Rahma memandang wajah Lorna. Wajah itu tak pernah membuatnya bosan, senang melihat wajah gadis bermata biru itu ceria kembali, tetapi sesungguhnya yang tercermin di wajah itu tak seperti apa yang dirasakan di baliknya.
Keduanya saling menatap sejenak, tanpa bergeming. Lalu bersama-sama tertawa.
"Lihatlah!"
“What?” tanya Lorna.
“Bunga itu!”
“Iya, bunga apaan?”
“Bougenville tahu!” sergah Rahma sengit.
“Kenapa?”
"Hhhh..." Rahma gemas karena Lorna tak mengerti maksudnya.
Rahma sesungguhnya ingin memberitahukan bahwa kapling tempat mereka sering memarkir kendaraan kini sudah terhalang pagar, sepintas tak lagi melihat tanaman bunga itu, namun harus cari tempat parkir lain sebelum memastikan apa yang dilihatnya.
Kapling mereka adalah tempat di mana mereka dulu biasa memarkir kendaraan di samping lapangan voli. Tidak jauh dari tempat itu pernah tumbuh sebuah pohon bougenville, yang berbunga sepanjang hari, yang ingin dilihatnya kembali, untuk membangkitkan kenangan yang pernah hadir di tempat itu agar bersemi kembali, karenanya bernyanyilah keduanya sebuah lagu yang pernah dipopulerkan oleh Broery Marantika yang berjudul Bougenville.
....
Bougenvil merah ungu
Yang pernah kau genggam dalam tanganmu.
Bougenvil lambang kasih
Yang pernah kau serahkan pada diriku.
Kini hanya....
Nyanyian mereka seketika terhenti. Betapa tidak. Pohon Bougenville yang diharapkan bisa dilihat kembali, ternyata sudah tidak ada lagi di tempatnya, pohon itu sudah tidak tumbuh lagi di tempatnya, tidak ada lagi yang bisa dilihat, telah lenyap tanpa bekas, seakan tak pernah tumbuh pohon itu di tempat itu.
Tempatnya pernah tumbuh kini terasa lapang, gersang dan lengang, sudah berubah menjadi lahan parkir sepeda motor. Padahal dulu, pohon itu selalu berbunga dengan daun dan bunganya yang rimbun sekali, merambat menjulang. Ada beberapa pohon juga pernah tumbuh bersama di tempat itu, seperti flamboyan, beluntas, dan kembang sepatu. Di saat jam istirahat mereka suka sekali berdiri di bawah pohon bougenville, menikmati keindahannya, mengamati kupu-kupu yang terbang dari satu ke satu bunga yang lain, suasananya ketika itu damai dan nyaman.
“Nah benar kan seperti dugaanku! Kemana pohon bougenville itu?” tanya Rahma keheranan.
Lorna juga terperangah, tak menimpali pertanyaan Rahma. Tenggorokannya terasa tercekat. Memandang hampa ke tempat di mana pohon bougenville pernah tumbuh. Raut wajahnya membersit kekecewaan yang dalam.
Terlintaslah bayangan di masa lalu, saat dirinya menggenggam bunga-bunga bougenville berwarna putih, yang dipungut dari bunga yang berjatuhan di sekitar tempatnya berdiri, bunga yang dititipkan seorang lelaki, yang ketika itu sedang bermain bola voli, yang awalnya mengejar bola yang menggelinding dan berhenti dekat kakinya, lalu dirinya membantu memungut bola itu. Pada saat bersamaan, lelaki itu melihat bunga-bunga bougenville berserakan di sekitar kakinya, dan memungutinya yang berwarna putih, lalu menitipkan bunga itu kepadanya, bertukar bola yang dipegangnya. Masih terasa sentuhan telapak tangan lelaki itu saat menggenggam punggung tangannya. Juga masih terngiang di telinganya saat lelaki itu mengucapkan kata-kata.
“Tolong titip ya, jaga bunga ini agar tetap bersih, sayang warnanya yang putih terkena debu. Aku mau meneruskan bermain dulu...”
Tetapi ternyata lelaki itu tidak pernah meminta kembali bunga itu, hingga kini. Entahlah! Mengapa bunga-bunga itu tidak pernah dimintanya kembali? Sampai bunga itu berubah mengering. Ataukah dia telah lupa? Entahlah! Seingatnya, bunga itu tak pernah juga dibuang. Seingatnya bunga itu selalu dijaganya. Menjauhkannya dari debu seperti yang diminta, hingga kemudian bunga bougenville putih itu berubah menjadi bunga-bunga kertas.
Kini tidak lagi ingat, di manakah gerangan bunga-bunga yang pernah dititipkan kepadanya itu tersimpan? Yang pasti selama ini, dirinya tidak pernah merasa membuangnya. Bahkan ucapan lelaki itu dituliskannya dalam buku hariannya, yang dulu kerap dibacanya bila dirinya diserang kerinduan. Tetapi kemanakah semua itu? Bunga bougenville dan buku harian itu? Ah, lupa. Itu sudah lama sekali, bertahun-tahun yang lampau.
Itulah awal mengenal lelaki itu, lelaki yang kemudian mengisi hari-harinya dengan segala problema hingga kini, yang juga belum tahu bagaimana pada akhirnya. Apakah akan berakhir tanpa kejelasan? Apakah kehadirannya di reuni ini untuk menuntaskan dan memperoleh kejelasan agar hari-harinya tak lagi sekelam seperti yang dirasakannya kini?
“Hai!” Rahma menegur.
Lorna tersentak. Lamunannya menguap dalam ruang sanubarinya.
"Mikirin dia?"
"Ah, enggak!"
"Mikirin bougenville?"
"Ah, enggak!"
"Dia dosa sama kamu!"
"Rahma!" Lorna memekik.
Rahma tertawa.
Hilangnya tanaman bougenville memberinya kesan asing saat dirinya menjejaki halaman sekolahnya dulu. Tak hanya itu, di luar pagar sekolah di mulut gerbang di tepi jalan raya, dulu beberapa tukang becak selalu nongkrong di tempat itu menunggu murid yang pulang sekolah.
"Kenapa?" tanya Rahma yang sudah berdiri di dekatnya.
Lorna mengangkat bahu.
"Apa yang kamu rasakan?"
"Tak sama lagi seperti dulu," jawabnya.
Lorna merasakan perubahan penataan bangun akibat penambahan yang tidak padu dengan desain asli bangunan serta tanaman-tanaman yang kini hilang. Semua yang dilihatnya kini, seakan memutus mata rantai bahwa dirinya pernah tumbuh di tempat itu. Bangunan sekolahnya terkesan sempit, akibat penambahan bangunan yang berjejal dipaksakan.
Lorna menghela nafas berat. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah saat itu. Tapi dia berusaha menepiskannya dengan menengadah, memandangi ranting-ranting pohon trembesi, yang tak lagi lembab.
Sementara langit bersinar cerah. Berwarna biru. Seperti biru warna matanya.