Tengah malam Nyonya Ivana terjaga dari tidur. Suaminya masih terlelap akibat kelelahan sepulang dari Bedugul dan Kintamani. Kemudian turun dari pembaringan. Keluar kamar menuju lantai atas. Masuk ke dalam kamar anak gadisnya.
Ada perasaan tak nyaman semalam saat melihat mata anaknya nampak sembab. Dia menduga ada perselisihan antara anak gadisnya dengan kekasihnya. Bila itu yang terjadi, akan dicoba menengahi dan mencari tahu apa penyebabnya. Walau dalam perjalanan pulang ke penginapan, sikap yang mereka perlihatkan tetap nampak akrab sebagaimana biasa. Tetapi hal itu tidak serta merta menepiskan kecemasannya, sebab bisa saja sikap yang mereka perlihatkan sekedar menutupi persoalan sesungguhnya terjadi di antara mereka. Nyonya Ivana tidak ingin perselisihan mereka sengaja dikaburkan darinya. Dan tidak menghendaki sampai terjadi sesuatu yang negatif menimpa anak gadisnya di saat diriya jauh dan tak bisa menjaganya langsung.
Dalam prasangkanya, perselisihan mereka timbul lantaran perbedaan pendapat mengenai ajakan kencan Dewa yang tak dipahami anaknya, dan itu bisa dimakluminya. Karena secara tak sengaja mendengar pembicaraan mereka saat meninggalkan Bedugul menuju Kintamani.
Nyonya Ivana memasuki kamar anaknya berhati-hati. Dan menutup kembali pintu kamar perlahan agar tak menimbulkan suara. Perselisihan itu membuatnya yakin bahwa anaknya tak akan berada di kamar Dewa, tidak seperti semalam didapatinya tidur di kamar Dewa.
Jalinan komunikasi yang senantiasa terbuka dengan anak gadisnya memudahkannya membantu menyelesaikan bila ada persoalan yang dihadapinya. Sebab hubungan seperti itu merupakan kunci keberhasilan dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Dilihatnya bidadarinya tertidur pulas. Kelopak matanya masih menyisakan kesembaban bekas menangis. Terlihat betapa moleknya wajah itu meski dibawah temaram lampu kamar.
Nyonya Ivana perlahan menempatkan diri duduk di sisi pembaringan. Mengamati buah hatinya terlelap nyenyak. Nafasnya teratur. Lama sekali memandangi wajahnya sampai kemudian dirinya tak tahan untuk tidak mencium pipi bidadarinya, mengecup bibirnya dengan lembut. Namun kecupan di wajah anak gadisnya tak juga membuat kelopak mata itu terbuka. Namun tetap bersabar menunggu hingga buah hatinya terjaga sembari tak bergeming memandangi wajah cantik itu. Kecantikannya bak bidadari.
Lorna sendiri sejak pulang dari perjalanan ke Kintamani memutuskan untuk langsung tidur usai mandi. Dia sudah berpamitan pada Dewa untuk tidur sendiri dalam kamarnya, karena tidak ingin mengganggu istirahat Dewa. Dalam perjalanan pulang dirinya sudah banyak tiduran dalam pelukan Dewa. Jadi giliran dirinya memberi kesempatan kepada Dewa agar bisa tidur nyenyak tanpa terganggu kehadirannya. Kenangan selama pergi ke Bedugul dan Kintamani akan dibawanya ke dalam mimpinya.
Ada bercak basah di atas bantalnya akibat bekasnya menangis semalam. Bercak itu belum kering betul. Bercak basah yang diperhatikannya bikin cemas perasaannya, kuatir sesuatu yang buruk menimpa puterinya.
Sementara di luar jendela kamar bulan masih merayap sendiri menunggu pagi. Pepohonan masih nampak berupa bayangan gelap.
Dalam kamarnya, anak gadisnya mulai menggeliat merubah posisi tidurnya. Kepekaannya yang terbiasa tidur sendiri membuatnya terjaga karena merasakan hal asing dalam kamarnya. Lalu terkejut saat menyadari ada seseorang berada dalam kamarnya. Namun saat mengetahui yang berada dalam kamarnya adalah Maminya, lantas segera dilingkarkan tangannya memeluk lehernya.
"Oh, Mommy!"
"Honey!"
"Mom?"
"Mami merindukanmu, Sayang!"
"Mommy di sini saja! Temani Lorna"
"Sorry, Mami tak bermaksud mengganggu tidurmu."
"Peluk Lorna, Mommy! Lorna juga rindu Mommy!"
"Tidurlah kembali sayangku. Mami rindu memandangimu wajahmu."
"Oh, Mommy. Berbaringlah di sini, Mommy! Peluk Lorna, Mommy!" pinta Lorna.
