewa berjalan meninggalkan tempat itu.<br />"Sekarang pindah lokasi!" kata Erwin memerintahkan kru untuk memindahkan peralatan.<br />Grace dan Rahma bersama Titi dan Komang mengikuti langkah Dewa dan Lorna.<br />"Kalau pengambilan bisa lancar. Kita bisa cepat pergi jalan-jalan," kata Lorna pada Grace dan Rahma.<br />"Yang penting acaramu dituntaskan dulu. Soal itu nomer dua," jawab Rahma.<br />"Urusan reuni bagaimana?" tanya Lorna.<br />"Lancar! Hanya yang ikut membludak."<br />"Baguslah!"<br />"Kamu tahu sebabnya?"<br />"Nggak. Apa itu?"<br />"Popularitasmu membuat keinginan mereka ingin terlibat." jawab Rahma.<br />Lorna tertawa kecil seraya menatap Dewa.<br />Dewa membalas tatapan Lorna<br />"Rahma bilang aku populer, De."<br />Dewa tersenyum seraya mengangkat alis.<br />"Dengan begitu kamu bisa punya peran memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu yang positip." jawab Dewa.<br />"Apa misalnya?"<br />"Mengunjungi dan memberi sesuatu kepada mantan guru."<br />"Jadi kita harus kumpulkan sumbangan begitu?"<br />"Namanya sumbangan. Tak harus memaksa. Kalau ada dan cukup ya disumbangkan. Kalau tidak ya tak apa. Didasarkan pada kesadaran saja. Mungkin sisa dari uang reuni setelah dikurangi semua biaya yang dikeluarkan."<br />"Aku pikir benar juga pikiran Dewa, Na," kata Rahma, "Saat ini uang yang masuk saja sudah demikian besar. Belum termasuk uang yang berasal darimu."<br />"Kalian cetak buku album reuni?" tanya Lorna.<br />"Ya, semua sedang berjalan secara bersama-sama."<br />Dewa dan Lorna kemudian sudah berada dalam restoran hotel. Tempat yang dijadikan <span style="font-style: italic;">setting</span> pengambilan gambar sudah dipersiapkan. Pencahayaan dan reflektor serta kamera sudah dalam posisi <span style="font-style: italic;">stand by</span>.<br />Erwin sedang berbicara dengan Dewa dan Lorna, memberikan pengarahan. Pengambilan gambar yang statis hanya memerlukan waktu sebentar. Yang membuat waktu terulur hanya pada bagian kegiatan tata rias dan adegan penyajian menu hidangan.<br />Setelah pengambilan gambar acara makan selesai, kemudian beralih ke sarana hiburan. Pada <span style="font-style: italic;">setting </span>lokasi suasana nampak lebih santai. Pengunjung hotel yang hadir turut menikmati adegan syuting tersebut.<br />Dewa dan Lorna duduk dikitari Rahma, Grace, Imelda. Komang duduk dekat Dewa. Titi diminta Lorna agar duduk tak jauh darinya, sebab dia yang membawakan tas besarnya.<br />Seorang penyanyi melantunkan lagu di panggung. Dewa sesekali berbincang dengan Komang. Sementara Lorna sesekali melayani pembicaraan Imelda. Grace dan Rahma nampak mulai akrab dengan Imelda.<br />"Pengambilan gambar untuk malam ini sudah selesai," jawab Imelda ketika Rahma menanyakan kepadanya, apakah masih ada pengambilan gambar lagi.<br />"Jadi sekarang bisa santai, dong." kata Grace.<br />"Kalau Grace mau nyanyi ke panggung?" saran Imel.<br />Grace tertawa.<br />"Pertanyaanmu seharusnya jangan kepadaku. Alamatkan itu kepada Dewa."<br />Lorna tersenyum.<br />"Suara Dewa bagus. Dia juga jago mainkan alat musik," tambah Rahma.<br />Imelda memandang Dewa yang sedang berbincang dengan Komang. Menurutnya lelaki itu sikapnya dingin namun ramah. Sikap seperti itu yang membuatnya enggan bicara langsung. Entahlah kenapa bisa begitu. Apakah lantaran lelaki itu adalah tunangan bos perempuannya yang masih muda? Ataukah setiap kali berbicara selalu diikuti tatapannya yang tajam? Ataukah lantaran memang lelaki itu memiliki pesona yang membuatnya sulit menaklukkan tatapannya yang selalu menghujam? Pantaslah lelaki itu menjadi pilihan bosnya yang tak hanya cantik dan anggun namun juga baik hati.<br />Rahma memperhatikan Imelda yang nampak segan meminta Dewa untuk bernyanyi di panggung. Rahma tahu, yang bisa membuat Dewa melakukan hanyalah Lorna. Maka kemudian dia berbisik kepada Lorna agar Dewa mau menyumbangkan lagu.<br />Lorna membelalakan matanya yang indah kepadanya.<br />"Kenapa mesti aku?" tanyanya. Suaranya lunak.<br />"Kalau kamu yang minta, dia tak akan menolak," alasan Rahma.<br />Lorna berpaling ke arah Dewa yang berada di sisinya. Dewa sedang berbicara dengan wajah didekatkan ke Komang, membuat Lorna tak berani mengusiknya.<br />Komang melihat Lorna bermaksud berbicara kepada Dewa, lantas mengingatkan Dewa bahwa Lorna ingin bicara kepadanya.<br />"Ada yang mau ngomong."<br />"Siapa?"<br />Komang menunjuk kepada Lorna. Membuat Dewa berpaling kepada Lorna.<br />"Ya?" tanya Dewa kepada Lorna.<br />"Teman-teman ingin mendengarmu bernyanyi," kata Lorna dengan suara perlahan.<br />Dewa menatapnya sejenak. Lorna membalas tatapannya dengan makna bahwa dia pun ingin mendengarkan pula. Tatapan itu seperti menunggu jawabannya. Dan Dewa tidak ingin mengecewakan gadis itu.<br />"Lorna ingin aku menyanyikan lagu apa?" tanya Dewa dengan suara perlahan.<br />Lorna tersenyum senang mendengar Dewa berkenan meluluskan permintaan teman-temannya. Maka dia segera menjawab dengan bisikan.<br />"Balada..."<br />Dewa lantas mengangguk.<br />"De!" kata Lorna yang menahannya ketika hendak berdiri.<br />"Terimakasih." lanjut Lorna.<br />Dewa memegang pergelangan tangan Lorna, meremasnya lembut seraya mengedipkan sebelah mata. Kedipan itu yang membuat Lorna merasa gemas bukan kepalang. Dan akan membuatnya bunuh diri bila kehilangan dirinya.<br />Imelda memberi kode dengan melambaikan tangan ke pembawa acara sekaligus penyanyi, bahwa ada yang mau menyumbangkan lagu. Pembawa acara segera tahu kalau yang mau menyumbangkan lagu adalah Dewa. Lelaki yang belum lama berselang melakukan adegan syuting di tempat itu.<br />"Hadirin sekalian. Rupanya ada yang akan memberikan warna di malam ini. Silahkan Mas Dewa."<br />Dewa kemudian berbicara pada pemain musik di panggung. Tak lama kemudian mereka menyiapkan gitar akustik dan mikrifon. Dewa pun lantas duduk pada kursi yang juga diperuntukan untuknya.<br />Saat Dewa mulai memetikkan gitar sebagai intro lagu yang kini sedang dilantunkan, membuat pandangan seisi Bar terpana ke arah panggung. Penampilan Dewa yang bagai penyanyi rock. Rambut panjang tergerai, berkaca mata hitam, kaos t-shirt ketat, celana jin hitam. Benar-benar membuat semua pengunjung Bar terpana. Betapa tidak. Lagu dari kelompok <span style="font-style: italic;">Scorpion, When the Smoke is going down</span>, telah dimulainya dengan memikat.<br />Tidak hanya petikan gitarnya yang piawai, namun suaranya yang melengking tinggi, membuat Imelda menyuruh kru-nya mengambil gambar aksinya di panggung.<br />Cahaya sinar pun kemudian menerangi panggung. Sementara cahaya lampu yang menerangi pengunjung mulai meredup. Pengunjung mulai seksama memperhatikan saat Dewa memetik gitar yang tertumpu pada paha kirinya. Nada petikan gitar melenting-lenting terasa nyaman di lubang telinga.<br />Dari atas panggung Dewa tak dapat menangkap bayangan wajah Lorna, karena cahaya dari tempatnya duduk pandangannya digelapkan oleh pengaturan cahaya. Sehingga dirinya seperti sedang duduk sendiri memainkan gitar. Membuatnya lebih menjiwai lagu yang sedang dinyanyikannya.<br />Sementara Lorna nampak terpukau memperhatikan Dewa mulai melantunkan lagu balada. Suara Dewa yang merdu tak hanya membuat Lorna terhanyut dengan perasaannya. Pengunjung pun dibuat terkesima atas penampilan dan suara Dewa.<br />Kru film dari Jakarta, terutama Erwin nampak terpana. Dewa yang tak cukup dikenalnya ternyata piwai memainkan gitar, tak hanya itu, menurutnya suaranya pun berkelas. Lelaki yang merupakan tunangan bos perempuannya itu, menerbitkan rasa ingin tahu untuk mengenalnya lebih dalam.<br />Imelda tak cukup memberi informasi, karena Imelda pun belum lama mengenal sosok Dewa. Imel hanya mengatakan, jangan berharap Dewa mau ikut di kegiatan iklan yang lain, apa yang dilakukan hanya sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan syuting di Bali. Itu pun dilakukan demi Lorna, dan atas permintaan bos pemilik Hotel yang mengenal dekat sosok Dewa. Dari situ Erwin menjadi tahu bahwa Dewa adalah seorang seniman. Penampilannya tak mengesankan dia memiliki banyak keahlian di bidang seni. Tetapi melihat bagaimana dia memerankan dengan baik di depan kamera, tanpa kecanggungan, serta memainkan gitar dan melantunkan lagu dengan suaranya yang berkarakter, membuatnya tak bisa meremehkan lelaki itu.<br />Tepuk tangan bergema ke segenap ruangan usai sebuah lagu. Lalu Dewa mengganti gitar akustik dengan gitar elektrik. Kali ini penampilannya ibarat seorang rocker. Di depan mikropon seraya jemarinya mulai memetik senar gitar, berkata,<br />"Untuk seseorang yang kini kembali mengisi relung kehidupanku."<br />Rahma terpekik dan segera membekap dengan saputangannya seraya berpaling memandang Lorna.<br />"Ih, Dewa. Romantis sekali ucapannya," Grace berkata dengan lirih kepada Rahma.<br />Bola mata Lorna nampak berkilatan tertimpa cahaya. Wajahnya berseri. Sudut bibirnya menahan senyum. Dalam hatinya menjawab ucapan itu.<br />"Terima kasih, Dewa. <span style="font-style: italic;">I love you so much</span>."<br />Semua kembali menikmati lagu sajian Dewa dan atraksinya. Terlebih Lorna yang selama ini belum pernah menyaksikan bagaimana Dewa bernyanyi di atas panggung. Terkesima dan tak bergeming. Pandangannya seperti tak berkedip. Atraksi Dewa laiknya seorang rocker yang profesional. Dia tak menyimak ketika Imelda, Rahma dan Grace acapkali memberi komentar bahwa Dewa benar-benar seorang penyanyi.<br />"Mas Dewa, seorang penyanyi..." ujar Imelda.<br />Rahma memandang Grace.<br />"Di atas panggung, semakin membuatku yakin, Dewa benar-benar penyanyi dan gitaris hebat," gumam Rahma.<br />"Suaranya, Rah. Gila!"<br />"Yah, itulah, kenapa teman-teman merasa kehilangan saat dia tak muncul di acara reuni kemarin," kata Grace.<br />Tentu saja yang paling merasa bahagia adalah si gadis bermata biru, Lorna. Bukan saja terhibur. Lebih dari itu ada rasa bangga terhadap lelaki yang kini menjadi kekasihnya. Selama ini dirinya tak pernah menyangka keahlian lelaki itu akan seperti yang kini disaksikannya.<br />Suara Dewa merdu. Melengking tinggi. Membutuhkan nafas panjang. Bola mata Lorna berkaca-kaca. Segala macam perasaan mengaduk-aduk. Larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Penghayatannya terhadap lagu yang dinyanyikan membuat pengunjung larut. Hingga tanpa terasa lagu pun usai dilantunkan.<br />Seketika tepuk tangan dan suitan bergemuruh setelah lagu <span style="font-style: italic;">When the Smoke is Going Down</span> usai. Disusul permintaan untuk menyanyikan lagu kembali.<br />Dewa berusaha memandang ke arah Lorna. Yang diikuti semua pandangan mata ke arahnya. Seakan meminta ijin. Apakah Lorna keberatan?<br />Sadar bahwa dirinya jadi perhatian. Lorna tersipu, segera mengangguk. Para pengunjung Bar kini seakan tahu bahwa gadis itu adalah kekasihnya.<br />"<span style="font-style: italic;">Thank you</span>!" suara Dewa di panggung, <span style="font-style: italic;">Always Somewhere</span>. Ruang dan waktu tak bisa membatasi di saat kerinduan membuat cinta menjadi alasan untuk tetap bertahan dalam penantian walau kita tak tahu seberapa lama masa penantian, tapi cinta memaksa untuk tetap melakukannya, sebab cinta membuat kita memiliki semangat untuk hidup, semangat untuk menunggu cinta yang pergi dan kembali untuk kita miliki...." Dewa mulai memetik gitarnya.<br />Tepuk tagan meriah sekali.<br />"Ih. Dewa!" seru Grace bereaksi akan ucapan Dewa.<br />Rahma geleng-geleng.<br />"Ucapannya itu, Grace!"<br />"Iya, seperti bukan Dewa yang biasa kita kenal."<br />Imelda memandang Lorna tanpa berkedip. Terkesima memandang bosnya yang cantik itu, merasa turut senang bahwa bosnya memiliki seorang kekasih yang tak hanya ganteng namun elegan sikapnya.<br />Masih dari lagu <span style="font-style: italic;">the Scorpions</span>. Berjudul <span style="font-style: italic;">Always Somewhere</span>. Penampilan Dewa benar-benar menyita perhatian seisi Bar. Bar pun kemudian menjadi padat. Sosok Dewa benar-benar menghibur. Dari balik kaca mata acromatisnya. Sesekali Lorna menyeka bawah matanya dengan tisu. Bukan lantaran sedih dia menangis, namun haru biru oleh luapan perasaan bahagia.<br />Saat Dewa bernyanyi. Semua pengunjung diam terkesima. Terhanyut oleh irama lagu yang dilantunkan Dewa.<br />Gemuruh tepuk tanganpun kembali pecah ketika lagu usai dinyanyikan. Daulat pengunjung agar Dewa kembali membawakan lagu membuat Lorna merasa tak nyaman. Sebab semua mata pengunjung mengarah kepadanya.<br />Pembawa acara segera menengahi.<br />"Ya ya, saat ini kita benar-benar disuguhi penampilan dari Mas Dewa. Dan mohon maaf, kalau Mas Dewa sebenarnya bukanlah kru dari Bar kami. Melainkan pengunjung dari Bar. Tapi apa yang disuguhkan Mas Dewa, benar-benar membuat kita semua terkesima. Suara bagus. Orangnya ganteng. Permainkan gitar yang luar biasa. Dan tanpa mengurangi rasa hormat kami. Bila tak keberatan. Karena melihat yang hadir mengharapkan Mas Dewa untuk menyumbangkan lagu kembali, kami memohon kesediaan Mas Dewa bila tak keberatan. Bagaimana Mas?"<br />Dewa tersenyum.<br />"Bolehlah, tetapi sesungguhnya malam ini saya tidak ingin menikmati kehangatan suasana ini seorang diri. Saya ingin menikmati kehangatan ini dengan seorang gadis yang belum lama hadir kembali setelah bertahun-tahun tak berjumpa. Saya pastikan gadis itu memiliki suara khas dan merdu."<br />"Boleh boleh, siapa, Mas?"<br />Dewa melambaikan tangan ke arah Lorna yang tengah terkesima dengan ucapan Dewa. Dewa memanggilnya.<br />Lorna menunjuk dirinya.<br />"<span style="font-style: italic;">Me</span>?"<br />"Ya, naiklah! Dewa memanggilmu!" kata Rahma.<br />"Oh!"<br />Lorna pun terpaksa menghampiri Dewa.<br />Dan Bar pun lantas riuh. Sejak tadi mereka melihat Dewa yang tak hanya piawai dalam bernyanyi dan bermain musik, tetapi juga ganteng. Kini di dampingi seorang gadis yang bermata biru, yang pengunjung menyangka bahwa gadis itu bule. Yang anggun. Cantik. Yang di panggung mereka berdua nampak serasi. Apalagi saat Dewa tak segan-segan memperkenalkan dan menyebutnya sebagai <span style="font-style: italic;">soulmate</span>-nya.<br />Lorna tersipu.<br />Dewa lantas meminjam saxophone. Dan mulai meniupkannya, diringi band yang sejak tadi mendampingi. Dan kali ini pengunjung benar-benar terkagum. Dewa bisa memainkan berbagai instrument musik. Tak hanya pengunjung bar. Lorna sendiri sesungguhnya terpana. Saat Dewa mulai melantunkan intro dari sebuah lagu <span style="font-style: italic;">Power of Love</span><br />Dewa mengedipkan sebelah mata kepadanya. Dan Lorna segera menangkap bahwa Lorna harus melantunkan lagu itu. Lagu itu sangat dikuasainya. Selama ini dia sering melantunkan lagu itu.<br />Maka saat lagu itu dinyanyikan. Yang terkejut tak hanya Rahma dan Grace, tapi juga Imelda dan rekan-rekan tim-nya. Betapa tidak. Suara Lorna ternyata merdu sekali. Benar seperti yang diyakinkan Dewa belum lama. Suara dan penghayatan Lorna tak kalah profesionalnya dengan Dewa. Suara Lorna seperti suara Ceiline Dilon.<br />Sepasang merpati itu kini tengah berduet di atas panggung. Lorna bernyanyi dengan suara merdu melengking. Sementara Dewa berimprovisasi dengan saxophonenya.<br />Sesunggunya pada saat Lorna bernyanyi. Kosentrasinya sesungguhnya dia bernyanyi untuk Dewa. Lelaki yang kini hadir kembali dalam hidupnya. Yang membawanya kembali dalam keceriaan dan kebahagiaan. Yang memberinya perhatian, cinta dan kasih sayang. Kekuatan cinta mereka berdua selama ini membuat keduanya bertahan, walau sesungguhnya sebelumnya hidup yang mereka jalani penuh kebimbangan dan keraguan.<br />Hingga tanpa terasa <span style="font-style: italic;">Power of Love</span> usai dilantunkan. Gemuruh tepuk tangan kian gegap gempita. Erwin nampak sibuk mengambil gambar keduanya. Seakan tak menyia-nyiakan momen itu.<br />Lorna memandang lunak kepada Dewa. Wajahnya berseri, walau bola matanya berkaca. Apalagi saat mulut Dewa mengucapkan kata "<span style="font-style: italic;">I love you</span>" tanpa suara.<br />Lorna mengangguk lemah. Hatinya berbunga-bunga.<br />Rahma dan Grace nampak histeris saat melihat Lorna bernyanyi.<br />"Gila, Lorna. Gila! Suaranya itu, Rah. Indah bener!"<br />"Iya, Grace. Aku baru tahu. Herannya kok Dewa tahu benar kalau suara Lorna merdu dan bisa bernyanyi seindah itu."<br />Bola mata Rahma dan Grace berkaca-kaca lantaran bahagia.<br />Dewa meletakkan saxophone, kembali menggunakan gitar. Dan kali ini intro yang dipetiknya menggiring Lorna untuk melantunkan lagu <span style="font-style: italic;">Without You</span><br />Pengunjung sesaat bertepuk tangan. Dan Lorna pun lantas melantunkan lagu <span style="font-style: italic;">Without You</span>. Dia membawakan penuh perasaan sebagaimana membawakan lagu sebelumnya. Dia benar-benar menghayatinya. Dewa yang membuatnya benar-benar larut dalam penghayatan.<br />Sepasang merpati itu seakan tak peduli terhadap sedemikian banyak pasangan mata menyaksikan keharmonisan mereka berdua. Wajah Dewa berseri-seri. Suara Lorna membuatnya merasa bangga akan talenta yang dimiliki Lorna. Gadis ini sejak dulu selalu rendah hati, tak pernah menunjukkan kelebihan yang dimiliki.<br />Pengunjung bar semua larut. Lagu-lagu yang dibawakan baik oleh Dewa dan Lorna seakan menyentuh dalam kehidupan mereka. Sehingga tak satupun yang ada dalam bar untuk tidak ikut menyimak dan menikmati pertunjukkan keduanya.<br />Lorna menyudahi lagunya diiringi tepuk tangan dan suitan yang riuh.<br />"Duet!"<br />Pengunjung bar seakan tak terpuaskan dengan apa yang sudah diberikan oleh Dewa dan Lorna. Sebab lagu-lagu yang keduanya bawakan sejak tadi dibawakan secara solo.<br />"Baiklah, terakhir ya!" kata Dewa menghibur.<br />Maka Dewa mengisyaratkan dengan sedikit intro lagu dengan tiupan saxophone. Lorna menangkap bahwa itu lagu <span style="font-style: italic;">Killing me sofly</span><br />Lorna tersenyum mengangguk. Lalu mulai melantunkan lagu tersebut. Yang membuat lagu itu bercampur dengan irama bosanofa membuat suasana keduanya nampak ceria. Dewa melengkapinya dengan suara dua. Suara Lorna yang jernih dan irama bosanofa membuat pengunjung turut bergoyang. Apalagi Lorna dan Dewa lalu membawakannya sambil memberi gerakan irama dansa.<br />Lorna benar-benar menikmatinya. Sampai lagu yang dibawakannya berakhir. Bola mata Lorna benar-benar basah. Tanpa mempedulikan pasangan mata mengarah bagaimana Dewa memperlakukannya dengan lembut. Merengkuhnya dalam pelukan.<br />Rahma dan Grace nampak berlinang air mata melihat Dewa dan Lorna nampak mesra. Kedua gadis ini paling tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi antara Dewa dan Lorna.<br />Dan pengunjung pun diberi suguhan yang tak pernah disaksikan sebelumnya. Tepuk tangan tak berkesudahan. Walau Lorna sudah dibimbing Dewa menuruni panggung dan menuju kursinya.<br />"Hebat, Mas Dewa!" kata Imelda memuji.<br />"Hebat apanya?" tanya Dewa kembali.<br />"Suaranya!"<br />"Ah.."<br />Erwin masih sibuk menyorotkan kameranya.<br />Rahma dan Grace tersenyum dan tak berhenti memandangi Dewa. Walau keduanya sudah bertahun-tahun mengenal Dewa. Semakin mengenal semakin sulit melepaskan perhatiannya karena Dewa seperti menyimpan magnit.<br />Dewa membalas tatapan Lorna yang memandanginya sejak kembali duduk.<br />"Terimakasih, De!" kata Lorna.<br />"Terimakasih untuk apa?"<br />"Bernyanyi untuk teman-teman."<br />Dewa tersenyum.<br />"Suaramu indah!" Dewa memuji.<br />"Benar, De!" Rahma menambahi untuk meyakinkan.<br />"Kalian keren banget!" Grace tak kalah memuji.<br />"Bagaimana? Masih mau di sini atau kita kembali?" tanya Dewa lunak.<br />Ucapan Dewa seperti itu yang membuat Lorna merasa nyaman berada dekatnya. Makna yang mengesankan selalu memperhatikan.<br />"Dewa bagaimana?" Lorna balik bertanya.<br />"Terserah Lorna. Kamu perlu istirahat. Kita sudah seharian melakukan kegiatan ini. Tentu melelahkan."<br />Lorna tersenyum kepada Dewa.<br />"Kalau itu menurut Dewa. Baiklah kita kembali ke penginapan."<br />Maka tak berapa lama kemudian mereka bangkit dan meninggalkan bar, walau untuk beberapa saat terhalang oleh permintaan pengunjung dan gadis bar agar bisa berfoto bersama Dewa dan Lorna.<br />Untuk tidak mengecewakan, maka Dewa dan Lorna meluangkan waktunya.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-13706078945727997362010-07-31T12:41:00.000-07:002011-12-09T13:39:09.846-08:00113. Hari Pertama Syuting.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-WRDlOsbs5jA/TeTV4LirK7I/AAAAAAAAAQ4/DjBP-EVok1o/s1600/BeachChairStation.art.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 480px; height: 147px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-WRDlOsbs5jA/TeTV4LirK7I/AAAAAAAAAQ4/DjBP-EVok1o/s400/BeachChairStation.art.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5612846196758096818" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">Pengambilan gambar sepertinya tidak mengalami kesulitan</span>. Peran Lorna dan Dewa sebagai pasangan yang sebenarnya, dan bukan sekedar dipasangkan, memudahkan sutradara dalam mengarahkan adegan. Apalagi Dewa yang terbiasa di seni pertunjukan wayang orang, mampu berekspresi meyakinkan dalam setiap <span style="font-style: italic;">scene </span>yang diambil. Pengambilan gambar berjalan lancar. Lorna belum mengetahui bahwa Dewa pandai menari dan kerap memerankan cerita pewayangan. Lokasi syuting berkutat di sekitar resort.<br />Siang itu pengambilan gambar lebih difokuskan untuk <span style="font-style: italic;">outdoor</span>. Seperti adegan Dewa dan Lorna bercengkerama di tepi pantai. Kemudian pengambilan di kolam renang, taman, fasilitas olahraga, sarana wisata serta fasilitas-fasilitas lain.<br />Setelah itu mereka beristirahat. Sinar mentari terasa menyengat kulit. Lorna telah membalur kulitnya dengan <span style="font-style: italic;">lotion </span>pelindung tabir surya. Kepalanya terlindung topi berbahan daun pandan. Bibir topi yang lebar menciptakan naungan dari cahaya mentari yang kini tengah berada di titik kulminasi.<br />Lorna sedang berjalan menyisir pantai bersama Grace dan Rahma yang menggunakan payung. Mereka berusaha mendekati Dewa yang sedang menceburkan diri di air laut. Lorna sudah berada di pinggir lidah air laut. Grace dan Rahma melambaikan tangan kepadanya.<br />Lorna berteriak.<br />"Dewa. Makan dulu!" Lorna berteriak memberitahu.<br />Dia membawakan handuk buat Dewa. Mengenakan kaca mata hitam berbingkai putih untuk menghalangi silaunya pantulan cahaya pasir.<br />"Dewa!" Lorna mengulangi panggilannya.<br />Setelah menyelam sebentar Dewa menepi, menghampiri Lorna yang berdiri bersama Grace dan Rahma.<br />Rahma memberikan botol mineral kepada Dewa.<br />"Terima kasih, Ra!"<br />Dewa meneguk air mineral. Dada Dewa yang kekar semakin basah saat air mineral sudah bereaksi dalam aliran darahnya. Ketiga gadis itu memperhatikannya dengan seksama sembari tersenyum-senyum sampai Dewa menghabiskan isi botol air mineral.<br />"Yuk, makan dulu!" ajak Lorna. Sambil menutupkan handuk ke punggung Dewa. Tetapi handuk itu diberikan kepada Rahma.<br />"Tolong pegang dulu..." katanya pada Rahma.<br />Tiba-tiba Dewa menyambar tubuh Lorna, menggendong dan membawanya berlari menuju ke tengah laut.<br />Lorna berteriak-teriak manja.<br />"Dewa basah!"<br />Dewa membawa Lorna menceburkan diri ke air laut.<br />Rahma dan Grace tertawa-tawa sambil memotret dan merekam gambar mereka.<br />Dengan manja Lorna menggendong di punggung Dewa dengan wajah menempel ke wajah Dewa. Kru film, dan mereka yang berada tak jauh, turut memperhatikan ulah keduanya.<br />Apa yang dilakukan Dewa dan Lorna, dari kejauhan Erwin bersama juru kamera mengambil gambar mereka. Dewa dan Lorna tak menyadari kegiatan mereka sedang diambil gambarnya.<br />Dewa dan Lorna bercanda saling memercikan air. Lalu berpelukan. Memadukan wajah serta saling memberikan kecupan bibir.<br />"Aku mencintaimu, De!"<br />Dewa memperhatikan bola mata Lorna yang biru dan indah.<br />"Akankah anak kita nanti matanya sebiru matamu?"<br />"Kenapa?" tanya Lorna.<br />"Matamu indah sekali."<br />Dewa lalu mencium kedua mata Lorna.<br />"Terima kasih, De. <span style="font-style: italic;">Mommy </span>sangat menginginkan cucu."<br />"Nanti kita berikan!"<br />"Apakah setelah resepsi pernikahan, kamu akan segera memberiku anak?" tanya Lorna lembut.<br />"Bukan aku. Kamu yang akan memberiku anak."<br />Lorna tertawa manja.<br />"Aku tak bisa beranak!"<br />"Nakal!"<br />Lorna mencubit pipi Dewa.<br />Dewa lalu mencium bibir Lorna, bibir itu terasa lunak. Lembut sekali. Lorna mengatupkan kelopak matanya. Ombak yang datang tiba-tiba, menenggelamkan kedua wajah mereka. Untuk beberapa saat wajah mereka berada di dalam air. Berpagutan dalam air laut.<br />Saat tersembul ke permukaan, Dewa melepaskan bibirnya dari bibir Lorna yang enggan dilepaskan. Walau nafasnya nampak tersengal.<br />"Apakah Lorna sudah siap mengandung?"