115. Di Perjalanan.

Dibiarkan angin menyelinap dari sela jendela, meski udara dalam ruang kendaraan sesungguhnya terasa sejuk. Dewa tak bermaksud menutup kaca jendela itu karena merasa ragu. Dia juga mengabaikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul di benaknya. Apakah jendela itu sengaja dibuka Lorna, ataukah sudah dalam keadaan seperti itu saat mereka memasuki kendaraan?
Dia memperhatikan Lorna tengah menyibakkan rambut yang berkibaran diterpa angin yang menyelinap masuk dari sela jendela yang setengah terbuka itu. Ada kepenatan membersit di rona wajahnya. Pandangannya yang sayu menatap ke luar jendela. Membuat Dewa ragu menegur. Biasanya, bila mereka berdua duduk bersanding seperti ini, gadis itu selalu duduk merapatkan diri kepadanya. Tapi kali ini sikapnya tak sebagaimana kebiasaanya yang selalu melendot penuh kemanjaan.
Dewa masih memandanginya seksama dengan kalem. Bersabar menunggu dan berharap gadis itu akan bersikap seperti itu. Namun dia menarik nafas pendek saat Lorna menyandarkan kepala ke sandaran bangku. Lalu memejamkan matanya. Seperti tak peduli akan keberdaannya yang tengah memperhatikannya.
Akhirnya Dewa tak tahan untuk tidak merajuk, lantaran ada perasaan iba yang menyelinap dalam sanubarinya. Dewa mengingsut duduknya. Mendekatinya. Menyelinapkan lengannya ke belakang leher gadis itu. Merengkuhnya agar kepalanya menyandar ke dadanya. Kemudian berkata dengan berbisik.
"Ada yang kau pikirkan, hm?" tanyanya dengan suaranya lembut.
Lorna tak menjawab. Sebaliknya membenamkan wajahnya ke dada Dewa.
Dewa mengusap rambutnya lembut.
"Kulihat kamu lelah?" tanyanya kembali.
Lantaran pertanyaannya tak dijawab. Dewa tak ingin mengajukan pertanyaan lain, walau ada rasa penasaran dengan kediamannya itu. Barangkali Lorna memang benar-benar merasa lelah.
Tanpa bersuara Dewa berdiam diri, dan membiarkan dadanya menjadi sandaran wajah gadis itu.
Rahma dan Grace yang duduk di bangku di depannya nampak juga bersandar memejamkan mata. Grace menutup wajah dengan saputangan. Sementara Dewa berjaga agar Lorna bisa bersandar nyaman di dadanya. Tak ingin mengusiknya.
Tetapi beberapa saat kemudian, ada sesuatu yang dirasakan mengganggu. Kaos t-shirt di bagian dadanya terasa basah dan hangat. Perlahan kemudian dia berusaha memperhatikan wajah Lorna. Ternyata gadis itu tak tertidur sebagaimana yang dipikirkannya, dilihatnya dari sela pelupuk matanya mengalir air mata. Bibirnya nampak gemetar berusaha menahan isak.
Walau dengan perasaan heran dan terkejut. Dewa lantas membenamkan bibirnya untuk mengecup pelupuk mata yang basah itu.
"Ada apa, sayang?" bisik Dewa lembut.
Ucapan Dewa seperti hembusan angin yang terasa menyejukkan. Pertanyaan lembut itu membuat Lorna lantas merengkuh erat pinggang Dewa. Walau berusaha menggeleng seakan menjawab bahwa dirinya tak apa-apa. Tapi tak membuat Dewa meredakan usahanya mencari tahu gerangan yang membuatnya merasa sedih.
"Aku mencintaimu, De!"
Dewa menghela nafas. Lega.
"Aku tahu. Aku juga mencintaimu, Na."
"Kamu baik sekali."
Dewa tersenyum getir.
"Apa yang membuatmu merasa sedih seperti ini?"
"Lorna, tak merasa sedih..."
"Tetapi kenapa menangis?"
