16. Di tepi Kolam Kerinduan.





Lorna meniti tepian kolam di taman belakang. Berjingkat tanpa alas kaki, lalu berhenti. Memandang ke tengah kolam, memandang bunga teratai yang selalu mekar di pagi hari, warnanya putih kemerahan. Kolam itu berada di sudut taman, dinaungi juntaian daun perdu air. Di sela kaki batang-batang perdu, tumbuh menyebar lumut hijau tebal, seperti karpet. Berudu hitam banyak berkeliaran di bawahnya, yang nantinya akan tumbuh menjadi katak. Karenanya di dalam air kolam itu banyak sekali katak, suara mereka yang mengisi suasana malam di taman belakang rumahnya.
Sementara, di dalam air kolam yang jernih, ikan-ikan berenang beriringan hilir mudik, berbaris menelusuri dasar kolam. Ikan-ikan itu berukuran seibu jari, saat Dewa memasukkannya ke dalam. Ikan itu dibeli di Punten, sebuah desa di kota Batu. Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lampau. Kini ikan-ikan itu sudah tumbuh besar, beranak pinak, memadati isi kolam, seperti dawet dalam sebuah kuali.
Seekor katak hijau melompat dari atas daun teratai masuk ke dalam kolam. Menyelam lalu muncul pada sisi permukaan yang lain, meninggalkan lingkaran gelombang air. Saat permukaan kolam kembali tenang, wajah Lorna memantul di atasnya. Kehadirannya yang mengejutkan katak tadi.
Lorna lalu duduk di tepi kolam, termangu dengan dagu menumpu pada ujung lututnya yang menekuk. Bola matanya bagai kristal, yang jernih, memandang sayu jari kakinya yang telanjang. Sementara pikirannya melanglang ke memori sekian tahun yang silam.
Dewa suka menemaninya duduk-duduk dan bermain di tempat itu. Berlomba menangkap capung yang hinggap di tepi daun teratai. Atau menghitung berudu yang sulit dibilang. Lalu menebak ikan yang hilir mudik.
“Hitung yang hitam! Aku yang merah!” kata Lorna.
“Kamu cari yang mudah!”
Lorna tertawa kecil.
“Ah! Yang merah, kan jumlahnya lebih banyak dari yang hitam?”
Waktu beli dulu, Lorna lebih suka memilih warna merah.
“Iya, tapi yang hitam sulit kulihat. Dasar kolamnya gelap. Curang!”
Lorna tertawa renyah.
Dewa memercikinya dengan air.
“Hei!”
Lorna terkejut, lalu balas memerciki. Dewa membalas kembali. Lalu saling balas. Membuat wajah dan pakaian keduanya basah. Lalu diam. Saling memandang. Wajah Dewa cemas melihat wajah Lorna murung, tetapi itu kepura-puraannya saja, karena sesaat kemudian gadis itu tertawa kembali. Wajahnya ceria.
“Maaf!” kata Dewa seraya menyeka wajahnya yang basah dengan punggung tangan.
Lalu mengeluarkan sebuah saputangan dari dalam saku. Lorna mengerencitkan kening, merasa keheranan. Sulit menemukan lelaki yang masih menggunakan saputangan sebagai penyeka. Sekarang jamannya tisu, semua orang menggunakan tisu untuk membersihkan, segala sesuatu serba menggunakan tisu.
Tapi Lorna menyukai itu. Menyukai keluguannya. Terlebih saputangan itu bukan untuk menyeka wajahnya yang basah, melainkan diberikan kepadanya.
Lorna lantas menerima saputangan bermotif batik itu.
“Pakailah!”
Lorna menunjuk pada dirinya sendiri.
Me?”
Dewa mengangguk.
“Wajahmu basah!”
Lorna menerimanya, tapi tak langsung menggunakan. Diperhatikannya saputangan itu beberapa saat, menurutnya menarik sekali.
“Aku yang membuatnya,” Dewa menambahkan.
“Oh, ya? Kamu yang bikin?”
Dewa mengangguk.
“Saputangan ini?”
“Iya!”
“Yang membatik?”
Dewa mengangguk meyakinkan.
“Kamu bisa membatik?”
Dewa mengangguk lagi.
Kalau membuat gambar, Lorna tidak heran akan kemampuan Dewa. Di sekolah Dewa dikenal jago menggambar, gambarnya bagus, di majalah dinding kerap dilihatnya ilustrasinya, nilai gambarnya selalu bagus, walau keduanya tidak satu kelas.
“Lorna ingin tahu, bagaimana cara membatik.”
“Main ke rumah...”
“Boleh?” tanya Lorna senang.
“Boleh! Kapan?”
“Terserah Dewa!”
Lorna diam memperhatikan kembali saputangan itu.
“Nanti basah, Dewa.”
"Nggak apa-apa!"
Lorna menatap Dewa.
“Buat aku ya?” tanya Lorna.
“Kamu suka?”
“Ya!”
“Ambilah!”
“Terima kasih, ya!”
Lorna mengulurkan saputangan itu pada Dewa kembali.
Dewa merasa heran.
“Pakailah dulu. Mukamu basah!”
Dewa tersenyum, menerima saputangan itu.
Sweet heart!” tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.
Lorna tersentak dari lamunannya. Mami memanggilnya dari dalam rumah. Dengan wajah kecewa lantaran ingatan yang indah tiba-tiba lenyap begitu saja. Lorna berpaling.
Yes, Mommy!”
“Lihat! Siapa yang datang?”
Rahma dan Grace melambaikan tangan di samping Maminya.
Kemurungan wajahnya segera berganti.
Come here! Kemari!” Lorna berteriak memanggil.
Rahma dan Grace lantas menghampiri.
“Kita di sini saja ya?” ajak Lorna.
