97. Ke Kota Tua.

Dewa memarkir kendaraan di Gedung Museum Bank Mandiri yang letaknya berhadapan dengan Stasiun Jakarta Kota, dengan begitu kendaraan Lorna berada pada tempat yang aman. Tetapi tujuan mereka bukan untuk melihat ke dalamnya, melainkan museum Fatahillah, yang letaknya sekitar dua ratus meter dari tempat itu .
Lorna dan Dewa kini sudah berdiri di tepi jalan raya. Suasana jalan di depannya ramai dan padat, karena merupakan lintasan pertemuan bagi kendaraan umum yang akan berbalik arah.
Sejak taman yang berada di antara Stasiun Beos dengan Museum Bank Mandiri beralih fungsi dengan dibangunnya halte-halte busway, tempat tersebut terasa semakin tidak nyaman, tidak lagi bisa melihat bangunan Stasiun Kota dari depan secara utuh dengan leluasa, juga bangunan halte busway menghalangi pandangan bebas, membuat suasana terasa sempit.
Dewa menggandeng tangan Lorna. Lorna menggenggam jemari Dewa dengan erat, seakan takut terlepas. Dewa membuka payung untuk menghindarkan kulit Lorna yang lembut dari sengatan sinar mentari.
Dewa menatap Lorna.
"Siap kita berjalan kaki?"
Lorna tersenyum.
"Lorna ikut Dewa!"
"Dalam terik matahari?"
"Ada Dewa yang memayungi Lorna."
"Kita bisa naik bajaj atau angkot kalau mau."
"Jauh tidak?"
"Kita lurus saja ke sana, langsung ke Museum Fatahillah," kata Dewa seraya menunjukkan arah jalan yang akan ditempuh untuk sampai ke tempat itu.
"Terlihat itu?"
"Ya. Bagaimana?"
"Karena kita mau lihat suasana, sekali-kali tak apa berjalan kaki," jawab Lorna.
Dewa memandang wajah Lorna untuk meyakinkan. Sebenarnya tak tega mengajaknya berjalan kaki pada situasi jalanan yang tidak nyaman.
"Yakin mau jalan?
Lorna mengangguk.
"Karena ada Dewa yang menjaga Lorna," jawab Lorna sembari meremas genggaman jemari Dewa lebih erat.
"Kita berjalan santai saja?" kata Dewa.
Lalu Dewa membawa Lorna memasuki jalan penyeberangan yang dibangun di bawah tanah. Lorong itu menghubungkan ke sisi jalan yang lain. Lorong itu melintasi sebuah kolam air yang tak pernah berfungsi dengan baik. Kolam tersebut berada di bawah permukaan tanah menghadap ruang terbuka di atasnya. Jalanan lorong berlantai keramik, melingkari kolam yang membagi jurusan menuju halte busway, Stasiun Kota dan keluar di depan Museum Bank Mandiri.
Dewa dan Lorna mengambil lintasan yang keluar menuju halte busway, tetapi mereka tidak kesana, mereka mengambil jalan trotoar yang ke arah Kota Tua, ke Museum Fatahillah.
"Kalau merasa capai berjalan, bilang ya?"
"Kalau tak banyak orang melihat, Lorna minta Dewa menggendong," jawab Lorna menggoda.
"Itu yang ingin kukatakan. Pasti itu akan kulakukan."
"I love you, De!"
Dewa tersenyum.
"Ya, karena aku mencintaimu," jawab Dewa.
"Terima kasih, De."
"Kenapa bilang terima kasih?"
"Terima kasih karena Dewa telah mencintaiku."
Dewa merengkuh bahu Lorna dan memeluknya sesaat.
"Aku akan selalu mencintaimu, Na. Aku mencintaimu. Jadi kita makan soto mie?"
"Ya, jadi."
