47. Kuikat Cintamu di Bukit Kintamani.

Nengah duduk di depan mendampingi Komang mengemudi. Nengah terbiasa memandu turis. Kali ini oleh Dewa diminta memandu Mami dan Papi Lorna yang berada di bangku tengah. Kebanyakan turis yang dipandu mereka yang menginap di penginapan milik keluarga Komang. Kegiatan seperti itu hampir tak pernah berhenti baginya. Kali ini waktunya diluangkan untuk Dewa yang mempercayakan kepadanya.
Lorna dan Dewa berada di belakang. Situasi dalam mobil cukup lapang untuk melakukan perjalanan panjang ke Bedugul dan Kintamani.
"Nengah! Pakai bahasa Indonesia, semua keluargaku mengerti!" kata Dewa dari belakang.
"Beres, Mas!."
Lorna menatap Dewa. Ucapaan Dewa membikin hatinya berbunga karena menganggap kedua orangtuanya sebagai keluarganya. Ditatap seperti itu membuat Dewa bertanya.
"Kenapa?"
"Ah, enggak!"
"Kok melihatku seperti itu?"
"Ah, enggak!"
"Ada yang mau disampaikan?" Dewa mendesak.
Didesak terus membuat Lorna akhirnya berbisik ke telinganya, "Terima kasih, telah menganggap Daddy dan Mommy keluarga Dewa."
"Tentu!"balik Dewa berbisik,"Bila kamu milikku, mereka pun jadi milikku."
Lorna tersenyum.
"Bersyukurlah, orangtuamu masih lengkap!"
Seketika Lorna kehilangan senyum. Ucapan Dewa tiba-tiba terasa menikam sanubarinya paling dalam. Sebab Lorna tahu Dewa tak memiliki orangtua dan saudara. Praktis kini Dewa hidup sebatangkara. Dewa tak menyadari Lorna menatapnya sedih. Dewa sibuk memperhatikan panorama sepanjang tepi jalan.
Mentari merangkak menggapai titik kulminasi. Kendaraan meluncur menuju bagian utara pulau Bali. Jalan yang dilalui nampak sejuk. Banyak pepohonan ditanam di tepi jalan. Nengah mulai memandu.
"Perlu musik, De?" tanya Komang.
Dewa berpaling menatap Lorna.
Lorna cepat menutupi kesedihannya mencoba tersenyum.
"Ada gamelan Bali?" tanya Lorna.
"Ada! Suka?" jawab Komang.
"Kenapa tidak? Berada di Bali menu musiknya harus bernuansa Bali!."
Komang menghidupkan player cd. Lorna memilih gamelan Bali bukan tanpa maksud. Dia tahu selera Dewa. Di rumah Dewa, musik yang kerap didengar selalu berirama gamelan Jawa. Kini gamelan Bali mengiringi perjalanan mereka. Walau volume suara lamat-lamat tetapi terasa jernih di telinga.
"Nice music!" kata Papi disela keasyikan berbicara dengan Mami menggunakan bahasa Inggris.
"Do you like it, Daddy ?" tanya Lorna.
"Ya!"
"Later Lorna sent a CD of music of Bali and Java!"
"Thanks dear!"
Dewa menyandarkan kepala. Mata terpejamnya. Lorna yang berada disampingnya, menatap lembut meski kesedihan melanda hatinya akibat ucapan Dewa yang tak mudah ditepiskan.
Lorna mengira kelesuan Dewa akibat lelah dan mengantuk. Lantas diambilnya thermos. Menuang sebagian isinya ke tutup yang berfungsi sebagai cangkir. Thermos berisi cappuccino sengaja dipersiapkan buatDewa, sebab itu kesukaannya. Berharap setelah minum cappuccino akan membuatnya kembali segar. Dan tetap terjaga menemaninya selama di perjalanan.
"Minumlah!" kata Lorna. Suaranya lunak.
Dewa membuka kelopak mata. Lorna mengulurkan cangkir ke hadapannya.