<br />"Untukmu Lorna selalu siap, De." jawab Lorna seraya mengatur nafasnya.<br />"Benar?"<br />"Lorna sangat ingin punya anak darimu. Biar ada buah dari cinta kita."<br />"Ya, biar ada buah cinta kita."<br />Lorna lantas memeluknya erat. Dewa membalas dengan hangat. Ombak mengombang-ambingkan tubuh keduanya.<br />"Mereka sedang memperhatikan kita," kata Lorna.<br />"Siapa?"<br />"Grace dan Rahma!"<br />"Mengambil gambar kita lagi."<br />"Biarlah, mereka saksi perjalanan cinta kita."<br />Lorna tersenyum.<br />"Benar. Yuk, kita ke naik? Kita belum makan."<br />Keduanya lalu keluar dari air. Mendekati Grace dan Rahma.<br />"Badan kalian nanti hangus..." kata Grace.<br />Dewa tertawa.<br />"Sudah dibalur <span style="font-style: italic;">lotion </span>pelindung tadi," jawab Dewa.<br />"Kita istirahat dulu, setelah ini beralih ke pengambilan <span style="font-style: italic;">indoor</span>," Lorna menerangkan.<br />"Di mana kita bisa istirahat?"<br />"Ada paviliun yang sudah dipersiapkan buat kita sejak awal. Kita saja yang tak memanfaatkan."<br />"Lorna ingin menginap di sini?" tanya Dewa.<br />"Terserah Dewa, kalau mau," jawab Lorna pendek.<br />Titi membawakan handuk untuk Lorna ketika mereka sampai di paviliun. Dan Dewa segera membilas tubuhnya dengan air bersih bersama Lorna. Namun Lorna keluar dari kamar mandi terlebih dulu, untuk mengeringkan rambutnya dengan <span style="font-style: italic;">hairdryer</span>.<br />Setelah itu berbaring istirahat di tengah tempat tidur menerima telepon dari Erwin.<br />"Baru saja kuambil gambar Mbak Lorna dengan Mas Dewa. Ada bagian yang bisa kita gunakan."<br />"Hai, itu privasiku, Er!"<br />"Kami tahu, Mbak. Kita akan edit terlebih dulu. Mbak bisa melihat saat editing."<br />"Hati-hati, Er!"<br />"Kami tahu! Kalau bisa kita ambil dulu <span style="font-style: italic;">outdoor</span> saat senja. Panorama pantainya bagus. Saat matahari akan tenggelam. Kita inginkan Mbak dan Mas Dewa sudah siap di lokasi. Mbak kan ingin bisa cepat selesai."<br />"Oke, Er. Atur saja! Kalau aku ketiduran tolong diberitahukan ke Imelda."<br />"Baik!"<br />Dewa keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang panjang masih belum kering benar setelah keramas.<br />"Erwin bilang sebelum senja kita siap pengambilan gambar di pantai, berpakaian santai."<br />"Adegannya?"<br />"Melangkah sepanjang pantai, menikmati penorama senja, dan kau memelukku."<br />"Nanti kucium sekalian."<br />"Boleh..."<br />"Biar mereka tahu adeganku tak main-main."<br />Lorna tertawa kecil memandang Dewa yang tersenyum seraya mengedipkan matanya.<br />"Bagaimana kalau sekarang, tidak usah menunggu nanti?" tanya Lorna menggoda.<br />"Nafasmu akan habis."<br />"Biar. Bunuhlah aku dengan ciuman dan cintamu."<br />"Benar?"<br />Lorna mengedipkan mata. Dan Dewa mendekat. Telunjuknya diletakkan ke ujung hidung Lorna yang bangir.<br />"Bukankah kita harus makan dulu?"<br />Lorna lantas bangun melingkarkan tangannya ke leher Dewa. Wajahnya diadukan ke wajah Dewa.<br />"Terima kasih. Lorna senang bisa bersamamu seperti ini. Baiklah kita makan dulu setelah itu kita beristirahat."<br />"Aku suka aroma nafasmu..."<br />"Kenapa?"<br />"Harum!"<br />Lorna menggigit ujung hidung Dewa. Lalu membuka mulutnya dan meniupkan nafas ke lubang hidung Dewa. Dewa memejamkan mata seraya menghisap aroma itu.<br />Lorna tertawa manja.<br />"I like it!" desah Dewa dengan tangan terentang ke atas.<br />Lantas Lorna pun tak sanggup untuk tidak bereaksi atas sikap Dewa yang membuatnya gemas. Maka dia pagut bibir Dewa dengan liar.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-42853257661684653322010-07-31T12:38:00.000-07:002011-12-09T13:23:57.496-08:00112. Shopping.<span style="font-weight: bold;">Imelda mengabari Lorna dan menunggu</span> di tempat mereka akan membeli <span style="font-style: italic;">custom </span>untuk keperluan syuting Dewa. Setengah jam kemudian. Grace, Rahma, Titi, Komang, serta Lorna dan Dewa sudah sampai di tempat yang dimaksudkan Imelda.<br />Dewa dan Lorna sibuk mencocokkan ukuran pakaian oleh bagian penata rias. Custom untuk Dewa sudah disiapkan terlebih dulu saat mereka di perjalanan. Saat Dewa datang hanya tinggal mencocokkan ukuran. Mereka sudah terbiasa sehingga tak membutuhkan waktu lama. Setelah itu mereka melanjutkan ke lokasi syuting.<br />Lorna mengajak Grace dan Rahma ke mesin anjungan uang tunai. Ketiganya masuk ruang ATM yang tak jauh dari tempat Dewa mengukur pakaian.<br />"Batasan kartuku sehari hanya lima puluh. Tolong nomer rekeningmu. Kemarin kan aku sudah bilang kamu untuk mengirim nomer rekeningmu dengan sms, supaya bisa kulakukan transfer lewat hape, " kata Lorna kepada Rahma.<br />"Sori, lupa!"<br />Grace membawakan tas besar Lorna sementara Lorna sedang melakukan transfer uang ke rekening Rahma.<br />"Kutransfer lima puluh dulu ya buat reuni."<br />"Itu sudah banyak, Na!"<br />"Kalau kelebihan kita kembalikan," sela Grace menambahkan.<br />"Hus. Sudahlah jangan diributkan!" Lorna juga tak mau kalah.<br />Rahma memasukan nomer rekeningnya setelah Lorna mengisi angka nominal lima puluh juta. Waktu yang dibutuhkan hanya sebentar. Lalu dengan kartu yang lain Lorna menarik tunai.<br />"Kalian pegang uang ini ya? Nanti buat keperluan kalian di sini," kata Lorna.<br />Rahma mau mengatakan sesuatu, namun segera dicegah Lorna.<br />"Jangan komentar. Ambil saja!"<br />"Tapi, untuk reuni besar sekali."<br />"Aku bilang jangan komen."<br />Uang tunai yang keluar sebesar lima juta segera diambil Rahma yang kemudian diteruskan ke Grace.<br />"Masukkan ke dompetmu. Aku nggak bawa dompet," kata Rahma.<br />Setelah itu ketiganya keluar dari gerai ATM. Mereka melihat Dewa sedang membeli beberapa jenis kaos di tempat penjualan pakaian souvenir ditemani Komang. Dewa tak mengatakan apa pun kepada Lorna tentang kaos yang dibelinya.<br />"Sudah?" tanya Dewa kepada Lorna.<br />"Imel sudah berangkat?" tanya Lorna.<br />"Sudah!"<br />Rombongan Imelda sudah berangkat lebih dahulu, saat Lorna pergi ke gerai ATM. Sesaat rombongan Lorna lalu mulai berangkat menyusul. Dewa duduk di depan. Lorna bertiga di tengah. Titi berada di belakang.<br />"Sampai jam berapa syutingnya?" tanya Grace.<br />"Lorna inginnya cepat selesai. Kita usahakan pengambilan gambar bisa lebih cepat selesai," kata Lorna kepada Dewa.<br />"Kurasa begitu. Tak ada yang sulit."<br />"Baguslah kalau Dewa bisa mengukurnya," kata Lorna seraya memberikan naskah kepada Dewa.<br />"Ini kalau Dewa mau baca lagi."<br />"<span style="font-style: italic;">Thanks</span>!" jawab Dewa.<br />Dewa membaca kembali naskah selama dalam perjalanan. Sementara Lorna sibuk berkomunikasi dengan Imelda dan Erwin, sutradaranya.<br />"Aku nonton saja, ya?" tanya Grace.<br />"Diamlah, Grace!" potong Rahma, "Mereka lagi sibuk baca skenario!"<br />Grace tersenyum lalu diam.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-51109929583281193752010-07-30T16:19:00.000-07:002011-12-09T13:11:43.181-08:00111. Pagi Nan Indah.<span style="font-weight: bold;">Pagi yang gelap Dewa telah bangun.</span> Namun Lorna masih terlelap hingga cahaya mentari menerobos ke dalam kamar melalui jendela, menghantarkan bayang-bayang ranting pepohonan.<br />Titi telah membuatkan minuman yang diletakkan di ruang tengah. Lalu Dewa membawanya masuk ke dalam kamar. Minuman beserta beberapa potong kue brownies dan resoles.<br />Saat masuk ke dalam kamar Lorna telah membuka mata.<br />"Selamat pagi, De!"<br />"Selamat pagi, Na!"<br />"Kenapa Lorna nggak dibangunkan?"<br />Dewa meletakkan minuman ke atas meja nakas. Mendekati Lorna dan mengecup bibirnya sejenak. Tapi Lorna membalas hangat. Memancing Dewa untuk melumat bibir itu lebih jauh. Hingga untuk sesaat Dewa bergairah mencumbunya. Meski gadis itu belum mandi, aroma tubuh dan nafas mulutnya terasa segar seperti aroma mulut bayi.<br />Sinar mentari merayap menjilati kulit punggung Lorna yang terkulai lemas di atas dada Dewa. Wajahnya merona merah dengan mata terpejam. Bibirnya basah. Daster dan penutup tubuhnya yang lain terserak di atas tempat tidur. Demikian halnya keadaan Dewa. Polos.<br />Nafas Lorna masih tak beraturan. Gemuruh dalam dadanya segemuruh irama degub jantung dalam dada Dewa. Lorna mendengarnya dengan jelas karena telinganya menembel erat di dada itu.<br />Suasana hening. Sesekali di luar jendela hanya ada suara daun kering yang jatuh di atas jogan.<br />Jemari Dewa membelai wajah dan rambut Lorna penuh kelembutan. Lorna merasa senang dengan belaian itu. Sesenang perasaannya saat tadi Dewa mencumbui tubuhnya dengan sepuasnya. Dan yang dilakukannya hanyalah merintih dalam kepasrahan, berdesah serta memekik. Mengharapkan Dewa melakukan lebih dari cumbuan seperti biasanya. Namun Dewa tetap menjaga keperawanannya.<br />Telapak tangan Dewa mengelusi punggung Lorna yang lembut dan halus. Dada Lorna yang padat merekat erat ke dada Dewa. Dan Dewa merasakan kehangatan dan kelembutannya.<br />"Maafkanlah aku, Na." bisik Dewa lunak.<br />"Kenapa meminta maaf, Dewa?" tanya Lorna dengan suara yang lembut pula.<br />"Aku harus menjaga kegadisanmu."<br />Lorna tersenyum simpul.<br />"Itu milikmu!"<br />Dewa rambutnya.<br />Lorna tersenyum, membiarkan tubuhya yang masih polos direngkuhnya erat kembali dengan lembut. Matanya memandang tajam mata Dewa. Lalu bertanya ragu.<br />"Dewa sudah mencumbu Lorna dengan baik. Lorna senang. Tak ada masalah dengan diri Lorna. Lakukanlah untuk memuaskan keinginan Dewa. Tapi Lorna hanya bertanya, kalau tak Dewa tuntaskan bukankah itu yang akan menyiksa Dewa?"<br />Dewa mengelus pipi Lorna dengan lembut. Lalu membisikkan sesuatu dan menjelaskan ke telinga Lorna. Untuk sesaat bola mata Lorna terbeliak. Berbinar-binar. Apa yang dijelaskan dengan bisikkan Dewa membuatnya kemudian mengerti, walau masih berusaha untuk memahaminya.<br />Sesaat kemudian Dewa menggendong tubuh Lorna masuk ke dalam kamar mandi. Untuk beberapa lama keduanya berada di dalam. Pintu kamar mandi tak tertutup rapat. Namun tak ada suara gemercik air dari dalam. Yang terdengar kemudian hanyalah lenguhan dan desah nafas keduanya. Hingga menyusul suara lenguhan panjang Dewa.<br />Sementara seekor merbah tengah memuntahkan ulat-ulat putih dari mulutnya untuk dimasukkan ke mulut bayinya yang masih merah dengan mata tertutup. Ada dua ekor bayinya yang harus selalu diberinya makan setiap pagi. Pada pagi hari itu kedua bayinya sudah merasa kenyang dan tertidur kembali sambil menunggu induknya yang pergi entah kemana.<br />Sesaat kemudian baru terdengar percikkan air mengalir ke dalam bathtup.<br />"Mual?" tanya Dewa perlahan.<br />Untuk sesaat hening.<br />"Muntahkan, bila mual."<br />Kembali hening.<br />"Maafkanlah aku, Na."<br />Lorna menggeleng. Lorna tak melakukan apa yang dikatakan Dewa. Dia punya pandangan sendiri terhadap apa yang baru saja terjadi. Kemudian Lorna bertanya lunak setelah dirinya sudah menguasai keadaan.<br />"Dewa puas?"<br />Dewa mengangguk lembut, membelai wajahnya.<br />"Terima kasih, Na." jawabnya lembut.<br />"Ini perjakamu, Dewa?" tanya Lorna seraya memandang penuh makna dengan tajam ke bola mata Dewa yang teduh dan sayu.<br />Dewa mengangguk. Lalu memeluk tubuh Lorna yang hangat dan lembut. Merengkuhnya ke dalam pelukannya. Tubuh keduanya lalu tenggelam dalam rendaman air hangat bathup. Wajah Lorna bersandar di dada Dewa. Merona merah seakan memancarkan kebahagiaan bukan kepalang. Telah membawa Dewa memenuhi kepuasannya, lebih meyakinkan bahwa dirinya seakan telah menerima arti keperjakaan yang diberikan Dewa. Sesuatu yang sesungguhnya asing dan baru pertama kali terjadi sepanjang hidupnya. Sesuatu yang semakin membuatnya mengetahui kualitas bercinta. Tidak seperti yang dilakukan sebelumnya.<br />"Aku mencintaimu, Na," bisik Dewa lembut.<br />Lorna membalas mengecup sudut bibir Dewa. Tersenyum.<br />"Terima kasih." ucap Lorna lembut. Matanya berlinang. Bahagia.<br />"Kamu cantik sekali."<br />Lorna mempererat pelukkannya.<br />"Seperti ini saja Lorna sudah merasa bahagia, apalagi bila Dewa mengambil keperawanan Lorna."<br />Dewa lantas melumat bibir Lorna dengan penuh kelembutan.<br />"Nanti kita lakukan dengan baik..." bisik Dewa dengan suara berdesah di telinganya.<br />Lorna tersenyum dengan memejamkan mata dengan tangan mengelus pipi Dewa perlahan.<br />Beberapa saat kemudian Dewa sudah duduk dekat jendela sambil menikmati cappuccino hangat bersama brownies dan resoles. Minuman itu dinikmati bersama Lorna sambil duduk bersandar menemaninya.<br />"Kalau saja Lorna bangun lebih pagi. Inginnya jalan-jalan ke pantai mengajak Grace dan Rahma. Apakah mereka sudah bangun?"<br />"Mungkin saja. Lorna ingin menemui mereka?"<br />Lorna menggeleng.<br />"Lorna masih ingin menikmati kebersamaan bersamamu."<br />Dewa tersenyum. Memeluknya lembut.<br />"Hidupku terasa lengkap setiap kali melihatmu di pagi hari saat terbangun."<br />Lorna menatap Dewa.<br />"Kenapa, De?"<br />"Karena keanggunan dan kecantikanmu."<br />"Benarkah?"<br />Dewa mengangguk.<br />"Kamu cantik sekali. Sejak dulu kamu cantik."<br />"Bukan. Bukan itu! Yang Lorna maksud, Dewa melihat Lorna setiap bangun tidur membuat hidup Dewa terasa lengkap."<br />"Ya, kecantikkanmu. Mengukur kecantikan seorang wanita adalah di saat bangun tidur."<br />"Memang kenapa, sayang?" tanya Lorna yang wajahnya berada di leher Dewa.<br />"Kalau pada dasarnya wanita itu wajahnya cantik, saat bangun tidur tetaplah terlihat cantik."<br />"Saat bangun tidur Lorna bagaimana?"<br />"Kan berkali-kali kubilang. Cantik!"<br />"Benarkah?"<br />"Kamu cantik!"<br />"Benarkah?"<br />Dewa lalu mengecup sudut bibirnya. Tangan Lorna membelai wajah Dewa.<br />"Dalam kebiasaan masyarakat Jawa. Dalam menutupi kekurangannya, wanita biasanya harus bangun terlebih dulu dari suaminya, agar dia punya kesempatan berdandan, begitu suaminya bangun, isterinya sudah terlihat cantik dan rapi, meski ada kewajiban lain yag harus dilakukan sebelum suaminya bangun."<br />Lorna tertawa renyah.<br />"Dewa bisa melucu. Kalau suaminya bangun terlebih dulu?"<br />"Maka akan lebih sering dan membiasakan melihat wajah asli isterinya."<br />"Kalau ketahuan rupa aslinya?"<br />"Suami yang begajul, cenderung mencari kecantikkan yang ada pada wanita lain."<br />"Iih. Apa itu begajul"<br />"Berlagak seperti bajul"<br />"Apa itu bajul?"<br />"Buaya!"<br />Lorna tertawa renyah.<br />"Tapi aku bukan laki-laki begajul," kata Dewa merajuk dengan menggigit manja leher Lorna yang jenjang dan putih. Kulitnya terasa lembut dan wangi.<br />Lorna tertawa kegelian namun bergairah. Membiarkan bibir Dewa menggigit manja lehernya yang jenjang.<br />"Ya sudah. Lorna tahu. Lorna percaya. Dewa bukan lelaki bajul."<br />"Kamu tetap cantik dalam situasi apa pun."<br />"Ah, itu hanya membesarkan hati Lorna."<br />"Ya sudah, kamu nggak mau disanjung."<br />"Lorna nggak mau disanjung."<br />"Maunya apa?"<br />"Dicintai!"<br />"Sudah kuberikan, terus apa lagi?"<br />"Ya sudah, itu saja cukup."<br />Dewa kemudian memeluknya erat.<br />"Aku mencintaimu, Na."<br />Lorna mempererat pelukan tangannya ke leher Dewa.<br />"Lorna juga sangat mencintaimu, De."<br />"Kamu masih manja seperti dulu."<br />"Hanya padamu."<br />"Mereka pikir dulu aku memperlakukanmu sebagai adikku."<br />"Nyatanya?"<br />"Kamu memperlakukanku sebagai pacar dan celakanya aku tak tahu."<br />Lorna tertawa seraya memandangi wajah Dewa. Membelainya. Mempermainkan hidung Dewa yang bangir. Mempermainkan alis mata Dewa yang hitam dan lebat.<br />Pagi itu di bawah jendela, Lorna menikmati pelukan Dewa. Dan suasana pagi berudara segar terganggu oleh bunyi telepon masuk di ponsel Lorna.<br />Namun Lorna membiarkan saja.<br />"Lorna mau keluar kamar dulu menemui mereka?" tanya Lorna manja seraya menatap Dewa dengan pandangan lembut.<br />"Temuilah!"<br />Maka Lorna keluar kamar untuk menemui Rahma dan Grace.<br />Saat-saat seperti itu dimanfaatkan Dewa untuk menelepon Dama. Lalu Dewa keluar kamar menuju teras. Berdiri bersandar pada pagar tembok sebatas dada.<br />"Bagaimana Wulan?"<br />"Dia baik-baik, Mas. Kapan Mas Dewa pulang?"<br />"Paling cepat empat hari lagi. Kamu baik-baik?"<br />"Ya, Mas. Semua baik."<br />"Semua urusan beres?"<br />"Ya, Mas!"<br />"Kalian nyaman di Griyo Tawang?"<br />"Ya, Mas!"<br />"Kamu perlu apa selagi aku di Bali?"<br />"Kaos kalau Mas tak keberatan. Kan di sana musim kaos joger. Buat Dama kuliah."<br />"Ukuranmu apa?"<br />"M Mas."<br />"Kamu suka warna apa?"<br />"Mas Dewa yang pilihkan."<br />"Oke, begitu dulu ya? Hati-hati di rumah?"<br />"Baik, Mas!"<br />"Ukuran Rini?"<br />"Sama dengan Dama."<br />Dewa lalu menutup teleponnya. Berdiri menatap lepas ke kejauhan. Hari ini udara masih seperti kemarin, langit akan cerah lagi.<br />Tak lama kemudian keluar menyusul Lorna. Tetapi hanya terlihat Rahma dan Grace. Masing-masing memegang cangkir dan kue brownies."<br />"Pagi, De!" sapa Grace.<br />"Pagi, semua!" jawab Dewa juga kepada Rahma.<br />"Minumanmu, De?"<br />"Sudah kubawa ke dalam."<br />"Kamu kalau bangun pagi sekali." kata Rahma.<br />"Kebiasaan saja..."<br />"Mana Lorna?" tanya Grace.<br />"Lho bukannya menemui kalian."<br />"Dia baru bangun?" tanya Rahma.<br />"Ya..."<br />Ketiganya memandang ke kejauhan dari teras lantai dua.<br />"Suara apakah itu, De?" tanya Grace.<br />"Pantai..."<br />"Pantai?" tanya Rahma.<br />"Lorna bermaksud bangun pagi mengajak kalian jalan-jalan kesana. Tapi aku tak membangunkannya. Sebab dia tak cukup waktu buat istirahat. Masih ada lain kali."<br />"Jauhkah pantainya?" tanya Grace.<br />"Dekat, cukup jalan kaki."<br />"Nanti sore atau besok pagi kalau mau."<br />"Ya, mau dong Dewa." jawab Rahma.<br />Tiba-tiba Lorna muncul.<br />"Kalian mengumpul di sini!"<br />Grace dan Rahma memandang Lorna seksama. Lorna tahu arti pandangan itu.<br />"<span style="font-style: italic;">What</span>? Kalian masih berpikir mandi basah?" tanya Lorna seraya melirik kepada Dewa.<br />Grace dan Rahma tertawa.<br />"Kamu <span style="font-style: italic;">ge er</span>!" ujar Grace.<br />"Habisnya setiap kali keramas selalu kalian curigai."<br />"Siapa yang curiga?"<br />Lorna lantas berbisik ke telinga Grace dan Rahma.<br />"Kalau pun kami bercinta. Lorna masih virgin."<br />Grace dan Rahma menahan tawa.<br />Dewa mengangkat alis dan tersenyum. Merentangkan tangan yang mengisyaratkan terserah apa yang sedang mereka bertiga bisikan.<br />Grace dan Rahma mengangkat jempol ke arah Dewa.<br />Sekali lagi Dewa mengangkat alis. Tak mengerti.<br />"Aku baca sms-mu, Grace. Mau pakai laptopku. Yuk, ke kamar kuantar!" ajak Lorna karena tadi Grace memberitahukan melalui sms.<br />"Kita ke dalam kamar, De." kata Lorna kepada Dewa dengan lembut.<br />"Yo'i!"<br />Dewa lalu pergi turun ke lantai bawah karena melihat Komang sudah datang. Sementara dalam kamar Grace dan Rahma mendesak Lorna meminta penjelasan tentang bisikannya. Ingin tahu rahasianya kenapa Lorna masih tetap virgin walau sudah beberapa kali bercinta dengan Dewa. Lorna pun tak segan-segan menceritakannya. Ketiganya memang sejak dulu tak ada rahasia di antara mereka. Karena ketiganya sejak dulu selalu saling mendukung.<br />Mendengar penjelasan Lorna, Grace dan Rahma menjadi gemas.<br />"Hebat! Hebat!" ujar Grace.<br />Maka mereka kemudian berbincang dan bercanda di atas pembaringan tempat Lorna dan Dewa gunakan tidur bila malam.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-4387190588781297082010-07-30T13:41:00.000-07:002011-12-09T12:47:12.197-08:00110. Dalam Kamar Grace dan Rahma.<span style="font-weight: bold;">Rahma dan Grace</span> yang tengah diperbincangkan Dewa dan Lorna sesungguhnya belum tidur. Kedua gadis itu juga sedang membicarakan hubungan Dewa dan Lorna. Keduanya selama ini selalu berada di antara hubungan Lorna dan Dewa. Tahu persis setiap kejadian perjalanan cinta Dewa dan Lorna. Grace dan Rahma menilai hubungan keduanya berjalan manis sekali. Keributan, perselisihan, kesalahpahaman, kekesalan adalah warna-warni yang semakin membuat hubungan keduanya terasa lengkap.<br />Namun keberadaan dan kehadiran Ronal yang kerap mengganggu hubungan Dewa dan Lorna, membuat Grace dan Rahma sering menjadi kesal dan gemas. Sialnya mereka selalu saja bertemu.<br />"Dari semua teman kita, yang berusaha merebut hati Lorna. Hanya Dewa yang pantas mendapatkan Lorna. Aku tak menyangka hubungan Dewa dan Lorna akan sejauh ini. Padahal kukira Dewa menganggap Lorna sebagai adiknya," kata Rahma.<br />"Ya, Sebelumnya aku juga tak menyangka kalau Lorna mencintai Dewa lebih dari yang kita ketahui. Benar kamu. Kupikir Lorna menganggap Dewa hanya sebagai kakak," kata Grace.<br />"Cinta memang selalu mencari jalan sendiri." kata Rahma seraya menatap langit-langit kamar.<br />Keduanya lalu terdiam. Merenung dengan pikiran masing-masing.<br />Suasana terasa sepi dan hening.<br />"Mereka saat ini sedang ngapain?" tanya Grace.<br />"Tidur!" jawab Rahma tegas.<br />"Kamu yakin mereka tidur?"<br />"Kulihat keduanya tadi sehabis mandi basah."<br />"Kalau mandi ya basah. Kamu kok lucu, Rah!"<br />"Bukan sembarang mandi."<br />"Maksudmu?"<br />"Kurasa mereka berdua habis melakukan itu."<br />"Hus!" sergah Grace seraya tertawa, "Jangan berasumsi begitu."<br />"Kubilang, kurasa."<br />"Kalau pun ya, biarlah, itu hak mereka, toh mereka telah mengikat diri. Sebaiknya kita pikirkan undangan pernikahannya yang dipercayakan pada kita. Jangan berpikiran apa yang sedang dilakukannya."<br />Rahma tertawa.<br />"Ya, tapi untuk itu kita masih harus bicara banyak dengan Lorna. Kaulah yang pikirkan dulu. Sementara aku kosentrasi di reuni. Setelah itu kita siapkan undangan resepsi pernikahannya."<br />"Hasil tayangan syuting mereka besok tentu akan semakin membuat heboh teman-teman. Sebab mereka berdua tampil bersama dalam satu iklan," kata Grace seraya menutup wajahnya dengan bantal.<br />"Kehebohan yang menjadi kebanggaan mereka, karena Lorna dan Dewa adalah teman mereka."<br />"Bukan itu maksudku. Bila Dewa tidak ikut dalam reuni mendatang, tentu anggapan bahwa Dewa sombong dan sulit ditemui akan membuktikan kebenaran anggapan mereka."<br />"Tapi Lorna kan sudah berjanji akan datang."<br />"Lebih baik mereka berdua datang. Kita berharap Lorna bisa membujuk Dewa."<br />"Bukankah tadi Lorna bilang mereka berdua sedang mempersiapkan kejutan. Katanya akan memberi suguhan sendratari Rama dan Sita?"<br />"Oh iya benar..." kata Grace seraya membuka bantal yang tadi menutupi wajahnya.<br />"Mereka diam-diam mempersiapkan kejutan. Tapi kuharap kejutannya lebih dari itu."<br />"Kamu bawa laptop?" tanya Grace seraya tengkurap memeluk bantalnya.<br />"Nggak. Pinjam saja punya Lorna kalau kamu perlu."<br />"Perluku sekarang."<br />"Memangnya penting banget. Besok pagi saja."<br />"Jam berapa besok kita pergi?"<br />"Kita mau antar Dewa dulu untuk beli pakaian kebutuhan syuting."<br />"Kita ikut ke lokasi syuting?"<br />"Tentu saja. Habis ngapain kita bengong disini. Lorna tentu tak akan biarkan kita disini."<br />Grace dan Rahma berbincang-bincang hingga mata keduanya terasa berat untuk dibuka, dan mulut mereka tak lagi bersuara.<br />Kamar kemudian sunyi. Di luar pun alam juga sunyi.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-45897898609514300982010-07-30T13:36:00.000-07:002011-06-26T00:47:30.194-07:00109. Kabar Buat Mami.<span style="font-weight: bold;">Dewa bersandar</span> di punggung tempat tidur. Lorna menyandarkan diri padanya sedang bertelepon dengan Mami.<br />"Hallo sweety!"<br />"Hai, Mommy! Lorna rindu!" suara Lorna manja.<br />"Apalagi Mami, sayang. Sedang berada di mana bidadariku?"<br />"Sudah di Bali, Mom. Shooting!"<br />"Bagaimana keadaanmu?"<br />"Baik, Mom. Cuma pingin tidur di pelukan Mommy."<br />"Terlebih Mami. Bagaimana kabar kekasihmu?"<br />Lorna menengadah. Berusaha menatap wajah Dewa yang memeluknya.<br />"Lorna memintanya menemani selama di Bali."<br />"Bagaimana hubungan kalian?"<br />"Baik Mom!"<br />"Mami mau bicara. Boleh?"<br />"Please, Mom. Dia kan menantu Mommy."<br />Dewa mengambil alih ponsel di tangan Lorna.<br />"Hallo, Mam!"<br />"Apa kabar, Dewa. Kalian baik-baik saja?"<br />"Ya, Mam. Bagaimana kabar Papi?"<br />"Baik. Berapa lama rencana kalian di Bali?"<br />"Paling cepat empat hari lagi. Tapi belum tahu setelah acaranya Lorna."<br />Lorna lalu mengubah ke mode speaker.<br />"Acara kita berdua, Mom. Dewa ikut shooting!"<br />"Oh ya?"<br /> "Kita berdua jadi yang membintangi"<br />Terdengar Mami tertawa senag.<br />"Kok bisa begitu, sweety?"<br />"Kontraknya berubah. Mereka minta bintang laki-lakinya diubah digantikan Dewa atas permintaan pemesan."<br />"Baguslah untuk kalian berdua."<br />"Mom. Lorna ada acara reuni lagi."<br />"Reuni kemarin kenapa?"<br />"Banyak yang tidak puas. Minta diulang karena tak lengkap. Maunya yang lebih akbar kata kawan-kawan."<br />"Ya, dengan begitu kamu bisa hadir nanti."