114. Nyanyian Dewa.

Mentari menabur cahaya keemasan menciptakan senja kemerahan di pergantian temaramnya malam. Pepohonan di pantai menjadi bayang-bayang gelap. Demikian pula permukaan air laut yang berkilau, memantul warna merah. Melengkapi suara deburan ombak dan lidah laut yang berdesah berterampasan membasahi pasir.
Lorna melingkarkan tangan ke pinggang Dewa, yang disambut belitan lengan Dewa pada lehernya. Jejak langkah mereka tercipta di belakang. Sementara angin darat yang bertiup mengibarkan helaian rambut Lorna yang keemasan tertimpa sinar senja. Wajah Lorna pun nampak lembayung. Alam telah melukis keindahan itu.
"Berkumpul kembali bersamamu membuat hidup Lorna seperti mimpi."
Dengan tatapan masih ke batas cakrawala Dewa menimpali ucapan Lorna.
"Hidup itu sendiri sesungguhnya mimpi. Hanya kita masih belum terjaga. Saat terjaga seringkali akan dihadapkan pada kenyataan yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginan kita."
Mereka menghentikan langkahnya.
"Lihatlah hari yang sudah tua. Mentari mulai mengubur suasana di batas horison, menjadi gelap sunyi namun terasa damai."
Dewa membalikkan tubuh Lorna sehingga berhadapan. Telapak tangannya mendekap pipi-pipi Lorna dengan lembut. Keduanya saling berpandangan.
"Aku ingin hari-hariku bersamamu terasa indah penuh kedamaian seperti laiknya matahari yang menyelesaikan tugasnya menyambut malam di peraduannya."
"Apakah kamu akan membawaku serta?"
"Tentu. Kita akan melaluinya bersama-sama."
Lorna menjatuhkan wajahnya ke dada Dewa. Tangannya merengkuh dan memeluk ketat. Dewa pun membenamkan hidungnya ke dalam rambut Lorna yang lebat dan menghirup aromanya.
Keduanya kemudian berdiam diri di tengah keheningan suasana senja keemasan. Meresapi indahnya kebersamaan. Kerlap-kerlip pantulan cahaya mentari di atas permukaan air seperti bunga-bunga cahaya yang melatarbelakangi saat Lorna merasakan sedemikian damai dalam pelukkan Dewa.
Tiba-tiba.
"Cut."
Lalu terdengar suara tepuk tangan.
Dewa dan Lorna masih berpelukan ketika membalikkan badan. Namun keduanya tak peduli pada banyak tatapan yang ditujukan kepada diri mereka berdua.
"Bagus! Bisa langsung ke dalam. Kita langsung ambil indoor," kata Erwin kepada Lorna.
Lorna hanya tersenyum, menggandeng Dewa berjalan meninggalkan tempat itu.
"Sekarang pindah lokasi!" kata Erwin memerintahkan kru untuk memindahkan peralatan.
Grace dan Rahma bersama Titi dan Komang mengikuti langkah Dewa dan Lorna.
"Kalau pengambilan bisa lancar. Kita bisa cepat pergi jalan-jalan," kata Lorna pada Grace dan Rahma.
"Yang penting acaramu dituntaskan dulu. Soal itu nomer dua," jawab Rahma.
"Urusan reuni bagaimana?" tanya Lorna.
"Lancar! Hanya yang ikut membludak."
"Baguslah!"
"Kamu tahu sebabnya?"
"Nggak. Apa itu?"
"Popularitasmu membuat keinginan mereka ingin terlibat." jawab Rahma.
Lorna tertawa kecil seraya menatap Dewa.
Dewa membalas tatapan Lorna
"Rahma bilang aku populer, De."
Dewa tersenyum seraya mengangkat alis.
"Dengan begitu kamu bisa punya peran memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu yang positip." jawab Dewa.
"Apa misalnya?"
"Mengunjungi dan memberi sesuatu kepada mantan guru."
"Jadi kita harus kumpulkan sumbangan begitu?"
"Namanya sumbangan. Tak harus memaksa. Kalau ada dan cukup ya disumbangkan. Kalau tidak ya tak apa. Didasarkan pada kesadaran saja. Mungkin sisa dari uang reuni setelah dikurangi semua biaya yang dikeluarkan."
"Aku pikir benar juga pikiran Dewa, Na," kata Rahma, "Saat ini uang yang masuk saja sudah demikian besar. Belum termasuk uang yang berasal darimu."