"Oh, terima kasih."
Dewa menerimanya lalu meminum perlahan. Lorna turut minum dari tempat yang sama. Keduanya lantas minum dari gelas yang sama bergantian. Minuman masih tak mampu memulihkan kantuk yang melanda Dewa. Lorna pikir Dewa kecapaian, karenanya lalu bertanya.
"Dewa kecapaian?"
Dewa mengatakan keadaan sebenarnya.
"Hanya mengantuk. Boleh aku tidur sebentar?"
"Oh, tidurlah!"
Lorna tak sampai hati membiarkan keadaan Dewa seperti itu. Walau berharap Dewa tetap terjaga.
"Tidurlah. Rebahlah di sini!" kata Lorna meminta seraya menepuk atas pangkuannya.
Dewa lantas merebahkan kepala ke atas pangkuannya. Dan mulai memejamkan mata dengan wajah menengadah. Telinganya masih mendengar jelas saat Nengah berceloteh bersama Mami dan Papi. Komang ikut terlibat pembicaraan. Hingga suara mereka lambat laun lenyap dari pendengaran, seiring kesadarannya yang perlahan menghilang.
Lorna menunduk membelai wajahnya. Hatinya berbunga memandangi wajah Dewa tertidur di pangkuannya. Hal yang tak pernah terbayangkannya. Wajah yang pernah bertahun-tahun menghilang, hanya berupa bayang-bayang yang menghantui hidupnya, yang dulu sulit dihapus. Wajah yang berada di pangkuannya adalah wajah yang pernah bertahun-tahun menyiksanya dengan kerinduan. Tapi kini tak ingin bayangan wajah itu lenyap. Biarlah kerinduan saja yang boleh menyiksanya kembali.
Bekas luka yang terdapat di bawah dagunya adalah bekas luka yang mempersatukan mereka kembali. Walau luka itu telah kering dan mulai menghilang, namun peristiwa yang menyebabkannya tak akan pernah hilang dalam ingatannya.
Ucapan Dewa belum lama, membuatnya tidak tahan untuk tidak menundukkan wajah. Ucapan itu menimbulkan nestapa baginya.
"Lorna milikmu, Dewa. Kamu tidak sendiri meski kedua orangtuamu sudah tidak ada, meski kamu tak punya saudara. Bukankah ada Lorna yang menjadi adikmu? Yang juga menjadi kekasihmu, sahabatmu." bisik Lorna seakan tanpa suara.
Lalu diciumnya dahi Dewa dengan lembut. Menempelkan bibirnya lama, seakan tak ingin menariknya. Telapak tangannya mendekap hangat wajah itu. Wajah yang demikian dikasihinya. Wajah yang seakan kini memenuhi semua harapannya. Betapa menyenangkannya bisa menyaksikan wajah itu terpejam di atas pangkuannya, sehingga dirinya bisa menempelkan bibir ke atas bibirnya lama. Lama sekali.
Sebelum terlelap, Dewa merasakan perlakuan Lorna. Merasakan bibir lunaknya mengulum bibirnya. Lega atas kembalinya mutiara yang pernah menghilang. Sejak pertemuan di Surabaya hubungan mereka kian terasa dekat, bahkan tak ada sekat lagi.
Tanpa terasa waktu berlalu cepat. Dewa pun terjaga. Waktu tidurnya sesungguhnya berlangsung lama, namun bagi Lorna terasa sebentar.
"Oh, sori!" suara Dewa lemah.
"Sorry untuk apa, De?"
"Tertidur lama..."
"Enggak apa! Kamu memang lelah..."
Disiapkannya selembar tisu basah ketika Dewa mulai terbangun. Lalu dibasuhnya wajah itu dengan lembut. Setelah itu, Dewa bangkit duduk. Sejenak berdiam diri memulihkan kesadaran. Sesaat kemudian wajahnya nampak segar kembali.
"Tidurku lama?"
Lorna tersenyum.