<br />"Ya, Mom. Rencana kita sih. Habis reuni sepakat resepsi pernikahan kita."<br />"Hai, benarkah?"<br />"Ya, Mom. Kami sudah merencanakan."<br />"Syukurlah! Terus rencananya bagaimana? Apa perlu Mami pulang ke Indonesia?"<br />"Jangan dulu! Apakah di Australia harus buat acara lagi?"<br />"Tentu saja. Supaya tetangga, kerabat, semua teman Daddy mu dan teman Mami, juga teman kuliahmu di sana ikut merayakan. Nanti Mami bicarakan dengan Daddy."<br />"Tapi tolong jangan disebarluaskan. Kita masih ingin diam-diam dulu. Mommy jangan beritahu Tante dan Om di Jakarta, mereka jangan sampai tahu dulu. Biarlah Lorna yang akan beritahu mereka."<br />"Mami senang mendengarnya."<br />"Mom?"<br />"Ya, sayang?"<br />"Ini juga kejutan. Hari ini Dewa ulang tahun."<br />"Oh, ya? Mana Dewa?. Happy Birthday, Dewa!"<br />"Terima kasih, Mam!"<br />"Semoga panjang umur. Semoga hubungan kalian sampai tua. Mami tunggu rencana resepsi kalian ya?"<br />"Ya, Mam. Akan kudampingi sampai jadi kakek dan nenek."<br />Lorna menatap lembut Dewa. Lalu mengecup pipinya.<br />"Jaga anakku, ya?"<br />"Ya, Mam. Jangan kawatir."<br />"Terima kasih, Dewa. Bila perlu sesuatu, bilang ke Mami ya?"<br />"Baik, Mam. Kurasa kami baik-baik saja. Dewa mohon maaf bila menemaninya tidur."<br />Mami tertawa.<br />"Kenapa memangnya? Menurut Mami dia kini kan isterimu. Mami percaya Dewa menjaganya."<br />"Ya, Mam."<br />"Lorna selalu mengatakan. Tidur di sampingmu terasa aman. Ada yang menjaga. Membuatnya bisa tidur nyenyak. Dia bilang kamu menjaga keperawanannya."<br />Dewa tak mengomentari. Merasa risih membicarakan keperawanan.<br />"Ah, Mommy, jangan vulgar begitu ah. Dewa masih penuh tatakrama."<br />Mami tertawa.<br />"Kalian sudah dewasa. Tak ada yang salah membicarakan itu. Mami bahagia sekali kalian bisa cepat mewujudkannya."<br />"Pilih gaun pengantinnya ya, Mom?"<br />Mami terdengar tertawa senang.<br />"Sudah langsung dalam pikiran Mami."<br />"Ivone dan Jeremy dua ponakanku jadi pengiringku nanti."<br />Mami tertawa lagi.<br />"Itu akan jadi kejutan buat mereka."<br />"Mom, besok kami mau ada penggambilan gambar. Lorna mau istirahat dulu. Nanti Lorna hubungi lagi."<br />"Kalian tidur bersama?"<br />"Kenapa, Mom?"<br />"Cepat beri Mami cucu."<br />"Ah, Mommy. Nanti Lorna berikan itu."<br />"Mami mencintaimu."<br />"Lorna juga mencintaimu, Mom. Salam ke Daddy. Lorna cinta Daddy."<br />"Papimu tahu sayang. Setiap menelponmu, Papi selalu mengingatkan, jangan lupa menyampaikan bahwa Papi sangat mencintaimu."<br />"Selamat malam, Mom. Bye."<br />"Bye, sayangku. Bye Dewa."<br />"Bye Mam!"<br />Tangan Lorna memeluk pinggang Dewa. Wajahnya ditelusupkan ke bawah lehernya.<br />"Aku mencintaimu, De!"<br />Dewa membelai rambut dan menciumnya. Rambutnya harum sekali.<br />"Lorna senang Dewa bilang akan mendampingi Lorna hingga menjadi nenek," suara Lorna lirih.<br />"Apakah kita akan menikah lagi di Australia?"<br />Dewa tertawa lunak.<br />"Resepsinya. Tak ada pernikahan dua kali."<br />"Untuk menghormati Daddy dan Mommy di lingkungan sana."<br />"Tentu saja."<br />"Dewa sudah punya paspor?"<br />"Aku pernah pameran di Jerman, Perancis dan Singapura."<br />"Berarti tak ada masalah dengan paspor. Sewaktu-waktu kita pulang ke Australia. Nanti kuajak Grace dan Rahma."<br />Dewa mencium kening Lorna.<br />"Ajaklah, mereka teman terbaikmu. Mari kita tidur. Mereka tentu sudah tertidur."<br />"Selamat malam, De!"<br />"Selamat malam, Na. Aku mencintaimu. Kenapa kau bilang ke Mommy soal keperawananmu?"<br />"Dia Mommy ku, Dewa keberatan?"<br />"Tidak! Sewajarnya begitu. Sebab seorang ibu selalu mencemaskan anaknya terutama anak gadisnya. Komunikasi kalian bagus."<br />"Lorna anak satu-satunya, Dewa."<br />"Benar!"<br />Dewa lantas mengecup bibir Lorna dengan lembut. Kelopak mata Lorna mengatup. Meresapi kecupan lelaki yang amat dicintainya sejak dulu.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-16742689564196602722010-07-29T12:07:00.000-07:002011-12-09T15:21:17.970-08:00108. Mandi Basah.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-RDutVnUMevk/TeFLmxhRH-I/AAAAAAAAAPI/baNSKFtIJRo/s1600/couple_bathup.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 479px; height: 337px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-RDutVnUMevk/TeFLmxhRH-I/AAAAAAAAAPI/baNSKFtIJRo/s400/couple_bathup.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611849740180332514" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">Grace dan Rahma di ruang tengah</span> duduk memperbincangkan apa yang sedang terjadi antara Lorna dan Dewa. Keduanya mengkuatirkan terjadinya perselisihan antara keduanya. Keduanya merasa heran, sebab ketika pergi untuk makan malam di luar, keduanya nampak harmonis dan mesra sebagaimana biasanya. Tapi tak lama kemudian kembali lagi dan mendapati wajah Lorna muram dengan langkah bergegas menuju kamarnya tanpa tegur sapa.<br />Grace dan Rahma lebih banyak duduk berdiam diri. Menyibukkan diri berkutat dengan ponsel. Karena itu yang bisa mengisi kekosongan waktu menunggu apa selanjutnya yang bakal terjadi antara Lorna dan Dewa.<br />Ruangan terasa lengang dan sunyi. Hanya suara cicak di dinding yang berkejar-kejaran. Dan suara desah gelombang yang menghempas ke pasir pantai sesekali menyeruak masuk melalui pintu beranda.<br />Tiba-tiba terdengar pintu kamar Dewa terbuka. Seketika itu pula terdengar suara canda Lorna dan Dewa. Tak lama muncul Lorna digendong Dewa masuk ke ruangan di mana Grace dan Rahma yang sudah sejak tadi berada di tempat itu. Grace dan Rahma memandang Dewa yang sedang menggendong Lorna tanpa bersuara.<br />Tawa Lorna seketika berhenti. Dewa perlahan menurunkan badan Lorna dari gendongannya. Keduanya lalu duduk di sofa yang biasa didudukinya. Grace dan Rahma sengaja tak memakai sofa yang panjang, sebab itu kapling Dewa dan Lorna.<br />Pandangan Grace dan Rahma masih tak bergeming memandang keduanya yang kini sudah duduk di hadapan mereka.<br />Lorna pun membalas pandangan Grace dan Rahma dengan diam. Sementara Grace dan Rahma memperhatikan rambut Lorna dan Dewa yang masih belum kering setelah mandi keramas.<br />Akhirnya Lorna membuka suara ketika Grace dan Rahma masih memperhatikan dirinya dengan pandangan menyelidik tanpa berkata sepatah katapun.<br />"<span style="font-style: italic;">What</span>?" tanya Lorna.<br />Grace dan Rahma saling pandang. Lalu saling mengangkat bahu.<br />Lorna memandang Dewa. Dewa balas mengangkat bahu.<br />"Kenapa sih kalian?" tanya Lorna keheranan.<br />Dewa lantas berbisik ke telinga Lorna.<br />"Seharusnya kita keluar kamar setelah rambutmu kering betul."<br />Lorna tersipu-sipu. Tahu maksudnya.<br />Grace dan Rahma tersenyum.<br />"<span style="font-style: italic;">What</span>?"<br />"<span style="font-style: italic;">What</span>?!" ujar Grace dan Rahma bersamaan.<br />Dewa memandang Lorna yang membalasnya tak mengerti.<br />"Kamu bikin kita cemas," kata Grace.<br />"Ada apa sih tadi itu?" tanya Rahma menyelidik.<br />Sebelum menjelaskan, Lorna melirik ke arah Dewa yang mengambil bacaan, bermaksud mengabaikan ketiga gadis yang kini berbincang.<br />"Acara makan di luar berantakan," kata Lorna.<br />"O, itu sebabnya kalian kembali tak menjawab teguran kita tadi. Kenapa?"<br />"Ribut dengan Ronal."<br />"Hah! Ronal?" Grace dan Rahma terperangah.<br />"Di mana?" tanya Rahma mendesak.<br />"Di hotel tempat kita berdua sedang makan."<br />"Aduh! Terus?" desak Grace.<br />"Sial saja! Kasihan Dewa, makannya tak diselesaikan."<br />"Ribut bagaimana?"<br />"Pokoknya ribut! Lorna hanya tak ingin ada perkelahian. Lorna sempat takut. Soalnya tadi Dewa sudah sempat menahan pukulan Ronal."<br />Grace dan Rahma melihat ke arah Dewa.<br />"Dewa sempat mengancam Ronal dan Timi," tambah Lorna.<br />"Kenapa nggak sekalian ditinju saja, De," kata Grace dengan nada kesal.<br />"Kamu ingin Dewa masuk bui seperti dulu?" sergah Lorna.<br />Dewa tak menanggapi.<br />"Kurasa Dewa tak takut dibui," kata Grace.<br />"Hei! Aku yang takut!" potong Lorna dengan mata terbelalak.<br />Grace tertawa.<br />"Seperti yang kamu bilang, Ronal memang membuka Cafe di sini. "<br />"Timi ikut dia!" tambah Grace.<br />Rahma menelepon Titi dengan ponselnya, karena tahu Dewa belum makan, tentu kelaparan.<br />"Ti. Bisa minta tolong bawakan makanan ke atas. Mas Dewa belum makan. Apa saja. Kita semua juga mau."<br />"Terus bagaimana?" tanya Grace mendesak Lorna.<br />"Lebih baik menghindar. Aku hanya nyesel kenapa hari istimewa Dewa berakhir seperti ini." kata Lorna mulai mengungkit hari istimewa Dewa.<br />"Sudahlah, jangan memulai lagi!" sela Dewa.<br />Lorna terdiam memandangnya. Kemudian beralih kepada Grace dan Rahma. Dewa tidak ingin mereka membicarakan hal itu.<br />"Maaf, De?" kata Lorna kemudian.<br />"Biarkanlah itu jadi urusanku. Lebih baik fokus untuk pengambilan gambar besok."<br />"Pengambilan gambar butuh waktu dua hari saja," kata Lorna berusaha meyakinkan Dewa.<br />"Lalu berapa lama kalian butuh waktu jalan-jalan melihat Bali?"<br />Lorna menatap Grace dan Rahma.<br />"Berapa lama?" tanya Lorna kepada Grace dan Rahma.<br />"Terserah Lorna!" jawab Rahma.<br />"Begini saja. Kita pergi ke tempat-tempat yang satu rute. Kurasa itu lebih praktis. Biar Komang dan Nengah yang akan mengantar kalian," kata Dewa.<br />"Dewa tidak ikut?" tanya Lorna.<br />Dewa merebahkan kepalanya ke atas pangkuan Lorna lalu memejamkan mata. Lorna membelai wajahnya.<br />"Kenapa kamu tak ikut?" tanya Lorna penasaran.<br />"Siapa bilang aku tidak ikut?" jawab Dewa masih dengan mata tertutup.<br />Grace dan Rahma tertawa.<br />Lorna menggigit hidung Dewa gemas.<br />"Hiih, kenapa diam saat ditanya!"<br />"Makan dulu, De!" kata Rahma.<br />Titi meletakan makanan ke atas meja. Dua kali Titi harus membawakan makanan dan minuman buat mereka.<br />"Makanlah dulu!" kata Lorna yang wajahnya berada di atas wajah Dewa. Rambut Lorna yang lebat menutupi wajah mereka berdua saat Dewa membiarkan bibir Lorna memilin bibirnya sebentar. Rambut Lorna menghalangi pandangan Grace dan Rahma saat bibir Lorna terbenam di bibir Dewa. Tetapi Grace dan Rahma tahu, sebab ketika Lorna menegakkan badannya, bibir keduanya nampak basah. Grace dan Rahma pura-pura sibuk mengambil makanan.<br />Sesaat kemudian Dewa bangun. Lalu mereka makan bersama-sama.<br />"Bagaimana reuni kalian?" tanya Dewa.<br />Grace dan Rahma saling berpandangan dan tersenyum. Dalam pikiran mereka, pertanyaan Dewa itu sungguh-sungguh atau basa-basi.<br />"Bagaimana dengan resepsi pernikahan kalian?" Rahma balik tanya.<br />"Wow!" seru Dewa seraya menelan sebutir buah anggur, "Kalian sudah tahu?"<br />Lorna tersenyum sambil memberikan piring yang sudah diisinya dengan sedikit nasi, ayam bakar, irisan mentimun, kemangi, sambal, potongan kacang panjang, kepada Dewa.<br />"Terima kasih. Aku pakai tangan saja!" kata Dewa ketika Lorna hendak mengambil sendok dan garpu.<br />"Kuambilkan air buat cuci tangan."<br />"Jangan. Biarlah Titi saja!" cegah Rahma yang kemudian menelpon Titi kembali agar menyiapkan air kobokan.<br />Lantas Lorna ikut makan bersama sepiring dengan Dewa, saling berhadapan. Grace dan Rahma suka sekali memperhatikan Lorna yang manja menyuapi Dewa.<br />"Apa usulanmu untuk mengisi acara reuni nanti, De?" tanya Grace.<br />"Tanya saja ke Beni," jawab Dewa seraya menerima gelas airputih untuk diminum yang diberikan Lorna.<br />Jawaban Dewa akhirnya menjawab pertanyaan yang ada dalam pikiran Grace dan Rahma, apa yang ditanyakan Dewa belum lama sesungguhnya hanya basa-basi.<br />"Kita ingin kamu tampil mengisi acara, De." sela Grace.<br />Dewa tertawa.<br />"Dewa akan tampil bersama ku dalam sendratari Rama da Shinta," tukas Lorna yang mengejutkan Grace dan Rahma.<br />"Yang benar?"<br />Lorna tertawa.<br />"Dia hanya bercanda!" sela Dewa.<br />"Benar. Lorna sudah diajari Dewa," Lorna berusaha meyakinkan<br />Dewa menggigit daging yang ada di mulut Lorna.<br />"Mulut cantik ini tak bisa menutup rahasia," kata Dewa.<br />"Katamu kalau buat Grace dan Rahma tak apa."<br />"Kalian bisa pegang rahasia kalau mau memberi suprise. Tapi giliranku kalian tak bisa."<br />Grace dan Rahma tertawa.<br />"Kita semua bisa pegang rahasia kok. Buat teman-teman lain tetap akan jadi kejutan kan," kelit Lorna.<br />"Kalau tarian Jawa harus ada irama gamelannya," kata Rahma.<br />"Sudah ada filenya di tempat Beni," kata Lorna.<br />"Telepon saja habis makan, jangan ditunda? Ntar kelupaan lagi. Tahu dari mana kamu, Na?" tanya Rahma.<br />"Dewa yang menyuruh," kata Lorna seraya menunjuk ke Dewa.<br />Jari Lorna yang berada di depan mulut Dewa oleh Dewa lalu dikulumnya. Lorna tertawa lunak membiarkan telunjuknya berada dalam mulut Dewa, sampai Dewa melepaskannya kembali.<br />"Jangan malam-malam begini. Besok saja diperjalanan ke lokasi syuting," kata Dewa menyarankan.<br />"Rah, tolong nomer rekening reuni. Kutransfer besok, selagi aku ingat. Aku tahu kalian perlu biaya. Dan itu tak mungkin dari uang kalian."<br />"Memang selama ini kita patungan untuk nalangi," kata Rahma.<br />"Uang siapa saja?"<br />"Uangku, Beni, Tari, Dini, ada catatannya."<br />"Kembalikan uang itu kalau sudah kutransfer nanti."<br />"<span style="font-style: italic;">Thanks </span>Na!" jawab Rahma lalu menambahkan, "Uang dari Joy katanya dari Dewa."<br />Dewa menatap Lorna. Lorna juga memandang Dewa. Dewa mengedipkan sebelah matanya.<br />"Uang yang berasal dari Dewa jangan dikembalikan."<br />"Hei, banyak lho."<br />"Berapa?"<br />"Lima belas juta."<br />"Ya, nggak apa, memangnya kenapa? Itu sumbangan Kita. Saran Lorna jangan paksakan menarik sumbangan ke teman-teman untuk biaya reuni. Lorna mau menyumbang sebagai rasa terima kasih Lorna mempertemukan Lorna dengan Dewa," kata Lorna<br />Dewa menyudahi makannya lalu mencuci tangan.<br />"Joy seharusnya tak perlu memberitahu kalau uang itu berasal dariku. Karena aku nanti juga akan mentransfer sendiri."<br />"Jadi bagaimana?" tanya Rahma.<br />"Biarkan saja!" Lorna menegaskan sambil mencuci tangan dan membersihkan dengan tisu basah."<br />"Kita tidak menentukan besaran sumbangan. Bila ada sumbangan agar ditransfer supaya punya data asal sumbangan. Tak ada pungutan langsung ke peserta reuni," Rahma menjelaskan.<br />"Bagus. Ini untuk menghindarkan bagi yang merasa keberatan atau tak cukup uang untuk bisa ikut reuni. Tapi jangan dibesar-besarkan sumbangan yang kita berikan. Kasih tahu berapa besar biaya yang kalian butuhkan untuk penyelenggaraan."<br />"Beres, Na!"<br />"Dia bosnya!" sela Grace yang sejak tadi hanya mendengarkan, sebab dia tak ikut jadi panitia.<br />"Baiklah. Hari sudah larut malam. Kalian harus istirahat. Sepuluh menit lagi kita kembali ke kamar. Sebab besok kita harus pergi," kata Dewa.<br />Sepuluh menit kemudian Grace dan Rahma memberi ciuman pipi kepada Lorna dan Dewa.<br />"Aku sayang kamu, Na," kata Rahma seraya mencium pipi Lorna.<br />"Lorna juga sayang kalian," jawab Lorna.<br />"Mintalah Dewa memelukmu, agar tidurmu nyenyak," kata Grace menggoda sambil mencium pipi Lorna dalam-dalam.<br />"Nggak usah ngajarin! <span style="font-style: italic;">I love you</span> Grace," kata Lorna.<br />"Kita tahu, Na. Selamat tidur. Selamat malam. Sampai jumpa besok pagi. <span style="font-style: italic;">I love you</span>, Na."<br />Mereka saling memberi salam.<br />"Bye, Dewa!" Grace dan Rahma memberi salam.<br />"Bye!"<br />Ruangan tengah kembali senyap setelah ditinggalkan mereka ke kamar masing-masing.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-29583889403796889812010-07-28T02:58:00.000-07:002011-12-09T15:03:17.685-08:00107. Kencan yang Terganggu.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-Bdvf3IrmwII/TeBgm5taTHI/AAAAAAAAANA/Lw7luJK3ur4/s1600/breakfast-wine-wbw-1.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 470px; height: 376px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-Bdvf3IrmwII/TeBgm5taTHI/AAAAAAAAANA/Lw7luJK3ur4/s400/breakfast-wine-wbw-1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611591357146221682" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;"><br />Makan malam di restorant</span> hotel itu merupakan yang kedua kali bagi Dewa dan Lorna. Sejak meninggalkan mobil keduanya berjalan bergandengan. Tangan Lorna menggelayut di lengan Dewa. Malam hari suasana lobi nampak tenang. Namun Lorna tidak akan menyangka bahwa di malam hari ini di lobi hotel matanya bersirobok, menangkap bayangan Ronal sedang duduk di sebuah sofa dengan beberapa orang.<br />Ronal pun tersentak saat melihat Lorna melangkah anggun bergandengan dengan Dewa memasuki restoran. Untuk sesaat Lorna terpana. Namun segera sadar dan melemparkan pandangan berpura-pura tak melihatnya. Sadar jangan sampai Dewa mengetahui bahwa Ronal berada di tempat itu.<br />Irama jantung Lorna sempat berdetak kencang. Tapi berusaha dikendalikan, yang menciptakan perasaan resah bukan main. Takut terjadi masalah antara Ronal dengan Dewa.<br />"Kita pilih kursi yang pernah kita tempati," ajak Dewa.<br />Lorna tersenyum mengangguk. Keduanya lalu menempati kursi yang pernah mereka tempati saat pertama kali makan bersama di tempat ini.<br />"Makan apa kita, Dewa?" tanya Lorna<br />"Terserah, Lorna. Dewa ikut saja!" jawab Dewa seraya melepaskan jaketnya.<br />"Menu ikan?"<br />"Lainmya."<br />"Steik?"<br />"Boleh."<br />"Anggur?"<br />"Yang ringan saja."<br />Maka Lorna memilihkannya dari daftar menu yang kemudian dicatat pelayan. Wajah Lorna menampakkan kegusaran. Dari sudut matanya dilihatnya Ronal dan Timi sedang melongok di pintu, berusaha melihat ke arahnya. Lorna mengalihkan pandangan. Dipegangnya telapak tangan Dewa dan meremas jemarinya. Lorna melepaskan kaca mata Dewa, dan meletakkannya di atas meja.<br />"Selamat ulang tahun, ya De." ucapnya seraya tersenyum manis.<br />"Terima kasih." jawab Dewa membalas tatapan Lorna seraya membetulkan uraian helaian rambut ke sela atas telinga Lorna.<br />"Semoga Dewa panjang umur."<br />"Apalagi?"<br />"Banyak rejeki."<br />"Apalagi?"<br />"Sehat selalu."<br />"Apalagi?."<br />Lorna lantas mengecup pipi Dewa kanan dan kiri.<br />"Lorna mencintaimu!"<br />"Terima kasih. Itu yang penting buatku."<br />Batin Lorna terasa tertikam. Betapa tidak tertikam. Saat kebahagiaan dirasakan melandanya kini, disaat yang sama dirinya merasakan kegundahan yang luar biasa.<br />Apa yang dilakukan Lorna kepada Dewa diperhatikan Ronal dan Timi dari kejauhan. Membangkitkan perasaan kecamuk dalam diri Ronal. Kegeramannya ditunjukkan kepada Timi.<br />"Sial!" umpatnya.<br />"Dia tak layak buat Dewa. Dia sengaja memancingmu" Timi membakar emosi Ronal.<br />Lorna tidak tahu apa yang sedang dilakukan mereka di tempat itu. Menurut informasi Rahma, Ronal sedang membuka sebuah Cafe di Bali. Tapi apa hubungannya keberadaannya di tempat tersebut dengan Cafe yang dibukanya? Pertanyaan itu yang sempat muncul dalam benak Lorna.<br />Sementara Dewa belum menyadari kegelisahan yang dialami Lorna. Karena Lorna selalu berusaha mengalihkan pandangan maupun pembicaraan. Apalagi saat <span style="font-style: italic;">hotplate </span>disajikan di atas meja. Dan mereka mulai bersama menikmatinya.<br />"Dagingnya empuk," kata Dewa.<br />Lorna mengangguk.<br />"Mau pesan dibawa pulang?"<br />Dewa menggeleng.<br />"Kita bisa mengajak kemari Grace dan Rahma besok."<br />Lorna tersenyum senang, sebab Dewa tak melupakan kedua sahabatnya itu.<br />"Kalau menu ikan. Kita bisa datangi tempat yang pernah ditunjukan Komang."<br />Namun mendadak Dewa tak melihat senyum di wajah itu. Wajah Lorna nampak tanpa ekspresi, hanya bola matanya saja yang mengekspresikan kekecewaan. Dewa masih belum paham kalau Lorna melihat Ronal dan Timi memasuki restoran. Dan mengambil tempat duduk tidak jauh di belakang kursi Dewa.<br />Hati Lorna berdebar.<br />Dewa mengerencitkan keningnya lalu bertanya.<br />"Ada apa?"<br />"Ah, enggak," jawab Lorna kembali mengunyah.<br />Dewa diam dan berhenti mengunyah. Berusaha mencari tahu akan perubahan wajah Lorna.<br />"Ada yang salah dengan ucapanku?"<br />"Tidak!"<br />"Lalu?"<br />Lorna meneguk minumannya perlahan, bermaksud meredakan keresahan di hatinya. Setelah itu menyeka bibirnya dengan serbet.<br />"Katakan ada apa?" tanya Dewa lunak.<br />Walau pertanyaan Dewa disampaikan dengan lunak, tetapi itu terasa semakin menambah keresahannya.<br />"Sudahlah, De. Kita nikmati makanan ini," Lorna berusaha agar Dewa tak mendesaknya.<br />Nada ucapan Lorna terasa asing di telinga Dewa.<br />Dewa kembali melanjutkan makannya. Tetapi perhatiannya tak bisa lagi dipalingkan dari apa yang kini tercermin di wajah Lorna. Lorna sendiri tidak tahu harus berbuat bagaimana, karena tidak ingin suasana hari istimewa Dewa menjadi rusak gara-gara kehadiran Ronal.<br />Akhirnya Dewa menyudahi makannya dan tak berniat melanjutkan. Dan Lorna pun menghentikan makannya. Memandang Dewa dengan kecewa.<br />"Katakanlah, ada apa, Na? Dewa mengenal betul ekspresi wajahmu. Sekecil apapun gangguan yang kamu alami, Dewa merasakannya." Dewa bertanya lembut.<br />Lorna menggeleng seraya mengatupkan matanya sesaat. Dalam hati membenarkan ucapan itu.<br />Tiba-tiba Ronal sudah berdiri di dekat mereka.<br />"Halo apa kabar kawan-kawan," kata Ronal dengan tertawa. Kedua tangannya berada dalam saku celananya.<br />Seketika itu, Dewa baru menyadari bahwa kehadiran Ronal yang menyebabkan wajah Lorna berubah tidak nyaman. Dewa membanting serbet yang baru saja dipakai menyeka mulut ke atas meja.<br />"De!" sela Lorna seraya menggeleng, mengingatkan untuk menahan diri.<br />"Di mana kulihat Lorna selalu kulihat Dewa. Sejak dulu mengekor terus."<br />Ucapan Ronal berusaha memancing emosi Dewa, tetapi Dewa tak bergeming, hanya memandang lunak pada Lorna.<br />"Ada urusan apa kamu di sini?" tanya Lorna pada Ronal.<br />"Mengkaji suasana pengunjung resto. Aku buka Cafe. Cobalah di tempatku. Kujamin gratis." jawab Ronal sambil memberikan sebuah kartu nama ke atas meja di depan Lorna. Tetapi Lorna tak menanggapi.<br />"Ya sudah. Aku sudah tahu. Aku tak mau barang gratis."<br />"Benar, sebab kau gadis kaya, siapa sih tak menginginkanmu. Sudah cantik, kaya pula."<br />"Kita sedang makan. Bisakah kamu kembali dengan urusanmu."<br />"Oke, aku berusaha mendapatkan alamat dan no teleponmu, tapi sulit sekali. Kebetulan kita bertemu. Kuharap bisa kudapatkan langsung."<br />"Ron, bisakah kau menghormati privasiku?"<br />"Oke, oke, sori...bisa kau berikan alamatmu?"<br />"Kembalilah ke kursimu, Ron."<br />"Atau harus melalui pengawalmu?"<br />"Ron!"<br />"Permisi. Kalian semakin akrab...." kata Ronal lalu kembali ke kursinya.<br />Dewa yang diam tanpa ekspresi tak menanggapi keberadaan Ronal di dekatnya. Sikap Ronal yang provokatif membuat Lorna cemas memandang Dewa. Lorna berusaha jangan sampai terjadi masalah antara kedua lelaki yang memiliki masalah sejak mereka masih di sekolah.<br />"Maafkan Lorna, De," kata Lorna.<br />"Kenapa harus meminta maaf?"<br />"Lorna kuatir ada masalah antara kalian."<br />"Tenanglah. Dewa bisa mengatasi."<br />Lorna terdiam. Nampak kebingungan. Untuk melanjutkan acara makan sudah tidak mungkin. Suasana hati keduanya telah berubah. Dewa lantas memanggil pelayan. Menanyakan pembayaran.<br />"Tapi kita belum selesai?"<br />"Kita sudahi saja."<br />"Bukankah Lorna yang harus membayar?" tanya Lorna.<br />"Sama saja, kan?"<br />"Lorna tadi sudah berjanji yang membayar."<br />"Sudahlah..."<br />Dewa memaksa yang membayar saat pelayan membawa struk tagihan. Lorna belum paham maksud Dewa memaksa membayar makanan mereka. Padahal sebelum berangkat sudah sepakat bahwa Lorna yang akan menraktirnya.<br />Lorna belum paham atas niat Dewa ingin tunjukkan kepada Ronal, bahwa bukan Lorna yang membayari makan itu.<br />Setelah itu Dewa berdiri membantu menarik kursi Lorna dan mengenakan switernya kembali.<br />Lorna lalu menggelayut pada lengan Dewa saat meninggalkan tempat itu. Mereka berlalu tanpa menegur Ronal dan Timi saat melewatinya.<br />Dewa melemparkan struk ke atas meja Ronal. Ronal hendak bangkit penuh emosi, tetapi tak dilanjutkan karena pelayan yang menerima tip dari Dewa sedang memperhatikannya.<br />Dewa menghentikan langkah lalu berbalik arah. Lorna berusaha mencegah, tapi terlambat.<br />"Dewa! Sudahlah!" pekik Lorna tertahan.<br />Dewa mendekati meja Ronal. Membungkuk mendekatkan wajahnya ke wajah Ronal. Menatapnya dingin dan berkata.<br />"Kamu sampah! Hidupmu masih di bawah ketiak orangtuamu."<br />Ronal melayangkan tangannya ke muka Dewa. Tangan Dewa lebih sigap menangkap pergelangan tangan Ronal.<br />"Jauhi Lorna! Pecundang!" bisik Dewa dingin.<br />Saat Timi ikutan bergerak membantu Ronal. Dewa mengarahkan jari telunjuk pada wajahnya.<br />"Diam kau! Aku tak punya urusan denganmu!"<br />Tiba-tiba Lorna menarik pinggang Dewa.<br />"Sudahlah, De! Jangan dilayani!"