Sebenarnya Dewa berharap Lorna bisa berangkat sendiri bersama rombongan ke Bali. Dengan begitu dia akan memiliki kesempatan bisa pulang terlebih dahulu ke Malang, sehingga ada kesempatan berkumpul Wulan untuk beberapa saat. Setelah itu, baru akan menyusulnya ke Bali.
Seperti itulah dilema saat memenuhi keinginan Lorna, bahwa dirinya tak harus langsung berangkat dari Jakarta. Tetapi permintaan Lorna agar menemaninya shooting, merupakan sesuatu yang tidak kuasa ditolaknya, karena hal itu akan membuatnya kecewa, suatu hal yang tidak diinginkannya. Di sisi lain, merasa berat meninggalkan Wulan berlama-lama.
Oleh karenanya, tanpa sepengetahuan Lorna, Dewa menelepon Wulan untuk memberitahu bahwa dirinya belum bisa pulang dalam waktu dekat, agar gadis kecil itu tak berangan-angan menunggu kepulangannya. Untungnya Wulan bisa mengerti.
"Ayah pasti pulang. Ayah sayang Wulan. Baik-baik saja di rumah dengan Lik Ti, ya?"
"Nanti kalau Ayah pulang Wulan tidur dengan Ayah."
"Ya, nanti Ayah akan tidur dengan Wulan, dan Ayah akan memeluk Wulan."
"Da, Ayah!"
"Da, sayang!"
Sebentar lagi Wulan masuk sekolah dan Dama juga masuk kuliah. Sejauh ini persiapan sudah diselesaikan Dama.
Dewa duduk di kursi beranda menunggu Lorna yang sedang sibuk melayani telepon yang masuk. Dewa mengisi waktu dengan membaca koran pagi yang baru diberikan Pak Karyo. Koran yang baru diantar loper koran, biasanya oleh Pak Karyo langsung diletakkan ke dalam mobil. Untuk dibaca Lorna dalam perjalanan ke kantor. Tapi pagi ini Pak Karyo memberikan kepada Dewa atas permintaan Lorna, karena tahu Dewa sedang mencari koran untuk dibaca.
"Pesawat kita kan sore ya, De?" tanya Lorna.
"Kurang tahu, kamu kan yang pegang tiketnya."
"Seingatku begitu."
"Coba dicek kembali."
Lantas Lorna masuk ke dalam. Sementara Titi meletakkan piring berisi pisang goreng di meja di depannya. Dewa segera memanggil Pak Karyo untuk ikut menikmati pisang goreng itu.
"Kalau masih panas enak, Mas," kata pak Karyo sambil mengambil sebuah menggunakan tisu.
"Cocok untuk teman ngopi," timpal Dewa.
"Tapi, Mas Dewa tidak ngopi."
"Capucino mengandung sedikit kopi, Pak."
"Kalau saya kopi kental baru terasa ngopi," katanya sambil tertawa.
Lorna sudah keluar kembali setelah mengecek tiket pesawat.
"Betul nanti sore!" katanya kepada Dewa.
"Jadi sore ke Bandaranya, Non?" tanya pak Karyo.
"Ya, Pak!"
Dewa kembali membaca koran setelah menemani Pak Karyo menikmati pisang goreng sambil minum kopi. Pak Karyo kembali membersihkan mobil. Sementara Lorna membaca skrip skenario sambil menelpon mereka yang berada di kantornya. Hari ini Lorna sengaja tak pergi ke kantor, cukup berhubungan melalui saluran seluler.
Lorna meletakkan naskah skenario ke atas meja. Kemudian minum dari gelas Dewa seraya melihat ke arah Dewa yang sedang membaca koran. Semalam Dewa memijit kembali kakinya setelah mengalami kepenatan berjalan-jalan melihat museum, dan itu dilakukan Dewa lama sekali hingga ketiduran sampai pagi menjelang.
Lorna mengambil pisang goreng dengan tisu, kemudian duduk di samping Dewa, menyorongkannya ke mulut Dewa.