Nengah buru-buru keluar mobil begitu sampai di Bedugul. Membuka pintu buat Nyonya Ivana dan suaminya.
"Sudah sampai?" tanya Dewa.
"Ya." jawab Lorna,"Yuk, turun!"
"Kita kemana?" tanya Mami.
"Ke atas sana, tante! Kita bisa melihat lebih jelas. Pemandangannya cukup baik dilihat dari situ." kata Komang.
Maka mereka pergi ke tempat yang ditunjuk Komang. Dewa membawa camcorder, sedangkan Lorna membawa kamera. Di tempat itu Lorna mengambil foto Papi dan Mami dengan latar belakang danau Bedugul.
Nampak perahu speedboat hilir mudik menerbangkan parasut dengan tali. Ada perahu yang mengantarkan penumpang berkeliling danau. Untuk melihat daratan dari tengah danau. Langit cerah berawan tipis. Angin pun bertiup memberi kesejukan.
"Daddy mau naik perahu?" tanya Lorna.
Papinya menggeleng seraya mengangkat tangan.
"Kita jalan-jalan dan melihat-lihat saja. Bagaimana kita berfoto bersama. Mommy, Daddy, Lorna dan Dewa. Lantas nanti ikut Komang dan siapa kamu..."
"Nengah!"
"Maksud Daddy. Kita sekeluarga berfoto dulu setelah itu. Komang dan Nengah ikut bersama."
Mereka berfoto seperti kemauan Papi. Setelah itu, Mami mengingatkan waktunya makan siang. Komang membantu menunjukkan tempat makan yang baik. Tempat yang dipilih adalah tempat yang cukup mendapatkan pemandangan menghadap danau.
Lorna menyempatkan mengambil gambar video saat mereka makan. Lalu kembali duduk di samping Dewa. Memperhatikan menu yang dipilih Dewa. Ikan panggang.
"Ikan apa?" tanyanya.
"Gurami" dijawab Dewa pendek.
Selama bersama Dewa. Menu ikan selalu menjadi pilihannya. Lorna semakin tahu Dewa menyukai daging ikan. Lorna melihat ada kolam ikan di belakang rumah Dewa. Dulu tempat itu hanya tanah lapang tempat untuk menjemur kain batik yang dibuat ibundanya. Dewa pula yang membelikan ikan untuknya yang dimasukkan ke kolam rumahnya. Semua itu mengingatkan kalau Dewa memang suka ikan.
Dewa memungut sedikit daging ikan panggang. Lalu disuapkan ke mulut Lorna. Lorna teringat pertama kali Dewa mengajaknya makan ke kota Batu. Mereka pesan ikan tombro bakar di sana. Di tempat itu mereka saling menyuapi daging ikan.
"Bagaimana?"
Lorna mencoba meresapi sejenak daging ikan dalam mulutnya.
"Enak yang kita makan di Batu."
"Itu ikan tombro. Ini gurami. Ikan tombro tebal dagingnya dan lunak."
"Mami suka yang kalian beli di Batu," Mami mengomentari.
"Kalau dari cafenya Made. Bumbunya enak," kata Lorna.
"Itu ikan tongkol," Dewa menambahkan.
"Kan ada Durian di mobil?" tanya Dewa kepada Komang.
"Oke, kuambil dulu!"
Komang lalu pergi mengambil buah durian di mobil. Mengambil tiga butir. Lalu buah itu mereka makan beramai-ramai.
Lorna meminta Dewa mengajak menyewa perahu berkeliling danau. Meminta merangkulnya saat perahu membawa berkeliling. Papi dan Mami melambaikan tangan di kejauhan.
"Sayang sekali mereka harus cepat pulang ke Australia," kata Dewa seraya menyibakkan rambut Lorna ke belakang.
"Masih ada lain kali kan?"
"Tak cukup sebulan waktu diperlukan untuk menikmati Bali."
"Ya, tapi tak harus sekaligus kan."