<br />Dewa lantas berdiri tegak. Wajah Ronal merah padam saat Dewa meninggalkannya.<br />"Jangan marah, De!" pinta Lorna saat mereka sudah berada di dalam mobil.<br />Dewa berusaha tersenyum untuk menenteramkan kecemasan yang dirasakan Lorna.<br />"Aku tidak marah!"<br />"Kalau tak marah lalu apa dengan sikap seperti itu?"<br />Tapi Dewa tak menjawab.<br />"Kalian membuatku takut!"<br />"Maafkanlah bila aku membuatmu takut."<br />Lorna menatap Dewa penuh iba.<br />"Bukan takut padamu Dewa. Takut kalian berkelahi seperti dulu."<br />Dewa terdiam. Lorna ikut diam.<br />"Kenapa Lorna beranggapan Dewa marah?" tanya Dewa kemudian.<br />Lorna tak membalas.<br />"Aku hanya menggertak!" lanjut Dewa dengan suara menggumam<br />Karena Lorna masih diam. Dewa menghentikan kendaraan. Menepi di pinggir jalan. Tak bisa berkosentrasi menyetir dalam situasi perasaan seperti itu.<br />Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Dewa tak tahu harus berkata apa. Lorna menatap jemari tangannya. Wajahnya gusar. Sesekali Dewa berpaling memandang Lorna. Gadis itu masih menunduk, masih memperhatikan kuku jarinya yang bersih.<br />"Bicaralah agar aku bisa tenang."<br />"Lorna bingung." jawab Lorna dengan suara lirih.<br />Dewa menarik nafas panjang.<br />"Maafkanlah aku..."<br />Lorna menggeleng perlahan. Dewa tak tahu isi perasaannya saat itu.<br />"Hari ini hari yang tak baik bagiku..."<br />Perasaan Lorna kian tertikam oleh ucapan itu. Berusaha agar matanya tak basah. Berusaha memalingkan wajah agar Dewa tak mengetahui bila ada butiran airmata bergulir menelusuri lembah hidungnya.<br />Dewa mulai menjalankan kendaraannya kembali. Tak ada lagi tujuan malam ini, selain kembali ke penginapan. Acara makan malam yang tidak diselesaikan, tak menyurutkan Dewa tetap bersikap wajar kepada Lorna. Namun mencoba bertanya sebelum memutuskan langsung pulang ke penginapan.<br />"Bagaimana kalau kita cari tempat lain untuk makan?"<br />Lorna menggeleng lemah, wajahnya masih berpaling agar Dewa tak tahu bahwa ada air berjatuhan dari bening matanya.<br />Wajah Lorna nampak muram saat bergegas masuk ke dalam penginapan, meski matanya sudah disekanya, Dewa menangkap itu.<br />Rahma dan Grace pada saat itu berada di lantai bawah menunggu kepulangan keduanya. Merasa keheranan melihat sikap Lorna yang bergegas naik ke kamarnya di lantai atas. Tidak menegur seperti biasanya.<br />"Kok cepat sekali pulangnya, De?" tanya Rahma heran kepada Dewa.<br />Dewa menjawab dengan anggukan.<br />"Kenapa Lorna?" tanya Grace pula.<br />Dewa mengangkat bahu. Kemudian naik menyusul ke atas.<br />"Ada apa?" tanya Rahma pada Grace.<br />"Entahlah!" jawab Rahma.<br />"Apakah mereka bertengkar?" Grace balik bertanya.<br />Rahma dan Grace saling memandang.<br />Dewa menyusul ke dalam kamar. Tapi tak menjumpainya. Dilihatnya pintu kamar mandi. Merasa Lorna berada di dalam. Lalu ke pintu itu perlahan. Mengetuk halus seraya memanggil lunak.<br />"Lorna! Bisa tolong dibukakan pintunya?"<br />Sementara dalam kamar mandi. Masih dengan pakaian lengkap, Lorna membasahi diri di bawah <span style="font-style: italic;">shower </span>yang airnya mengucur deras. Di bawahnya Lorna terisak-isak menangis. Kali ini dia benar-benar melampiaskan kekesalan hatinya dengan menangis. Hatinya demikian kesal dengan kejadian yang baru saja dialami. Kesal sekali. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada Dewa tentang peristiwa barusan.<br />Kenapa Dewa harus mengalami hari yang buruk? Kenapa hari yang seharusnya menjadi saat istimewa berubah menjadi hari tidak menyenangkan baginya? Kenapa lelaki baik ini harus merasakan ketidakbahagiaan disaat yang seharusnya merasa bahagia? Kenapa? Kenapa?<br />Dia mendengar pintu diketuk. Pasti Dewa. Semula ragu membuka kuncinya. Tapi perasaannya menggiringnya untuk melakukan itu, lantaran tak ingin menambah kekecewaan Dewa. Setelah membukanya lalu kembali ke bawah siraman air.<br />Dewa melihat slot pintu telah berubah dari warna merah ke biru, menandakan pintu bisa dibuka. Dengan perlahan daun pintu didorong lalu masuk ke dalam. Dilihatnya Lorna tersedu-sedu menangis di bawah guyuran air. Masih berpakaian lengkap yang dipakainya saat pergi. Dewa mendekatinya. Perlahan dilingkarkan tangannya memeluk pinggang gadis itu dari belakang. Mencium rambutnya. Mencium pipinya. Di bawah guyuran <span style="font-style: italic;">shower</span>. Berusha menenteramkan kegundahan hatinya.<br />"Maafkanlah sikapku," bisiknya.<br />Ucapan Dewa kian membangkitkan tangisnya. Dewa lantas merengkuh dan membalikkan badannya sehingga berhadapan.<br />Tangis Lorna semakin meledak dalam pelukan Dewa. Air pun mengguyur keduanya yang masih berpakaian lengkap hingga basah kuyup.<br />"Maafkanlah Dewa, Lorna. Maafkanlah sikapku..."<br />Lorna menggeleng dengan dada berguncang.<br />"Kenapa harus kamu yang meminta maaf. Maafkanlah telah merusak hari istimewamu."<br />"Setiap hari bagiku tak ada bedanya. Lupakanlah hari ini. Tak apa, gadisku. Peluklah aku, gadisku. Peluklah aku..."<br />"Acara makan kita jadi batal, Dewa."<br />"Bisa kita perbaiki. Besok kita cari ke tempat lain."<br />Lorna menggeleng.<br />"Lorna sungguh minta maaf telah mengecewakanmu."<br />"Kau tak membuatku kecewa. Jangan karena bukan perbuatanmu, membuatmu merasa bersalah."<br />Lorna terisak-isak. Dadanya berguncang. Dewa berusaha meredakan tangisnya dengan mengelus punggung dan mencium pipinya.<br />"Lorna tahu Dewa marah kepada Ronal. Lorna takut, De. Lorna takut!"<br />"Apa yang kau takutkan?"<br />"Takut Dewa dipenjara seperti dulu setelah berkelahi dengannya."<br />Dewa mencoba tertawa.<br />"Mentang-mentang bapaknya hakim."<br />"Lorna takut, De."<br />Dewa tak menjawab. Dia hanya membelai wajah dan rambut Lorna yang basah.<br />"Tenanglah, gadisku. Dewa bisa mengatasinya. Pakaianmu basah." kata Dewa tanpa sadar.<br />Ucapan Dewa membuat Lorna tertawa di antara tangisnya.<br />"Pakaianmu juga," jawab Lorna<br />Keduanya kemudian tak kuasa menahan tawa. Lalu saling memandang. Dan Lorna kembali menangis.<br />"Aku mencintaimu, De. Lorna mencintaimu. Lorna tak ingin kehilangan kamu."<br />Dewa membelai wajah Lorna di bawah air yang mengucur deras. Membasahi segenap tubuh dari rambut hingga kaki.<br />"Lorna tak meragukan cinta Dewa. Sebaliknya Lorna kuatir Dewa meragukan cinta Lorna kepadamu."<br />"Dewa tak meragukan cintamu, Lorna."<br />"Tapi ucapan Ronal tentu mengganggumu?"<br />"Tentang apa?"<br />"Karena Lorna kaya."<br />"Sebutkan apa saja yang selama ini pernah kuminta dan kau berikan kepadaku, selain ponsel itu?"<br />Dewa menatap tajam ke mata Lorna yang diam menatapnya berurai airmata.<br />"Sorry..." kata Dewa kemudian.<br />Lorna tak menjawab.<br />"Aku butuh cintamu, bukan apa yang kau miliki," kata Dewa meyakinkan.<br />"Lorna tahu, De! Lorna tahu!"<br />"Jangan pikir aku tidak tahu pikiran mereka? Aku tahu apa yang ada dalam benak mereka. Mereka pikir aku memanipulasimu dan memanfaatkanmu."<br />Lorna berusaha menahan isaknya.<br />"Kalau aku seperti itu. Lebih baik tinggalkan aku. Aku tak layak buatmu."<br />"Oh, Dewa! Lorna tak punya pikiran seperti itu!"<br />"Aku tahu, Na. Aku tahu. Aku bisa menentukan hal terbaik yang menjadi pilihanku," kata Dewa seraya memeluknya kembali serta mencium rambutnya yang basah.<br />"Jangan tinggalkan aku, De!"<br />"Aku tak akan pernah meninggalkanmu."<br />"Jadikanlah aku pilihan terbaikmu."<br />"Kau pilihan terbaikku."<br />"Oh, Dewa!"<br />Lorna memeluknya kian erat.<br />"Karena itu mengapa aku mengikatmu dengan cincin ini."<br />"Oh, Dewa..." ucap Lorna seraya menciumi pipi Dewa. Lalu keduanya saling bertatapan lama di bawah bayang-bayang derasnya air yang mengguyur wajah mereka. Mata Lorna yang biru seperti batu sapir yang nampak timbul tenggelam dalam air.<br />"Aku tak berharap kamu menangis. Besok kamu harus <span style="font-style: italic;">shooting</span>. Tentu akan berakibat tak baik."<br />"Nanti bantu Lorna mengompresnya..." kata Lorna dengan suara berat.<br />"Nanti kita kompres matamu, biar segar kembali. Aku cemas bila sampai sembab."<br />"Lorna sudah berusaha menahannya."<br />Dewa tersenyum<br />"Membendung airmata sama halnya berusaha menahan bendungan yang jebol."<br />Ucapan Dewa membuatnya tersenyum.<br />"Kita jadi mandi bersama," suara Lorna perlahan.<br />Dewa mengangguk. Dan Lorna lantas membiarkan saat Dewa melepaskan busananya yang basah. Dan tak lama kemudian pakaian mereka yang basah tertumpuk di antara kaki-kaki keduanya. Air <span style="font-style: italic;">shower </span>yang mengucur deras kemudian bercampur dengan air panas. Dan air pun tak lagi dingin. Berganti dengan kehangatan yang mengguyur tubuh keduanya yang kemudian menjadi polos. Uap pun mulai berembun menutup permukaan sekat kaca.<br />Sesaat kemudian suara kucuran air bercampur helaan nafas Lorna yang tersengal. Bukan lantaran uap air yang memenuhi ruang kamar mandi.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-16329933097068922722010-07-26T17:32:00.000-07:002011-06-25T07:28:16.474-07:00106. Setelah Pesta Usai.<span style="font-weight: bold;">Setelah mengantar Komang ke mobilnya</span>. Dewa kembali naik ke lantai atas. Kado ulangtahun yang berasal dari Grace dan Rahma dibawa Titi ke atas. Diletakkan di atas meja di ruang tengah. Dewa lalu memindahkannya ke dalam kamar. Grace dan Rahma masih menemani Lorna menghadapi para kru film dan manajemen Lorna. Mereka masih sibuk berbincang dan menikmati makanan yang ada.<br />Lorna memanggil Titi.<br />"Bawakan makanan ke atas. Letakkan di meja. Mas Dewa belum makan."<br />"Ya, Non!"<br />"Jangan lupa minuman buatku dan Mas Dewa."<br />"Baik, Non!"<br />Lorna masih duduk berhadapan dengan Imelda ketua tim manajemen, serta Erwin sutradara dan krunya.<br />"Jadi jam berapa besok kita jemput?" tanya Imelda.<br />"Kalian tidak perlu kemari. Telepon saja. Beritahu dimana kalian belanja. Kita akan menyusul dimana kalian berada," jawab Lorna.<br />"Kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Lebih baik kita kembali supaya semua bisa beristirahat untuk persiapan besok," kata Erwin.<br />"Oke, Er. Begitu lebih baik. Terima kasih kepada semuanya," kata Lorna lalu bangkit dari duduknya, yang diikuti yang lain.<br />Hari sudah gelap saat kru film meninggalkan penginapan.<br />Lorna, Grace dan Rahma bergegas kembali ke kamarnya di lantai atas.<br />"Kita mandi dulu ya Na?" kata Grace.<br />"Terimakasih ya. Lorna juga mau mandi dulu," jawab Lorna.<br />Rahma mencium pipi Lorna.<br />"Sori tadi Dewa mencium pipiku." kata Rahma.<br />Lorna tertawa kecil.<br />"Mau minta lagi?"<br />"Maunya di bibir." goda Grace.<br />Rahma tertawa.<br />"Bener nih?"<br />"Kita yang pingin menciumnya," kata Grace.<br />"Nanti kubilang ke Dewa."<br />"Husss. Cuma bercanda."<br />Lorna tertawa.<br />"Untuk kalian Lorna rela, kok," katanya sembari mencubit pipi Rahma.<br />Grace dan Rahma tertawa.<br />"Oke, kita pisah dulu. Nanti kita terusin lagi ngobrolnya," kata Rahma.<br />"Jangan! Biarkan keduanya bebas dulu!" sergah Grace.<br />"Ups... sori!" Rahma menutup mulutnya.<br />Saat memasuki kamar. Lorna melihat Dewa sedang duduk membaca di kursi di bawah jendela. Dewa tersenyum dan menyapanya.<br />"Hai! Sudah pulang semua?"<br />Lorna mengangguk perlahan melangkah mendekati. Lalu berlutut dan meletakkan wajahnya di atas pangkuan Dewa.<br />"Maafkan Lorna bila acara tadi tak berkenan bagimu."<br />Dewa tertawa datar dan mencium rambutnya.<br />"Semuanya sudah berlalu."<br />"Selamat ulang tahun, Dewa."<br />"Terima kasih. Bangunlah! Tempatmu disisiku bukan disitu."<br />Lorna lantas bangun dan duduk disampingnya. Dewa merengkuh pinggangnya agar rapat ke badannya. Kepala Lorna lalu menyandar ke bahunya.<br />"Aku senang kau begitu memperhatikanku."<br />"Lorna mencintaimu, De."<br />Dewa membalas dengan mencium keningnya.<br />"Aku tahu kau demikian mencintaiku. Kau mengingatkanku kepada Ibu, Ibu selalu membuat jenang abang bila aku berulangtahun. Kau mengingatkanku akan ucapannya kalau kamu seorang gadis yang pantas untuk dijadikan isteri."<br />Dewa menarik nafas panjang. Lorna merasakan helaan nafas Dewa seperti merasakan sesuatu yang mengingatkannya ke masa lalu.<br />Dewa kembali menatap mata Lorna.<br />"Maafkanlah bila aku menjadikanmu bukan isteri pertama."<br />Lorna menangkup kedua pipi Dewa.<br />"Tidak, De! Lorna tetap merasakan bahwa Lorna isteri Dewa yang pertama."<br />Dewa lantas memagut bibir Lorna, memilinnya sesaat. Mata Lorna terpejam disaat bibirnya dilumat sejenak.<br />"Tadinya aku mengharapkan kaulah isteriku yang pertama," kata Dewa setelah melepaskan pagutannya.<br />"Bagi Lorna tetaplah sama."<br />Dewa kembali memeluk Lorna. Mencium rambutnya yang harum dan tebal. Wajah Lorna dibenamkan ke dada Dewa. Mengajak agar Dewa tak membicarakan Nirmala.<br />Sementara angin malam terasa menyelusup masuk ke dalam kamar. Membuat Lorna mempererat pelukannya.<br />"Kita makan dulu. Kulihat sejak tadi kau belum makan."<br />"Aku hanya ingin istirahat."<br />"Nanti kita istirahat setelah makan," bujuk Lorna.<br />"Ajaklah Grace dan Rahma untuk makan dulu."<br />"Kita semua sudah makan. Atau Dewa ingin mengajakku bercinta?"<br />Dewa mengelus pipi Lorna yang lembut. Lalu mengecup bibirnya yang belum lama dipilinnya.<br />"Berada di dekatmu membuatku selalu ingin bercinta."<br />"Lakukanlah seperti janjiku saat di pantai tadi. Lorna milikmu."<br />Dewa tersenyum.<br />"Nanti malam saja seperti katamu. Bagaimana kalau Lorna yang mengajakku makan di luar?"<br />Tiba-tiba mata Lorna berbinar.<br />"Ide yang bagus! Kenapa tidak? Ini hari istimewamu."<br />Maka Lorna berbegas bangkit.<br />"Tapi aku bermaksud mandi dulu."<br />"Kau masih bersih dan cantik. Mandimu tiga kali sehari. Nanti setelah pulang kita mandi bersama."<br />"Hai!"<br />Dewa tersenyum.<br />"Kenapa tidak?" kata Lorna seraya mengangkat bahunya.<br />Lorna kemudian mengeluarkan sleyer untuk menutupi bahu. Dewa membantu mengenakan jaketnya. Keduanya sudah bersiap meninggalkan ruangan. Mereka harus berpamitan kepada Grace dan Rahma.<br />"Kita beritahukan mereka," kata Lorna yang kemudian mengetuk pintu kamar mereka.<br />Grace muncul di pintu.<br />"Hai! Rapi amat kalian berdua. Mau kemana?"<br />"Sori, kami tak mengajak kalian. Lorna mau mengantarkan Dewa mencari makan."<br />Rahma yang menyusul di belakang Grace kemudian berkata.<br />"Pergilah! Kalian berdua rayakan."<br />"Terima kasih. Sampai nanti ya?"<br />"Yuk, Grace! Rahma!" kata Dewa.<br />"Yuk, De. Berkencanlah!"<br />Grace dan Rahma memandangi Lorna yang melangkah anggun di sisi Dewa dengan memegang lengan tangannya. Serasi sekali.<br />Grace dan Rahma saling bertatapan lalu tersenyum.<br />"Berbahagialah keduanya," kata Grace lalu menarik tangan Rahma masuk kembali ke dalam kamar.<br />Tak lama kemudian keduanya sudah di jalan raya. Lorna belum bertanya kemana tujuan mereka karena pikirannya masih berkutat tentang foto kado buat Dewa.<br />"Foto itu membuatku terkejut."<br />"Kejutan buat kita berdua. Simpanlah kalau mau menyimpannya."<br />"Khususnya foto kita semasa sekolah itu."<br />"Simpanlah!"<br />"Badanmu masih langsing..." kata Dewa mengomentari postur tubuh Lorna dalam foto itu.<br />"Sekarang? Gembrot ya?"<br />"Lebih berisi."<br />"Dewa sudah melihat semuanya."<br />"Sekarang lebih seksi. Perutmu masih langsing. Pinggul lebar. Pahamu sekarang lebih berisi, seperti kaki belalang."<br />"Berduri?"<br />"Berbulu!"<br />Lorna tertawa.<br />"Dadamu lebih besar dan padat."<br />"Terus?"<br />"Bentuk tubuhmu bagus."<br />Lorna memandang wajah Dewa dengan sudut bibir menyunggingkan senyum. Pandangannya tak lepas dari setiap ucapan Dewa tentang bentuk tubuhnya. Ya, lantaran Dewa telah melihatnya secara keseluruhan.<br />Beberapa kali Dewa mengungkapkan keinginan melukisnya tanpa busana. Sebagaimana dalam lukisan-lukisan klasik. Tak keberatan terhadap keinginan Dewa. Karena selama hidup hanya Dewa yang telah dan boleh melihat bentuk tubuhnya tanpa busana. Dewa adalah harapannya menjadi pendamping hidupnya. Yang akan melahirkan anak-anak mereka.<br />"Hai. Melamun?"<br />Dewa menegurnya.<br />"Hanya Dewa yang telah melihat tubuhku," balas Lorna tersadar dari lamunannya.<br />"Aku tahu!" jawab Dewa.<br />"Kemana kita?" tanya Lorna.<br />"Ke hotel saat kau membelikan cincin ini," jawab Dewa seraya memandang cincin di jari manisnya.<br />"Aku yang traktir!" kata Lorna.<br />"Kamulah bosnya."<br />Jalanan Denpasar di malam hari terasa lengang.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-16894378692663070272010-07-21T14:18:00.000-07:002011-06-25T06:50:53.262-07:00105. Happy Birthday Dewa.<span style="font-weight: bold;">Hari sudah gelap saat Dewa dan Komang kembali ke penginapan</span>. Di halaman penginapan nampak beberapa mobil diparkir. Ada yang bertuliskan 'Nirwana Resort'. Artinya ada tamu dari tim film.<br />Ruang depan penginapan nampak diramaikan dengan kedatangan kru film iklan. Mereka sedang menikmati hidangan yang telah disiapkan Grace dan Rahma. Dewa sesungguhnya kurang menyukai keramaian seperti itu. Namun bersikap wajar hanya karena menghormati Lorna. Dia pikir hanya untuk merayakan awal pengambilan gambar besok.<br />"Kamu ikut saja bersama mereka. Tunggu aku mau mandi dulu."<br />"Aku tak bisa lama, De."<br />"Ya. Kau harus pulang. Besok mereka memerlukanmu lagi. Atau kau mau pulang sekarang?"<br />"Aku mau pamitan dulu ke bos."<br />Dewa tersenyum. Bos yang dimaksud Komang adalah Lorna. Keduanya lalu masuk ke dalam. Dewa hanya tersenyum seraya mengangkat tangan memberi salam kepada semua yang ada dalam ruangan itu.<br />Lorna yang saat itu sedang duduk di samping Imelda, langsung bangkit berdiri mendekati dan mencium punggung tangannya sesaat. Semua yang hadir memperhatikan apa yang dilakukannya. Bos perempuan mereka saja mencium tangannya, tentu lelaki itu punya hubungan luar biasa dengannya.<br />"Lorna ingin memperkenalkanmu sebentar ya?" tanya Lorna perlahan.<br />Dewa tersenyum seraya berbisik.<br />"Aku mau bersihkan badan dulu. Komang juga mau pamitan pulang," bisik Dewa.<br />"Komang. Jangan pulang dulu!" cegah Lorna.<br />"Oke, tapi jangan lama."<br />"Sebentar, tak kan lama!"<br />Lorna memperkenalkan Dewa.<br />"Selamat malam semuanya. Barangkali sebagian dari kalian ada yang belum tahu, untuk itu saya mencoba memperkenalkan. Ini Mas Dewa yang diminta Pak Robi untuk mendampingku di acara shooting besok. Tapi karena Mas Dewa ada keperluan sebentar, maka akan bertemu lagi setelah itu."<br />Tim dari Bali, karyawan Pak Robi sudah mengenal Dewa. Mereka mendukung Dewa dilibatkan sebagai pemain bersama Lorna. Keserasian hubungan keduanya tak diragukan lagi. Tim dari Jakarta sebagian baru melihat Dewa, kecuali Imelda, berpendapat sama. Sutradara, Erwin mencoba mengetahui sosok Dewa, belum mengenal betul lelaki yang nampak akrab dengan bos perempuannya itu.<br />Penampilannya yang flamboyan, postur gagah, wajah tampan, tak banyak bicara, tersenyum seperlunya, serta tatapan matanya yang dingin dan teduh. Siapapun akan enggan berbicara bila tak perlu sekali, karena Dewa memilih bicara seperlunya.<br />"Membaurlah!" kata Dewa perlahan pada Komang.<br />"Tenang saja..." jawab Komang.<br />Dewa beringsut meninggalkan mereka. Naik ke lantai atas, masuk kamar untuk membersihkan badan. Lorna mengikuti masuk ke dalam kamar. Bersandar pada daun pintu seraya menatapnya sayu. Wajahnya memperlihatkan wajah iba. Dewa baru melepaskan pakaian atas dan bertelanjang dada saat melihatnya berdiri mematung menatap ke arahnya.<br />"Maafkan aku terlambat!"<br />"Bukan karena tersinggung ucapanku soal Nirmala?" tanya Lorna perlahan dengan wajah seakan menyesali ucapan yang pernah dilontarkan kepadanya.<br />"Aku pergi bukan karena itu," jawab Dewa dengan dahi mengerenyit.<br />"Seharusnya Lorna tak mengungkit itu."<br />"Sudahlah! Lupakanlah! Aku ingin memelukmu, badanku terasa kotor aku ingin mandi."<br />Lorna menghambur ke pelukannya.<br />"Kalau ingin memeluk Lorna. Peluk saja. Lorna tak peduli Dewa belum mandi."<br />Dewa merengkuhnya erat.<br />"Aku harus menjagamu. Kamu gadis yang bersih. Yang terawat."<br />"Jangan tinggalkan lagi Lorna seperti itu," Lorna berkata dengan suara perlahan.<br />Dewa mencium dan menghirup rambutnya.<br />"Maafkanlah aku. Apakah kau ingin ikut kemana pun aku pergi."<br />"Bawalah aku kemana saja Dewa pergi," jawab Lorna.<br />Kulit wajahnya menempel pada kulit dada Dewa yang bidang. Terasa hangat. Kehadirannya membuat perasaannya tak lagi resah. Walau saat ini ada perasaan yang sejak bangun tidur, ingin sekali dilepaskan. Namun masih ditahannya. Perasaan ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, sebab hari ini Dewa berulang tahun. Dewa tak menyadari akan hari kelahirannya. Nanti ucapan itu akan disampaikannya saat kue ulang tahun - yang kini masih disembunyikan dalam kamar Titi - dipotong dan lilinnya mulai ditiup.<br />"Boleh aku mandi sebentar?"<br />Pertanyaan Dewa membuatnya tersadar dari lamunannya, akibat merasa nyaman dalam pelukannya.<br />"Lorna tunggu di sini?"<br />"Tamumu di bawah bagaimana?"<br />"Mereka ada yang mengurus. Lorna akan mengurus pakaian Dewa dan mengambilkan minum," jawabnya sembari tengadah, memberikan bibirnya agar dikecup.<br />Dewa lalu memberinya kecupan. Lalu saling memandang lama sekali. Dewa membelai wajahnya. Memuaskan diri menikmati kecantikannya. Menikmati biru matanya.<br />"Aku mencintaimu, Na."<br />"Terlebih aku, De," ucap Lorna lirih.<br />"Aku cemas bila kamu menangis?"<br />Lorna menggeleng.<br />"Tadi sempat..." lanjutnya pendek.<br />"Benarkah?"<br />"Nanti kita bicara menjelang tidur..." kata Lorna sembari berbisik ke telinga Dewa, "Ingat janji Lorna di pantai tadi pagi?"<br />Dewa mengecup pipinya dan menjawab.<br />"Tak sepatah kata pun ucapanmu yang kulupakan."<br />"Terima kasih, De. Sekarang pergilah mandi..."<br />Selama Dewa berada dalam kamar mandi. Lorna menyiapkan pakaian Dewa dan menelpon Titi untuk membuatkan minum Dewa. Titi sudah tahu jenis minuman apa yang harus dibuatnya. Setelah Dewa selesai berbenah diri, Lorna berikan cangkir cappuccino yang baru diletakkan Titi ke atas nakas dekat jendela. Lalu memperlihatkan satu bendel naskah untuk kebutuhan <span style="font-style: italic;">shooting</span>.<br />"Tak ada bedanya dengan naskah yang sudah Lorna baca," kata Dewa sambil meneguk minumannya.<br />"Memang. Eh, Dewa sudah membacanya?"<br />Dewa mengangguk seraya duduk di tepi pembaringan di samping Lorna. Lalu menatap Lorna dan berkata, "Naskahmu sempat kubaca sebelum kita berangkat kemari. Tak ada dialog di dalamnya. Dialog yang terjadi sekedar ilustrasi. Suara tak direkam atau didubbing. Hanya akan diisi narasi."<br />Lorna tersenyum.<br />"Begitulah. Tapi Dewa perlu pakaian untuk kebutuhan <span style="font-style: italic;">shooting</span>. Apakah malam ini kita bisa keluar untuk membelinya? Di bawah, bagian <span style="font-style: italic;">custom</span> sudah siap mengantarkan. <span style="font-style: italic;">Custom</span> Lorna sudah disiapkan sejak di Jakarta."<br />"<span style="font-style: italic;">Custom</span> pakaian di kolam renang, pantai dan custom formal, maksudmu? Itu yang terinci dalam naskah."<br />Lorna mengangguk.<br />"Perlu bicara dengan sutradara?"<br />"Besok saja di lokasi."<br />"Bisa kita turun ke bawah?"<br />Dewa memandang kembali Lorna yang berada di sebelahnya.<br />"Kuperhatikan sore ini kamu nampak anggun dan ceria," kata Dewa seraya meletakkan cangkir minumannya.<br />Lorna tersenyum.<br />"Terima kasih. Bisa kita turun ke bawah sekarang?"<br />"Kamu cantik sekali."<br />"Terma kasih. Bisa kita turun?"<br />"Kamu pintar."<br />"Terima kasih. Bisa kita turun?"<br />"Sejak di sekolah semua tahu kamu gadis pintar."<br />"Terima kasih. Bisa kita turun?"<br />Dewa menatapnya tajam, tatapan itu seakan bertanya kenapa demikian memaksanya Lorna agar dirinya turun ke bawah.<br />"Kita turun? Kita temui mereka?" Lorna mengulangi keinginannya.<br />"Tidak bisakah belanja <span style="font-style: italic;">custom</span> besok saja?"<br />"Kalau itu mau Dewa, nggak persoalan ditunda besok. Nanti kuberitahu mereka soal itu."<br />"Maafkan aku. Sebenarnya aku malas ke bawah. Aku akan ke bawah hanya untuk mengantarkan Komang."<br />"Lorna mengerti kalau Dewa tidak menyukai suasana seperti itu."<br />"Bukan tak suka, hanya aku sedang tidak nyaman. Aku ke bawah hanya untuk menemanimu"<br />Lorna mengecup pipi Dewa sesaat.<br />"Terima kasih, De. Bisa kita mulai ke bawah biar mereka cepat pergi."<br />Lantas Dewa beranjak berdiri. Tangan Lorna menggandengnya meninggalkan kamar. Kembali menjumpai mereka yang ramai di ruang depan.<br />Saat Lorna dan Dewa muncul, mereka yang berada di teras segera masuk. Sehingga semuanya berada di dalam. Dewa pun mengambil tempat duduk berdampigan dengan Lorna. Keduanya seakan jadi pusat perhatian. Dewa tak menyukai situasi seperti itu.