"Kalian cetak buku album reuni?" tanya Lorna.
"Ya, semua sedang berjalan secara bersama-sama."
Dewa dan Lorna kemudian sudah berada dalam restoran hotel. Tempat yang dijadikan setting pengambilan gambar sudah dipersiapkan. Pencahayaan dan reflektor serta kamera sudah dalam posisi stand by.
Erwin sedang berbicara dengan Dewa dan Lorna, memberikan pengarahan. Pengambilan gambar yang statis hanya memerlukan waktu sebentar. Yang membuat waktu terulur hanya pada bagian kegiatan tata rias dan adegan penyajian menu hidangan.
Setelah pengambilan gambar acara makan selesai, kemudian beralih ke sarana hiburan. Pada setting lokasi suasana nampak lebih santai. Pengunjung hotel yang hadir turut menikmati adegan syuting tersebut.
Dewa dan Lorna duduk dikitari Rahma, Grace, Imelda. Komang duduk dekat Dewa. Titi diminta Lorna agar duduk tak jauh darinya, sebab dia yang membawakan tas besarnya.
Seorang penyanyi melantunkan lagu di panggung. Dewa sesekali berbincang dengan Komang. Sementara Lorna sesekali melayani pembicaraan Imelda. Grace dan Rahma nampak mulai akrab dengan Imelda.
"Pengambilan gambar untuk malam ini sudah selesai," jawab Imelda ketika Rahma menanyakan kepadanya, apakah masih ada pengambilan gambar lagi.
"Jadi sekarang bisa santai, dong." kata Grace.
"Kalau Grace mau nyanyi ke panggung?" saran Imel.
Grace tertawa.
"Pertanyaanmu seharusnya jangan kepadaku. Alamatkan itu kepada Dewa."
Lorna tersenyum.
"Suara Dewa bagus. Dia juga jago mainkan alat musik," tambah Rahma.
Imelda memandang Dewa yang sedang berbincang dengan Komang. Menurutnya lelaki itu sikapnya dingin namun ramah. Sikap seperti itu yang membuatnya enggan bicara langsung. Entahlah kenapa bisa begitu. Apakah lantaran lelaki itu adalah tunangan bos perempuannya yang masih muda? Ataukah setiap kali berbicara selalu diikuti tatapannya yang tajam? Ataukah lantaran memang lelaki itu memiliki pesona yang membuatnya sulit menaklukkan tatapannya yang selalu menghujam? Pantaslah lelaki itu menjadi pilihan bosnya yang tak hanya cantik dan anggun namun juga baik hati.
Rahma memperhatikan Imelda yang nampak segan meminta Dewa untuk bernyanyi di panggung. Rahma tahu, yang bisa membuat Dewa melakukan hanyalah Lorna. Maka kemudian dia berbisik kepada Lorna agar Dewa mau menyumbangkan lagu.
Lorna membelalakan matanya yang indah kepadanya.
"Kenapa mesti aku?" tanyanya. Suaranya lunak.
"Kalau kamu yang minta, dia tak akan menolak," alasan Rahma.
Lorna berpaling ke arah Dewa yang berada di sisinya. Dewa sedang berbicara dengan wajah didekatkan ke Komang, membuat Lorna tak berani mengusiknya.
Komang melihat Lorna bermaksud berbicara kepada Dewa, lantas mengingatkan Dewa bahwa Lorna ingin bicara kepadanya.
"Ada yang mau ngomong."
"Siapa?"
Komang menunjuk kepada Lorna. Membuat Dewa berpaling kepada Lorna.
"Ya?" tanya Dewa kepada Lorna.
"Teman-teman ingin mendengarmu bernyanyi," kata Lorna dengan suara perlahan.
Dewa menatapnya sejenak. Lorna membalas tatapannya dengan makna bahwa dia pun ingin mendengarkan pula. Tatapan itu seperti menunggu jawabannya. Dan Dewa tidak ingin mengecewakan gadis itu.
"Lorna ingin aku menyanyikan lagu apa?" tanya Dewa dengan suara perlahan.
Lorna tersenyum senang mendengar Dewa berkenan meluluskan permintaan teman-temannya. Maka dia segera menjawab dengan bisikan.
"Balada..."
Dewa lantas mengangguk.
"De!" kata Lorna yang menahannya ketika hendak berdiri.
"Terimakasih." lanjut Lorna.