Maka saat mereka tiba di lingkungan Museum Fatahillah, mereka terlebih dulu memesan soto mie. Dan menumpang duduk yang ada di penjual mie ayam, karena penjual soto mie tidak menyediakan tempat duduk. Mereka adalah para pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di tempat itu. Jadi para pembelinya yang mencari tempat duduk sendiri. Bila ada yang membawa motor, mereka akan duduk di atas motornya yang diparkir.
Lorna menolak teh botol saat Dewa memesankan minuman. Lorna memilih air mineral. Maka Dewa memesan air mineral kemasan botol. Wajah Lorna berkeringat saat menikmati panasnya kuah soto mie. Dia menyuapi Dewa untuk mencicipi betapa terasa pedas kuahnya. Lalu mencobakan kuah soto mie miliknya yang tak terasa pedas.
"Mau tukar?"
Kemudian mereka bertukar.
"Harusnya tadi sambalnya dibuang kalau tak mau pedas?" kata Dewa.
"Tapi enak, kuahnya panas Lorna tak tahan," jawabnya sambil minum air putih.
"Yang kutahu, dulu kalau kita makan rujak cingur, kamu selalu pesan yang pedas," kata Dewa mengingatkan.
"Hai, Dewa ingat ya?"
"Apa yang pernah kita lalui, aku selalu teringat."
Lorna memandangnya dengan lekat. Mereka dulu sering mencari rujak cingur saat pulang sekolah dekat stasiun Malang bersama Grace dan Rahma.
"Itu gara-gara Grace dan Rahma selalu ngajak berlomba kuat-kuatan menahan pedas."
"Berhenti kalau tak tahan pedasnya."
"Tapi nggak enak kalau berhenti," kilah Lorna.
"Perutmu ntar sakit!"
Kemudian Lorna minta membantu menghabiskan miliknya dengan menyuapinya. Apa yang mereka lakukan menjadi perhatian mereka yang berada di sekitar itu. Kedua muda-mudi yang mereka pikir artis itu nampak romantis sekali. Mereka suka sekali melihatnya.
Setelah itu Lorna memesan es krim yang juga dijual pedagang yang mangkal. Es krim diharap akan mendinginkan rongga mulut dan tenggorokannnya. Mereka berdua menikmati es krim. Tak peduli jadi pusat perhatian. Khususnya Lorna, matanya yang biru lalu disembunyikan di balik kacamata hitamnya, disamping untuk meredakan sinar mentari yang menyilaukan. Pelataran di depan Gedung Museum yang luas nampak terik lantaran sinar mentari yang bersinar keras.
Selesai menikmati soto mie Dewa mengembangkan payung. Lalu meninggalkan tempat itu. Berjalan bergandengan tangan di bawah payung menuju gedung Museum. Dewa yang membawa kamera Lorna, talinya digantungkan ke atas pundaknya.
"Panas sekali!" kata Lorna ketika sudah berada di selasar gedung. Tetapi setelah berada di tempat itu terasa teduh kembali.
"Kita cari tempat duduk di dalam biar terasa sejuk."
Untuk bisa masuk ke dalam harus membeli tiket dulu. Setelah itu Dewa membawa Lorna ke dalam. Udara dalam gedung terasa berbeda jauh. Udaranya terasa lembab dan sejuk. Panas yang dirasakan Lorna berangsur normal.
Kemudian melanjutkan berkeliling gedung. Melihat apa yang ada di dalamnya. Dewa mendampingi Lorna mengambil foto. Kadang bergantian berpose untuk mengambil gambar. Lorna lebih senang mengambil pose gambar Dewa. Untuk menyenangkan hati gadis itu, Dewa menurutinya.
Kemudian beristirahat pada bangku yang ada di halaman dalam gedung Museum. Kursi besi dengan alas kayu itu berada di bawah sebuah pohon. Lorna menyeka wajahnya dengan tisu basah. Tisu basah tak pernah lupa dibawanya. Tisu itu pun dibagikan pada Dewa. Menjaga kelembaban kulit agar tetap segar. Dan itu yang membuat kulit wajah Lorna nampak selalu segar bersinar.