<br />"Selamat malam semuanya," Lorna memulai pembicaraan, "Terima kasih semua bisa hadir. Tentu kita tidak hanya sekedar merayakan dimulainya pengambilan gambar untuk materi iklan yang sudah kalian mulai sejak tadi pagi. Lebih dari itu saya hanya ingin menyampaikan dan mengingatkan, bahwa ada kalanya kita telah melupakan hal-hal yang sepele, namun justru itu memiliki arti sangat penting bagi kehidupan kita."<br />Grace dan Rahma kemudian mengeluarkan sebuah kue ulang tahun yang lilinnya sudah dinyalakan. Kue tersebut lantas diletakkan di atas meja yang telah disiapkan. Di depan tempat duduk Dewa dan Lorna. Piring kertas serta sendok dan garpu plastik juga sudah disiapkan, termasuk pisau untuk memotong kuenya.<br />"Siapa yang berulangtahun?" tanya Imel.<br />"Kamu bukan?" tanya Lorna pada Imel.<br />"Sudah lewat tiga bulan lalu." jawabnya tertawa.<br />"Baiklah. Saya akan menariknya untuk berdiri. Maka dialah yang berulang tahun. Jumlah lilin yang ada adalah jumlah usianya yang berulangtahun." kata Lorna.<br />Semua pada menebak-nebak sebelum Lorna bangkir berdiri.<br />"Lorna berdiri bukan berarti yang berulangtahun. Mari kita beri ucapan selamat. Karena yang berulangtahun sedang mencoba mengingat-ingat sendiri."<br />Grace dan Rahma memandang Lorna yang kemudian tiba-tiba menarik tangan Dewa agar berdiri. Dewa tergagap.<br />Grace dan Rahma bertepuk tangan, diikuti yang lainnya. Titi yang sejak tadi tak nampak, kini turut bergabung.<br />Dewa mendekatkan mulutnya ke telinga Lorna. Berbisik.<br />"Kamu sudah merencanakan?"<br />Lorna balas berbisik.<br />"Kuharap Dewa tak marah?"<br />"Aku tak marah. Seharusnya kamu lakukan sendiri bersama Grace dan Rahma, tak perlu melibatkan mereka."<br />"Maafkan aku kalau begitu."<br />"Ya sudah. Sudah terlanjur. Lanjutkanlah."<br />Lorna kembali menghadapi mereka yang sejak tadi memperhatkan pembicaraan antara Lorna dan Dewa yang tak mereka dengar, karena keduanya saling membisik .<br />"Silahkan meniup lilinmu, De," pinta Lorna.<br />Dewa yang masih merasa enggan terpaksa membungkuk meniup liliin yang diiringi nyanyian selamat ulang tahun kepadanya. Serta diikuti pemberian ucapan selamat oleh semua yang hadir. Grace dan Rahma memilih memberi ucapan belakangan.<br />"Selamat ya, De. Panjang umur dan semakin jaya," kata Grace. Lalu memberikan kado ulangtahun padanya.<br />"Ah, cukup dengan ucapan, nggak perlu begini, Grace."<br />"Kamu menolak?" tanya Grace.<br />Dewa tertawa sambil mengecup pipi Grace. Mata Grace berbinar seraya menatap Lirna, menunjuk pipinya dicium Dewa.<br />Lorna tertawa.<br />"Selamat ulang tahun, De. Semoga panjang umur, semakin berhasil dalam segala hal. Semoga cinta kalian abadi," ucap Rahma perlahan.<br />Seperti halnya Grace diapun memberikan kado yang bentuknya sama dengan yang diberikan Grace, hanya warnanya saja yang berbeda.<br />Dewa pun mengecup pipi Rahma yang matanya juga membeliak.<br />"Thanks, Ra!"<br />"Pipiku dicium, Dewa." bisiknya pada Lorna.<br />Lorna tersenyum-senyum. Tak menyangka kedua sahabatnya telah menyiapkan kado ulangtahun. Sedangkan dirinya tak sejauh itu punya pikiran seperti itu. Ingin tahu hadiah apa yang diberikan keduanya, maka Lorna meminta Dewa membuka kado kedua sahabatnya itu. Permintaan Lorna membuat semua yang hadir mendaulat Dewa memperlihatkan isi kedua kado tersebut.<br />Dewa mengupas pembungkus kado dengan hati-hati. Dan tak bisa mengelak untuk menunjukkan isi kado berupa sebuah foto ukuran A3 lengkap dengan bingkainya. Foto yang memperlihatkan Dewa dan Lorna sedang bergandengan tangan di tepi pantai. Foto itu diambil ketika mereka masih kelas tiga sma.<br />Semua yang hadir jadi tahu bahwa antara Dewa dan Lorna telah terjalin hubungan sejak masih bersekolah.<br />"Hai, aku sendiri bahkan tak punya," kata Lorna.<br />Dewa geleng-geleng kepala, seraya memperlihatkan ujung telunjuk jarinya kepada Rahma seperti mau menembak. Dewa dan Lorna saling memandang dan tersenyum.<br />"Aku tak tahu, De!" katanya Lorna seakan menolak tuduhan bahwa kado itu bagian dari rencana mereka.<br />Tatapan Dewa seperti mengandung tuduhan itu.<br />"Yang satunya buka sekalian Mas Dewa!" ada yang ikut bersuara.<br />Maka Dewa membuka sekalian kadonya Grace. Isi tak beda dengan yang diberikan Rahma. Hanya isi fotonya yang berbeda. Yaitu foto Dewa dan Lorna berpelukan mesra di malam hari. Yang diambil masih baru sesuai tanggal yang tertera.<br />Lorna tersipu malu.<br />Dewa kembali memandangnya seraya tersenyum.<br />"Lorna sungguh tak tahu. Tanyakan pada Grace dan Rahma," kata Lorna yang juga terkesima dengan hadiah kado kedua sahabatnya itu.<br />Akhirnya Rahma dan Grace angkat bicara.<br />"Teman-teman sekalian. Kami berdua memang menyiapkan kedua kado tersebut tanpa sepengetahuan mereka berdua. Itulah kenapa keduanya kini nampak berselisih. Kepada Dewa, saya mohon maaf bila kado kita tak berkenan. Hanya perlu kujelaskan bahwa Lorna tidak tahu sama sekali akan kado yang kita siapkan buatmu. Kurasa itu pilihan yang tak mudah untuk mencarikan hadiah buatmu," jelas Rahma.<br />Dewa tertawa datar dan berkelit bahwa dirinya tidak marah, berselisih atau pun tak berkenan dengan hadiah tersebut.<br />"Hadiah tersebut demikian istimewa. Kupikir kado itu cukup berhasil membuatku terkeju. Pertama, hadiah yang diberikan Lorna sudah lebih dari istimewa meski itu sekedar mengingat kapan saya dilahirkan. Terima kasih kepada semuanya, kepada kedua sahabatku Grace dan Rahma dan juga kepada..."<br />Dewa memandang Lorna yang bola matanya berkaca-kaca.<br />"Kepadanya. Terima kasih sekali telah mengingatkan."<br />Lorna mengangguk perlahan dengan senyum berusaha menahan air mata yang siap bergulir dari sudut matanya.<br />"Potong kuenya, De!" kata Grace.<br />Maka Dewa pun memotong kue. Mengambil sepotong untuk diberikan kepada Lorna yang berdiri di sisinya. Yang hadir kini tahu kalau Dewa dan Lorna sesungguhnya berpasangan.<br />"Mbak Lorna suapin Mas Dewa!" kata Imelda.<br />Yang lain turut menyemangati. Memaksa Lorna memberikan suapan ke mulut Dewa.<br />"Kamu belum memberi ucapan selamat," kata Rahma.<br />Dewa menyeka air mata yang bergulir dar sudut mata Lorna. Semua yang hadir terpana dan terdiam melihat bagaimana Lorna menatap Dewa sambil mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dewa dengan suara lunak. Lunak sekali. Kemudian mengecup bibir Dewa.<br />"Semoga panjang umur dan selalu sehat," ucapnya lembut.<br />Dewa tersenyum.<br />"Terima kasih, Na. Kamu baik sekali."<br />Lantas Lorna pun menjatuhkan dirinya kepelukan Dewa. Dia sudah tak peduli lagi akan sekitarnya yang memperhatikannya.<br />"Maafkan aku tak pandai memberikan surprise di hari ulang tahunmu," bisik Lorna.<br />"Ini sudah mengejutkanku."<br />Setelah Lorna melepaskan diri dari pelukan Dewa. Semua yang hadir bertepuk tangan.<br />"Sori....saya terbawa emosi," kata Lorna.<br />Maka pesta pun berlanjut.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-27375955647612173052010-07-19T10:28:00.000-07:002011-06-24T22:17:05.475-07:00104. Kegusaran.<span style="font-weight: bold;">Lorna berdiri di mulut jendela.</span> Menatap pemandangan di luar. Namun dalam hati ada perasaan menyesal kenapa tadi saat berada di pantai bertanya perihal Nirmala. Seharusnya hal itu tak perlu diungkitnya. Sebab hari ini adalah hari istimewa Dewa. Tepatnya hari ini Dewa berulang tahun. Dewa tidak tahu. Dia lupa ataukah tak pernah mengingat hari kelahirannya? Ataukah memang dia tak mempedulikannya?<br />Dihari istimewanya tak selataknya mengusik kegelisahan hatinya. Sebab Nirmala adalah masa lalu Dewa. Itu artinya bagian dari masa lalunya pula. Perasaan cemburu yang tiba-tiba menghinggapi, tidak seharusnya membuatnya menjadi egois, bersikap terlalu berlebihan.<br />Setelah apa yang sudah dilalui bersamanya belakangan ini, sepantasnya merasa bersyukur dan berterimakasih karena Dewa membuatnya dua kali terdampar di Bali, di penginapan yang sama. Dan kini memilikinya kembali jiwa dan raganya seperti yang diharapkannya selama ini.<br />Kepergian Dewa keluar bersama Komang untuk suatu keperluan. Membuatnya merasa seperti ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Dewa mencegahnya ikut karena sudah ada Grace dan Rahma yang menemani. Apalagi keperluannya hanya sebentar.<br />Namun tidak adanya Dewa di dekatnya, tiba-tiba membuatnya merasa disergap rasa sepi. Sergapan rasa sepi itu menimbulkan pertanyaan di dalam hatinya. Apakah lantaran pertanyaannya perihal Nirmala tadi pagi saat berjalan-jalan di tepi pantai mengganggu pikirannya? Sehingga kemudian pergi keluar beralasan ada suatu keperluan? Tak seperti biasa, karena tak pernah meninggalkannya sendiri seperti ini. Pamitnya sebentar, namun setelah lebih dari dua jam nyatanya belum kembali, menimbulkan kegelisahannya.<br />Karena tidak tahan oleh desakan yang berkecamuk dalam pikirannya. Di depan pintu kamar dia mencoba menghubungi ponselnya Dewa. Ada nada sambung namun tidak diangkat. Dicobanya kembali beberapa kali, tetap sama. Sungguh-sungguh membuatnya ingin menangis.<br />Kemudian dia meninggalkan kamar bermaksud menemui Grace dan Rahma yang berada di depan kamar, untuk menanyakan, kenapa Dewa belum kembali juga.<br />"Coba kamu hubungi Komang. Aku kawatir Komang memberitahukan rencana kita padanya," kata Lorna.<br />"Mana kutahu nomernya," kata Grace.<br />Lantas Lorna menunjukkan nomer ponsel Komang. Rahma menatap Lorna. Nampak ada kegelisahan tercermin di wajahnya. Baru ditinggal sebentar perasaannya sudah tak karuan.<br />"Komang pagi tadi sudah janji tidak akan memberitahukan kepada Dewa," kata Rahma berusaha meyakinkan Lorna untuk menenangkan perasaannya.<br />"Bukan soal itu!" potong Lorna.<br />"Lalu soal apa?" tanya Rahma ingin tahu.<br />Lorna tak menjawab. Dia merasa telah keceplosan bicara. Sementara Grace sudah terhubung dengan Komang.<br />"Ini aku Grace. Ada Dewa di situ?"<br />"Sedang berbicara dengan temannya."<br />"Komang beritahu kepada Dewa tentang rencana sore ini?"<br />"Nggak. Kenapa?"<br />"Yakin Komang tidak memberitahukan?"<br />"Benar! Sama sekali tidak!"<br />"Ya sudah. Tapi, tadi Dewa pamitan pergi sebentar. Kenapa lama sekali?"<br />"Aku juga nggak tahu. Dia sedang sibuk berbicara dengan teman-teman lamanya yang baru datang dari Ubud."<br />"Bisa minta tolong beritahu Dewa, supaya jangan lama-lama di sana. Kekasihnya sedang gelisah menunggunya."<br />Komang terdengar tertawa.<br />"Aku serius!" kata Grace.<br />"Baik, nanti kusampaikan."<br />"Jangan katakan kalau aku menelponmu. Terserah cara Komang agar bisa membawa kembali Dewa dengan segera. Terima kasih, ya?"<br />"Oke!"<br />Grace menyudahi teleponnya. Memandang wajah Lorna yang mencerminkan kegelisahan hatinya.<br />"Dewa sedang berkumpul dengan teman-teman lamanya dari Ubud."<br />"Ada persoalan apa?" tanya Rahma mengulangi pertanyaannya yang tidak dijawab Lorna.<br />Lorna menggeleng tidak ingin melibatkan kedua temannya tentang perasaan gundah yang tiba-tiba melandanya.<br />"Bicaralah kalau ada yang mengganggu pikiranmu, Na," kata Rahma seraya memegang kedua pipi Lorna dengan telapak tanganya.<br />"Kenapa?"<br />Lorna menggeleng seraya memaksa tersenyum.<br />"Baru ditinggal pergi sebentar sudah kangen," kata Grace.<br />"Bukan, Lorna takut dia lupa waktu dan acara itu bisa berabe," kata Lorna berkelit.<br />"Mana bisa dia melupakan bidadarinya yang di sini," kata Rahma.<br />"Malam ini ada acara keluar untuk membeli kebutuhan custom dia untuk shooting."<br />"Kamu sudah bilang?" tanya Grace.<br />"Belum!"<br />"Wah?"<br />"Kupikir nanti saat kita bicarakan dengan sutradara yang akan datang sore ini. Kita kan mengundang sekalian crew film untuk ikut merayakannya, sekalian merayakan shooting."<br />"Seharusnya kamu menahannya agar jangan sampai keluar penginapan," kata Rahma.<br />"Mana bisa. Dewa berbicara dengan Komang, setelah itu mereka berdua minta ijin keluar sebentar. Lorna tak tahu apa yang mereka bicarakan. Lorna tak bisa mencegah."<br />Sejam ditunggu. Mereka belum kembali juga. Telepon seluler Dewa bisa dihubungi namun tidak diangkat. Sedangkan ponsel Komang kemudian tidak bisa dihubungi.<br />Sementara <span style="font-style: italic;">crew</span> film sudah datang. Baik tim dari Jakarta maupun tim dari Bali sudah berkumpul. Rahma dan Grace dibantu Titi sibuk mengurus konsumsi.<br />Sementara Lorna berada dalam kamar. Setelah menemui mereka di bawah dan berbicara sebentar dengan Imel, kemudian naik dan masuk ke dalam kamarnya. Dia benar-benar ingin menangis. Hatinya risau. Tubuhnya dihempaskannya di atas pembaringan. Wajahnya dibenamkan ke dalam hamparan kasur yang lunak. Berbagai perasaan berkecamuk dalam rongga dadanya. Kalau sudah begini tidak ada yang berani mengusik keberadaan Lorna dalam kamar kecuali Grace dan Rahma.<br />"Kenapa dia tak turun lagi?" tanya Grace.<br />"Coba kita lihat di kamarnya," ajak Rahma.<br />Grace dan Rahma lantas bergegas naik ke lantai dua. Mengetuk pintu kamar Lorna yang tidak dikunci. Rahma dan Grace lalu masuk dan mendapati Lorna telungkup di atas pembaringan. Keduanya mendekati. Tetapi kemudian Lorna bangun dan duduk di tepi pembaringan. Matanya berkaca-kaca.<br />"Aku juga bingung kenapa telepon Komang tidak bisa dihubungi," kata Rahma.<br />Grace memeluk Lorna untuk meredakan kegelisahannya.<br />"Kata Dewa kamu tak boleh menangis," katanya.<br />"Kita mau memberinya kejutan malah dia yang mengejutkan kita, tidak pulang-pulang," jawab Lorna antara ingin menangis dan tertawa.<br />"Coba Dewa ditelepon lagi," kata Rahma.<br />Lorna mencoba menghubungi ponsel Dewa lagi. Saat menunggu sambungan ruangan terasa hening. Ketiganya tak bersuara. Namun di tengah-tengah keheningan itu, mereka mendengar sesuatu. Suara dering telepon.<br />Lorna memandang Grace dan Rahma bergantian. Berusaha mencari tahu asal sumber suara. Lorna sengaja tidak memutuskan sambungan teleponnya ke ponsel Dewa. Lalu dia bangun menuju asal suara berasal. Almari pakaian Dewa. Almari itu kemudian dibukanya. Dan suara panggilan telepon seketika terdengar dengan jelas. Lorna mengenal betul suara itu adalah suara ponsel Dewa. Ternyata ponsel Dewa di tinggalkan di dalam tasnya.<br />"Bagaimana bisa menghubungi Dewa, teleponnya saja di situ," kata Grace seraya mendekati Lorna yang sedang melihat ke dalam tas milik Dewa.<br />Lorna geleng-geleng kepala. Lalu ponsel Dewa yang diambilnya sebentar itu kemudian dimasukkan kembali ke tempatnya. Tas dan almari pakaian Dewa kembali ditutupnya.<br />"Jadi bagaimana?" tanya Rahma.<br />"Ya, kita tunggu. Mau bagaimana lagi," kata Lorna yang ingin menangis sejak tadi, jadi merasa geli dengan peristiwa yang baru saja dialamnya.<br />Ponsel Grace berbunyi. Ada telepon masuk. Itu dari Komang.<br />"Kemana saja? Dihubungi tidak bisa!" kata Grace.<br />"Maaf. Baterainya drop, sambil dicharge di mobil untuk menelpon balik."<br />"Terus kapan pulangnya?"<br />"Ini sedang bergerak kembali."<br />"Tolong cepat ya? Bisa bicara dengan Dewa?"<br />"Sebentar...."<br />Lalu Grace menunggu. Kemudian dia mendengar suara Dewa.<br />"De!"<br />"Yo'i!"<br />"Kenapa lama? Lorna menangis lho nunggu kamu. Bicara ya dengannya?"<br />"Boleh!"<br />Grace menyerahkan hapenya ke tangan Lorna.<br />"Hai!" sapa Lorna perlahan<br />"Hai! Maafkan pergi agak lama."<br />"Kenapa hapenya tak dibawa?"<br />"Terburu-buru tadi."<br />"Bisa kembali sekarang?"<br />"Dalam perjalanan. Maafkan aku ya?"<br />"Apakah Dewa pergi keluar karena terganggu pembicaraan di pantai tadi pagi?"<br />"Tentang apa?"<br />"Itu."<br />"Itu apa? Maksudmu, Nirmala?"<br />"Ya."<br />"Ah, nggak. Dewa sungguh ada keperluan tiba-tiba, karena Komang memberitahu ada teman ingin bertemu denganku."<br />"Kenapa tidak diajak saja kemari?"<br />"Janganlah. Lorna rencananya kan ada tamu. Kalau ada temanku, tentu akan mengganggu jadwal kalian."<br />"Baiklah, nanti kita bicarakan lagi. Kutunggu ya?"<br />"Jangan kesal ya?"<br />"Mm."<br />"Mm, apa?"<br />"Sempat."<br />"Sempat kesal?"<br />"Ya."<br />"Lampiaskan kesalmu nanti malam ya?"<br />"Bye. Cepat kembali. Lorna tunggu, ya sayang."<br />Saat Lorna menyebut kata sayang, membuat hati Rahma dan Grace terasa diguyur dengan air es. Adem, adem sekali. Apalagi saat wajah Lorna kembali ceria. Dan kembali mengeringkan pelupuk matanya yang sempat basah.<br />"Kalian turun dulu, aku mau ke kamar mandi dulu," kata Lorna.<br />Maka Grace dan Rahma bergegas turun ke kamar Titi. Sebab kue ulang tahun untuk Dewa disembunyikan di kamar Titi. Grace dan Rahma tak lupa mengambil kado yang sudah dipersiapkannya sebelum berangkat ke Bali. Kado-kado mereka juga diletakkan di kamar Titi.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-72336090536789443102010-07-16T12:52:00.001-07:002011-06-26T05:35:29.712-07:00103. Sebuah Rencana.<span style="font-weight: bold;">Seperti yang mereka bicarakan semalam</span>. Grace dan Rahma meminta bantuan Komang mengantar berbelanja. Kepergian mereka atas kesepakatan bersama Lorna, karena itu merupakan bagian dari rencana mereka bertiga. Sedangkan Lorna lebih memilih berada di dekat Dewa.<br />Sejak pagi Dewa dan Lorna mencari udara segar di pantai. Berjalan bergandengan menelusuri permukaan pasir yang panjang. Mengejar kepiting pantai. Memungut lokan dan melemparkannya ke tengah laut.<br />"Jangan cemaskan soal shooting yang akan kita lakukan. Kita akan melalui tanpa kesulitan. Percayalah semua akan berjalan mudah. Karena pada dasarnya kita adalah pasangan yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh iklan itu. Dan itu akan memudahkan sutradara untuk melalui setiap scene yang akan diambilnya."<br />Apa yang dijelaskan Dewa dibenarkan oleh Lorna.<br />"Lorna percaya pada Dewa."<br />"Kenapa Grace dan Rahma tak ikut kita ke pantai?" tanya Dewa.<br />"Mungkin mereka lebih ingin menikmati suasana pasar di Bali dari pada pantainya," jawab Lorna datar menyembunyikan alasan sesungguhnya kenapa Grace dan Rahma tak ikut jalan-jalan menelusuri pantai.<br />"Mereka ingin melihat Pura Uluwatu," kata Lorna melanjutkan.<br />"Lorna pernah kesana?" kata Dewa.<br />"Belum. Karena itu ajaklah kesana nanti."<br />"Kita kesana bersama-sama," jawab Dewa seraya merengkuh pinggang Lorna.<br />"Setelah pengambilan gambar selesai, apakah kita akan jalan-jalan dulu di Bali?"<br />"Berapa lama acara <span style="font-style: italic;">shooting</span>-nya?"<br />"Sudah kuminta ke Erwin mempercepat tanpa mengurangi kualitas. Nanti sore dia akan ke tempat kita, dan aku akan mengingatkan kembali."<br />Mereka kemudian berhenti melangkah. Jejak kaki mereka tertinggal di belakang. Hanya ada jejak mereka, belum ada jejak lain yang mengunjungi pantai selain mereka berdua. Lorna berdiri menghadap laut yang terbentang luas. Dewa memeluknya dari belakang. Wajahnya menempel samping wajah Lorna. Rambut Lorna berkibar diterpa angin laut. Terpaannya terasa sejuk di kulit wajahnya.<br />Telapak tangan Lorna memegang pipi Dewa, mengelusnya lembut.<br />"Dengan Nirmala apakah Dewa pernah lakukan seperti yang kita lakukan semalam?" tanyanya perlahan.<br />"Kenapa? Cemburu?"<br />"Ya!" jawab Lorna seraya tersenyum.<br />"Itu karena kau mencintaiku, yang berharap aku tak menyentuh wanita lain selain dirimu. Apakah akan kita membahas Nirmala?"<br />"Ah, nggak."<br />"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?<br />"Karena Dewa pandai melakukannya."<br />Dewa menggigit telinga Lorna lunak. Membuat bulu kuduknya merinding.<br />"Kalau bisa mengukur dan menilai tentu berpengalaman."<br />"Dewa!" tiba-tiba Lorna memotong dengan suara keras sambil berbalik menghadap ke Dewa. Menatap dengan membeliak tajam mata Dewa.<br />"Kenapa?"<br />"Kenapa Dewa menuduh Lorna demikian?"<br />"Menuduh apa? Dewa tak menuduh. Jangan gunakan istilah itu."<br />"Lorna tak punya pengalaman bercinta selain dengan Dewa. Lorna hanya berpendapat."<br />"Ya, sudah. Tapi aku tak bermaksud mengatakan itu. Dewa hanya mau mengatakan apakah Lorna berpengalaman atau tidak, Dewa tak peduli."<br />"Lorna tak punya pengalaman. Lorna masih virgin, De. Hanya Dewa yang boleh menyentuhnya. Lorna menjaganya hanya untuk Dewa. Hanya dengan Dewa, Lorna mau melakukannya. Lorna hanya mau bercinta dengan Dewa. Dewa bisa membuktikan, tetapi Dewa tak mau melakukannya. Dewa sudah mengatakan, akan melakukannya bila sudah tiba saatnya nanti." ujar Lorna seraya menatap tajam ke mata Dewa.<br />"Jangan menangis."<br />"Lorna tak menangis."<br />"Kalau kamu sedih nanti kamu menangis."<br />"Lorna hanya berpendapat, Dewa pandai sekali bercinta."<br />"Apakah pandai artinya berpengalaman?"<br />Keduanya lama bertatapan tanpa bersuara. Hanya desah lidah laut yang menjulur di atas pasir dan suara camar di atas laut yang terdengar. Akhirnya Lorna tersenyum. Kemudian memeluknya erat.<br />"Maafkan Lorna." katanya.<br />"Apakah Lorna tak menyukai?"<br />"Lorna menyukai, karena itu Lorna cemburu. Apalagi Lorna sudah tahu milik Dewa yang sempurna."<br />Dewa tersenyum.<br />"Dewa tahu. Jangan dihubungkan ke masa lalu."<br />"Maafkan Lorna, De. Seharusnya Lorna tak mengatakan hal itu."<br />"Kumaafkan bila Lorna kembali mengajak..."<br />"Lorna berjanji. Bercintalah denganku nanti malam."<br />Dewa tertawa datar.<br />"Hanya bercanda, Dewa tak ingin memaksa."<br />"Sejak dulu Lorna tak pernah merasa dipaksa."<br />Dewa memijit batang hidung Lorna yang bangir. Lalu Lorna menggigit dagu Dewa dengan gemas. Dewa tertawa.<br />"Kamu memang adikku yang bandel!"<br />Lorna senang dengan ucapan Dewa. Karena Dewa juga menganggapnya sebagai adik maka dirinya sering bersikap kolokan, merajuk, hanya kepada Dewa berani berterus terang lantaran Dewa sangat memahaminya.<br />"Kamu adalah kakak yang bandel mau bercinta dengan adik sendiri."<br />Dewa tertawa yang berusaha dibungkam tawa itu dengan mulutnya. Lorna berusaha menangkap mulut Dewa dengan mulutnya, tapi Dewa menghindar. Keduanya tertawa riang. Sampai akhirnya Dewa menyerah dan membiarkan Lorna memagut bibirnya.<br />"Lorna janji akan mengajakmu bercinta nanti malam." bisik Lorna, bibirnya basah bekas bibir Dewa.<br />Sesungguhnya bila Lorna mengatakan janji dan keinginannya, tak lebih ingin memberikan sesuatu sebagai hari istimewa. Dimana Dewa sendiri tak menyadarinya. Karenanya Lorna ingin merayakan dengan Dewa nanti malam.<br />Ketika berada di penginapan kembali mentari pagi sudah meninggi. Grace dan Rahma sudah pulang dari berbelanja.<br />Lorna masuk ke dalam kamar Grace dan Rahma saat Dewa sedang mandi di kamarnya.<br />"Sudah?" tanya Lorna.<br />"Sudah!" jawab Rahma.<br />"Mana kue ulang tahunnya?"<br />"Nanti sore baru diantar. Kita harus pesan dulu. Apalagi kita minta ada tulisan dan jumlah lilin yang kita minta."<br />"Makanannya juga diantar sore hari. Kuminta kepada Komang untuk merahasiakan. Jangan sampai Dewa tahu. Kalau sampai tahu, tidak surprise lagi," kata Grace.<br />"Terima kasih!"<br />"He, nggak usah bilang itu, Na. Semua ini kita lakukan untukmu," kata Rahma.<br />"Makanya aku bilang terima kasih."<br />"Aku dan Rahma ada untukmu. Kita bahagia akhirnya kalian bisa menyatu kembali. Menikahlah!" kata Grace.<br />"Memang!" jawab Lorna pendek. Jawaban itu membuat Grace dan Rahma terkejut.<br />"Yang benar?" tanya Rahma.<br />Lorna tersenyum dan mengangguk.<br />"Kuserahkan pada kalian berdua yang mengatur undangannya."<br />"Beres. Nggak perlu kamu ragukan lagi. Lalu kapan?"<br />"Setelah acara reuni yang kalian adakan."<br />Grace dan Rahma lantas memeluk dan mencumi pipinya bergantian.<br />"Tunggu!" sela Lorna.<br />"Kenapa?"<br />"Rahasia ini hanya untuk kalian berdua."<br />"Dewa tahu kamu mengatakan ini pada kita berdua?"<br />"Ya. Dia memberi ijin memberitahukan hanya kepada kalian."<br />Maksud Lorna memberitahukan agar kedua sahabatnya tak punya pikir negatif bila dirinya dalam satu kamar dengan Dewa. Lorna juga menjelaskan kalau orangtua mereka tahu perihal itu. Karena hal itu sudah dilakukannya saat menginap bersama-sama sebelum pulang ke Australia.<br />"Aku tak peduli kamu tidur satu kamar, satu ranjang, mau ngapain. Aku tak peduli. Itu hak kalian," kata Grace.<br />"Hai! Sekalipun kita berdua tidur sekamar. Dia tetap menjaga keperawananku," sela Lorna memotong ucapan Grace.<br />Rahma dan Grace terdiam memandangnya.<br />"Jadi kamu masih perawan?"<br />Bola mata Lorna membelalak.<br />"Hai! Kalian pikir aku sudah tak gadis lagi ya?" kata Lorna seraya berusaha mencubit pipi Grace dan Rahma.<br />Rahma dan Grcae tertawa-tawa.<br />"Kupikir begitu. Habisnya kamu nempel terus ke dia!" kata Rahma.<br />"Memangnya kalau nempel kenapa?"<br />Lalu Grace berkata perlahan.<br />"Dia memang lelaki baik. Kamu beruntung!"<br />"Ah, Dewa juga beruntung!"