Dewa memegang pergelangan tangan Lorna, meremasnya lembut seraya mengedipkan sebelah mata. Kedipan itu yang membuat Lorna merasa gemas bukan kepalang. Dan akan membuatnya bunuh diri bila kehilangan dirinya.
Imelda memberi kode dengan melambaikan tangan ke pembawa acara sekaligus penyanyi, bahwa ada yang mau menyumbangkan lagu. Pembawa acara segera tahu kalau yang mau menyumbangkan lagu adalah Dewa. Lelaki yang belum lama berselang melakukan adegan syuting di tempat itu.
"Hadirin sekalian. Rupanya ada yang akan memberikan warna di malam ini. Silahkan Mas Dewa."
Dewa kemudian berbicara pada pemain musik di panggung. Tak lama kemudian mereka menyiapkan gitar akustik dan mikrifon. Dewa pun lantas duduk pada kursi yang juga diperuntukan untuknya.
Saat Dewa mulai memetikkan gitar sebagai intro lagu yang kini sedang dilantunkan, membuat pandangan seisi Bar terpana ke arah panggung. Penampilan Dewa yang bagai penyanyi rock. Rambut panjang tergerai, berkaca mata hitam, kaos t-shirt ketat, celana jin hitam. Benar-benar membuat semua pengunjung Bar terpana. Betapa tidak. Lagu dari kelompok Scorpion, When the Smoke is going down, telah dimulainya dengan memikat.
Tidak hanya petikan gitarnya yang piawai, namun suaranya yang melengking tinggi, membuat Imelda menyuruh kru-nya mengambil gambar aksinya di panggung.
Cahaya sinar pun kemudian menerangi panggung. Sementara cahaya lampu yang menerangi pengunjung mulai meredup. Pengunjung mulai seksama memperhatikan saat Dewa memetik gitar yang tertumpu pada paha kirinya. Nada petikan gitar melenting-lenting terasa nyaman di lubang telinga.
Dari atas panggung Dewa tak dapat menangkap bayangan wajah Lorna, karena cahaya dari tempatnya duduk pandangannya digelapkan oleh pengaturan cahaya. Sehingga dirinya seperti sedang duduk sendiri memainkan gitar. Membuatnya lebih menjiwai lagu yang sedang dinyanyikannya.
Sementara Lorna nampak terpukau memperhatikan Dewa mulai melantunkan lagu balada. Suara Dewa yang merdu tak hanya membuat Lorna terhanyut dengan perasaannya. Pengunjung pun dibuat terkesima atas penampilan dan suara Dewa.
Kru film dari Jakarta, terutama Erwin nampak terpana. Dewa yang tak cukup dikenalnya ternyata piwai memainkan gitar, tak hanya itu, menurutnya suaranya pun berkelas. Lelaki yang merupakan tunangan bos perempuannya itu, menerbitkan rasa ingin tahu untuk mengenalnya lebih dalam.
Imelda tak cukup memberi informasi, karena Imelda pun belum lama mengenal sosok Dewa. Imel hanya mengatakan, jangan berharap Dewa mau ikut di kegiatan iklan yang lain, apa yang dilakukan hanya sebagai tindakan darurat untuk menyelamatkan syuting di Bali. Itu pun dilakukan demi Lorna, dan atas permintaan bos pemilik Hotel yang mengenal dekat sosok Dewa. Dari situ Erwin menjadi tahu bahwa Dewa adalah seorang seniman. Penampilannya tak mengesankan dia memiliki banyak keahlian di bidang seni. Tetapi melihat bagaimana dia memerankan dengan baik di depan kamera, tanpa kecanggungan, serta memainkan gitar dan melantunkan lagu dengan suaranya yang berkarakter, membuatnya tak bisa meremehkan lelaki itu.
Tepuk tangan bergema ke segenap ruangan usai sebuah lagu. Lalu Dewa mengganti gitar akustik dengan gitar elektrik. Kali ini penampilannya ibarat seorang rocker. Di depan mikropon seraya jemarinya mulai memetik senar gitar, berkata,
"Untuk seseorang yang kini kembali mengisi relung kehidupanku."
Rahma terpekik dan segera membekap dengan saputangannya seraya berpaling memandang Lorna.
"Ih, Dewa. Romantis sekali ucapannya," Grace berkata dengan lirih kepada Rahma.
Bola mata Lorna nampak berkilatan tertimpa cahaya. Wajahnya berseri. Sudut bibirnya menahan senyum. Dalam hatinya menjawab ucapan itu.