Dewa menyentil ujung hidungnya. Lalu Lorna memberi peluang agar Dewa menikmati bibirnya sejenak. Dan itu pun dilakukan Dewa. Pembawa perahu membuang pandang ke kejauhan, sudah terbiasa dengan itu. Dewa memilin bibir Lorna sejenak. Bibir Lorna terasa lembut, kenyal dan manis.
Lorna tersenyum riang. Membuang pandangan menikmati pemandangan keliling. Sesekali memandang Dewa. Bola matanya memancarkan kebahagiaan menikmati suasana itu.
"I love you !" kata Lorna tanpa bersuara. Hanya gerak bibirnya saja.
"Me too..." Dewa menjawab begitu pula.
Lalu Lorna kembali berikan bibirnya untuk dipilin kembali. Rambutnya yang panjang berwarna coklat tersibak oleh angin hingga menutupi wajah keduanya yang sedang sibuk berpilinan. Mentari di langit pun bersembunyi sejenak di balik awan yang bergerak. Saat rambutnya dan awan tersibak kembali. Maka mentari dan angin pun tak lagi tersipu malu saat bibir Lorna dan Dewa melepaskan diri dari pagutan yang menyenangkan.
Dewa lantas merangkulnya, dan Lorna membenamkan wajah ke bawah dagunya, ke dalam lehernya. Keduanya merasa bahagia bisa melepaskan kerinduan. Merasakan indahnya cinta yang mereka rasakan kini.
Setelah dirasakan puas melihat-lihat sekitar danau Bedugul. Perjalanan dilanjutkan ke Kintamani. Mereka mengejar waktu untuk bisa menikmati suasana senja di sana. Udara di Kintamani dingin. Sebelumnya Dewa sudah mengingatkan agar mereka membawa baju hangat. Papi dan Mami mulai mengenakan sweeter untuk menghangatkan badan.
Dalam perjalanan Lorna mengupas jeruk. Memakan berdua Dewa untuk menghilangkan bekas aroma durian. Lorna demikian perhatian kepada Dewa. Ruas demi ruas jeruk dimasukkan ke mulut Dewa dengan hati-hati.
"Lagi?"
"Cukup!"
Semasa sekolah dulu Dewa yang demikian perhatian terhadapnya. Ah, tetapi tidak. Dewa pun sampai saat ini tak berubah memberi perhatian pada dirinya.
Sesekali dibersihkannya tepi mulut Dewa dengan tisu. Setelah selesai makan buah jeruk. Lorna memberi pencuci mulut berupa permen. Bentuknya tipis berwarna kebiruan. Rasa mint. Terasa dalam mulut seperti sehabis sikat gigi. Segar dan bersih. Aroma durian seakan telah sirna.
"Terima kasih, Na."
Lorna juga memberikan permen tersebut kepada Mami dan Papi. Agar mulut mereka bisa terasa bersih dan segar kembali.
"Terima kasih, Sayang!" kata Mami.
Mami dan Papi duduk ngobrol sembari menikmati pemandangan yang dilewati sepanjang perjalanan.
"Daddy, mau minum capuccino biar tidak ngantuk?" tanya Lorna.
"Terima kasih, Daddy tidak mengantuk, tadi sudah ngopi!"
Temperatur di dalam mobil terasa dingin. Hal itu karena pengaruh udara dari luar. Perjalanan mereka sudah berada di pegunungan. Pendingin ruang dalam mobil membuat suhu terasa semakin dingin.
Lorna merebahkan diri. Kakinya dinaikan ke atas tempat duduk. Kepalanya direbahkan ke pangkuan Dewa. Seperti ketika Dewa tidur di atas pangkuannya saat berangkat.
Wajah Lorna menengadah. Menatap wajah Dewa. Tangannya memegang hangat tangan Dewa yang membelai rambut dan wajahnya.