"Semoga Lorna tak kapok," kata Dewa dengan tersenyum.
"Hai. Lorna tak kapok!" sergah Lorna.
"Lorna tak terbiasa dengan situasi seperti ini."
"Iya, tapi tak berarti Lorna tidak menyukai? Lorna akan membiasakan dengan hal ini."
"Tapi aku tak akan membiarkan. Kamu tak boleh tersiksa seperti ini."
"Kenapa? Lorna menikmati situasi ini."
"Benar Lorna menikmatinya?"
"Iya, sungguh!"
"Capai?"
"Kaki Lorna pegal!"
Dewa tersenyum. Lorna menjentik ujung hidungnya.
"Mari kupijit."
Maka Dewa jongkok kemudian memijit betis dan jemari kaki Lorna, sambil membersihkannya dengan tisu basah. Sementara kakinya dipijit. Lorna pun menyeka wajah Dewa dengan tisu basah. Pijitan Dewa terasa nyaman sekali. Kepenatan yang tadi dirasakan berangsur-angsur mula menghilang. Dewa memberinya pijitan di kedua kakinya. Lorna menikmati pijitan itu.
"Capai mijitnya?" tanya Lorna.
Dewa menggeleng.
"Bagaimana sekarang?"
"Sudah mulai hilang!"
"Coba kaki Lorna dinaikkan ke atas bangku, diluruskan."
"Dewa duduk, biar Lorna bisa bersandar."
Maka Dewa duduk jadi tempat bersandaragar kakinya bisa berselonjor, sembari memotret patung Hermes yang tak jauh dari tempatnya duduk. Karena Lorna telah mengalami pegal kaki, Dewa tak ingin membawanya berjalan berkeliling untuk melihat sudut dan ruangan yang ada dalam bangunan museum, padahal tak jauh dari tempatnya duduk, di dasar bangunan ada ruang-ruang penjara tempat seperti Pangeran Diponegoro pernah disekap.
Lorna tak terbiasa berjalan kaki jauh. Jadi tidak mungkin mengajaknya berjalan kaki kembali ke tempat mobil mereka diparkir di museum Bank Mandiri. Semula Dewa akan membawa kesana dengan menumpang bajaj. Tapi Lorna lebih memilih menunggu di depan Museum sementara Dewa mengambil mobil.
"Lorna tunggu saja disini," kata Lorna.
"Kutinggal sebentar, ya?"
Lantas Dewa dan Lorna saling mengecup bibir.
"Hati-hati, De!"
"Jangan kemana-mana. Tunggu di sini saja," pinta Dewa.
Lorna mengangguk. Hanya dia minta Dewa tak meninggalkannya lama-lama. Supaya cepat, Dewa naik ojek untuk pergi ke Museum Bank Mandiri di mana mobilnya diparkir.
Mentari mulai condong ke barat ketika Dewa sudah kembali dengan mobilnya. Dewa memarkir di tepi jalan di sisi kiri pelataran Museum. Lorna melihat Dewa keluar dari mobil lalu berjalan ke arahnya. Dewa melambaikan tangan yang dibalas Lorna.
"Mau kugendong?" tanya Dewa menggoda.
"Mau!" jawab Lorna tak kalah menggoda.
Keduanya tertawa. Dewa memeluk Lorna yang disambut dengan hangat.
Banyak pasangan mata memperhatikan gadis cantik yang berdiri sendiri sejak tadi. Kini telah berada dalam pelukan lelaki yang baru datang. Pasangan sejoli itu tak peduli kini menjadi perhatian. Ada yang mengambil foto mereka dengan diam-diam. Tetapi Lorna dan Dewa tak peduli. Keduanya sibuk berbincang dengan keakrabannya, sambil berjalan menuruni tangga teras yang ada di depan Museum, kemudian melintasi pelataran luas yang alasnya tertutup oleh batu gilang.
Mereka kembali ke mobilnya.