85. Antara Bandara Suta dan Kelapa Gading.

Hal terdungu yang pernah dilakukan Dewa saat menyadari baterei ponselnya low. Sedang charge baterai tak pernah terpikirkan untuk membawanya. Sedangkan kini sudah keluar dari pintu kedatangan domestik di Bandara Suta. Lalu menyeberang jalan menuju halte bus Damri yang akan ditumpanginya menuju Jakarta. Niatnya menghubungi Lorna terpaksa ditunda. Dan akan ditelpon dari Gambir menggunakan telepon umum. Lorna tentu akan kegelisahan bila tak dihubungi, apalagi ponselnya tak bsa dihubungi akibat baterainya mati.
Ponsel di tangannya kini seperti tak ada gunanya. Kalau bukan berasal dari Lorna, benda itu sudah dicampakkannya ke tempat sampah. Semua ini akibat tak terbiasa menggunakan ponsel.
Dewa berdiri menunggu bus berikut, sebab bus yang dikejarnya telah berangkat terlebih dahulu. Kacamata hitamnya melindunginya dari cahaya siang yang menyilaukan. Lingkungan sekitar bandara terasa gersang. Terik membuatnya masuk kembali ke ruangan shelter yang tersedia tempat duduk, dan suhunya lebih dingin.
Ada beberapa gadis yang sesekali mencuri pandang ke arahnya. Namun Dewa mengabaikan. Bus Damri berikutnya telah datang, tapi menurunkan penumpang terlebih dulu. Dewa beranjak dari tempatnya menuju pintu bus. Ikut mengantri masuk menunggu selesai menurunkan penumpang. Dewa duduk dekat pintu. Bisa menikmati pemandangan di depannya.
Gadis-gadis yang memperhatikannya sejak berada di shelter, duduk di deretan seberangnya. Salah satunya berusaha ingin menanyakan sesuatu, semula ragu untuk bertanya, sebab Dewa nampak tak peduli, pandangannya lebih tertuju ke depan.
"Bang!" Salah seorang mulai berani memanggilnya. Dewa tahu mereka tadi berada dalam satu pesawat, tetapi mereka naik dari Jogja saat pesawat transit.
"Maaf bang mengganggu sebentar, mau numpang tanya."
Dewa berpaling.
"Ya?"
"Kalau ke Jatinegara turun dimana ya, Bang?"
"Mau naik apa?" Dewa balik bertanya.
"Nggak tahu, Bang."
"Jatinegaranya dimana?"
"Polonia!"
"O... " Dewa kemudian menjelaskan, "Sesampai bus ini di Gambir. Kalian naik busway arah ke Pulogadung, yang berwarna biru, ambil halte yang menghadap ke Monas. Jangan halte yang berada di depan kantor Pertamina. Tapi nanti juga jangan turun di Pulogadung. Kalian turun saja di halte Senen, lalu kalian pindah halte yang menuju Kampung Melayu, halte busway yang dari Ancol ke Kampung Melayu. Dan di halte Kampung Melayu kalian turun, lalu naik angkot ke arah Cililitan. Jaraknya sekitar satu kilometer kalian melewati Polonia. Di situ ada gedung PFN. Nanti kalian bisa tanyakan itu ke sopir angkot dimana kalian mau turun. "
"Begitu ya Bang. Terima kasih ya, Bang. Kalau sudah di situ, aku sudah tahulah, Bang. Terima kasih ya, Bang."
"Yuk!" jawab Dewa pendek.
Dewa tahu mereka berasal dari Batak. Seperti logatnya Nababan. Gadis itu lalu menawarkan permen. Dewa menolak dan mengucapkan terima kasih.
"Abang mau arah mana?"
"Pulogadung."
"Naik busway juga?"
"Ya!"
"Jadi nanti kita searah ya, Bang?"
"Ya!"
"Kalau begitu kita nanti ikut Abang dulu, supaya Abang bisa bantu tunjukkan kita turun dimana nanti."
Dewa tersenyum mengangguk.
"Terima kasih, Bang. Tadi kulihat Abang satu pesawat dengan kita. Kulihat waktu turun tadi."
Dewa hanya menjawab dengan senyum.
"Abang naik dari mana tadi?"
"Malang!"
"Enak di Malang. Udaranya dingin pemandangannya bagus, seperti di Karo."
"Kalian dari Karo?"
"Ya, Bang. Kok Abang tahu?"
"Menebak saja!"
"Ah, kalau begitu Abang pandai menebak. Biasanya orang melihat kami ini orang Medan, orang Batak. Tak pernah langsung tahu dari mana kami ini. Padahal Batak itu bermacam-macam. Di sekitar Danau Toba itulah orang-orang Batak tinggal dan berasal. Sementara kami ini Batak yang tinggalnya di gunung. Kami Karo bukan Batak."
Dewa hanya mendengarkan saja gadis itu bicara panjang, seakan berusaha menerangkan bahwa antara Batak dan Karo itu berbeda.
"Apa marga kalian?"
"Ginting, Bang. Dan Abang?"
"Saya orang Jawa, marga saya bebas."
"Siapa nama Abang kalau boleh tahu? Kita kenalan dulu. Saya Leoni, Leoni Ginting."
"Dewa!"
"Dewa bebas."
"Bukan! Dewa saja, tak pakai bebas. Maksudku tak ada marga bebas. Hanya Dewa saja, tak pakai marga. Orang Jawa tak ada marga."