"Terima kasih, Dewa. I love you so much."
Semua kembali menikmati lagu sajian Dewa dan atraksinya. Terlebih Lorna yang selama ini belum pernah menyaksikan bagaimana Dewa bernyanyi di atas panggung. Terkesima dan tak bergeming. Pandangannya seperti tak berkedip. Atraksi Dewa laiknya seorang rocker yang profesional. Dia tak menyimak ketika Imelda, Rahma dan Grace acapkali memberi komentar bahwa Dewa benar-benar seorang penyanyi.
"Mas Dewa, seorang penyanyi..." ujar Imelda.
Rahma memandang Grace.
"Di atas panggung, semakin membuatku yakin, Dewa benar-benar penyanyi dan gitaris hebat," gumam Rahma.
"Suaranya, Rah. Gila!"
"Yah, itulah, kenapa teman-teman merasa kehilangan saat dia tak muncul di acara reuni kemarin," kata Grace.
Tentu saja yang paling merasa bahagia adalah si gadis bermata biru, Lorna. Bukan saja terhibur. Lebih dari itu ada rasa bangga terhadap lelaki yang kini menjadi kekasihnya. Selama ini dirinya tak pernah menyangka keahlian lelaki itu akan seperti yang kini disaksikannya.
Suara Dewa merdu. Melengking tinggi. Membutuhkan nafas panjang. Bola mata Lorna berkaca-kaca. Segala macam perasaan mengaduk-aduk. Larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Penghayatannya terhadap lagu yang dinyanyikan membuat pengunjung larut. Hingga tanpa terasa lagu pun usai dilantunkan.
Seketika tepuk tangan dan suitan bergemuruh setelah lagu When the Smoke is Going Down usai. Disusul permintaan untuk menyanyikan lagu kembali.
Dewa berusaha memandang ke arah Lorna. Yang diikuti semua pandangan mata ke arahnya. Seakan meminta ijin. Apakah Lorna keberatan?
Sadar bahwa dirinya jadi perhatian. Lorna tersipu, segera mengangguk. Para pengunjung Bar kini seakan tahu bahwa gadis itu adalah kekasihnya.
"Thank you!" suara Dewa di panggung, Always Somewhere. Ruang dan waktu tak bisa membatasi di saat kerinduan membuat cinta menjadi alasan untuk tetap bertahan dalam penantian walau kita tak tahu seberapa lama masa penantian, tapi cinta memaksa untuk tetap melakukannya, sebab cinta membuat kita memiliki semangat untuk hidup, semangat untuk menunggu cinta yang pergi dan kembali untuk kita miliki...." Dewa mulai memetik gitarnya.
Tepuk tagan meriah sekali.
"Ih. Dewa!" seru Grace bereaksi akan ucapan Dewa.
Rahma geleng-geleng.
"Ucapannya itu, Grace!"
"Iya, seperti bukan Dewa yang biasa kita kenal."
Imelda memandang Lorna tanpa berkedip. Terkesima memandang bosnya yang cantik itu, merasa turut senang bahwa bosnya memiliki seorang kekasih yang tak hanya ganteng namun elegan sikapnya.
Masih dari lagu the Scorpions. Berjudul Always Somewhere. Penampilan Dewa benar-benar menyita perhatian seisi Bar. Bar pun kemudian menjadi padat. Sosok Dewa benar-benar menghibur. Dari balik kaca mata acromatisnya. Sesekali Lorna menyeka bawah matanya dengan tisu. Bukan lantaran sedih dia menangis, namun haru biru oleh luapan perasaan bahagia.
Saat Dewa bernyanyi. Semua pengunjung diam terkesima. Terhanyut oleh irama lagu yang dilantunkan Dewa.
Gemuruh tepuk tanganpun kembali pecah ketika lagu usai dinyanyikan. Daulat pengunjung agar Dewa kembali membawakan lagu membuat Lorna merasa tak nyaman. Sebab semua mata pengunjung mengarah kepadanya.
Pembawa acara segera menengahi.