<br />Lorna memandang seksama kedua wajah sahabatnya itu. Ketiganya saling memandang. Saling tersenyum. Ketiganya memang selalu berkata jujur sejak dulu. Saling melindungi. Saling menutup rapat rahasia masing-masing. Tapi ada pertanyaan Lorna yang ingin diketahui dari kedua sahabatnya itu semenjak mereka berpisah.<br />"Ada apa?" tanya Grace karena melihat Lorna menatapnya curiga.<br />"Gantian Lorna yang mau tanya kalian."<br />"Bertanyalah!" jawab Rahma.<br />"Benar nih?"<br />Grace dan Rahma mengangguk bersama-sama.<br />"Oke! Pertanyaanku sederhana. Tapi itu akan tetap jadi rahasia kita bertiga. Pertanyaanku adalah, apakah kalian masih gadis?"<br />Pertanyaan Lorna membuat Grace dan Rahma tersentak. Wajah keduanya merona. Keduanya tak langsung menjawab. Tapi lantaran ketiganya sudah bersepakat untuk saling jujur dan melindungi maka Grace dan Rahma enggan langsung menjawab.<br />"Benarkan?"<br />"Apanya yang benar?" tanya Grace.<br />"Justru kalianlah yang sudah tidak gadis lagi, " kata Lorna dengan suara perlahan dengan tersenyum.<br />Rahma dan Grace tersipu.<br />"Ayo, bilang dong..." desak Lorna.<br />Grace dan Rahma saling berpandangan.<br />"Baiklah kalau kamu mendesak. Kekasihku sudah mengambilnya," jawab Rahma duluan.<br />"Mengambil apaan?" tanya Lorna menggoda.<br />"Kegadisanku tahu!"<br />Lorna dan Grace tertawa.<br />"Aku juga kok!" jawab Grace menyusul kemudian.<br />"Oke, no problem. Banyak anak masih smp sudah kehilangan kegadisan tanpa berpikir panjang tanpa jaminan pacarnya akan mempertahankan hubungan. Tapi Lorna percaya apa yang kalian korbankan tak akan sia-sia."<br />Grace dan Rahma mengangguk-angguk.<br />"Kita sudah berencana," kata Rahma. Grace juga menjelaskan hal yang sama.<br />"Kalau aku, Dewa yang tak mau melakukannya. Maunya nanti setelah resmi." kata Lorna berterus-terang.<br />"Apa alasan Dewa tak mau melakukannya kepadamu. Padahal sudah pernah menikah dan sudah tentu banyak pengalaman?" tanya Rahma ingin tahu.<br />"Iya, mana mungkin dia bisa tahan melihat tubuhmu yang indahnya luar biasa, tak terbangkitkan gairahnya?"<br />Lorna mengangkat bahu.<br />"Aku tak tahu. Tapi yang jelas dia pernah mengatakan padaku begini. Melestarikan keperawanan memang membutuhkan banyak disiplin, kontrol diri dan ketabahan, karena kebajikan yang akan dituntut dari kita saat kita menikah nanti, itu saja."<br />"Hebat! Kamu beruntung, Na. Kalau lakiku sih memintanya untuk jaminan aku tak pergi meninggalkannya." kata Grace.<br />"Aku juga begitu..." kata Rahma pula.<br />"Tentu kalian sudah sering bercinta."<br />Grace dan Rahma tertawa.<br />"Ternyata aku kalah sama kalian."<br />"Ah, ya enggak. Kamu yang menang, bisa bertahan."<br />"Bukan aku. Dewa yang selalu bertahan!"<br />Lantas ketiganya tertawa terbahak-bahak.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-4264222181477786662010-07-15T10:23:00.000-07:002011-06-24T19:54:06.566-07:00102. Dalam Keheningan Malam.<span style="font-weight: bold;">Makan tanpa keberadaan Dewa</span> terasa tak nyaman bagi Lorna, meski ada Grace dan Rahma. Pikiran kusut tentu akan membawa pengaruh terhadap nafsu makan. Dan itu yang sedang dialami Dewa demikian menurut perasaan hatinya. Tetapi Lorna tak ingin perasaannya diketahui kedua sahabatnya itu, dia berusaha bersikap wajar.<br />Usai makan ketiganya masih bercengkerama dalam kamar yang ditempati Grace dan Rahma. Ketiganya berbincang dengan serius hingga larut malam. Entahlah apa yang tengah mereka perbincangkan.<br />Sementara Dewa tertidur terlentang dalam kamarnya. Tangannya terlipat di dada. Kakinya menumpu bersilang. Nafasnya menghela dengan teratur. Bila perasaannya tidak nyaman, dia menenangkan diri dengan tidur terlentang seperti itu. Biasanya setelah dibawa tidur beberapa saat, perasaan tersebut berangsur akan menghilang.<br />"Kembalilah ke kamarmu. Dewa mungkin sudah menunggu," kata Grace kepada Lorna.<br />"Menunggu apa?"<br />"Ya, tidur. Memangnya apa?" jawab Grace.<br />"Kalian tadi perhatikan sikap Dewa nggak?<br />"Nggak, kenapa?" jawab Rahma.<br />"Sepertinya dia menerima tawaran itu dengan berat hati," kata Lorna.<br />"Yang benar. Mestinya dia senang, apalagi menjadi pasanganmu. Membuat iklan itu akan terasa nyata," kata Grace.<br />"Aku sendiri juga nggak tahu."<br />"Kalau begitu kita sudahi dulu pembicaraan kita. Besok kita siapkan apa yang baru saja kita bicarakan. Kita tidur dulu. Dan Lorna juga harus kembali ke kamar, Dewa mungkin sedang menunggu," kata Rahma.<br />Mereka kemudian saling mencium pipi.<br />"Selamat tidur semua!"<br />"Selamat, Na. Salam ke Dewa?"<br />"Yo'i!"<br />Lorna kemudian kembali ke kamarnya. Mendapati Dewa tengah tertidur. Posisi tidurnya tidak berubah, masih mengenakan sepatu serta kaos kaki. Lalu dia mendekati untuk melepaskannya dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Dipandanginya wajah Dewa. Seakan ingin membaca apa yang mengganggu pikirannya tadi.<br />Kemudian Lorna melepas dan mengganti busananya dengan daster tidur. Lalu diambilnya kimono tidur Dewa dari dalam almari gantung, dan disiapkan di tepi pembaringan bila Dewa terbangun nanti. Dia berpikir bahwa Dewa ketiduran, bila tidur selalu mengganti pakaiannya, serta tanpa baju bagian atas.<br />Setelah berkumur dan mencuci wajah, Lorna naik ke atas pembaringan. Telungkup menjagai wajah Dewa. Memandangi wajahnya. Tangannya membelai wajahnya penuh kelembutan. Ujung hidungnya didekatkan ke pipinya. Sesekali bibirnya mengecup bibir itu. Namun Dewa masih terlelap tidur. Lama sekali Lorna berjaga memandangi wajah Dewa hingga dia membuka matanya.<br />Setelah terjaga serta memulihkan kesadarannya. Dia melihat keberadaan Lorna yang ada di sampingnya. Lalu tangannya merengkuh tengkuk Lorna dan menariknya ke atas dadanya.<br />"Sudah lama, sayang?" tanya Dewa dengan bisikan lembut.<br />"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Lorna, wajahnya dilekatkan ke wajah Dewa. Dan bibirnya berada di bibir Dewa.<br />"Kenapa?"<br />"Bicarakan dengan Lorna."<br />Dewa tersenyum.<br />"Tak ada yang perlu kau cemaskan."<br />Lorna menindih tubuhnya. Dewa membiarkan apa yang dilakukannya. Sejak mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencintai, apalagi setelah mengikat diri dengan cincin. Lorna lebih bersikap manja. Ingin selalu bersama. Ingin selalu dekat. Ingin pesta pernikahan mereka bisa segera dilaksanakan. Agar tidak berjauhan lagi.<br />"Aku belum ganti pakaian tidur."<br />"Aku tahu, tadi sudah kulepas sepatumu. Kimono juga sudah kusiapkan."<br />"Terima kasih. Mereka sudah tidur?" Dewa menanyakan tentang Rahma dan Grace.<br />Lorna mengangguk. Rambutnya yang lebat menaungi wajah Dewa, dan tubuhnya yang mengenakan daster tidur transparan terasa membebaninya. Dewa tidak keberatan ditindih seperti itu.<br />"Aku mencintaimu, De," Lorna berbisik. Ucapan yang tak pernah lupa disampaikan padanya.<br />Dewa mengecup pipinya penuh kelembutan.<br />"Aku mencintaimu juga."<br />"Dewa keberatan mendampingi Lorna untuk iklan itu?"<br />"Tidak! Ada apa?"<br />"Lorna lihat ada kegusaran di wajah Dewa tadi."<br />"Aku hanya perlu istirahat sebentar."<br />"Sakitkah?"<br />"Nggak."<br />"Dewa belum makan. Kuambilkan makan, ya?"<br />Dewa menggeleng.<br />"Atau mau minum panas?"<br />Karena Dewa tidak menjawab. Kediaman Dewa diartikannya sebagai jawaban mengiyakan, Lorna lalu turun dari pangkuannya. Karena dalam penginapan hanya dirinya yang laki-laki, sedangkan yang lain perempuan, Dewa tak keberatan Lorna mengenakan daster tidur transparan yang memperlihatkan tubuhnya yang indah, menampakkan pakaian dalam, dan keluar kamar mengambilkan minum untuknya.<br />Saat Lorna kembali, Dewa telah mengganti pula pakaiannya dengan kimono yang telah disiapkan Lorna. Dia juga sempat membersihkan diri di kamar mandi.<br />"Kubawakan pizza dan brownies"<br />"Terima kasih, Na."<br />Lorna mendampinginya duduk di sofa dekat jendela yang terbuka sambil memegang cangkir capucino panas, yang kemudian diseruput Dewa sedikit demi sedikit. Dewa mengambil sepotong pissa dan menggigitnya.<br />"Kamu cantik sekali. Tubuhmu indah," kata Dewa seraya menatapnya.<br />"Terima kasih. Tubuh ini milikmu, De. Seharusnya ketika keluar kamar tadi kukenakan pelapis daster luar."<br />"Nggak apa, toh hanya aku yang melihatnya."<br />"Dewa ingin bercinta?" tanya Lorna dengan suara perlahan.<br />"Bila Lorna juga menginginkan," jawab Dewa seraya membelai rambut Lorna yang tergerai.<br />Lorna mengangguk.<br />"Aku berharap bisa meresmikan hubungan kita setelah acara reuni usai ."<br />"Ya?" Lorna lantas meletakkan cangkir ke atas meja nakas. Lalu mencium pipi Dewa dengan lembut. "Terima kasih, De. Lorna senang mendengarnya."<br />"Reuni dilakukan menjelang akhir tahun. Jadi kita masih memiliki persiapan. Aku berharap saat teman-teman dalam masa cuti."<br />"Kita berdua rancang undangannya, ya?"<br />"Buatlah. Dewa yang akan pikirkan acara pernikahannya. Jadi jauh-jauh hari kita berdua bisa merancangnya."<br />"Boleh kuberitahukan, Mommy?"<br />"Silahkan, tapi hanya mereka berdua saja. Kita rencanakan ini diam-diam. Tante dan Om Rujus di Jakarta jangan sampai tahu dulu."<br />"Rahma dan Grace?" tanya Lorna seraya menatap dalam ke mata Dewa.<br />Dewa tak kuasa menolak bila Lorna melibatkan kedua sahabatnya itu.<br />"Mereka yang akan membantu menyusun dan menyebarkan undangannya nanti," kata Lorna beralasan. "Mereka bisa merahasiakannya."<br />"Mereka sahabat terbaikmu. Terserah Lorna."<br />Lorna menggenggam tangan Dewa seraya menatap dalam. Bola matanya mulai berkaca-kaca lantaran bahagia bisa membahas ini. Dewa menyeka bawah matanya, kawatir Lorna akan menangis lagi yang akan menimbulkan kesembaban pada pelupuk matanya, itu akan mengganggu <span style="font-style: italic;">shooting</span>-nya.<br />"Tak akan sembab, De. Tak akan mengganggu <span style="font-style: italic;">shooting</span> besok. Lorna hanya merasa bahagia."<br />Dewa tersenyum.<br />"Ya, sudah!"<br />"Dimana kira-kira kita akan rencanakan untuk pelaksanaannya?" tanya Lorna, membiarkan dirinya ditarik Dewa sehingga berada dalam dekapannya.<br />"Di Griyo Tawang."<br />"Lorna belum pernah kesana. Tapi tahu sedikit ketika lagi chatting dengan Grace yang memperlihatkan pendopo dengan camera webcam."<br />"Nanti kita kesana."<br />"Setelah <span style="font-style: italic;">shooting</span>?"<br />"Nanti saja, aku harus bekerja dulu."<br />Lorna diam, mengerti bahwa Dewa harus melukis dan masuk ke studionya. Dewa sudah mengatakan itu sebelum berangkat ke Bali. Mereka sudah sepakat tentang hal itu. Sehingga Lorna kemudian tak bertanya lagi.<br />"Aku hanya ingin mengantar Rahma dan Grace pulang ke Malang. Dan ingin bertemu teman-teman di sekretariat reuni. Sekretariatnya kan berada di rumah Rahma. Dewa keberatan?"<br />Dewa menggeleng.<br />"Cahaya rembulan di luar cerah sekali."<br />"Kumatikan lampunya ya?" tanya Lorna.<br />"Boleh!"<br />Cahaya bulan memang cerah sekali menerangi jagad raya. Pepohonan dan dedaunan terlihat seperti saat siang hari. Suasana terasa hening. Apalagi saat Lorna mematikan lampu kamar. Cahaya bulan menerobos jendela dan menerangi wajah keduanya yang kini duduk di sofa panjang. Dewa memeluk Lorna dari belakang. Dan Lorna pun berbisik halus ke telinga Dewa.<br />"Kita bercinta sekarang?"<br />Jendela yang terbuka tak hanya menerima cahaya rembulan yang masuk. Namun semilir angin malam yang dingin terasa menyergap kulit yang telanjang. Wajah rembulan yang pucat seakan terperanjat mengintip Dewa dan Lorna bergumul di sofa.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-61262127080228227752010-07-15T06:26:00.000-07:002011-06-24T19:22:28.949-07:00101. Perubahan Rencana.<span style="font-weight: bold;">Rahma, Grace dan Lorna berkumpul di ruang tengah</span> di lantai atas. Mereka berkelakar, suasana nampak meriah. Terlebih Lorna, berkumpul bersama kedua sahabatnya wujud keinginan yang sudah lama dipendam. Sedangkan Dewa berada dalam kamar yang ditempatinya bersama Lorna. Kamar itu adalah kamar yang mereka tempati saat menginap bersama Papi dan Mami Lorna tempo hari. Sedang kamar depannya ditempati oleh Grace dan Rahma. Titi memilih kamar di lantai bawah.<br />Grace dan Rahma memaklumi bila Dewa dan Lorna menempati dalam satu kamar. Meski Lorna tak mengatakan, antara dirinya dengan Dewa telah mengikat tali pertunangan. Lorna hanya mengatakan, dirinya dan Dewa akan melangsungkan pesta pernikahan tahun ini, tetapi belum bisa memastikan kapan waktunya.<br />Grace dan Rahma sangat mendukung sekali bila mereka selalu bersama hingga membangun bahtera rumahtangga. Sebab mereka berdua juga ikut merasakan betapa indahnya cinta Dewa dan Lorna. Sebab mereka berdua setidaknya turut terlibat dalam perjalanan cinta mereka.<br />"Sudah selayaknya kalian harus berpasangan," kata Rahma yang duduk berhadapan dengan Lorna di sofa panjang.<br />"Kamu seperti habis menangis?" tanya Rahma saat memandang mata Lorna yang nampak bekas menangis.<br />"Ya, tadi pagi!" jawab Lorna berterus terang.<br />"Kalian bertengkar?"<br />"Huss!" sergah Grace, "Mana pernah kulihat Lorna dan Dewa bertengkar."<br />Lorna tertawa renyah.<br />"Barangkali."<br />"Barangkali ya barangkali, tapi yang masuk akal dan sedikit perasaan, yang pasti bukan karena pertengkaran. Tapi memang sulit kumengerti kalau kamu bersama Dewa masih menangis."<br />Lorna tertawa lagi. Tawa itu yang disukai Rahma dan Grace.<br />"Memangnya dilarang menangis," kilah Lorna.<br />"Jangan sedih, besok shooting, mata sembab akan mengganggu jadwal <span style="font-style: italic;">shooting</span>," tiba-tiba Dewa sudah berada di antara mereka.<br />"Kamu apain Lorna sampai menangis?" tanya Rahma kepada Dewa<br />Dewa tersenyum.<br />"Dia menangis bahagia," jawab Dewa datar.<br />"Iya, bisa jadi. Tangis kebahagiaan!" kata Grace dengan riang.<br />"Duduklah di samping Lorna!" kata Rahma yang kemudian bangkit memberi ruang pada Dewa agar duduk dekat Lorna.<br />"Sudahlah, duduklah kalian di situ!"<br />"Ah, enggak. Dewa yang duduk dekat Lorna. Kita suka keakraban kalian," Rahma memaksa agar Dewa duduk dekat Lorna.<br />"Dekatlah dengan Dewimu, De!" kata Grace.<br />"Seharusnya kita panggil mereka Dewa dan Dewi," Rahma menambahkan ucapan Grace.<br />Dewa mengalah, lalu duduk dekat Lorna yang menyambutnya dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa.<br />"Nah, begitu. Kita berdua jadi senang melihatnya."<br />"Boleh kita melihat kalian saling 'kiss'?" tanya Grace.<br />"Ya." Rahma juga ingin melihatnya.<br />Dewa memandang Lorna. Lorna tertawa.<br />"Permintaan kalian semakin ngawur!" pekik Lorna.<br />"Nggak! Ini bener! Kita ingin pembuktian kalau kalian benar-benar saling mencintai sejak kita masih sekolah bersama-sama," kata Rahma.<br />"Tapi sebentar ya?" kata Lorna.<br />"Lama juga lebih baik," goda Grace.<br />"Nah, makin ngawur kan?"<br />Lalu Lorna memandang Dewa.<br />"Bagaimana, De?"<br />Dewa mengedikkan bahu.<br />"Terserah..."<br />Dewa ragu untuk melakukannya, padahal Lorna sudah siap.<br />"Kenapa?" tanya Grace saat keduanya diam tak segera melakukannya.<br />"Anggap saja kalian sedang shooting dan memerankan adegan ciuman," tambah Rahma.<br />Lorna tertawa renyah.<br />Maka Lorna melingkarkan tangannya ke leher Dewa, sedang tangan Dewa merengkuh pinggang Lorna. Lalu dengan mata terpejam Lorna menengadah untuk memberi keleluasaan Dewa yang kemudian memilin bibirnya dengan lembut.<br />Grace dan Rahma geleng-geleng kepala seraya tersenyum. Keduanya saling berpandangan sesaat. Sejenak kemudian Dewa menyudahi pilinannya pada bibir Lorna. Dan Lorna membiarkan bibirnya basah. Wajahnya merona merah.<br />"Seperti dalam film Romeo dan Yuliet." kata Grace.<br />"Kalau bukan kalian kuanggap permintaan ini hal tergila yang pernah kulakukan," kata Dewa yang kemudian memeluk tubuh Lorna yang menyandar ke dadanya.<br />Lorna melempar Rahma dengan sebutir kacang.<br />"Dia ngiri, De. Rahma dulu sesungguhnya suka kamu," kata Lorna pada Dewa.<br />"Ah, itu dulu, De! Sekarang kan seleraku sudah lain."<br />Grace tertawa ngakak.<br />"Suka kan nggak apa-apa. Kan begitu, Ra. Coba kamu lihat ternyata ciuman Dewa juga maut," kata Grace mencoba membela Rahma.<br />"Betul, De. Kamu memang ditakdirkan menjadi 'soulmate' nya Lorna."<br />"Seleramu sekarang yang bagaimana lagi, Ra?" tanya Grace.<br />"Kucari yang lebih dari apa yang ada pada Dewa."<br />Semua kemudian tertawa. Mereka tahu kalau apa yang mereka bicarakan sekedar bercanda. Jadi tak ada yang merasa tersinggung. Di tengah suasana keakraban, tiba-tiba ponsel Lorna ada telepon masuk. Dan Lorna segera mengangkat. Telepon dari Imelda.<br />"Selamat malam, Mbak!"<br />"Malam, Mel. Ada perkembangan apa?"<br />"Dalam rapat barusan pak Robi menanyakan mas Dewa? Karena tadi Imel beritahu waktu rapat kalau mbak Lorna sudah datang bersama mas Dewa menginap di tempat temannya."<br />"Lalu?"<br />"Mohon maaf, Mbak. Tadi dalam rapat Pak Robi memberi usulan, kalau Mas Dewa diminta berperan sebagai pendamping Mbak Lorna dalam iklan itu."<br />"Lho, kok bisa begitu?"<br />"Imel tak bisa memutuskan. Staff pak Robi juga terpaksa mengikuti apa yang menjadi keinginan Pak Robi. Imel sudah bilang tak bisa memutuskan sebelum melakukan konfirmasi dengan Mbak Lorna dan kesediaan Mas Dewa. Tapi Pak Robi bilang, kalau ada kesulitan, Pak Robi yang akan menghubungi Mas Dewa sendiri."<br />"Mati aku, Mel!"<br />Ucapan Lorna membuat Grace dan Rahma tersentak. Tapi Lorna cepat mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Grace dan Rahma untuk tenang. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Dewa segera bangkit mengambil minuman serta menggeser duduknya agar Lorna bisa leluasa bertelepon.<br />"Lorna tak bisa memutuskan. Kamulah yang berbicara sendiri dengannya."<br />"Kalau begitu saya harus ke tempat Mbak Lorna malam ini?"<br />"Lakukanlah!"<br />"Baik Mbak. Imel segera ketempat Mbak Lorna bersama salah seorang staffnya Pak Robi, untuk meyakinkan mas Dewa."<br />"Itu lebih baik!"<br />Kemudian Lorna memutuskan sambungan telepon Imel. Kemudian merenung seraya menatap Dewa. Didekatinya Dewa kembali, dan menjatuhkan wajahnya ke dada Dewa.<br />"Ada apa?" tanya Dewa seraya membelai rambut Lorna.<br />Grace dan Rahma memperhatikan Lorna dengan cemas.<br />"Imel ingin bicara denganmu, De."<br />"Soal apa?"<br />"Nanti Dewa yang berbicara sendiri dengannya. Sekarang Imel sedang dalam perjalanan kemari. Pak Robi menanyakanmu," kata Lorna kemudian membenamkan wajahnya ke dada Dewa. Dewa menarik wajah Lorna agar bisa ditatapnya.<br />"Katakanlah ada apa?" tanyanya mendesak, "Kuminta jangan bersedih lagi. Kamu besok mau shooting."<br />"Lorna tak sedih, De," kata Lorna dan berusaha tersenyum.<br />"Lalu kenapa?"<br />"Tunggu sampai Imel datang. Masalahnya ada di Imel. Bicaralah sendiri nanti di bawah. Lorna akan menunggu disini dengan Grace dan Rahma."<br />"Aku tak ingin ada yang mengganggu pikiranmu."<br />Lorna tersenyum seraya memandang Grace dan Rahma yang memandangnya tak mengerti.<br />"Hai! Kalian kok bengong? Aku nggak apa-apa. Itu bukan urusan kalian!" kata Lorna seraya melempar keduanya dengan biji kacang kulit.<br />Sikap Lorna membuat ketegangan Grace dan Rahma seketika hilang.<br />Lorna lalu bangkit mendekati Rahma dan berbisik ke telinganya, hal yang sama juga dilakukannya ke telinga Grace. Bisikkan Lorna membuat keduanya tersenyum-senyum seraya mengangguk-angguk. Membuat Dewa memandang tak mengerti.<br />Ketika Imelda sudah sampai ke penginapan. Dewa lalu turun menemuinya di bawah. Lorna tak turut dalam pembicaraan mereka. Dia menunggu di atas bersama Grace dan Rahma.<br />"Jadi ada perubahan, kalau mereka minta Dewa menjadi pasanganmu dalam iklan itu?" tanya Rahma.<br />"Aku tak bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempengaruhi Dewa. Segala keputusan sepenuhnya ada di tangannya. Imelda yang bertanggungjawab soal ini. Kuminta dia yang berbicara sendiri dengan Dewa," Lorna menjelaskan.<br />"Tapi memang Dewa pas untuk dipasangkan denganmu," kata Rahma.<br />"Jangan ikut-ikut!" kata Lorna.<br />"Aku nggak ikut-ikut, hanya berpandangan."<br />"Itu sama saja, ikut berpendapat."<br />"Tak ada salahnya kan berpendapat."<br />Imelda bersama staff pak Robi masih sibuk berbincang. Dari balkon terdengar ponsel Imelda yang terhubung dengan Pak Robi diberikan kepada Dewa. Kemudian Dewa dan Pak Robi terdengar akrab berbicara. Diseling tawa. Dewa dan Pak Robi berbicara lama sebelum kemudian telepon itu diserahkan kembali kepada Imel.<br />"Terima kasih, Pak Robi. Selamat malam!"<br />Imelda memandang Dewa.<br />"Bagaimana Mas Dewa?" tanya Imel kepada Dewa.<br />"Yah, terserah kalian. Bicara dulu dengan Mbak Lorna."<br />Maka Imelda bergegas naik ke lantai atas menemui Lorna.<br />"Pak Robi sudah berbicara dengan Mas Dewa. Mas Dewa menyanggupi, hanya sekarang minta pendapat Mbak Lorna."<br />"Itu keputusan kalian, ya harus dipenuhi keinginan klien."<br />Imelda tersenyum senang.<br />"Sejak semula Imel yakin kalau Mbak Lorna cocok berpasangan dengan Mas Dewa."<br />"Hai, kamu menilai dalam hal apa, Mel?"<br />"Maaf Mbak! Saat pertama melihat Mas Dewa, Imel kira Mas Dewa yang akan memerankan pendamping Mbak Lorna. Eh ternyata betul."<br />"Aku sudah katakan Mas Dewa kubawa ke kantor tak ada hubungannya dengan pekerjaan itu. Sekarang kamu siapkan blanko kontraknya dengan Mas Dewa."<br />"Semua sudah dipersiapkan!"<br />Grace dan Rahma ikut tersenyum memandang Lorna.<br />"Kalau sudah begini jadi nggak pusing lagi. Sekarang tinggal Mbak Lorna dan Mas Dewa persiapan untuk melakukan<span style="font-style: italic;"> shooting</span> besok lusa. Besok mereka masih mengambil gambar-gambar landscaping, situasi dan prasarana. Juga narasi oleh bagian humas," kata Imel menambahkan.<br />"Ya, sudah."<br />"Nanti akan kubicarakan dengan Bung sutradara."<br />"Kenapa nggak kalian ajak sekalian Bung Edwin kemari?"<br />"Bung sutradara masih memberikan pengarahan kepada staff Pak Robi bagaimana pelaksanaan pengambilan gambar besok. Besok malam saja kita bawa Bung Edwin kemari, supaya bisa bicara dengan Mbak Lorna dan Mas Dewa."<br />Setelah itu Imelda dan staff Pak Robi berpamitan pulang. Lorna, Grace, Rahma mengantar ke depan.<br />Sementara Dewa masuk ke dalam kamar, lalu merebahkan tubuhnya. Pikirannya sedang galau. Sekali lagi dia mengalami dilema. Dan harus mengambil satu keputusan yang tepat. Apabila dia tolak tentu akan menimbulkan kekecewaan Lorna. Apalagi pemilik resort yang meminta langsung padanya dengan berbagai pertimbangan. Setiap keputusannya tentu akan berpengaruh langsung pada Lorna. Tidak ingin berdampak buruk.<br />Pintu kamarnya ada yang mengetuk dari luar. Tetapi Dewa tak berhasrat membukanya. Matanya masih terpejam. Pikirannya menerawang apabila dirinya bersama Lorna menjadi bintang dalam satu iklan.<br />"Ah!" Dewa melenguh.<br />Dewa tak menyadari kalau Lorna sudah berada dalam kamar. Berdiri memandanginya. Melihatnya mengeluh. Melihatnya berkali-kali memijit pelipis wajahnya dengan mata terpejam. Dengan sabar menunggu sampai kedua mata Dewa terbuka. Lorna merasa ada hal yang merisaukan Dewa setelah pembicaraan dengan Imelda. Dewa tersentak saat melihat Lorna sudah berdiri di hadapannya.<br />"Sori, aku merebahkan punggung sebentar," kata Dewa kemudian bangun duduk di tepi pembaringan.<br />"Dewa sakit?"<br />"Nggak, kenapa?"<br />"Kita makan malam dulu. Grace dan Rahma sudah menunggu sejak tadi."<br />"Kalian makanlah. Aku masih belum ingin makan. Kutemani saja."<br />Lalu Dewa mengantar Lorna ke bawah untuk makan bersama Grace dan Rahma.<br />"Makan dulu, De. Lorna bilang ada ikan kesukaanmu."<br />Dewa tersenyum.<br />"Aku makan buah saja."<br />Lorna berusaha menyembunyikan perasaannya dari Dewa dan teman-temannya. Dia tahu ada hal yang sedang dipikirkan Dewa. Tetap Lorna makan seperti biasa, sambil berbincang dengan Rahma dan Grace. Dewa hanya makan buah agar lekas meninggalkan meja makan terlebih dahulu.<br />"Kutinggal dulu. Lebih nyaman kalau kalian bertiga makan sambil berbincang, kalau ada cowok di antara tiga cewek tentu akan mengurangi kebebasan kalian. Sori aku kembali ke atas dulu."<br />"Oke, De!" jawab Grace.<br />Dewa mengedipkan sebelah mata ke Lorna, tetapi Lorna merasakan kerdipan itu sekedar menutupi perasaan yang sesungguhnya.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-90428587454803740702010-07-15T02:42:00.000-07:002011-06-24T18:41:55.417-07:00100. Bertemu di Bandara Ngurah Rai.<span style="font-weight: bold;">Imelda memesankan tiket</span> dengan tempat duduk sebaris. Sehingga Dewa, Lorna, dan Titi berada pada satu baris di sayap kanan kabin pesawat. Dewa berada di tengah di antara Titi dan Lorna yang berada di samping jendela.<br />"Apakah malam ini langsung berangkat ke resort?" tanya Dewa.<br />"Kita bermalam dulu. Besok pagi saja baru kesana."<br />"Berapa lama <span style="font-style: italic;">shooting</span>-nya?"