Wisnu yang busana bawah mengenakan kain hitam dan rambutnya yang keriting tersanggul seperti balatentara Singosari, kumisnya hitam lebat yang tumbuh tak karuan, menghadangnya di depan pintu masuk ketika Dewa dan Lorna nampak olehnya.
"Ini manusia Jawa yang kita cari-cari. Kemana saja kemarin? Semua pada menunggu."
"Sori, brur. Ada kesalahan teknis, salah lihat kalender," Dewa beralasan.
Wisnu tertawa ngakak.
"Halo, apa kabar nona cantik?" sapanya kepada Lorna seraya menjabat tangan dengan membungkukan badan.
"Baik, bagaimana pamerannya? Ramai?"
"Yah, begitulah, masih berdasarkan undangan yang hadir."
Lalu Dewa ramai didekati teman-temannya. Dewa memperkenalkan Lorna. Dan Joan pemilik gallery menemuinya pula.
"Kemana saja kemarin Mas Dewa tak muncul?"
"Sori, tapi yang penting sekarang muncul."
"Ada beberapa wartawan pingin ketemu. Karena Mas Dewa tak ada, mereka meninggalkan nomer telepon untuk bisa dihubungi kembali. Mereka juga minta alamat Dewa, tapi sudah kuberikan."
"Kenalkan Lorna!" kata Dewa pada Joan
Kedua perempuan itu lantas bersalaman.
"Where are you come from?"
"Joan, pakailah bahasa Indonesia, dia fasih."
Joan tertawa.
"Saya dari Malang!"
"Kamu tentu heran, mana ada orang Malang matanya biru. Orangtuanya dari Australia," Dewa menyela untuk menjelaskan.
"Pantas, aku curiga. Kupikir matanya pakai softlance, kebanyakan gadis-gadis sekarang begitu. Tapi dari kulit, hidung, postur, wajah, kalau rambut semua bisa menyemirnya, sepertinya bukan gadis Indonesia."
Lorna tersenyum-senyum.
"Lorna lahir di Malang," jawab Lorna.
"Tapi aksen masih ada pengaruh asingnya."
"Dia lama di Australia, smanya denganku."
"Sekarang?"
Dewa dan Lorna saling memandang dan tersenyum. Joan tersenyum mengerti yang dimaksud dengan pandangan keduanya.
"Selera Mas Dewa memang tinggi. Mas Dewa, kurasa kita nanti perlu bicara. Aku ingin menyelenggarakan pameran tunggalnya Mas Dewa. Gambar Mas Dewa yang ditampilkan ada yang meminati, beberapa sudah kuberi tanda pada katalog. Dan aku sudah mengirim mereka pesan untuk bisa mengakses websiteku, agar mereka bisa lebih mendalami karya-karya Mas Dewa yang kuunggah. Bisakah nanti kalau ada waktu kita bicarakan itu?"
"Bisa saja."
"Ada yang baru?"
"Ada, tapi itu nanti, dan untuk pameran tunggal masih perlu aku siapkan gambar-gambar yang lainnya. Tapi untuk waktu dekat, aku masih belum bisa. Tapi, nanti kita bicarakan saja bila aku sudah siap."
"Terima kasih, Mas. Mbaknya ini perlu minum?"
Lorna menolak halus.
"Terima kasih!"
"Aku tak akan berlama-lama disini. Setelah bertemu teman-teman sebentar. Aku harus pergi?"
"Ayolah temui mereka, ada yang sempat marah Mas Dewa tak datang kemarin, katanya tak kompak."
Dewa tertawa lunak.
"Salah paham saja!"
"Kubilang juga begitu. Mas Dewa kan harus datang dari luar kota."
Kepada rekan-rekannya Dewa meminta maaf atas ketidakhadirannya di acara pembukaan. Tapi Dewa tak menjelaskan alasannya. Dan Dewa pun tak ingin berlama-lama. Setelah berkeliling melihat hasil karya teman-temannya yang turut dipamerkan didampingi Lorna, lantas berpamitan kepada mereka.
Joan mengantarkannya ke mobil bersama Wisnu dan Sabar.
"Sori, aku harus mengantar bosku ini. Hari ini supirnya sedang istirahat," kata Dewa seraya memandang kepada Lorna yang tersenyum-senyum.
Mereka tertawa.
"Gara-gara Lorna kemarin mereka ada yang kesal," kata Lorna saat kendaraan mereka meninggalkan tempat itu.
"Jangan dimasukkan hati. Penyelenggara saja tak marah. Aku tak punya urusan dengan hal-hal seperti itu. Lalu apa pasalnya marah padaku. Sesungguhnya aku tak nyaman pameran bareng seperti itu. Yang ikut pameran itu atas dasar pilihan Joan, bukan atas dasar kesepakatan denganku. Kecuali kalau itu kuselenggarakan atas kesepakatanku sendiri bersama teman-teman."
"Ya, sudah. Lorna paham. Kita makan di mana?""
"Kita nanti melewati jalan Thamrin. Kita bisa mampir ke Sarinah. Kalau mau makan bakso, di situ ada menu bakso Malang."
"Kita ke museum mana?"
"Ada banyak museum di Jakarta. Ke museum Nasional atau ke museum Fatahillah di Kota Tua."
"Kalau ke Kota Tua?"
"Ada di Kota, kita bisa parkir di museum Fatahillah dari situ kita bisa berjalan berkeliling. Kita bisa makan soto mie yang ada di sekitar museum. Mau?"
"Boleh!"
"Biasanya hari minggu begini jalan Thamrin terkena 'car free day', tetapi waktunya sudah terlewati, jadi bisa langsung lurus dari jalan Sudirman ke Bunderan HI."
Maka mereka melewati sepanjang jalan Sudirman yang terasa lengang dari kendaraan bila hari libur. Berbeda bila jam kerja, yang selalu padat merayap, bahkan tak jarang mengalami kemacetan. Air mancur di Bunderan HI menyembur ke udara, percikannya hinggap pada kaca mobil Lorna. Dewa menyalakan pembersih kaca.
Lorna mengeluarkan snack dan membagikannya ke dalam mulut Dewa. Kemudian juga mengambil minuman kaleng.
"Mau rootbeer atau pockari?" tanya Lorna menawarkan minuman.
"Yang mana saja boleh..."
"Pockari...."
"Boleh, itu saja."
Sambil menikmati snack, sesekali Lorna menyodorkan minuman kaleng, Dewa menyedotnya dengan pipet. Lorna pun minum dari kaleng yang sama.
"Tempat itu sejak pagi hingga sore hari biasanya ramai dikunjungi para penggemar photography. Atau sebagai latar belakang model berpose. Tak cocok untuk mendapatkan ketenangan di tempat itu, ramai sekali. Tapi untuk sekedar ingin tahu dan melihat-lihat suasana bangunan masa lalu, kawasan itu masih banyak terdapat gedung-gedung kuno."
"Kita hanya melihat-lihat saja"
Lorna menyiapkan kamera yang ada di laci.