"Ya ya, saat ini kita benar-benar disuguhi penampilan dari Mas Dewa. Dan mohon maaf, kalau Mas Dewa sebenarnya bukanlah kru dari Bar kami. Melainkan pengunjung dari Bar. Tapi apa yang disuguhkan Mas Dewa, benar-benar membuat kita semua terkesima. Suara bagus. Orangnya ganteng. Permainkan gitar yang luar biasa. Dan tanpa mengurangi rasa hormat kami. Bila tak keberatan. Karena melihat yang hadir mengharapkan Mas Dewa untuk menyumbangkan lagu kembali, kami memohon kesediaan Mas Dewa bila tak keberatan. Bagaimana Mas?"
Dewa tersenyum.
"Bolehlah, tetapi sesungguhnya malam ini saya tidak ingin menikmati kehangatan suasana ini seorang diri. Saya ingin menikmati kehangatan ini dengan seorang gadis yang belum lama hadir kembali setelah bertahun-tahun tak berjumpa. Saya pastikan gadis itu memiliki suara khas dan merdu."
"Boleh boleh, siapa, Mas?"
Dewa melambaikan tangan ke arah Lorna yang tengah terkesima dengan ucapan Dewa. Dewa memanggilnya.
Lorna menunjuk dirinya.
"Me?"
"Ya, naiklah! Dewa memanggilmu!" kata Rahma.
"Oh!"
Lorna pun terpaksa menghampiri Dewa.
Dan Bar pun lantas riuh. Sejak tadi mereka melihat Dewa yang tak hanya piawai dalam bernyanyi dan bermain musik, tetapi juga ganteng. Kini di dampingi seorang gadis yang bermata biru, yang pengunjung menyangka bahwa gadis itu bule. Yang anggun. Cantik. Yang di panggung mereka berdua nampak serasi. Apalagi saat Dewa tak segan-segan memperkenalkan dan menyebutnya sebagai soulmate-nya.
Lorna tersipu.
Dewa lantas meminjam saxophone. Dan mulai meniupkannya, diringi band yang sejak tadi mendampingi. Dan kali ini pengunjung benar-benar terkagum. Dewa bisa memainkan berbagai instrument musik. Tak hanya pengunjung bar. Lorna sendiri sesungguhnya terpana. Saat Dewa mulai melantunkan intro dari sebuah lagu Power of Love
Dewa mengedipkan sebelah mata kepadanya. Dan Lorna segera menangkap bahwa Lorna harus melantunkan lagu itu. Lagu itu sangat dikuasainya. Selama ini dia sering melantunkan lagu itu.
Maka saat lagu itu dinyanyikan. Yang terkejut tak hanya Rahma dan Grace, tapi juga Imelda dan rekan-rekan tim-nya. Betapa tidak. Suara Lorna ternyata merdu sekali. Benar seperti yang diyakinkan Dewa belum lama. Suara dan penghayatan Lorna tak kalah profesionalnya dengan Dewa. Suara Lorna seperti suara Ceiline Dilon.
Sepasang merpati itu kini tengah berduet di atas panggung. Lorna bernyanyi dengan suara merdu melengking. Sementara Dewa berimprovisasi dengan saxophonenya.
Sesunggunya pada saat Lorna bernyanyi. Kosentrasinya sesungguhnya dia bernyanyi untuk Dewa. Lelaki yang kini hadir kembali dalam hidupnya. Yang membawanya kembali dalam keceriaan dan kebahagiaan. Yang memberinya perhatian, cinta dan kasih sayang. Kekuatan cinta mereka berdua selama ini membuat keduanya bertahan, walau sesungguhnya sebelumnya hidup yang mereka jalani penuh kebimbangan dan keraguan.
Hingga tanpa terasa Power of Love usai dilantunkan. Gemuruh tepuk tangan kian gegap gempita. Erwin nampak sibuk mengambil gambar keduanya. Seakan tak menyia-nyiakan momen itu.
Lorna memandang lunak kepada Dewa. Wajahnya berseri, walau bola matanya berkaca. Apalagi saat mulut Dewa mengucapkan kata "I love you" tanpa suara.
Lorna mengangguk lemah. Hatinya berbunga-bunga.
Rahma dan Grace nampak histeris saat melihat Lorna bernyanyi.
"Gila, Lorna. Gila! Suaranya itu, Rah. Indah bener!"
"Iya, Grace. Aku baru tahu. Herannya kok Dewa tahu benar kalau suara Lorna merdu dan bisa bernyanyi seindah itu."
Bola mata Rahma dan Grace berkaca-kaca lantaran bahagia.