Dewa memandangi wajahnya. Lorna suka sekali dipandang Dewa seperti itu. Ujung jari telunjuk Dewa bermain seputar bibirnya. Mencoba meraba bentuk bibirnya yang bagus. Yang berwarna merah muda. Dibiarkannya bibirnya diraba ujung jari telunjuk Dewa. Dewa juga membiarkan ketika ujung jarinya digigit dan dihisap bibir Lorna.
"Perlu beli sovenir, Mom?" tanya Lorna.
"Ya, Mami harus beli banyak souvenir untuk dibagikan. Di mana membelinya?"
"Besok saya antar ke pusat penjualan souvenir, Tante," kata Komang.
"Besok pagi-pagi, ya Komang. Soalnya besok sore kami harus ke bandara."
"Baik Tante. Bisa diperoleh sepanjang perjalanan."
"Kalau di Kintamani?"
"Sebenarnya banyak tempat penjualan souvenir. Kalau Tante berminat dan cocok. Nanti kami antar."
Sementara di bangku belakang. Jari Dewa masih berkutat di bibir Lorna. Terbersit dalam benaknya untuk memberikan cincin yang dibelinya tadi pagi. Namun keinginan itu diurungkan. Pikirannya masih berkutat mencari cara dan saat yang tepat.
Mengikat cinta dengan cincin akan menghilangkan kebimbangan Lorna bila mereka berjauhan. Cincin itu akan menjadi simbol kekuatan hubungan mereka. Karena dia tahu Lorna demikian mencintainya dan takut berpisah. Dewa tak ingin membuatnya rapuh.
"Kamu suka pergi ke Bar?"
Lorna menggeleng.
"Maksudku ke cafe?"
Lorna menggeleng.
"Kenapa?"
Lorna mengerenyitkan kening. Mencoba mencari tahu kenapa Dewa menanyakan itu. Apakah aku suka suasana seperti itu? Ada apa menanyakan bar dan cafe? Apakah dia mencoba membandingkan apa yang menjadi kesukaanku? Selama di Australia dipikirnya bertambah kebiasaanku mengunjungi cafe dan bar. Di sana bahkan kawan-kawan menjulukiku gadis kolot karena aku tak suka diajak ke bar atau cafe. Aku lebih suka suasana sepi dan menyendiri. Dewalah yang membuatku seperti itu. Itukah yang ingin diketahui Dewa?
"Sori, tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu kencan."
Mami mendengar ucapan Dewa. Lorna tertawa geli.
"Setiap hari kita bertemu. Setiap hari kita berkencan. Di kamarmu. Di kamarku. Di pantai. Di rumahmu. Di rumahku. Di..."
Dewa menutup bibir Lorna dengan telunjuk jarinya.
"Barangkali aku lelaki udik. Maksudku seperti di film-film barat. Mengajak kencan makan berdua ditemani sebotol anggur dan cahaya lilin."
"Oo. itu maksudnya..."
Lorna tersenyum geli. Mami yang turut mendengar tersenyum geli. Dia berpikir Dewa bermaksud mengajak Lorna berkencan. Makan berdua dengan suasana romantis.
"Kenapa? Lucu?" tanya Dewa.
"Ah, nggak. Cuma bukan kebiasaanmu," jawab Lorna.
Keinginan Dewa terasa aneh baginya. Tapi bisa dimaklumi.
"Ya, sudah. Lupakan. Memang itu bukan kebiasaanku."
"Memang. Itu kebiasaan masyarakat bule. Berkencan. Makan berdua di sebuah restoran. Kalau mau ya kita rencanakan."
"Ah, lupakan!"
"Lho kok?"
Dewa diam.
Lorna bangun dari pangkuan Dewa.
"Kita rencanakan nanti. Kapan?"
Dewa tersenyum menggeleng. Tetapi senyum itu terasa getir dirasakan Lorna.
"Lupakan..."
Lorna merapatkan wajahnya ke wajah Dewa. Merajuk mencium pipi Dewa.
"Maafkan Lorna."
"Kenapa minta maaf."
Dewa tersenyum.
"Lorna tak bermaksud..."