<br />"Aku menginginkan cepat selesai. Tapi karena ada pemeran yang bukan pilihan kita, maka perlu penyesuaiannya."<br />"Kamu tak perlu bicara dengan Pak Robi?"<br />"Imel yang akan bicara. Mereka hari ini melakukan rapat dengan timnya Pak Robi."<br />Titi meletakkan kotak <span style="font-style: italic;">snack</span> dan air mineral gelas pembagian ke atas meja di depan Lorna dan Dewa.<br />"Terima kasih, Ti!" kata Dewa.<br />"Kita ajak Grace dan Rahma ke tempat <span style="font-style: italic;">shooting</span>. Kita sewa mobil Komang seperti dulu. Dan biarkan Komang yang menyupirinya."<br />"Kaulah bosnya!"<br />Lorna menyentik dagu Dewa.<br />"Luka dagumu belum hilang," kata Lorna mengingatkan sembari memperhatikan bekas luka yang ada di bawah dagu Dewa.<br />"Nanti akan hilang sendiri," jawab Dewa.<br />Lorna menatap sayu. Kacamatanya dilepas, diletakkan di atas meja kecil di depannya.<br />"Tak sesakit saat tak bisa menemuimu."<br />"Jangan membuatku menangis lagi."<br />Dewa tersenyum dan mengecup pipinya lembut.<br />"Jangan ungkit luka itu, sebab akan membuka luka yang lain."<br />"Ucapanmu bikin aku pingin menangis."<br />Dewa merengkuh bahunya, membenamkan hidungnya ke dalam kelebatan rambut yang harum. Telapak tangannya mengusap-usap lengan atas Lorna.<br />"Sudahlah. Matamu tak boleh sembab. Nanti mengganggu <span style="font-style: italic;">shooting</span> mu."<br />"Bikinlah aku tertawa."<br />Dewa tertawa.<br />"Bukan Dewa yang tertawa."<br />"Aku menertawakan diriku sendiri."<br />"Kenapa?"<br />"Sulit mengungkapkan."<br />"Kenapa?"<br />"Ya, sulit saja!"<br />"Apa rahasia?"<br />"Tak ada rahasia."<br />"Habis apa?"<br />"Kalau aku katakan, barangkali kau tak mengerti."<br />"Jelaskan, biar Lorna mengerti."<br />Dewa menatap Lorna yang masih dengan pandangan sayu.<br />"Ini soal cerita dalam pewayangan. Kelucuan itu akan Lorna rasakan bila melihat tontonan wayang. Karena para pelakunya ini para punakawan. Tahu punakawan?"<br />Lorna menggeleng.<br />"Nah, nanti saja bila Lorna menonton pertunjukkan wayang kulit atau wayang orang. Lorna akan merasakan kelucuannya. Yang disebut punakawan dalam pewayangan itu adalah Semar, Gareng Petruk, Bagong."<br />"Nama-nama itu pernah kudengar."<br />"Sudah tentu kalau kamu sering lihat tivi. Tapi kalau tak memahami wayang, ya sulit bisa menikmati asyiknya wayang. Kalau kita bisa memahami wayang, sama artinya kita mempelajari makna hidup. Karena cerita pewayangan berisi totonan penuh tuntunan, bagaimana menjalani kehidupan. Ada sifat baik dan buruk, ada yang menyenangkan ada kesusahan, ada bahagia dan kesedihan. Dan peran punakawan sebagai bumbu, agar penikmat wayang tidak terbawa ke alam serius. Para punakawan selalu tampil pada sisi humor yang dirupakan dalam adegan dagelan atau kelucuan."<br />Ucapan Dewa membuat Lorna terkesima, membuatnya menyimak dengan baik.<br />"Cerita wayang itu sendiri berbicara mengenai tatanan kehidupan manusia. Dari aspek alam makrokosmos hingga mikrokosmos. Lingkungan hidup. Dimensi spiritual. Karakter manusia, dan tatanan moralitas manusia itu sendiri."<br />Bicara tentang wayang. Akhirnya Dewa seperti memberi nasihat kepada Lorna. Dan itu membuka cakrawala Lorna dalam berpikir, bagaimana memahami hidup. Dan dari situ Lorna semakin mengerti cara berpikir Dewa dalam menyikapi hidup. Analogi-analogi yang ditampilkan dalam setiap tokoh wayang yang mewakili sifat-sifat manusia, membuat Lorna semakin yakin bahwa dirinya tidak salah memilih Dewa sebagai pendamping hidupnya. Tetapi Dewa hanya menggambarkan garis besar tentang makna yang terkandung dalam seni pewayangan itu. Karena demikian panjang cerita dalam pewayangan seperti panjangnya kehidupan manusia itu sendiri.<br />Lorna memperoleh satu lagi suprise yang diberikan Dewa. Lorna yakin akan ada kejutan lain yang membuat Lorna semakin tak bisa melepaskan diri dari Dewa. Dirinya merasa bahagia bila berada di samping Dewa, sebaliknya merasa tidak berdaya bila Dewa tak berada di dekatnya.<br />Lorna menatap Dewa dengan terpana.<br />"Hai!" Dewa menegurnya.<br />Lorna tergagap.<br />"Melamun?"<br />"Ah, nggak. Cerita Dewa tentang wayang membuat Lorna tertarik."<br />"Lorna mau belajar menari wayang?"<br />"Mau!"<br />Dewa tertawa.<br />"Nanti kita berlatih. Aku akan menjadi Rama dan Lorna akan menjadi Dewi Shinta."<br />"Kapan?"<br />"Kapan saja. Nanti kubawakan selendang atau jarit untuk mendandanimu sebagaimana Dewi Shinta yang cantik jelita."<br />"Bisakah nanti kita lakukan pertunjukan pada acara reuni?"<br />"Wah, ini bukan untuk reuni, hanya buat kita sendiri."<br />Lorna tertawa.<br />"Apa salahnya!"<br />Dewa tertawa.<br />"Nanti kubawa cd gamelan untuk latar belakang musiknya. Atau nanti minta email file dat ke Beni. Beni ada datanya. Nanti kuminta."<br />Tanpa terasa pesawat mereka sudah berada di atas udara kota Denpasar, bersiap-siap mendarat di lapangan udara Ngurah Rai.<br />Saat pesawat telah <span style="font-style: italic;">landing</span>. Lorna menghidupkan ponsel, dan langsung menghubungi Rahma dan Grace yang pada saat itu sudah menunggu di depan pintu keluar. Keduanya sudah meneliti jadwal kedatangan pesawat yang ditumpangi Lorna dan Dewa.<br />"Aku masih di kabin, menunggu Dewa menurunkan tas bawaan dari bagasi kabin. Setelah itu ambil koper. Kamu siap-siap di pintu keluar."<br />"Beres!" jawab Rahma.<br />Dewa mengambil trolly agar barang mereka bisa dibawa jadi satu. Lorna dan Titi menjaga trolly sementara Dewa menunggu koper yang diusung melalui conveyor. Setelah mendapatkan, lalu ditumpuk menjadi satu ke atas trolly.<br />"Itu Grace dan Rahma!" seru Lorna.<br />"Di belakangnya Komang!"<br />"Tapi mereka seperti tak mengenal."<br />"Ya, karena tak tahu!"<br />Komang baru tahu Grace dan Rahma adalah teman yang Dewa maksudkan saat Lorna berpelukan dan saling cium pipi dengan Grace dan Rahma.<br />"Kenalkan temanku Grace dan Rahma," kata Lorna kepada Komang.<br />Grace dan Rahma lalu bersalaman dengan Komang.<br />"Aku ambil kendaraan dulu ya?" kata Komang.<br />"Oke. Kutunggu di depan!" jawab Dewa yang mendorong trolly.<br />"Hei, De. Kamu semakin ganteng saja," goda Rahma.<br />Dewa tertawa.<br />"Ketularan, Lorna," Grace menambahkan.<br />"Titi! Dekat sini, jangan jauh-jauh nanti hilang," kata Dewa kepada Titi.<br />Gadis itu tersenyum malu.<br />Dewa dan Komang memasukkan barang bawaan ke bagian belakang mobil. Lorna, Grace, Rahma dan Titi sudah masuk ke dalam mobil.<br />Sesaat kemudian kendaraan mereka sudah meluncur di jalan raya. Hari sudah masuk suasana gelap malam. Lampu-lampu jalan sudah menyala berwarna-warni. Dewa yang duduk di depan berbincang dengan Komang. Sementara Lorna, Grace dan Rahma sibuk berbincang sendiri. Titi yang duduk sendiri, hanya diam mendengarkan, pandangannya melihat ke jalanan.<br />"Dapat salam dari Widi," kata Komang kepada Lorna.<br />"Oh, ya? Terima kasih!"<br />"Mungkin nanti giliran Lorna akan diwawancarai."<br />"Aduh, jangan! Lorna tak mau. Bilang kepadanya, terima kasih kembali. Apa dasarnya mewawancaraiku?"<br />"Habis <span style="font-style: italic;">shooting</span> nanti!"<br />"Jangan!"<br />Grace dan Rahma tertawa karena Dewa tertawa.<br />"Jangan, dia tak mau!" kata Dewa kepada Komang.<br />"Ya, sudah. Nanti kubilang kalau Dewa yang melarang, bukan Lorna yang tidak mau."<br />"Ternyata yang buat sensasi, Komang!" kata Lorna.<br />Komang tertawa.<br />"Habis yang punya melarang!" Rahma ikut nimbrung.<br />Setiba di penginapan mereka langsung mandi. Kemudian makan malam. Karena ada Titi, hal seperti itu menjadi bagian dari tugasnya. Gadis itu yang mengurus.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-65584420608305215522010-07-15T00:02:00.001-07:002011-06-24T12:51:00.543-07:0099. Berangkat ke Bali.<span style="font-weight: bold;">Titi sudah tahu apa yang harus dikerjakan</span> bila Lorna mengajaknya keluar kota. Gadis itu kerap ikut Lorna pulang ke Australia. Saat Lorna masih berada di dalam kamar bersama Dewa hingga jam dua belas siang, Titi sudah selesai menyiapkan barang yang hendak dibawa ke Bali.<br />Pak Karyo memasukkannya barang-barng tersebut ke bagasi mobil, termasuk peralatan elektronik. Makan siang Lorna dan Dewa juga sudah disiapkannya di meja makan.<br />Jam setengah satu Dewa dan Lorna keluar kamarnya. Keduanya sudah berbusana rapi, siap berangkat. Titi menyambutnya di meja makan.<br />"Kubuatkan sup, Non!" kata Titi.<br />"Terima kasih, Ti. Kalian sudah makan?"<br />"Sudah. Pak Karyo juga sudah."<br />"Kubuatkan tempe goreng buat mas Dewa."<br />Dewa mengangkat jempolnya.<br />"Jam satu kita berangkat, Ti!"<br />"Ya, non. Tapi kubenahi dulu selesai, Nonik dan Mas Dewa makan. Pak Karyo juga sudah siap. Barang-barang yang sudah disiapkan semalam sudah dimasukkan ke mobil."<br />Maka selesai Dewa dan Lorna makan siang. Titi membenahi bekas makan mereka sebentar, sehingga pada saat dia harus ikut Lorna pergi ke Bali, dapur sudah dalam keadaan bersih. Walau ada Pak Karyo dan isterinya serta Ujang di rumah.<br />"Kamu duduk di depan, Ti. Pakai sabuk pengamanmu," kata Lorna ketika sudah berada dalam mobil.<br />"Ya, Non!"<br />"Jangan lupa pintu gerbang ditutup dulu, Pak." kata Lorna kepada Pak Karyo.<br />"Ya, Non."<br />Tapi Ujang yang melakukannya.<br />Wawan adalah penjaga rumah Om Ruyus, ikut menjaga rumah Lorna bersama Ujang. Rumah mereka bersebelahan, yang dipisahkan pagar yang terhubung dengan sebuah pintu.<br />Lorna juga selalu memberitahu ke Tantenya setiap mau pergi keluar kota. Jadi bila rumah tidak ada orang Ujang yang ditugasi menjaga ditemani Wawan, apalagi bila pak Karyo harus pergi ke rumah Lorna yang ada di Malang.<br />Titi duduk di depan dengan penampilan tak sebagaimana pembantu. Titi mengenakan celana jean dan kaos t-shirt, berkacamata hias untuk menghindari silaunya cahaya di luar, rambutnya dikuncir, diikat tali manik, memakai gelang warna-warni. Lorna yang mengajarinya berdandan. Lorna sering membelikan baju serta memilihkan untuknya. Apa yang menjadi pilihan Lorna membuatnya nampak menjadi gadis yang menarik. Titi senang bekerja ikut Lorna, sebab Lorna tak memperlakukannya seperti pembantu. Lorna memperlakukannya sebagai teman di rumahnya. Tetapi Titi tetap menjaga, bahwa dirinya tetaplah seorang pembantu.<br />Saat ini Lorna duduk bersandar pada Dewa. Matanya yang sembab bekas menangis tertutup kacamata hitam berbingkai putih. Anting besar di telinganya berwarna putih. Dan kalung yang melingkari lehernya pun berhias mutiara putih. Gelang di pergelangan tangannya pun bermanik mutiara putih. Rok span dan blasernyapun berwarna putih. Sangat kontras dengan Dewa yang serba hitam. Warna hitam dan putih menjadi paduan yang serasi, sebab bagian dalam Lorna mengenakan warna hitam, stocking dan sepatu hitam.<br />Jemari Lorna berada dalam genggaman jemari Dewa.<br />Teleponnya Lorna berdering.<br />"Ya, Mel?"<br />"Kita semua sudah sampai di Bali. Rombongan kita sudah dijemput dan dibawa langsung ke resort tempat kita akan shooting. Mbak Lorna kapan sampai, mereka menanyakan?"<br />"Paling lama empat jam. Tapi aku berangkat dari penginapanku."<br />"Baiklah. Sekian dulu kabarku, Mbak. Nanti Imel ditelpon ya bila sudah sampai?"<br />"Yuk, Mel!"<br />"Mereka sudah sampai," Lorna memberitahukan Dewa.<br />"Berarti Rahma dan Grace juga sudah sampai. Pesawat Rahma dan Grace kan juga pesawat Imel yang transit di Surabaya," kata Dewa.<br />"Ya, ini mau kuhubungi mereka, kasihan Rahma dan Grace jadi lama menunggu kita."<br />Lorna lalu menghubungi ponsel Rahma.<br />"Hei, Na. Aku sudah sampai. Jam berapa pesawatmu sampai?"<br />"Maaf ya. Cobalah cari tempat duduk sambil makan atau minum disitu sambil menunggu kita yang masih dalam perjalanan."<br />"Berarti sebentar lagi sampai, kutunggu saja di tempat duduk di koridor."<br />"Bukan, aku masih dalam perjalanan ke bandara."<br />"Lha?!"<br />"Maaf banget. Itulah kenapa kutelpon."<br />"Berapa jam lagi?"<br />"Sudah, pokoknya doain supaya selamat sampai disana."<br />"Ya, sudah, kudoain dan kutunggu. Mau bicara dengan Grace."<br />"Yoi."<br />"Hei, Na. Nggak apa-apa deh, sampai besok pun kutunggu," kata Grace ketika telepon dialihkan padanya.<br />"Aduh, sori banget ya Grace. Jangan ngambek ya?"<br />Grace tertawa renyah.<br />"Mana Dewamu?"<br />"Di sebelahku. Ngapain tanya-tanya Dewa kalau tak mau bicara."<br />Grace tertawa lagi.<br />"Tapi bukan berarti basa-basi. Kalau nggak ada Dewa bersamamu, apalah artinya semua ini."<br />Lorna tertawa.<br />"Bukan bersamaku, tapi bersama kita. Dulu kita selalu kompak kan."<br />"Hei, sampai sekarang masih kompak! Tak ada perubahan formatur kan? Masih ada Dewa berarti masih lengkap."<br />"Sudah, sudah jangan bicarain dia. Kita bicara kalian saja. Kalian tunggu sabar sambil cari makan dan minum di salah satu tempat minum di situ, nanti kalau pesawatku landing langsung kutelepon dari kabin."<br />"Yoi, gadisku yang cantik."<br />"Tunggu dan bersabar ya?"<br />"Bye, Na!"<br />"Bye, Grace!"<br />"Nanti saja kita telepon Komang saat berada di ruang tunggu bandara," kata Dewa.<br />Lorna mengangguk.<br />Lorna memberikan hapenya kepada Dewa saat berada di ruang tunggu bandara Soetta. Dewa harus menghubungi Komang, walau semalam mereka sudah melakukan kontak memastikan kabar penginapan buat. Komang sudah siap menjemput di bandara Ngurah Rai.<br />"Sudah siap, De?"<br />"Sudah, Mang. Di bandara sana, ada dua temanku perempuan sudah sampai, dan kini sedang menungguku sampai sana. Mereka ada di salah satu tempat minum di sana."<br />"Aku akan ada disana sebelum pesawatmu tiba. Tak seperti kemarin ketika menjemputmu bersama Papi dan Mami Lorna yang agak terlambat."<br />"Terlambat nggak apa-apa, yang penting selamat. Oke, begitu dulu ya, kita sudah ada panggilan untuk segera masuk ke dalam pesawat."<br />"Baiklah De, sampai jumpa nanti."<br />Dewa pun lalu menutup telepon. Lorna langsung mematikan ponselnya, sehingga saat berada dalam kabin dia tak lagi mematikan ponsel itu.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-24762428552801974922010-07-13T22:38:00.000-07:002011-06-24T12:23:34.683-07:0098. Teringat.<span style="font-weight: bold;">Sebenarnya Dewa berharap Lorna bisa berangkat sendiri </span>bersama rombongan ke Bali. Dengan begitu dia akan memiliki kesempatan bisa pulang terlebih dahulu ke Malang, sehingga ada kesempatan berkumpul Wulan untuk beberapa saat. Setelah itu, baru akan menyusulnya ke Bali.<br />Seperti itulah dilema saat memenuhi keinginan Lorna, bahwa dirinya tak harus langsung berangkat dari Jakarta. Tetapi permintaan Lorna agar menemaninya shooting, merupakan sesuatu yang tidak kuasa ditolaknya, karena hal itu akan membuatnya kecewa, suatu hal yang tidak diinginkannya. Di sisi lain, merasa berat meninggalkan Wulan berlama-lama.<br />Oleh karenanya, tanpa sepengetahuan Lorna, Dewa menelepon Wulan untuk memberitahu bahwa dirinya belum bisa pulang dalam waktu dekat, agar gadis kecil itu tak berangan-angan menunggu kepulangannya. Untungnya Wulan bisa mengerti.<br />"Ayah pasti pulang. Ayah sayang Wulan. Baik-baik saja di rumah dengan Lik Ti, ya?"<br />"Nanti kalau Ayah pulang Wulan tidur dengan Ayah."<br />"Ya, nanti Ayah akan tidur dengan Wulan, dan Ayah akan memeluk Wulan."<br />"Da, Ayah!"<br />"Da, sayang!"<br />Sebentar lagi Wulan masuk sekolah dan Dama juga masuk kuliah. Sejauh ini persiapan sudah diselesaikan Dama.<br />Dewa duduk di kursi beranda menunggu Lorna yang sedang sibuk melayani telepon yang masuk. Dewa mengisi waktu dengan membaca koran pagi yang baru diberikan Pak Karyo. Koran yang baru diantar loper koran, biasanya oleh Pak Karyo langsung diletakkan ke dalam mobil. Untuk dibaca Lorna dalam perjalanan ke kantor. Tapi pagi ini Pak Karyo memberikan kepada Dewa atas permintaan Lorna, karena tahu Dewa sedang mencari koran untuk dibaca.<br />"Pesawat kita kan sore ya, De?" tanya Lorna.<br />"Kurang tahu, kamu kan yang pegang tiketnya."<br />"Seingatku begitu."<br />"Coba dicek kembali."<br />Lantas Lorna masuk ke dalam. Sementara Titi meletakkan piring berisi pisang goreng di meja di depannya. Dewa segera memanggil Pak Karyo untuk ikut menikmati pisang goreng itu.<br />"Kalau masih panas enak, Mas," kata pak Karyo sambil mengambil sebuah menggunakan tisu.<br />"Cocok untuk teman ngopi," timpal Dewa.<br />"Tapi, Mas Dewa tidak ngopi."<br />"Capucino mengandung sedikit kopi, Pak."<br />"Kalau saya kopi kental baru terasa ngopi," katanya sambil tertawa.<br />Lorna sudah keluar kembali setelah mengecek tiket pesawat.<br />"Betul nanti sore!" katanya kepada Dewa.<br />"Jadi sore ke Bandaranya, Non?" tanya pak Karyo.<br />"Ya, Pak!"<br />Dewa kembali membaca koran setelah menemani Pak Karyo menikmati pisang goreng sambil minum kopi. Pak Karyo kembali membersihkan mobil. Sementara Lorna membaca skrip skenario sambil menelpon mereka yang berada di kantornya. Hari ini Lorna sengaja tak pergi ke kantor, cukup berhubungan melalui saluran seluler.<br />Lorna meletakkan naskah skenario ke atas meja. Kemudian minum dari gelas Dewa seraya melihat ke arah Dewa yang sedang membaca koran. Semalam Dewa memijit kembali kakinya setelah mengalami kepenatan berjalan-jalan melihat museum, dan itu dilakukan Dewa lama sekali hingga ketiduran sampai pagi menjelang.<br />Lorna mengambil pisang goreng dengan tisu, kemudian duduk di samping Dewa, menyorongkannya ke mulut Dewa.<br />"Sudah barusan menemani Pak Karyo."<br />Lorna merajuk. Menggigit pisang itu dan potongannya diberikan ke mulut Dewa menggunakan mulutnya. Dewa terpaksa menerimanya sambil memilin sejenak bibir Lorna.<br />Lorna tersenyum senang.<br />"Minyaknya pakai mentega. Lorna tahu Dewa menghindari minyak," kata Lorna seraya bersandar ke bahu Dewa.<br />"Persiapanmu sudah semua?" tanya Dewa.<br />"Sudah. Kita di rumah saja ya?" Lorna balik bertanya.<br />"Ya, kakimu masih pegal kan."<br />Lorna mencium pipi Dewa, dan melingkarkan tangannya ke leher Dewa dari belakang punggungnya. Kemudian berbisik.<br />"Terima kasih telah dipijit kaki Lorna semalam. Pijitan Dewa membuat kita bercinta, dan membuat Lorna bisa tertidur lelap hingga pagi. Terima kasih, Dewaku. Kapan Dewa berikan cucu buat Mommy?"<br />Tangan Dewa mengusap rambut Lorna. Dan Lorna menyeka pipi bekasnya dicium akibat noda minyak mentega pisang goreng dari bibirnya.<br />"Apakah Lorna siap?"<br />Lorna menggigit telinga Dewa dengan manja seraya berkata lirih.<br />"Any time! Sejak dulu Lorna selalu siap buatmu. Biar kita selalu berkumpul bersama, dan Dewa bisa mengajak Lorna bercinta setiap hari. Menemaniku menyusui anak kita. Dewa bisa memandikan anak kita. Memandikan Lorna seperti tadi pagi. Mengangkat Lorna ke kamar mandi. Memasukkan Lorna ke bak mandi. Menyabuni tubuh Lorna. Dan Lorna bisa melihatmu menatap Lorna setiap hari seperti itu. Dan tak tersiksa bila harus berpisah."<br />Dewa tertawa.<br />"Tersiksa bagaimana?" tanyanya.<br />"Tersiksa kerinduan."<br />"Kita akan selalu bersama. Kulakukan semua itu agar kau merasa bahwa aku adalah suamimu."<br />Lorna memagut mulut Dewa sejenak.<br />"Nanti dilihat pak Karyo dan Titi," kata Dewa dengan suara perlahan.<br />"Kalau begitu kita ngobrol dalam kamar saja."<br />Kemudian Dewa menggendong Lorna yang manja pindah ke dalam kamar.<br />"Beberapa hari ini gitar itu tertunda untuk dimainkan," kata Lorna yang kini sudah berada di sofa.<br />"Kamu ingin aku memainkan?"<br />Lorna hanya menjawab dengan senyum.<br />"Jangan mainkan bila hati Dewa tak nyaman."<br />"Bermain musik bisa dilakukan dalam suasana apa saja. Yang membedakan hanya nada yang dihasilkan," jawab Dewa lalu mengambil gitar yang teronggok dekat jendela.<br />Lorna menepuk-nepuk sofa yang berada disampingnya agar Dewa duduk di dekatnya.<br />Dewa lantas duduk di sebelahnya. Mulai memetik senar gitar. Setiap nada yang keluar terasa nyaman dalam pendengaran Lorna. Setiap nada yang keluar seolah menariknya kembali ke ingatan masa lalunya. Masa-masa mereka selalu bersama. Masa-masa mereka juga sedekat ini, tetapi tak seperti sekarang.<br />Dulu Dewa hanya sebatas memandangi wajah dan memegang jemari tangannya, tak lebih. Tetapi kini mereka sudah demikian dekat. Jiwa mereka seakan telah menyatu tak bisa dipisahkan. Kini tak sebatas memandang dan memegang jemari tangan, lebih dari itu. Kini Dewa telah memiliki jiwa dan raganya. Dewa bisa berbuat sekehendak hatinya.<br />Lorna larut dengan bayang-bayang masa lalu yang mereka ciptakan. Setiap hari yang mereka lakukan di masa lalu kini menjadi kenangan, yang berharap terpelihara di masa akan datang. Karena itulah hari-hari kebersamaan yang pernah mereka lalui, menjadi kenangan yang membuat perasaan terharubiru.<br />Dewa menghentikan petikan gitarnya saat melihat Lorna terisak-isak di punggungnya. Gitar itu pun diletakkan ke atas lantai. Ditariknya tubuh Lorna. Kemudian dipeluknya. Diciumnya pipi dan bibir Lorna dengan lembut. Dia seka air mata Lorna dengan bibirnya.<br />"Kenapa?"<br />Lorna tak kuasa untuk bicara. Dia hanya memeluk Dewa dengan erat seraya terisak-isak. Dewa mencoba mencari tahu perasaan apa yang tiba-tiba membuat hatinya gundah gulana.<br />"Dewa ada disini. Bicaralah apa yang membebani pikiran dan hatimu."<br />Sebaliknya Lorna menggeleng-gelengkan kepala.<br />"Aku mencintaimu, De."<br />"Aku tahu, Na. Aku tahu. Aku tahu kamu demikian cinta padaku. Kamu sudah mengatakannya berulangkali. Kamu tak pernah berhenti bilang cinta. Seakan aku tak mendengar kalau kamu demikian cinta. Aku selalu dan selalu mendengarmu. Mendengar ungkapan cintamu. Suaramu yang lembut. Aku selalu dan selalu ingin kamu mengatakan itu setiap saat. Aku senang mendengarnya. Suaramu membuatku rindu."<br />"Oh, Dewaku!"<br />"Lalu apa yang membuatmu risau?" tanya Dewa seraya memegang kedua pipi Lorna, memandang matanya dengan lekat, seakan ingin menembus masuk untuk mencari tahu penyebabnya.<br />"Tiba-tiba Lorna teringat yang membuatku merasa bersalah," jawabnya terbata-bata.<br />"Apa yang membuatmu merasa bersalah?"<br />Tiba-tiba Lorna kembali terisak-isak seraya menggelengkan kepala.<br />"Katakanlah. Katakanlah. Aku akan mendengarnya. Curahkanlah, aku akan menampungnya."<br />"Kamu sedemikian baik kepadaku."<br />"Ya, kenapa?"<br />"Kenapa harus Lorna tinggalkan ketika itu?"<br />"Oh, itu. Lupakanlah."<br />"Sulit, De. Sulit sekali. Lorna merasa bersalah."<br />"Aku tak berpikiran kalau kamu bersalah.'<br />"Lorna merasa bersalah, De. Lorna merasa sangat bersalah."<br />Dewa berusaha menenangkan dengan memeluk, membelai, mencium pipi dan bibirnya agar tangisnya reda. Tetapi tangis itu tak kunjung reda. Dewapun lantas membawanya duduk dalam pangkuannya.<br />"Maafkanlah Lorna."<br />"Tak ada yang perlu dan harus kumaafkan darimu. Karena tak ada suatu kesalahan apapun yang pernah kau lakukan kepadaku."<br />"Itu perasaanmu, De."<br />"Tapi kenapa selalu menjadi bebanmu? Mari kita lupakan itu semua."<br />Dewa lalu mengangkat tubuh Lorna dan membawanya ke tengah pembaringan. Kemudian tubuh itu dipeluknya dengan hangat.<br />"Mari kita istirahat dulu," kata Dewa seraya menarik tubuh Lorna sehingga berhadapan.<br />"Kamu ingin bercinta?" tanya Dewa dengan lembut seraya menatap mata Lorna yang basah.<br />"Dewa ingin?" Lorna balik bertanya.<br />"Lorna mau?"<br />Tetapi Dewa hanya merengkuhnya dalam pelukan.<br />"Kita beristirahat sampai jam dua belas saat makan siang nanti kita bangun. Sebab jam satu kita harus ke bandara."<br />Lorna membalas pelukan Dewa, kemudian memberikan bibirnya agar dikecup, namun Dewa memilinnya.<br />Sementara mentari menuju titik di langit yang tinggi. Menghapus bayang-bayang hingga tegak lurus. Embun dan kelembaban pun telah pergi. Dan daun-daun pun semakin menggeliat kepanasan. Angin yang bertiup tak mampu meredakan datangnya kegairahan siang hari.<br />Lorna terkulai dalam pelukan Dewa.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-68560420934921472072010-07-13T06:53:00.000-07:002011-06-24T11:54:34.420-07:0097. Ke Kota Tua.<span style="font-family: verdana;font-family:georgia;" ><span style="font-weight: bold;">Dewa memarkir kendaraan di Gedung Museum Bank Mandiri </span>yang letaknya berhadapan dengan Stasiun Jakarta Kota, dengan begitu kendaraan Lorna berada pada tempat yang aman. Tetapi tujuan mereka bukan untuk melihat ke dalamnya, melainkan museum Fatahillah, yang letaknya sekitar dua ratus meter dari tempat itu .<br />Lorna dan Dewa kini sudah berdiri di tepi jalan raya. Suasana jalan di depannya ramai dan padat, karena merupakan lintasan pertemuan bagi kendaraan umum yang akan berbalik arah.<br />Sejak taman yang berada di antara Stasiun Beos dengan Museum Bank Mandiri beralih fungsi dengan dibangunnya halte-halte busway, tempat tersebut terasa semakin tidak nyaman, tidak lagi bisa melihat bangunan Stasiun Kota dari depan secara utuh dengan leluasa, juga bangunan halte busway menghalangi pandangan bebas, membuat suasana terasa sempit.