Dewa meletakkan saxophone, kembali menggunakan gitar. Dan kali ini intro yang dipetiknya menggiring Lorna untuk melantunkan lagu Without You
Pengunjung sesaat bertepuk tangan. Dan Lorna pun lantas melantunkan lagu Without You. Dia membawakan penuh perasaan sebagaimana membawakan lagu sebelumnya. Dia benar-benar menghayatinya. Dewa yang membuatnya benar-benar larut dalam penghayatan.
Sepasang merpati itu seakan tak peduli terhadap sedemikian banyak pasangan mata menyaksikan keharmonisan mereka berdua. Wajah Dewa berseri-seri. Suara Lorna membuatnya merasa bangga akan talenta yang dimiliki Lorna. Gadis ini sejak dulu selalu rendah hati, tak pernah menunjukkan kelebihan yang dimiliki.
Pengunjung bar semua larut. Lagu-lagu yang dibawakan baik oleh Dewa dan Lorna seakan menyentuh dalam kehidupan mereka. Sehingga tak satupun yang ada dalam bar untuk tidak ikut menyimak dan menikmati pertunjukkan keduanya.
Lorna menyudahi lagunya diiringi tepuk tangan dan suitan yang riuh.
"Duet!"
Pengunjung bar seakan tak terpuaskan dengan apa yang sudah diberikan oleh Dewa dan Lorna. Sebab lagu-lagu yang keduanya bawakan sejak tadi dibawakan secara solo.
"Baiklah, terakhir ya!" kata Dewa menghibur.
Maka Dewa mengisyaratkan dengan sedikit intro lagu dengan tiupan saxophone. Lorna menangkap bahwa itu lagu Killing me sofly
Lorna tersenyum mengangguk. Lalu mulai melantunkan lagu tersebut. Yang membuat lagu itu bercampur dengan irama bosanofa membuat suasana keduanya nampak ceria. Dewa melengkapinya dengan suara dua. Suara Lorna yang jernih dan irama bosanofa membuat pengunjung turut bergoyang. Apalagi Lorna dan Dewa lalu membawakannya sambil memberi gerakan irama dansa.
Lorna benar-benar menikmatinya. Sampai lagu yang dibawakannya berakhir. Bola mata Lorna benar-benar basah. Tanpa mempedulikan pasangan mata mengarah bagaimana Dewa memperlakukannya dengan lembut. Merengkuhnya dalam pelukan.
Rahma dan Grace nampak berlinang air mata melihat Dewa dan Lorna nampak mesra. Kedua gadis ini paling tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi antara Dewa dan Lorna.
Dan pengunjung pun diberi suguhan yang tak pernah disaksikan sebelumnya. Tepuk tangan tak berkesudahan. Walau Lorna sudah dibimbing Dewa menuruni panggung dan menuju kursinya.
"Hebat, Mas Dewa!" kata Imelda memuji.
"Hebat apanya?" tanya Dewa kembali.
"Suaranya!"
"Ah.."
Erwin masih sibuk menyorotkan kameranya.
Rahma dan Grace tersenyum dan tak berhenti memandangi Dewa. Walau keduanya sudah bertahun-tahun mengenal Dewa. Semakin mengenal semakin sulit melepaskan perhatiannya karena Dewa seperti menyimpan magnit.
Dewa membalas tatapan Lorna yang memandanginya sejak kembali duduk.
"Terimakasih, De!" kata Lorna.
"Terimakasih untuk apa?"
"Bernyanyi untuk teman-teman."
Dewa tersenyum.
"Suaramu indah!" Dewa memuji.
"Benar, De!" Rahma menambahi untuk meyakinkan.
"Kalian keren banget!" Grace tak kalah memuji.
"Bagaimana? Masih mau di sini atau kita kembali?" tanya Dewa lunak.
Ucapan Dewa seperti itu yang membuat Lorna merasa nyaman berada dekatnya. Makna yang mengesankan selalu memperhatikan.
"Dewa bagaimana?" Lorna balik bertanya.
"Terserah Lorna. Kamu perlu istirahat. Kita sudah seharian melakukan kegiatan ini. Tentu melelahkan."
Lorna tersenyum kepada Dewa.
"Kalau itu menurut Dewa. Baiklah kita kembali ke penginapan."
Maka tak berapa lama kemudian mereka bangkit dan meninggalkan bar, walau untuk beberapa saat terhalang oleh permintaan pengunjung dan gadis bar agar bisa berfoto bersama Dewa dan Lorna.
Untuk tidak mengecewakan, maka Dewa dan Lorna meluangkan waktunya.