Dewa menutup bibir Lorna dengan jari telunjuknya.
Lorna salah memahami keinginannya. Tidak tahu bahwa keinginan Dewa mengajaknya berkencan adalah untuk memberikan cicin yang dibelinya tadi pagi. Dia pikir suasana makan berdua di sebuah cafe barangkali tepat untuk menyerahkan cicin itu.
"Sudahlah!" kata Dewa.
Bola mata Lorna mulai berkaca-kaca. Hatinya sedih akibat salah mengerti atas keinginan Dewa.
Untuk menghilangkan kesalahpahaman maka dia memagut bibir Lorna. Memilinnya sejenak. Lorna ingin dipilin lama. Ingin dipagut lama. Tapi Dewa segera melepaskan pagutannya. Menyudahi pilinannya. Lorna lalu menenggelamkan wajahnya ke bawah dagu Dewa. Keduanya kemudian saling diam membisu. Tapi hati Lorna masih dilanda kegalauan lantaran mengecewakan keinginan Dewa.
Sesampai di Kintamani. Komang membawanya ke suatu tempat pemberhentian. Ada rumah makan dan tempat menjual cinderamata. Komang dan Nengah membawa Mami dan Papi ke tempat itu. Sementara Dewa mengajak Lorna ke suatu tempat.
"Ajaklah Papi dan Mami ke tempat-tempat yang kau rasa menarik. Bila perlu turun ke danau Batur," pesan Dewa kepada Komang dan Nengah.
Dewa menuntun Lorna pergi ke suatu tempat yang pernah dikunjunginya. Berdiri di pinggir sebuah tebing. Pemandangan terbentang luas menghadap danau Batur yang terletak nun jauh di bawah. Nampak indah dilihat dari tempat mereka berdiri.
Lorna memeluk pinggang Dewa. Melingkarkan tangannya di sana. Dewa melingkarkan lengan dan merangkulnya. Tangannya membelai dan menyibak rambut Lorna ke belakang. Cahaya senja menerpa rambut Lorna yang berwarna coklat menjadi keemasan. Warna rambutnya coklat asli. Di matanya yang biru memantul siluet senja membuatnya seperti bercahaya. Warna biru matanya warna asli.
Mereka berdua menikmati pemandangan yang terbentang indah. Angin dingin mulai terasa mengalir di sekeliling. Suasana terasa damai dan lengang. Pucuk-pucuk pohon nampak lembayung menyerap warna senja. Daun-daun nampak merah seperti terbakar.
"Bukankah kita sekarang sedang berkencan, Dewa?"
Dewa berpaling menatapnya. Lantas mengangguk. Tiba-tiba Dewa menarik tubuh Lorna sehingga keduanya menjadi berhadapan.
"What?"
Dewa memandang mata Lorna dengan tatapan tajam. Lorna suka sekali ditatap Dewa begitu. Tatapan itu adalah tatapan Dewa yang khas. Dingin tapi terasa teduh.
"Maukah kamu menikah denganku?"
"Dewa?" pekik Lorna dengan mata berbinar-binar.
"Maukah?"
Lorna memandangnya tak mengerti.
"Aku mencintaimu, Dewa."
"Maukah kamu menikah denganku?" tanya Dewa mengulangi.
"What? Kamu serius?"
Dewa mengangguk
"Nikahilah aku kalau itu maumu. Kapan?" Lorna balik bertanya. Lorna berpikir Dewa hanya menggoda.
"Sekarang!"
'What?"
"Sekarang, menikahlah denganku!"
"Dewa?"
"Maukah?" Dewa mengulangi.
"Mau, Dewa!"
Dewa menarik jari tangan Lorna. Lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Mengambil sebuah cincin yang dipersiapkan sejak pagi tadi. Lorna terkesima saat Dewa perlahan menyematkan sebuah cincin di jari manisnya.
"Dewa..." bibir Lorna gemetar.