"Entahlah, Lorna, tiba-tiba merasa iba saat memandangimu."
"Aku bahagia."
"Lorna tahu Dewa bahagia. Tapi tidak demikian perasaan yang Lorna rasakan tiba-tiba. Dari dulu hingga kini, Dewa selalu melakukan pengorbanan buat Lorna. Tak berubah. Apa yang Dewa lakukan dengan mendampingi Lorna di Bali, Lorna tahu, ini bukan dunia Dewa. Yang Dewa lakukan tak lebih hanya untuk menjaga dan membuat Lorna merasa bahagia."
"Aku merasa bahagia bila kamu merasa seperti itu."
"Tapi, Lorna merasa tak nyaman begitu menyadari waktu Dewa kini lebih tercurah untuk melayani Lorna. Mengantar Lorna ke mana saja. Menuruti apa yang menjadi keinginan Lorna. Menyanyikan lagu buat Lorna. Memanjakan Lorna. Padahal pertemuan kita belum lama berselang setelah bertahun-tahun Lorna meninggalkanmu. Tak adil buatmu."
Dewa lalu cepat memutuskan ucapan Lorna dengan membenamkan bibirnya ke bibir Lorna yang gemetar menahan isaknya. Bibirnya memilin sejenak bibir Lorna yang pasrah saat bibirnya dilumat lelaki yang selama bertahun-tahun menciptakan dendam kerinduan dalam hidupnya.
Dewa melepaskan pagutan bibirnya.
"Jangan berlebihan menilaiku seperti itu apalagi mengungkit perpisahan itu."
Bola mata biru jernih itu menatapnya dengan bibir sedikit terbuka, basah. Mengharap agar Dewa tak melepaskan pagutan itu. Tapi Dewa lalu mengecup bibir itu sejenak. Dan melepaskan kembali.
Lorna pun merebahkan wajahnya kembali ke dada Dewa. Dewa lantas berbisik lembut ke telinganya.
"Kamu lelah, sayang. Kamu bukanlah Lorna yang kukenal sebelum kita berpisah. Saat ini kamu adalah Lorna yang kini menjadi kekasihku, tunanganku, walau lebih dari itu, kamu sudah kuanggap sebagai isteriku."
"Dewa!"
Lorna memeluk erat Dewa.
"Lorna tahu, Dewa. Dewa juga sudah Lorna anggap suami. Karenanya, Lorna pasrah saja kepada Dewa," bisik Lorna dengan suara perlahan dan lunak.
Dewa mengecup dahinya.
"Jangan bersedih..."
"Lorna tak sedih. Lorna bahagia."
Lorna terdiam sejenak sebelum menambahkan ucapannya.
"Lorna takut kehilangan Dewa."
Dewa lalu memeluknya erat.
"Jangan terbawa kecemasan seperti itu."
"Semakin dekat Dewa, membuat Lorna semakin takut jauh dari Dewa."
Sesungguhnya Grace dan Rahma tidak tertidur. Walau pelupuk mata keduanya terpejam, namun telinga keduanya mendengar dengan seksama pembicaraan keduanya. Hatinya larut seperti halnya yang dirasakan Lorna.
"Apa yang harus kulakukan agar Lorna tak menjadi cemas seperti itu?" tanya Dewa untuk mencari jawaban agar kegelisahan Lorna hilang.
"Jangan jauh dariku, De"
"Kenapa berpikiran begitu?"
"Takut kehilangan Dewa."
"Aku menjagamu, Na."
Dewa mencium kening Lorna.
"Seperti saat kita masih bersekolah dulu?"
"Lebih dari itu!"
"Lorna rindu saat-saat seperti itu."
"Aku pun rindu!"
Dewa menarik nafas panjang. Seakan merasakan hisapan kehampaan bila mengingat saat-saat mereka berdua kerap bersama. Walau tak sedekat dan bisa berpelukan seperti saat ini.
Lorna memejamkan matanya. Membayangkan saat-saat mereka masih menjadi teman sekolah. Masa-masa itu terasa indah untuk dikenang.