1. Menanti di Bawah Pohon Trembesi.



Ditepiskannya helaian rambut yang menggelitik hidungnya. Di sini, di tempatnya berdiri, di bawah rimbunnya kanopi pohon trembesi, pohon yang masih sama seperti bertahun lalu yang pernah ditinggalkannya, pohon yang berada di gugus barisan pohon-pohon trembesi tua, yang tumbuh di sepanjang tepi jalan Tugu, yang melingkari sebuah taman bundar di depan Balai kota Malang, yang di tengahnya terdapat kolam air, dengan sebuah Tugu batu terpaku di tengah-tengahnya, Tugu itu, Tugu yang juga sama seperti bertahun lalu yang pernah ditinggalkannya.
Angin yang menerpa wajahnya, angin yang mengibar-ibarkan rambutnya, adalah angin yang juga terasa sama seperti bertahun lalu yang pernah ditinggalkannya, yang dulu kerap menemaninya bila berada di tempat itu, dan memberinya kesejukan.
Seperti pagi ini, angin itu kembali membelai dan menyapanya ramah,
“Selamat datang kembali si mata biru yang cantik.”
Menebarkan aroma khas, yang sergapannya membangkitkan kembali belitan kenangan yang selama ini amat sulit untuk dilepaskannya. Belitan kenangan yang mengusik selama ini adalah belitan kenangan yang tak mudah ditepis saat melintas dalam bayang ingatannya.
Selama ini. Tidak tahu bagaimana melepaskan belitan itu? Teramat sulit. Sulit sekali! Untuk itu, kedatangannya ke tempat itu berharap bisa melepaskan belitan yang selama ini demikian membelenggunya, yang juga menciptakan keluh dan jerit kesedihan di dasar relung sanubarinya paling dalam. Ibarat kabut dingin membekukan, yang membutuhkan kehangatan kawan-kawan lamanya, para sahabatnya, agar mampu mencairkan kebekuan, serta menyibakkan kabut agar bisa melihat dirinya kembali, dirinya yang dulu saat masih bersekolah di sma Tugu, yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri.
Di manakah gerangan kawan-kawan? Kenapa lama sekali mereka datang? Cepatlah kemari Rahma! Cepatlah kemari Grace! Tepati janjimu datang kemari! Kenapa kalian tak juga muncul? Di manakah kalian kini? Cepatlah datang! Temani aku! Jemput aku!
Berdiri sendiri di tempat itu. Rasanya seperti sejuta tahun menunggu. Berharap kawan-kawannya segera muncul agar bisa membantunya melepaskan diri dari himpitan rasa sepi. Kemanakah Dini? Di mana Ndari? Datanglah cepat! Aduh! Terserah siapa saja di antara kalian yang datang duluan! Aduh! Aku butuh sekali kehadiran kalian semua!
Gadis itu ingin segera bisa keluar dari sergapan rasa sepi yang tiba-tiba menderanya.
“Lorna!”
Tiba-tiba sebuah panggilan menyadarkan dari lamunannya.
Lorna tersentak sejenak. Berpaling ke asal suara yang dikenalnya. Namun belum selesai berpaling. Rahma yang memanggil namanya sudah berada di sampingnya. Dan langsung memeluk tubuhnya, menciumi kedua pipinya silih berganti, penuh kerinduan, kerinduan akibat sekian lama berpisah, dan baru kali pertama berjumpa kembali. Bola matanya basah, berkaca-kaca lantaran dilanda perasaan bahagia bercampur keharuan.
“Aduh! Kenapa menunggu di sini gadis cantik? Muaah, kamu makin biuuuutiful!” ujarnya seraya membenamkan hidungnya ke pipi Lorna, gemas, hingga tak ingin melepaskan benamannya. Aroma pipi yang diciumnya seperti aroma kulit bayi, segar.
Keduanya berpelukan beberapa saat, saling merengkuh erat, meresapinya dalam diam, dengan kehangatan persahabatan. Lalu saling menatap, lama, seakan tak ingin menyudahi, tidak ingin terjadi perpisahan lagi seperti yang telah terjadi selama ini.