"Sudah barusan menemani Pak Karyo."
Lorna merajuk. Menggigit pisang itu dan potongannya diberikan ke mulut Dewa menggunakan mulutnya. Dewa terpaksa menerimanya sambil memilin sejenak bibir Lorna.
Lorna tersenyum senang.
"Minyaknya pakai mentega. Lorna tahu Dewa menghindari minyak," kata Lorna seraya bersandar ke bahu Dewa.
"Persiapanmu sudah semua?" tanya Dewa.
"Sudah. Kita di rumah saja ya?" Lorna balik bertanya.
"Ya, kakimu masih pegal kan."
Lorna mencium pipi Dewa, dan melingkarkan tangannya ke leher Dewa dari belakang punggungnya. Kemudian berbisik.
"Terima kasih telah dipijit kaki Lorna semalam. Pijitan Dewa membuat kita bercinta, dan membuat Lorna bisa tertidur lelap hingga pagi. Terima kasih, Dewaku. Kapan Dewa berikan cucu buat Mommy?"
Tangan Dewa mengusap rambut Lorna. Dan Lorna menyeka pipi bekasnya dicium akibat noda minyak mentega pisang goreng dari bibirnya.
"Apakah Lorna siap?"
Lorna menggigit telinga Dewa dengan manja seraya berkata lirih.
"Any time! Sejak dulu Lorna selalu siap buatmu. Biar kita selalu berkumpul bersama, dan Dewa bisa mengajak Lorna bercinta setiap hari. Menemaniku menyusui anak kita. Dewa bisa memandikan anak kita. Memandikan Lorna seperti tadi pagi. Mengangkat Lorna ke kamar mandi. Memasukkan Lorna ke bak mandi. Menyabuni tubuh Lorna. Dan Lorna bisa melihatmu menatap Lorna setiap hari seperti itu. Dan tak tersiksa bila harus berpisah."
Dewa tertawa.
"Tersiksa bagaimana?" tanyanya.
"Tersiksa kerinduan."
"Kita akan selalu bersama. Kulakukan semua itu agar kau merasa bahwa aku adalah suamimu."
Lorna memagut mulut Dewa sejenak.
"Nanti dilihat pak Karyo dan Titi," kata Dewa dengan suara perlahan.
"Kalau begitu kita ngobrol dalam kamar saja."
Kemudian Dewa menggendong Lorna yang manja pindah ke dalam kamar.
"Beberapa hari ini gitar itu tertunda untuk dimainkan," kata Lorna yang kini sudah berada di sofa.
"Kamu ingin aku memainkan?"
Lorna hanya menjawab dengan senyum.
"Jangan mainkan bila hati Dewa tak nyaman."
"Bermain musik bisa dilakukan dalam suasana apa saja. Yang membedakan hanya nada yang dihasilkan," jawab Dewa lalu mengambil gitar yang teronggok dekat jendela.
Lorna menepuk-nepuk sofa yang berada disampingnya agar Dewa duduk di dekatnya.
Dewa lantas duduk di sebelahnya. Mulai memetik senar gitar. Setiap nada yang keluar terasa nyaman dalam pendengaran Lorna. Setiap nada yang keluar seolah menariknya kembali ke ingatan masa lalunya. Masa-masa mereka selalu bersama. Masa-masa mereka juga sedekat ini, tetapi tak seperti sekarang.
Dulu Dewa hanya sebatas memandangi wajah dan memegang jemari tangannya, tak lebih. Tetapi kini mereka sudah demikian dekat. Jiwa mereka seakan telah menyatu tak bisa dipisahkan. Kini tak sebatas memandang dan memegang jemari tangan, lebih dari itu. Kini Dewa telah memiliki jiwa dan raganya. Dewa bisa berbuat sekehendak hatinya.
Lorna larut dengan bayang-bayang masa lalu yang mereka ciptakan. Setiap hari yang mereka lakukan di masa lalu kini menjadi kenangan, yang berharap terpelihara di masa akan datang. Karena itulah hari-hari kebersamaan yang pernah mereka lalui, menjadi kenangan yang membuat perasaan terharubiru.