Lantas Nyonya Ivana berbaring di sampingnya. Lalu mencium kembali pipi anak gadisnya penuh kelembutan. Mengecupi bibirnya. Lalu memeluknya penuh kehangatan seorang bunda.
"Kenapa dengan matamu, Sayang?"
Lorna menatap langit-langit kamar.
"Nggak apa-apa, Mom!"
Nyonya Ivana tak percaya begitu saja, masih menatapnya dengan sayu.
Lorna lalu membalas menatapnya.
"Lorna nggak apa-apa, Mom!"
"Kenapa nggak tidur lagi di kamar Dewa?" tanya Maminya
"Ah, Mom!"
"Mami percaya kepadamu."
"Lorna tahu, Mommy."
"Kenapa?"
"Lorna tak ingin mengganggunya."
Mami membelai wajahnya.
"Dia suka walau kamu ganggu terus."
Lorna tersenyum.
"Ah, Mommy!"
"Kenapa?"
"Biarlah dia beristirahat tanpa terganggu kehadiran Lorna." Lorna menambahkan.
Mami mengelus pipinya penuh kelembutan. Kemudian bertanya di telinganya. Suaranya nyaris tak terdengar.
"Kalian berselisih?"
Kening Lorna mengerenyit. Merasa heran.
"Ah, Mom."
"Ada apa?"
"Kenapa Mommy bertanya begitu?"
"Pelupuk matamu sembab."
Lorna kembali tersenyum. Pelupuk matanya sembab akibat terus menerus mengurai airmata selama perjalanan pulang dari Kintamani akibat Dewa telah mengikat cintanya dengan sebuah cincin yang kini berada di jari manisnya.
"Kita nggak berselisih."
"I am sorry. Mami tak sengaja mendengar pembicaraan kalian di mobil. Kalian nampaknya berselisih tentang ajakannya kencan."
Seketika Lorna tertawa sejenak. Namun tawa itu pun disambung tangisnya yang kemudian pecah.
Nyonya Ivana segera bangun duduk. Mencoba menenangkan anaknya yang tiba-tiba menangis.
"Bangunlah, Sayang! Kenapa? Bicarakanlah persoalanmu dengan Mami."
Lorna pun lantas bangun. Nyonya Ivana segera memeluknya.
"Katakanlah apa yang menjadi perselisihan kalian. Mami akan mencoba menengahi. Jangan ditutupi bidadariku."
Lorna mendekap kedua pipi Mami seraya menatap wajahnya. Di tengah tangisnya ada senyum di bibirnya.
"Tak ada perselisihan di antara kita, Mommy!"
"Lalu kenapa kamu menangis, Sayang?"
"Memang benar dia mengajak kencan. Tapi Lorna tak tahu maksudnya kencan untuk apa?"
Mami menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Lantas?"
"Lorna baru paham kalau maksudnya mengajak berkencan hanya untuk memberikan ini pada Lorna," kata Lorna menjelaskan dengan menangis seraya memperlihatkan jari manisnya.
Maminya memperhatikan jari manis yang ditunjukkan kepadanya. Dia melihat sebuah cincin melingkar di jari manis bidadarinya. Lalu kembali memandangnya penuh tanda tanya.
"Jadi Dewa?"
Mata Lorna kembali basah dan berkaca-kaca. Lorna mangangguk seraya tersenyum.
"Dia melamarku, Mommy!"
"Oh!"
"Dia bertanya. Maukah Lorna menikah dengannya?"
Nyonya Ivana tersenyum haru. Matanya menatap tajam. Menyimak dengan seksama saat anak gadisnya menjelaskan.
"Lalu?"
"Lorna jawab mau!" kata Lorna masih diselingi isak tangisnya.
Nyonya Ivana seketika memeluknya erat kembali.
"Dia mengajakmu menikah, Sayang?"
"Iya, Mom. Dia bilang. Keinginannya berkencan untuk mencari suasana romantis untuk mengatakan lamarannya itu," kata Lorna melanjutkan dengan tawa di tengah tangisnya.
"Memilih saat tepat untuk memberikan cincin ini padamu?" tanya Mami.
Lorna mengangguk. Airmatanya berguliran jatuh.
Maminya turut tertawa geli di tengah keharuan. Keduanya lantas hanyut dalam tangis dan tawa Lorna.
"Ah, maklumlah. Dia tak pernah berkencan seperti itu. Maksudnya baik. Kalian sudah saling mengenal. Mami akan selalu gelisah bila melihatmu menangis. Tidak biasanya kalian seperti itu. Tidak pernah Mami lihat kalian berselisih apalagi bertengkar."
"Memang, Mom! Kami tak pernah bertengkar. Dia tak pernah marah pada Lorna. Dia selalu baik selama ini. Hatinya baik sekali, Mommy. Dia mencintai Lorna sebagaimana Lorna mencintainya. Dia tak pernah jahat pada Lorna, Mommy!"