Mata Lorna berkaca-kaca seperti halnya Rahma, bola matanya jernih, berwarna biru, biru saphir, seperti birunya lautan Teduh.
“Sudah lama nunggu di sini, sayang?”
Lorna tak menjawab. Hanya menatap haru.
“Kan, sepakat ketemu di tempat yang dulu!”
Yang dimaksud Rhma adalah ketemu di bawah pohon bougenville dekat lapangan bola voli.
“Entahlah, kenapa pingin berada di sini.”
“Taman itu masih sama. Hanya tanamannya saja yang berbeda.”
“Telah berubah, Rah. Yang masih sama hanya pohon trembesi sepanjang tepi jalannya.”
Memang benar pikir Rahma setelah pandangannya turut beredar melihat sekelilingnya.
“Apa rencana kita?”
Rahma mengedikkan bahu seraya menjawab.
“Nggak tahu!”
“Aku juga nggak tahu!”
“Grace dan Dini menunggu di sana. Tapi belum ada kesepakatan apa rencana selanjutnya. Menunggu Ndari dulu. Dia yang banyak tahu.”
Lorna tersenyum sendu diperhatikan Rahma tiada berhentinya.
“Bertahun lho, Na?”
“Bertahun apa?” tanya Lorna tak paham.
“Ya, berpisah!”
“Oh...”
“Sadis banget kamu ini!”
“Maafkan Lorna,” Lorna meminta maaf
Rahma mendekap kembali pipi Lorna dengan kedua telapak tangan seraya menatap lembut bola mata Lorna lekat-lekat.
“Oke. Aku maafkan, Sayang.”
Bola mata Lorna masih berkaca-kaca, bola mata yang disukainya.
Rahma bertanya kembali dengan suara perlahan.
“Sudah ketemu?”
Lorna terkesiap. Keningnya mengerenyit. Dia yang dimaksudkan Rahma tentunya pemilik seraut wajah yang selama ini selalu mengganggunya. Seraut wajah yang beberapa saat lalu muncul dan menciptakan perasaan gelisah tidak karuan.
Pertanyaan Rahma berusaha diabaikan, tak ingin kembali terjebak ke pusaran kegelisahan itu. Walau Rahma tidak mendesak, tapi yakin Rahma tahu alasannya kenapa berdiri di tempat ini.
“Ndari sering ketemu,” kata Rahma cepat karena sadar bahwa pertanyaan telah mengusiknya, Rahma berusaha mengalihkan.
“Oh, ya?”
Perasaan Lorna teralihkan, sebab memikirkan kembali lelaki yang dimaksudkan Rahma, memicu irama dadanya jadi tak beraturan.
Rahma manggut. Memandang wajah Lorna yang berubah muram.
“Kita bahas nanti!” selanya kemudian, “Yuk ke sana. Mungkin mereka sudah bergabung. Ndari anggota panitia Reuni.”
“Oh, ya?”
“Ya...”
Degub jantung Lorna yang semula berdetak kencang mereda kembali setelah Rahma mengalihkan pembicaraan.
Rahma menggandeng pergelangan tangan Lorna, menuntunnya ke mobil yang diparkirnya sementara di pinggir jalan, di tepi setelah belokan ujung jalan Kahuripan. Bekas sma mereka jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari tempat mereka berdiri. Cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Sesaat kemudian keduanya sudah berada dalam mobil. Melanjutkan perbincangan kembali.
“Siapa yang mengantarmu kemari?” tanya Rahma.
“Aku naik angkot, tadinya pingin naik becak, tapi sudah tak ada lagi becak yang bisa berkeliaran seperti dulu!” jawab Lorna pendek.
"Mobilmu?"
"Aku pingin naik kendaraan umum, seperti dulu."
"Nyiksa diri!
Lorna menimpalinya dengan senyum.
"Bah!"