<br />Dewa menggandeng tangan Lorna. Lorna menggenggam jemari Dewa dengan erat, seakan takut terlepas. Dewa membuka payung untuk menghindarkan kulit Lorna yang lembut dari sengatan sinar mentari.<br />Dewa menatap Lorna.<br />"Siap kita berjalan kaki?"<br />Lorna tersenyum.<br />"Lorna ikut Dewa!"<br />"Dalam terik matahari?"<br />"Ada Dewa yang memayungi Lorna."<br />"Kita bisa naik bajaj atau angkot kalau mau."<br />"Jauh tidak?"<br />"Kita lurus saja ke sana, langsung ke Museum Fatahillah," kata Dewa seraya menunjukkan arah jalan yang akan ditempuh untuk sampai ke tempat itu.<br />"Terlihat itu?"<br />"Ya. Bagaimana?"<br />"Karena kita mau lihat suasana, sekali-kali tak apa berjalan kaki," jawab Lorna.<br />Dewa memandang wajah Lorna untuk meyakinkan. Sebenarnya tak tega mengajaknya berjalan kaki pada situasi jalanan yang tidak nyaman.<br />"Yakin mau jalan?<br />Lorna mengangguk.<br />"Karena ada Dewa yang menjaga Lorna," jawab Lorna sembari meremas genggaman jemari Dewa lebih erat.<br />"Kita berjalan santai saja?" kata Dewa.<br />Lalu Dewa membawa Lorna memasuki jalan penyeberangan yang dibangun di bawah tanah. Lorong itu menghubungkan ke sisi jalan yang lain. Lorong itu melintasi sebuah kolam air yang tak pernah berfungsi dengan baik. Kolam tersebut berada di bawah permukaan tanah menghadap ruang terbuka di atasnya. Jalanan lorong berlantai keramik, melingkari kolam yang membagi jurusan menuju halte busway, Stasiun Kota dan keluar di depan Museum Bank Mandiri.<br />Dewa dan Lorna mengambil lintasan yang keluar menuju halte busway, tetapi mereka tidak kesana, mereka mengambil jalan trotoar yang ke arah Kota Tua, ke Museum Fatahillah.<br />"Kalau merasa capai berjalan, bilang ya?"<br />"Kalau tak banyak orang melihat, Lorna minta Dewa menggendong," jawab Lorna menggoda.<br />"Itu yang ingin kukatakan. Pasti itu akan kulakukan."<br />"I love you, De!"<br />Dewa tersenyum.<br />"Ya, karena aku mencintaimu," jawab Dewa.<br />"Terima kasih, De."<br />"Kenapa bilang terima kasih?"<br />"Terima kasih karena Dewa telah mencintaiku."<br />Dewa merengkuh bahu Lorna dan memeluknya sesaat.<br />"Aku akan selalu mencintaimu, Na. Aku mencintaimu. Jadi kita makan soto mie?"<br />"Ya, jadi."<br />Maka saat mereka tiba di lingkungan Museum Fatahillah, mereka terlebih dulu memesan soto mie. Dan menumpang duduk yang ada di penjual mie ayam, karena penjual soto mie tidak menyediakan tempat duduk. Mereka adalah para pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di tempat itu. Jadi para pembelinya yang mencari tempat duduk sendiri. Bila ada yang membawa motor, mereka akan duduk di atas motornya yang diparkir.<br />Lorna menolak teh botol saat Dewa memesankan minuman. Lorna memilih air mineral. Maka Dewa memesan air mineral kemasan botol. Wajah Lorna berkeringat saat menikmati panasnya kuah soto mie. Dia menyuapi Dewa untuk mencicipi betapa terasa pedas kuahnya. Lalu mencobakan kuah soto mie miliknya yang tak terasa pedas.<br />"Mau tukar?"<br />Kemudian mereka bertukar.<br />"Harusnya tadi sambalnya dibuang kalau tak mau pedas?" kata Dewa.<br />"Tapi enak, kuahnya panas Lorna tak tahan," jawabnya sambil minum air putih.<br />"Yang kutahu, dulu kalau kita makan rujak cingur, kamu selalu pesan yang pedas," kata Dewa mengingatkan.<br />"Hai, Dewa ingat ya?"<br />"Apa yang pernah kita lalui, aku selalu teringat."<br />Lorna memandangnya dengan lekat. Mereka dulu sering mencari rujak cingur saat pulang sekolah dekat stasiun Malang bersama Grace dan Rahma.<br />"Itu gara-gara Grace dan Rahma selalu ngajak berlomba kuat-kuatan menahan pedas."<br />"Berhenti kalau tak tahan pedasnya."<br />"Tapi nggak enak kalau berhenti," kilah Lorna.<br />"Perutmu ntar sakit!"<br />Kemudian Lorna minta membantu menghabiskan miliknya dengan menyuapinya. Apa yang mereka lakukan menjadi perhatian mereka yang berada di sekitar itu. Kedua muda-mudi yang mereka pikir artis itu nampak romantis sekali. Mereka suka sekali melihatnya.<br />Setelah itu Lorna memesan es krim yang juga dijual pedagang yang mangkal. Es krim diharap akan mendinginkan rongga mulut dan tenggorokannnya. Mereka berdua menikmati es krim. Tak peduli jadi pusat perhatian. Khususnya Lorna, matanya yang biru lalu disembunyikan di balik kacamata hitamnya, disamping untuk meredakan sinar mentari yang menyilaukan. Pelataran di depan Gedung Museum yang luas nampak terik lantaran sinar mentari yang bersinar keras.<br />Selesai menikmati soto mie Dewa mengembangkan payung. Lalu meninggalkan tempat itu. Berjalan bergandengan tangan di bawah payung menuju gedung Museum. Dewa yang membawa kamera Lorna, talinya digantungkan ke atas pundaknya.<br />"Panas sekali!" kata Lorna ketika sudah berada di selasar gedung. Tetapi setelah berada di tempat itu terasa teduh kembali.<br />"Kita cari tempat duduk di dalam biar terasa sejuk."<br />Untuk bisa masuk ke dalam harus membeli tiket dulu. Setelah itu Dewa membawa Lorna ke dalam. Udara dalam gedung terasa berbeda jauh. Udaranya terasa lembab dan sejuk. Panas yang dirasakan Lorna berangsur normal.<br />Kemudian melanjutkan berkeliling gedung. Melihat apa yang ada di dalamnya. Dewa mendampingi Lorna mengambil foto. Kadang bergantian berpose untuk mengambil gambar. Lorna lebih senang mengambil pose gambar Dewa. Untuk menyenangkan hati gadis itu, Dewa menurutinya.<br />Kemudian beristirahat pada bangku yang ada di halaman dalam gedung Museum. Kursi besi dengan alas kayu itu berada di bawah sebuah pohon. Lorna menyeka wajahnya dengan tisu basah. Tisu basah tak pernah lupa dibawanya. Tisu itu pun dibagikan pada Dewa. Menjaga kelembaban kulit agar tetap segar. Dan itu yang membuat kulit wajah Lorna nampak selalu segar bersinar.<br />"Semoga Lorna tak kapok," kata Dewa dengan tersenyum.<br />"Hai. Lorna tak kapok!" sergah Lorna.<br />"Lorna tak terbiasa dengan situasi seperti ini."<br />"Iya, tapi tak berarti Lorna tidak menyukai? Lorna akan membiasakan dengan hal ini."<br />"Tapi aku tak akan membiarkan. Kamu tak boleh tersiksa seperti ini."<br />"Kenapa? Lorna menikmati situasi ini."<br />"Benar Lorna menikmatinya?"<br />"Iya, sungguh!"<br />"Capai?"<br />"Kaki Lorna pegal!"<br />Dewa tersenyum. Lorna menjentik ujung hidungnya.<br />"Mari kupijit."<br />Maka Dewa jongkok kemudian memijit betis dan jemari kaki Lorna, sambil membersihkannya dengan tisu basah. Sementara kakinya dipijit. Lorna pun menyeka wajah Dewa dengan tisu basah. Pijitan Dewa terasa nyaman sekali. Kepenatan yang tadi dirasakan berangsur-angsur mula menghilang. Dewa memberinya pijitan di kedua kakinya. Lorna menikmati pijitan itu.<br />"Capai mijitnya?" tanya Lorna.<br />Dewa menggeleng.<br />"Bagaimana sekarang?"<br />"Sudah mulai hilang!"<br />"Coba kaki Lorna dinaikkan ke atas bangku, diluruskan."<br />"Dewa duduk, biar Lorna bisa bersandar."<br />Maka Dewa duduk jadi tempat bersandaragar kakinya bisa berselonjor, sembari memotret patung Hermes yang tak jauh dari tempatnya duduk. Karena Lorna telah mengalami pegal kaki, Dewa tak ingin membawanya berjalan berkeliling untuk melihat sudut dan ruangan yang ada dalam bangunan museum, padahal tak jauh dari tempatnya duduk, di dasar bangunan ada ruang-ruang penjara tempat seperti Pangeran Diponegoro pernah disekap.<br />Lorna tak terbiasa berjalan kaki jauh. Jadi tidak mungkin mengajaknya berjalan kaki kembali ke tempat mobil mereka diparkir di museum Bank Mandiri. Semula Dewa akan membawa kesana dengan menumpang bajaj. Tapi Lorna lebih memilih menunggu di depan Museum sementara Dewa mengambil mobil.<br />"Lorna tunggu saja disini," kata Lorna.<br />"Kutinggal sebentar, ya?"<br />Lantas Dewa dan Lorna saling mengecup bibir.<br />"Hati-hati, De!"<br />"Jangan kemana-mana. Tunggu di sini saja," pinta Dewa.<br />Lorna mengangguk. Hanya dia minta Dewa tak meninggalkannya lama-lama. Supaya cepat, Dewa naik ojek untuk pergi ke Museum Bank Mandiri di mana mobilnya diparkir.<br />Mentari mulai condong ke barat ketika Dewa sudah kembali dengan mobilnya. Dewa memarkir di tepi jalan di sisi kiri pelataran Museum. Lorna melihat Dewa keluar dari mobil lalu berjalan ke arahnya. Dewa melambaikan tangan yang dibalas Lorna.<br />"Mau kugendong?" tanya Dewa menggoda.<br />"Mau!" jawab Lorna tak kalah menggoda.<br />Keduanya tertawa. Dewa memeluk Lorna yang disambut dengan hangat.<br />Banyak pasangan mata memperhatikan gadis cantik yang berdiri sendiri sejak tadi. Kini telah berada dalam pelukan lelaki yang baru datang. Pasangan sejoli itu tak peduli kini menjadi perhatian. Ada yang mengambil foto mereka dengan diam-diam. Tetapi Lorna dan Dewa tak peduli. Keduanya sibuk berbincang dengan keakrabannya, sambil berjalan menuruni tangga teras yang ada di depan Museum, kemudian melintasi pelataran luas yang alasnya tertutup oleh batu gilang.<br />Mereka kembali ke mobilnya.</span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-88116114207244342192010-07-13T01:36:00.000-07:002011-06-24T10:40:36.763-07:0096. Mengunjungi Pameran.<span style="font-weight: bold;">Wisnu yang busana bawah</span> mengenakan kain hitam dan rambutnya yang keriting tersanggul seperti balatentara Singosari, kumisnya hitam lebat yang tumbuh tak karuan, menghadangnya di depan pintu masuk ketika Dewa dan Lorna nampak olehnya.<br />"Ini manusia Jawa yang kita cari-cari. Kemana saja kemarin? Semua pada menunggu."<br />"Sori, brur. Ada kesalahan teknis, salah lihat kalender," Dewa beralasan.<br />Wisnu tertawa ngakak.<br />"Halo, apa kabar nona cantik?" sapanya kepada Lorna seraya menjabat tangan dengan membungkukan badan.<br />"Baik, bagaimana pamerannya? Ramai?"<br />"Yah, begitulah, masih berdasarkan undangan yang hadir."<br />Lalu Dewa ramai didekati teman-temannya. Dewa memperkenalkan Lorna. Dan Joan pemilik gallery menemuinya pula.<br />"Kemana saja kemarin Mas Dewa tak muncul?"<br />"Sori, tapi yang penting sekarang muncul."<br />"Ada beberapa wartawan pingin ketemu. Karena Mas Dewa tak ada, mereka meninggalkan nomer telepon untuk bisa dihubungi kembali. Mereka juga minta alamat Dewa, tapi sudah kuberikan."<br />"Kenalkan Lorna!" kata Dewa pada Joan<br />Kedua perempuan itu lantas bersalaman.<br />"Where are you come from?"<br />"Joan, pakailah bahasa Indonesia, dia fasih."<br />Joan tertawa.<br />"Saya dari Malang!"<br />"Kamu tentu heran, mana ada orang Malang matanya biru. Orangtuanya dari Australia," Dewa menyela untuk menjelaskan.<br />"Pantas, aku curiga. Kupikir matanya pakai softlance, kebanyakan gadis-gadis sekarang begitu. Tapi dari kulit, hidung, postur, wajah, kalau rambut semua bisa menyemirnya, sepertinya bukan gadis Indonesia."<br />Lorna tersenyum-senyum.<br />"Lorna lahir di Malang," jawab Lorna.<br />"Tapi aksen masih ada pengaruh asingnya."<br />"Dia lama di Australia, smanya denganku."<br />"Sekarang?"<br />Dewa dan Lorna saling memandang dan tersenyum. Joan tersenyum mengerti yang dimaksud dengan pandangan keduanya.<br />"Selera Mas Dewa memang tinggi. Mas Dewa, kurasa kita nanti perlu bicara. Aku ingin menyelenggarakan pameran tunggalnya Mas Dewa. Gambar Mas Dewa yang ditampilkan ada yang meminati, beberapa sudah kuberi tanda pada katalog. Dan aku sudah mengirim mereka pesan untuk bisa mengakses websiteku, agar mereka bisa lebih mendalami karya-karya Mas Dewa yang kuunggah. Bisakah nanti kalau ada waktu kita bicarakan itu?"<br />"Bisa saja."<br />"Ada yang baru?"<br />"Ada, tapi itu nanti, dan untuk pameran tunggal masih perlu aku siapkan gambar-gambar yang lainnya. Tapi untuk waktu dekat, aku masih belum bisa. Tapi, nanti kita bicarakan saja bila aku sudah siap."<br />"Terima kasih, Mas. Mbaknya ini perlu minum?"<br />Lorna menolak halus.<br />"Terima kasih!"<br />"Aku tak akan berlama-lama disini. Setelah bertemu teman-teman sebentar. Aku harus pergi?"<br />"Ayolah temui mereka, ada yang sempat marah Mas Dewa tak datang kemarin, katanya tak kompak."<br />Dewa tertawa lunak.<br />"Salah paham saja!"<br />"Kubilang juga begitu. Mas Dewa kan harus datang dari luar kota."<br />Kepada rekan-rekannya Dewa meminta maaf atas ketidakhadirannya di acara pembukaan. Tapi Dewa tak menjelaskan alasannya. Dan Dewa pun tak ingin berlama-lama. Setelah berkeliling melihat hasil karya teman-temannya yang turut dipamerkan didampingi Lorna, lantas berpamitan kepada mereka.<br />Joan mengantarkannya ke mobil bersama Wisnu dan Sabar.<br />"Sori, aku harus mengantar bosku ini. Hari ini supirnya sedang istirahat," kata Dewa seraya memandang kepada Lorna yang tersenyum-senyum.<br />Mereka tertawa.<br />"Gara-gara Lorna kemarin mereka ada yang kesal," kata Lorna saat kendaraan mereka meninggalkan tempat itu.<br />"Jangan dimasukkan hati. Penyelenggara saja tak marah. Aku tak punya urusan dengan hal-hal seperti itu. Lalu apa pasalnya marah padaku. Sesungguhnya aku tak nyaman pameran bareng seperti itu. Yang ikut pameran itu atas dasar pilihan Joan, bukan atas dasar kesepakatan denganku. Kecuali kalau itu kuselenggarakan atas kesepakatanku sendiri bersama teman-teman."<br />"Ya, sudah. Lorna paham. Kita makan di mana?""<br />"Kita nanti melewati jalan Thamrin. Kita bisa mampir ke Sarinah. Kalau mau makan bakso, di situ ada menu bakso Malang."<br />"Kita ke museum mana?"<br />"Ada banyak museum di Jakarta. Ke museum Nasional atau ke museum Fatahillah di Kota Tua."<br />"Kalau ke Kota Tua?"<br />"Ada di Kota, kita bisa parkir di museum Fatahillah dari situ kita bisa berjalan berkeliling. Kita bisa makan soto mie yang ada di sekitar museum. Mau?"<br />"Boleh!"<br />"Biasanya hari minggu begini jalan Thamrin terkena 'car free day', tetapi waktunya sudah terlewati, jadi bisa langsung lurus dari jalan Sudirman ke Bunderan HI."<br />Maka mereka melewati sepanjang jalan Sudirman yang terasa lengang dari kendaraan bila hari libur. Berbeda bila jam kerja, yang selalu padat merayap, bahkan tak jarang mengalami kemacetan. Air mancur di Bunderan HI menyembur ke udara, percikannya hinggap pada kaca mobil Lorna. Dewa menyalakan pembersih kaca.<br />Lorna mengeluarkan snack dan membagikannya ke dalam mulut Dewa. Kemudian juga mengambil minuman kaleng.<br />"Mau rootbeer atau pockari?" tanya Lorna menawarkan minuman.<br />"Yang mana saja boleh..."<br />"Pockari...."<br />"Boleh, itu saja."<br />Sambil menikmati snack, sesekali Lorna menyodorkan minuman kaleng, Dewa menyedotnya dengan pipet. Lorna pun minum dari kaleng yang sama.<br />"Tempat itu sejak pagi hingga sore hari biasanya ramai dikunjungi para penggemar photography. Atau sebagai latar belakang model berpose. Tak cocok untuk mendapatkan ketenangan di tempat itu, ramai sekali. Tapi untuk sekedar ingin tahu dan melihat-lihat suasana bangunan masa lalu, kawasan itu masih banyak terdapat gedung-gedung kuno."<br />"Kita hanya melihat-lihat saja"<br />Lorna menyiapkan kamera yang ada di laci.Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7266777673773715777.post-26790257326780734962010-07-12T09:38:00.002-07:002011-06-24T10:24:33.881-07:0095. Teringat Masa Lalu.<span style="font-weight: bold;">Karena yang membawa mobil Lorna adalah Dewa</span>, maka Pak Karyo hari itu tidak membawa mobil, dia disuruh untuk mengeprint beberapa foto terakhir bersama anak-anak teman bernama Hun Wan, dan menyerahkan ke rumahnya yang merangkap restoran.<br />Dewa dan Lorna datang sebentar ke kantor untuk beberapa hal yang harus dikerjakan Lorna. Walau ini merupakan hari Minggu. Yang akan berangkat shooting ke Bali besok, mereka datang untuk melakukan persiapan. Karena itu dalam teleponya Imelda pasti datang. untuk memberikan konfirmasi nomer tiket pesawat Lorna dan Dewa.<br />Dalam perjalanan, Dewa yang membawa mobil Lorna, masih perlu menyesuaikan sebentar terhadap piranti mobil yang serba digital itu.<br />"<span style="font-style: italic;">Sonata For Piano, C-Sharp Minor, No.14, Beethoven</span>." kata Dewa saat mendengar musik mulai mengalun dalam ruangan mobil.<br />Lorna tersenyum menatap Dewa ketika Dewa menyebut judul lagu klasik yang mengalun saat Lorna menghidupkan player musik pada dash board.<br />"Hafal ya?" kata Lorna.<br />Dewa membalas senyum Lorna.<br />"Daddy suka memainkannya."<br />"Aku tahu. Waktu kuantar kau pulang mau makan malam di rumahmu, kita mendengar Papi memainkan itu dengan piano saat kita keluar mobil."<br />Lorna tak mengatakan kalau dia juga hafal sekali. Setelah grade advance waktu ujian kursus piano, beberapa lagu klasik Beethoven menjadi wajib untuk dikuasai. Dia lebih sering memainkannya apabila ada yang dirindukan. Lelaki yang kini duduk di belakang kemudi itu yang selama ini kerap dirindukannya.<br />Seperti kebiasaannya bila hendak pergi, Dewa selalu melihat ke atas langit. Berharap hari cerah. Dia tak pernah melihat dan mendengar laporan cuaca. Dia lebih percaya pada nalurinya. Dan tidak seperti Lorna, yang lebih dulu harus membaca ramalan cuaca yang ada pada widget ponselnya, untuk mengetahui kondisi cuaca Jakarta, berapa temperaturnya, berawan atau tidak. Dan hari ini langit Jakarta tidak berawan, tidak turun hujan, temperatur normal. Normalnya temperatur udara Jakarta tetaplah panas lantaran Jakarta berada di tepi laut. Uap air laut yang bertiup ke daratan membuat siapapun akan merasa gerah dan berkeringat.<br />Sementara <span style="font-style: italic;">Sonata No.21 dalam nada C, III. Rondo-Allegretto moderato 'Waldstein'</span> menggantikan <span style="font-style: italic;">Sonata For Piano, C-Sharp Minor, No.14, Beethoven</span>.<br />"Piano di rumah Malang nadanya perlu ditala," kata Lorna.<br />"Nanti kalau pulang kesana kita cari orang yang bisa menala piano."<br />"Dulu kita ada orang yang biasa menalanya, tapi itu sudah lama sekali, karena kita sudah lama tak menempati rumah itu seperti dulu. Daddy dan Mommy pulang ke Malang jarang-jarang. Dan apakah orang tersebut masih ada ataukah sudah pindah?"<br />"Kita cari dan tanyakan ke lembaga kursus musik yang ada di Jalan Kawi, atau tempat menjual alat musik, tentu mereka punya hubungan dengan orang-orang yang biasa menala piano."<br />Lorna menyodorkan roti berlapis keju dan salad ke mulut Dewa. Roti itu mereka makan berdua. Dan Dewa menggigitnya sepotong, yang kemudian diikuti Lorna.<br />"Setelah dari Pameran kita kemana?" tanya Lorna.<br />"Lorna ingin kemana?"<br />"Kalau ke pantai baiknya sore hari, karena hari sudah dingin."<br />"Kalau ke puncak?"<br />"Hari minggu begini macet, apalagi satu arah."<br />"Bagaimana kalau ke museum?"<br />"Yuk. Lorna belum pernah ke museum."<br />Setelah dua kali gigitan lagi, Dewa menyudahi makannya. Lorna memberinya minum memakai pipet. Setelah itu membantu membersihkan tepian mulut Dewa dengan sehelai tisu, agar Dewa tetap kosentrasi menyetir mobil.<br />"Terima kasih."<br />Tak lama kemudian kendaraan mereka sudah memasuki halaman parkir. Dewa dan Lorna berjalan berdampingan memasuki gedung. Suasana kantor tak berubah walau itu di hari minggu. Ada beberapa kegiatan shooting untuk iklan produk anak-anak. Jadi ada sekelompok anak-anak bersama orangtuanya berkumpul mengikuti jadwal shooting.<br />"Selamat pagi, Mbak!" sapa Imel ketika Lorna hendak masuk ke dalam lift.<br />"Selamat pagi, Mel!"<br />"Selamat pagi, Mas!" sapa Imel pada Dewa. Imel tak berani menatap mata Dewa berlama-lama.<br />Dewa hanya tersenyum.<br />"Kalian sudah siap untuk berangkat besok?" tanya Lorna.<br />"Sudah Mbak. Nanti mau rapat sebentar untuk melakukan konsoldasi dengan bagian produksi serta untuk mengevaluasi kembali, setelah mengecek semua persiapan dan peralatan," jawab Imel seraya memberikan sebuah amplop.<br />"Tiket Mbak, untuk tiga orang!" kata Imel menambahkan.<br />"Terima kasih, nanti kulihat."<br />Lorna mengajak Dewa pergi naik ke lantai atas tempat ruang kantornya berada. Lorna segera menyalakan ac ketika mereka sudah berada di dalam. Kemudian membuka amplop yang baru saja diterima dari Imelda. Meneliti sebentar, karena tiket itu untuk dirinya, Dewa dan Titi yang akan diajaknya pula.<br />Ada setumpuk surat-surat yang belum terbaca di atas mejanya. Lorna mengesampingkan. Kemudian menelpon Rahma.<br />"Pagi, sayang!" sapa Lorna.<br />"Hai, pagi, gadis cantik!" balas Rahma<br />Suara Rahma terdengar jelas, karena Lorna menyetel ke mode speaker agar Dewa ikut mendengarkan.<br />"Tiket kalian sudah diterima belum?"<br />"Sudah. Makasih ya? Kamu bersama Dewa?"<br />"Ya!"<br />"Baik-baikkah dia?"<br />"Dia baik-baik saja. Kamu mau bicara?"<br />"Sudahlah. Apa yang mau kubicarakan dengan Dewa? Tak ada. Yang penting kalian berdua baik-baik saja."<br />"Kita bertemu di Bali. Kutunggu nanti di Bandara Ngurah Rai, ya? Karena pesawatku tiba terlebih dahulu."<br />"Oke, Na!"<br />"Nanti kita sambung lagi. Aku mau pergi melihat pamerannya Dewa dan teman-temannya."<br />"Sampaikan salamku ke Dewa."<br />"Dia sudah mendengarnya."<br />Rahma tertawa.<br />"Sialan kamu! Halo, De. Jaga dia ya. Ikat yang kencang. Sekarang dia semakin terkenal dan banyak yang mengejar."<br />"Bagaimana aku harus mengikatnya?" tanya Dewa.<br />"Dengan cintamu, daaah!"<br />Lorna tertawa renyah seraya memandang Dewa yang juga tersenyum.<br />"Kita pergi sekarang, De?" tanya Lorna seraya mendekati tempat Dewa duduk.<br />Dewa mengangguk. Dan Lorna mematikan ac dan lampu ruangan sebelum meninggalkan tempat itu. Kehadiran Dewa yang nampak dekat denga Lorna menimbulkan berbagai pertanyaan spekulasi bagi para karyawan yang sering berada di kantor itu. Satpam yang bertugas pun tak tahu siapa Dewa dan apa hubungannya dengan bos mudanya itu, bahkan tak berani bertanya.<br />"Kita masuk ke pintu tol di samping lapangan golf Rawamangun, dekat kantor Bea Cukai," kata Lorna setelah berada dalam mobil.<br />"By pass?"<br />"Naik, ke tol jalan layang nanti keluarnya di Gatot Subroto, depan Polda di Semanggi, lalu belok kiri," Lorna menambahkan.<br />Walau udara di luar mobil terasa terik, pemandangan dari atas jalan layang nampak silau dan kering. Sepanjang mata memandang yang nampak adalah puncak-puncak bangunan yang memenuhi hamparan tanah kota Jakarta. Dan udara kotor yang berasal dari asap kendaraan mengambang di atas permukaan.<br />"Ada koleksi musik era delapan puluhan?"<br />"Mau yang mana?"<br />"Yang kita berdua suka."<br />"Ebiet G. Ade, Bimbo, Broery Marantika, Panbres. atau nostalgia barat?"<br />"Bimbo dan Broery, sudah lama aku tak mendengarkan musik mereka."<br />Maka Lorna menyeting dalam player digitalnya hanya dengan menggunakan sebuah remote controle. Kecanggihan tehnologi memanjakan manusia. Menjadi praktis dengan kualitas suara yang baik. Sehingga saat musik yang kemudian mengalun memenuhi segenap dinding ruangan dalam mobil mampu menghanyutkan kenangan mereka berdua.<br />"Teringat aku ketika Dewa memboncengku dengan sepeda pulang ke rumah, ketika mobil yang menjemputku mogok."<br />Dewa tersenyum dan berkata.<br />"Saat itu kita berdua kehujanan, kita pikir hujan sudah berhenti."<br />"Dan besoknya Lorna bingung mencarimu karena tak masuk sekolah. Lorna pikir Dewa sakit akibat kehujanan ketika itu."<br />"Aku tak masuk sekolah karena aku harus membantu mengeringkan dan menyeterika batik Ibu, pesanan orang yang janjinya harus diambil hari itu."<br />Kenapa mereka teringat peristiwa itu? Lagunya Bimbo 'Payung Hitam' itu mengingatkan mereka berdua saat berteduh dan mendengarkan dari kios pedagang rokok ketika itu. Sambil mereka menunggu hujan berhenti untuk melanjutkan perjalanan mengantarkan Lorna pulang. Akibat hujan yang tak juga berhenti, Dewa memaksanya untuk naik becak. Semula Lorna menolak, dan Lorna pun tak bisa berbuat apa pun ketika Dewa menguntit dengan mengayuh sepedanya hingga sampai rumah dalam guyuran hujan yang deras. Dan Dewa menolak singgah ke rumah, hanya mengantar lalu melambaikan tangan untuk kembali pulang ke rumahnya.<br />"Masih adakah sepedamu itu?" tanya Lorna.<br />"Masih. Kusimpan..."<br />"Aku juga masih menyimpan baju yang penuh coretan dan tanda tangan saat mendengar kelulusan. Tapi tak ada tanda tangmu di bajuku..."<br />Dewa tak menimpali. Dia tak mencoba mengingatnya. Dia sibuk kosentrasi pada jalanan. Tapi bagi Lorna kediamannya menimbulkan pertanyaan.<br />Sebab pada saat kelulusan hingga perpisahan sekolah mereka berdua tidak pernah bertemu lagi. Saat itu yang dicemaskan dengan ketidakmunculan Dewa di acara eporia kelulusan, justru Dewa tak lulus. Tapi tak mungkin, sebab dia tahu Dewa selalu masuk ranking. Setelah mencoba mencari tahu justru yang ditemuinya adalah berita yang membuatnya seperti disengat listrik ribuan voltage. Dewa sedang melangsungkan pernikahan.<br />Lorna menghela nafas panjang. Dewa menatapnya sejenak. Tapi Lorna berusaha menyembunyikan perasaan dengan mencoba tersenyum.<br />"Kenapa?"<br />"Kenapa..kenapa?"<br />Dewa diam, kembali berkosentrasi.<br />"Kenapa diam? Kenapa bajumu tak ada tandatangku?"<br />"Ah..lupakan..." jawab Lorna menghindar.Unknownnoreply@blogger.com