"Mami tahu, Sayang. Mami tahu!"
"Mami tak keberatan bila dia menjadi menantu Mommy?"
Maminya lantas menatapnya tajam. Lalu tersenyum seraya membelai wajah anak gadisnya.
"Yang terbaik bagimu sudah tentu terbaik buat Mami. Mami pasti akan menerimanya menjadi bagian dari keluarga," jawab Maminya seraya menyeka pipi Lorna yang basah dengan jemarinya.
"Oh, Mom. Terima kasih."
Lorna memeluk erat kembali.
"Kamu benar. Dia barangkali lelah seharian mengurus kita. Biarkanlah dia beristirahat. Marilah kita tidur. Kutemani kamu tidur. Besok pagi kita bangun. Kita rayakan bersama Papi besok. Mami akan siapkan makanan. Mami akan pesankan suasana untuk makan siang."
"Dia mau berbicara dengan Mommy dan Daddy soal ini."
"Oh, ya? Bicara apa?"
"Meminta Lorna pada Mommy dan Daddy!"
"Melamarmu?"
Lorna mengangguk.
"Aih, benarkah?"
Lorna menangguk.
"Mommy setuju?"
"Oh, kenapa tidak!"
Seketika Lorna menciumi kedua pipi serta mengecup bibir Maminya.
"I love you, Mommy!"
"Dia pilihan terbaikmu kan?"
Lorna mengangguk.
"Hanya dia, Mommy!"
"Sejak kapan kamu mencintainya?"
"Sejak kelas satu sma, Mommy!"
"Jadi sejak itu kalian sudah berpacaran?"
Lorna menggeleng.
Nyonya Ivana mengerutkan dahi.
"Mami nggak mengerti, deh!"
Lorna tersenyum.
"Lorna juga nggak ngerti, Mom."
"Lho!"
"Tapi Dewa juga cinta pada Lorna sejak saat itu pula."
"Lho!"
"Iya. Kita sama-sama saling mencintai."
"Mami kok tidak tahu, ya? Kalian rupanya pintar menyembunyikan hubungan kalian di hadapan Mami ya?."
Lorna mengecup bibir Maminya.
"Jangan salah paham, Mommy. Biar kita saling mencintai sejak kelas satu, tapi kita berdua tidak pernah saling mengatakan secara terbuka. Sebab Lorna pikir Dewa menganggap Lorna sebagai adik. Begitu juga Lorna padanya, yang kita anggap sebagai seorang kakak, teman yang baik, sahabat yang baik. Kita hanya saling merasakan saja, Mommy."
"Mami pikir seperti itu. Mami tak berpikir kalian pacaran."
"Memang seperti itu, seperti yang Mommy lihat."
"Lalu sejak kapan hubungan kalian terbuka?"
"Sejak ketemuan di Surabaya!"
"Oh, jadi itu?"
Lorna mengangguk, tersenyum, matanya kembali berkaca-kaca.
"Kita berdua ternyata saling mencintai. Tapi Dewa baru bilang cinta pada Lorna saat Lorna berada di rumahnya."
"Oh!"
Lorna lantas memeluk Maminya seraya melampiaskannya dengan isak tangis.
"Di rumahnya, Dewa pertama kali bilang mencintai Lorna, Mommy! Di rumahnya itulah saat pertama kali Dewa mencium bibir Lorna, Mommy! Itulah saat pertama kali Lorna dicium lelaki!"
Nyonya Ivana membelai rambutnya yang coklat. Mengeringkan tepian matanya yang biru dari airmata yang seperti tak pernah berhenti mengalir. Memeluknya manja seperti saat masih kecil.
"Mami turut merasa bahagia yang Bidadariku rasakan."
"Lorna mencintainya, Mommy!"
"Mami tahu, Sayang!"
"Lorna mencintainya, Mommy!"
"Mami tahu dia juga sangat mencintaimu, Sayang!
Nyonya Ivana tak henti-hentinya membelai wajah dan rambutnya.
"Mari kita tidur, Sayang. Biarlah Mami memelukmu kini."
"Thanks you Mommy. I love you!"
Lorna akhirnya tertidur lelap dalam pelukan Maminya. Sebaliknya Maminya merasa nyaman berada dekat dengan bidadarinya. Belakangan ini bidadarinya terasa jauh karena waktunya lebih banyak dihabiskan bersama Dewanya. Namun dia merasa bahagia sebagaimana kebahagiaan yang dirasakan bidadarinya yang telah mengeluarkan isi hatinya di tengah kebahagiaannya setelah tambatan hatinya melamarnya untuk menjadi pendamping hidupnya.