Dahulu mereka sering naik becak bersama-sama. Barangkali Lorna sedang ingin bernostalgia naik becak, pikir Rahma. Ingin merasakan suasana yang hilang selama menetap di Australia. Perpisahan selama ini cukup menghilangkan suasana yang pernah mereka rasakan saat bersama, tapi secara perlahan suasana tersebut terasa mengalir hadir kembali.
"Aku rindu mereka!"
“Memangnya kamu saja yang rindu. Aku pun kangen kumpul teman-teman.”
Lorna tersenyum.
“Kamu semakin cantik!” puji Rahma.
“Kamu juga. Tubuhmu kini nampak ramping. Kelihatan ayu.”
Rahma tertawa renyah.
“Ah, masak sih?”
“Iya!”
“Aku tersanjung!”
“Iya bener!”
“Dulu aku agak gembrot ya? Tapi kini sudah turun sepuluh kilo. Percaya nggak?”
“Percaya! Kamu diet?”
“Banyak hal yang membuat berat badanku turun. Apalagi sejak kamu pergi."
Lorna mengangkat alis.
"Jadi beban pikiranku,” Rahma menambahkan
“Duh, sori, Rah!”
“Pergi ya pergi! Tapi mbok yo jangan lenyap begitu saja. Memangnya apa salahku yang membuatmu tak sedetikpun mencoba menghubungiku?”
“Sori banget, Rah!”
“Memangnya masalahmu akan selesai begitu saja dengan pergi tanpa pamit?”
Hati Lorna terasa tertikam. Tapi maklum dengan perasaan Rahma. Seharusnya Rahma tak harus memikul beban yang membuatnya meninggalkan Indonesia dan kembali ke Australia.
Rahma menatap Lorna yang memandang hampa. Timbul rasa iba melihat wajah itu.
“Sori, Na! Tak seharusnya aku bilang begitu.”
“Ah, nggak apa! Kamu benar kok! Kamu my best friend, tak seharusnya aku bersikap seperti itu. Saat itu aku begitu emosional. Sampai...”
Lorna tak melanjutkan kalimatnya. Membuat Rahma berpaling memandangnya. Wajah itu seperti masih menyimpan berkati-kati beban kesedihan.
“Sampai apa?”
“Ah, nggak!” jawab Lorna seraya menyibakkan rambutnya ke belakang. Bola matanya yang indah berkilat berkaca-kaca. Mencerminkan ada yang mengusik hatinya sehingga menerbitkan airmata. Banyak rahasia tersimpan, tapi tak ingin sahabatnya Rahma mengetahui keinginan apa setelah dirinya ditinggal begitu saja oleh lelaki yang selama ini sangat dekat.
“Lupakanlah, Na! Aku tahu apa yang menjadi beban pikiranmu. Dia kini bujangan lagi. Berubah sekali.”
“Terima kasih kamu sudah memberitahuku tentang dia.”
“Kalau aku tak cerita kalau isterinya sudah meninggal. Barangkali kamu juga tak mau balik ke Indonesia atau pulang ke Malang.”
“Hai!”
“Sori! Bukan maksudku menilai ada peluangmu bisa kembali bersamanya seperti dulu.”
“Hai!”
“Kudengar dia kini makin cool. Gagah! Handsome! Ngetop. Banyak yang berubah. Bikin aku dan Grace jadi penasaran ketemu dengannya.”
“Sudahlah, Rah! Jangan omongin itu lagi! Omong yang lain saja!”
Rahma tertawa renyah.
“Benar nih?”
“Yap!” jawab Lorna pendek walau ada simpul senyum di sudut bibirnya.
Rahma melirik ke arahnya.
“Perasaanku nggak bisa ditipu lho?” tanyanya.
“Sudahlah!”
"Jangan begitu!"
"Sudah...sudah!"
Rahma tertawa-tawa.
Perjalanan tanpa terasa sudah melintasi pintu gerbang sekolah.
“Kita parkir di mana?”
“Kapling kita...” Lorna menyela. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya atas sikap Rahma, tak tahan untuk tak tertawa kecil.