“Di sini juga enak!” kata Grace.
“Bukankah kolam ini dulu yang membuat Dewa?”
Ucapan Rahma membuat Lorna menatapnya. Rahma membalas tatapan itu.
“Sori...” Rahma meminta maaf.
Grace ikut memandang Lorna, ingin melihat reaksi gadis itu, seakan diingatkan ke masa lalunya. Tapi sudah terlambat. Belum lama berselang, Lorna sudah masuk ke dalam lingkaran masa lalunya.
Mereka bersimpuh bersama di tepi kolam. Bercerita seputar reuni yang tak Lorna hadiri. Reuni yang berjalan tidak sebagaimana yang diharapkan. Walau masih ada kesempatan, di acara penutupan yang akan diselenggarakan di suatu tempat rekreasi, yang berada di sebelah barat kaki gunung Welirang, tempat itu bernama Cangar. Ah, Lorna ingat sekali tempat itu.
Rahma bertanya. Kenapa semalam sulit ditelpon dan memutuskan teleponnya?
“Mikirin dia?” tanya Rahma sengaja menyinggung Dewa.
Lorna melempar sepotong rumput ke dalam kolam.
Rahma dan Grace tak ingin hubungan Lorna dan Dewa pupus di tengah jalan hanya lantaran selisih paham.
“Entahlah. Aku juga nggak ngerti, kenapa pingin nelpon kamu,” Lorna menjelaskan dengan suara perlahan.
Dagunya yang bulat yang terbelah di tengah, masih menumpu di atas lututnya. Jari tangannya berkutat di kuku jari kaki. Matanya memperhatikan seekor ikan mas sedang mengisap jari Grace yang dicelupkan ke permukaan air kolam.
“Katakanlah. Barangkali soal Dewa?” tanya Grace pingin tahu.
Lorna diam tak membalas.
“Kamu nggak bisa terus memendam perasaan seperti ini, Na. Kalau kamu masih ingin memperbaiki hubungan kalian.”
“Kalian sudah ketemu?” Lorna balik bertanya.
“Belum!” balas Rahma seraya menggeleng.
Sejenak Rahma dan Grace saling pandang. Kemudian beralih ke Lorna.
“Kamu yang sudah melihatnya, Na.” ujar Rahma.
"Jangan bercanda!" tukas Lorna.
"Benar!" ujar Grace dan Rahma bersama-sama.
Lorna seketika menegakkan leher. Keningnya mengerenyit. Telapak tangannya menangkup hidungnya yang bangir, menutupi bibir.
What? Kapan?” tanya Lorna. Dadanya dirasakannya kembali berdebar.
“Coba ingat kembali kejadian di pintu gerbang, ketika sebuah motor hampir menabrakmu.”
Lorna terkesima.
“Ya? Kenapa?”
“Itu Dewa!” jawab Rahma meyakinkan.
“Hah?!” Lorna menutup mulut dengan telapak tangan. Kedua bola matanya yang indah itu bergerak-gerak menatap dari wajah Rahma beralih ke wajah Grace bergantian. Hatinya seakan kacau balau, merasa bingung.
“Kenapa kalian nggak bilangin aku?” lanjutnya.”
“Kita baru tahu kemarin dari cerita Joy dan Beni. Aku tadinya nggak yakin, karena pagi itu, kita kan bersama-sama?”
Lorna mengangkat wajah kembali.
“Kejadian itu sebelum kalian tiba. Tapi sungguh aku nggak tahu!”
“Tapi kamu diam saat Dewa memanggilmu.”
Bola matanya kian terbeliak. Menatap tajam Rahma dan Grace bergantian.
“Nggak bener!” bantahnya keras.
“Bener! Itu Dewa! Dia berusaha menegurmu!” Grace berusaha meyakinkan.
“Tapi aku nggak tahu, Rahma! Sungguh aku nggak tahu!”
Ketiganya terdiam, larut dengan pikirannya sendiri, menundukkan wajah lama sekali, tak bergeming, seakan perhatikannya tertuju pada seekor semut hitam yang merayap masuk dalam lubang di sela lantai batu, padahal hatinya jadi terusik oleh kerinduan yang menikam-nikam.
Rahma dan Grace tak mau mengusik, menunggunya sampai bicara.
“Kalian bisa bantu aku?” akhirnya Lorna bertanya.
“Kenapa mesti tanya?” sela Grace.
“Mau nggak?”
“Eh, kita kan nggak jawab nggak mau. Kita sih siap saja!” sela Grace lagi.
“Apa maumu?” tanya Rahma.
“Mengantarkan ke rumahnya?”
Rahma dan Grace memandang heran.
“Ke rumah Dewa?” tanya Grace.
Lorna mengedipkan mata.
“Kamu kan belum sehat?” Kata Rahma.
Lorna cepat memotong.
“Memangnya kamu dokter. Kejadian kemarin kan lantaran aku kecapaian.”
“Yah, capai mikirin Dewa,” sela Rahma.
Lorna memercikinya dengan air kolam.
“Tul, kan?” goda Rahma.
“Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan? Kamu sudah sehat. Masih nekad ketemu Dewa?” tanya Grace.
“Lha iyalah. Sia-sia jauh-jauh dari Australia,” potong Rahma.
Lorna mencubit lengan Rahma.
“Kondisi badanmu sudah fit? Kalau iya, kita bisa meluncur ke rumahnya,” sambung Grace.
“Sekarang ya?”
“Kalau nggak sekarang, kapan lagi?”
Katak hijau itu masih berada di seberang. Turut mendengar perbincangan ketiga gadis itu, hingga kemudian ketiga gadis itu pergi meninggalkan tepi kolam.
Suasana kolam kembali sepi. Hanya sesekali suara katak dan letupan gelembung air yang muncul ke permukaan kolam.