Dewa menghentikan petikan gitarnya saat melihat Lorna terisak-isak di punggungnya. Gitar itu pun diletakkan ke atas lantai. Ditariknya tubuh Lorna. Kemudian dipeluknya. Diciumnya pipi dan bibir Lorna dengan lembut. Dia seka air mata Lorna dengan bibirnya.
"Kenapa?"
Lorna tak kuasa untuk bicara. Dia hanya memeluk Dewa dengan erat seraya terisak-isak. Dewa mencoba mencari tahu perasaan apa yang tiba-tiba membuat hatinya gundah gulana.
"Dewa ada disini. Bicaralah apa yang membebani pikiran dan hatimu."
Sebaliknya Lorna menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku mencintaimu, De."
"Aku tahu, Na. Aku tahu. Aku tahu kamu demikian cinta padaku. Kamu sudah mengatakannya berulangkali. Kamu tak pernah berhenti bilang cinta. Seakan aku tak mendengar kalau kamu demikian cinta. Aku selalu dan selalu mendengarmu. Mendengar ungkapan cintamu. Suaramu yang lembut. Aku selalu dan selalu ingin kamu mengatakan itu setiap saat. Aku senang mendengarnya. Suaramu membuatku rindu."
"Oh, Dewaku!"
"Lalu apa yang membuatmu risau?" tanya Dewa seraya memegang kedua pipi Lorna, memandang matanya dengan lekat, seakan ingin menembus masuk untuk mencari tahu penyebabnya.
"Tiba-tiba Lorna teringat yang membuatku merasa bersalah," jawabnya terbata-bata.
"Apa yang membuatmu merasa bersalah?"
Tiba-tiba Lorna kembali terisak-isak seraya menggelengkan kepala.
"Katakanlah. Katakanlah. Aku akan mendengarnya. Curahkanlah, aku akan menampungnya."
"Kamu sedemikian baik kepadaku."
"Ya, kenapa?"
"Kenapa harus Lorna tinggalkan ketika itu?"
"Oh, itu. Lupakanlah."
"Sulit, De. Sulit sekali. Lorna merasa bersalah."
"Aku tak berpikiran kalau kamu bersalah.'
"Lorna merasa bersalah, De. Lorna merasa sangat bersalah."
Dewa berusaha menenangkan dengan memeluk, membelai, mencium pipi dan bibirnya agar tangisnya reda. Tetapi tangis itu tak kunjung reda. Dewapun lantas membawanya duduk dalam pangkuannya.
"Maafkanlah Lorna."
"Tak ada yang perlu dan harus kumaafkan darimu. Karena tak ada suatu kesalahan apapun yang pernah kau lakukan kepadaku."
"Itu perasaanmu, De."
"Tapi kenapa selalu menjadi bebanmu? Mari kita lupakan itu semua."
Dewa lalu mengangkat tubuh Lorna dan membawanya ke tengah pembaringan. Kemudian tubuh itu dipeluknya dengan hangat.
"Mari kita istirahat dulu," kata Dewa seraya menarik tubuh Lorna sehingga berhadapan.
"Kamu ingin bercinta?" tanya Dewa dengan lembut seraya menatap mata Lorna yang basah.
"Dewa ingin?" Lorna balik bertanya.
"Lorna mau?"
Tetapi Dewa hanya merengkuhnya dalam pelukan.
"Kita beristirahat sampai jam dua belas saat makan siang nanti kita bangun. Sebab jam satu kita harus ke bandara."
Lorna membalas pelukan Dewa, kemudian memberikan bibirnya agar dikecup, namun Dewa memilinnya.
Sementara mentari menuju titik di langit yang tinggi. Menghapus bayang-bayang hingga tegak lurus. Embun dan kelembaban pun telah pergi. Dan daun-daun pun semakin menggeliat kepanasan. Angin yang bertiup tak mampu meredakan datangnya kegairahan siang hari.
Lorna terkulai dalam pelukan Dewa.