Gadis gadis itu tertawa.
"Maaf ya Bang, salah paham."
"Saya Paulin!"
"Martha!"
"Diana!"
Mereka menyalami Dewa.
"Abang bintang film ya?"
Dewa tersenyum.
"Kenapa kalian berpikirt begitu?"
"Abang, ganteng sekali."
"Terima kasih. Saya bukan bintang film."
"Orang Jawa biasanya suka merendah. Di Jogja rata-rata seperti itu."
Dewa tak menimpali. Dia tak peduli apa yang menjadi pendapat mereka tentang dirinya. Gadis Batak memang suka bicara dan ingin tahu. Tetapi Dewa tak ingin tahu tentang mereka lebih jauh. Dia hanya ingin menghindari percakapan yang tidak perlu.
Turun di Gambir Dewa terpaksa membantu gadis-gadis itu menyeret koper. Dari halte Damri menuju ke halte Gambir Dua sekitar seratus meter. Mereka naik bus Transjakarta yang sama yang kearah Pulogadung. Hanya gadis gadis itu kemudian transit di halte Senen.
"Kita turun di halte Senen, ya Bang Dewa?"
"Ya, di depan setelah halte Kwitang."
Para gadis Batak Karo itu turun di halte Senen. Mereka transit menuju Kampung Melayu, karena tujuan mereka sebenarnya ke Polonia.
Hari telah mulai surut saat Dewa turun di halte Pulomas. Dan lupa menelpon Lorna saat turun di Gambir. Gadis Batak itu membuatnya lupa. Tapi apa boleh buat. Dengan naik ojek Dewa mencari alamat kantor Lorna. Tak sulit menemukan kantor Lorna, sebuah gedung bertingkat enam.
Untuk masuk ke dalam kantor Lorna harus melalui satpam dan reseptionis. Satpam sudah dilaluinya. Tapi Resepsionis membuatnya bingung.
"Apakah sudah ada janji bertemu Ibu Lorna hari ini?"
"Belum!"
Gadis itu diam sesaat.
"Anda dari mana?"
"Malang!"
"Untuk keperluan apa bertemu dengan Ibu Lorna?"
Dewa tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Bisakah Ibu Lorna?" tanya Dewa.
"Di sini kalau belum buat janji sulit dipastikan bisa bertemu. Apalagi sehabis tadi rapat Ibu Lorna bergegas keluar tak meninggalkan pesan."
"Bisakah dihubungi ke ponselnya?"
"Ke Ibu Lorna tak bisa langsung, harus melalui Kak Imel dulu."
"Cobalah telepon ke Kak Imel," kata Dewa meminta. Semalam Lorna menyinggung nama Imel, mungkin yang dimaksud gadis itu Imelda, manajernya Lorna, dan Lorna janji mengirimi nomer teleponnya melalui sms, hingga sudah sampai di Jakarta, sms itu belum diterimanya.
Gadis itu nampak kesal karena merasa didesak. Sikapnya sok akrab. Kalau saja yang dihadapinya bukan lelaki yang ganteng dengan tatapan yang teduh dan dingin, mungkin enggan melayaninya. Banyak cowok yang datang dan punya akitifitas di tempat itu, mulai dari figuran, bintang film, bintang iklan, penyanyi, tapi cowok yang satu itu belum pernah dilihat sebelumnya. Apakah cowok ini ada hubungan dengan kegiatan itu? Bukankah biasanya melalui Kak Imelda? Pertanyaan itu muncul dalam pikiran gadis resepsionis dalam menilai Dewa.
"Halo, Kak Imel ada dimana?"
"Lagi di mal ada janjian ketemu dengan klien. Ada apa?"
"Ada yang mau ketemu dengan Ibu Lorna."
"Siapa?"
"Cowok!"
"Cowok? Cowok siapa?"
"Kurang tahu!"
"Ada perlu apa?"
"Katanya ingin bertemu."
"Sudah ada janji belum? Sepertinya tak diberitahukan ke aku kalau ada janji dengan seseorang. Disini tak ada jadwal."
"Tapi Ibu Lorna di situ kan, Kak?"
"Nggak. Kan tadi sedang ada rapat di kantor."
"Tadi kulihat buru-buru keluar. Kutanya nggak menjawab. Terus gimana ini?"
"Ya, suruh pulang saja. Bilang saja Ibu Lorna tak berada di tempat dan tak tahu kemana. Suruh bikin janji dulu!"
Maka gadis resepsionis itu menyampaikan kalau Lorna tak ada di tempat, dan tidak tahu berada dimana, serta meminta Dewa membuat janji terlebih dahulu bila ingin menemuinya.
Dewa lantas keluar dari gedung tersebut. Mengambil KTP yang ditahan di pos satpam. Tak tahu harus kemana hari ini. Menunggu Lorna di kantor sudah tak mungkin dengan situasi seperti itu. Kalau langsung ke rumah Lorna juga tak mungkin karena Lorna belum tentu berada di rumah. Apalagi nomer telepon rumahnya tak tahu sama sekali.
Dewa kemudian berjalan kaki ke jalan raya sambil mencari ojek yang lewat untuk ke depan. Dia akan pergi ke terminal Pulogadung. Dari Pulogadung kemudian akan naik PPD ke arah Kelender. Dirinya akan mencari rumah sahabat lamanya yang ada di sekitar itu. Dia masih ingat tempat tinggalnya.