Dewa menyematkan cincin itu dengan perlahan dan hati-hati diiringi tatapan Lorna yang terpana. Matanya bersinar takjub menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Lalu menatap mata Dewa dengan pandangan berbinar-binar. Berganti-ganti dari cincin ke mata Dewa. Hingga bayangan cincin di jari tangannya menjadi kabur. Lantaran pandangannya sudah dipenuhi air mata kebahagiaan. Seketika dibenamkan wajahnya ke dada Dewa. Terisak-isak kencang di sana.
"Oh, Dewa. Inikah maksudmu mengajakku berkencan? Maafkanlah bila Lorna tak memahami."
Dewa membiarkannya terisak-isak bebas dalam pelukannya. Menumpahkan kebahagiaanya. Lelaki yang dicintainya telah mengikatnya dengan benda yang kini tersemat di jari manisnya. Sejak keduanya bertemu kembali, Dewa selalu memberinya kejutan.
"Inikah maksud Dewa mengajak Lorna berkencan untuk memberikan cincin ini?" tanya Lorna seraya menengadah memandang Dewa.
Dewa menyeka pipi Lorna yang basah seraya mengangguk.
"Di bukit Kintamani ini kuadapatkan suasana itu."
Lorna kian terisak-isak oleh jawaban itu. Dia berusaha menghentikan isaknya. Tapi sulit. Sulit sekali. Isi dadanya seakan tak kuat menahan perasaan bahagia. Lorna kembali memeluk Dewa ketat. Akibat perasaan bahagia yang nyaris membuatnya pingsan.
Dewa membenamkan hidungnya dalam kelembutan rambut Lorna yang lebat. Dia menghirup keharumannya. Dia tak ingin membuat hati gadis itu rapuh bila cintanya tidak diikat dengan simbol ikatan cinta kasih.
"De?" Lorna memanggilnya dengan suara lirih di tengah isaknya.
"Ya?"
"Apakah dengan begini kamu sudah menjadi suamiku?" tanyanya dengan suara tersendat.
"Anggaplah begitu," bisik Dewa lembut di telinga Lorna, "Cincin ini wujud dirimu telah bersedia terikat denganku, dengan segala cinta, sepenuh jiwa dan raga."
"Kuberikan jiwa ragaku padamu, Dewa."
"Aku tahu. Untuk itu agar kau tak meragukan kesungguhanku, kesematkan cincin ini sebagai ikatan cinta kasihku padamu."
"Dewa?"
Dewa tak membalas. Tetapi memagut bibir Lorna dengan penuh cinta kasih. Lorna pun memberikan bibirnya untuk dipagut. Untuk menunjukkan kepasrahan terhadap apa yang dihendaki lelaki yang dicintainya.
Udara bukit Kintamani kian menusuk dingin seiring redupnya malam. Tanpa terasa keduanya sudah lama berada di tempat itu. Sementara kedua orangtuanya tengah sibuk dipandu Komang berkeliling melihat suasana. Berbelanja cinderamata. Berbelanja salak Bali. Turun sebentar melihat danau Batur dari dekat. Entahlah kemana Komang dan Nengah membawa mereka. Dewa hanya berpesan kepada Komang agar membuat mereka terkesan.
Isak Lorna telah mereda. Hanya menyisakan kesembaban pada kelopak matanya. Kini duduk bersandar dan rebah dalam dekapan Dewa. Udara dingin tak lagi dirasakan, sebab Dewa telah memberinya kehangatan.
Menikmati dan meresapi keheningan malam di bukit itu. Walau pun suasana mulai gelap. Cahaya bulan yang bersinar mampu menerangi alam sekitar. Kelap-kelip nampak cahaya lampu rumah desa di tepi danau Batur. Serta cahaya lampu perahu yang melintasi danau nun dikejauhan. Kelelawar-kelelawar terbang mengelilingi pohon kelapa bercengkerama dengan sang malam.
Lorna menatap lembut wajah Dewa dengan tangan melingkari pinggangnya. Sejuta lebih kata cinta yang ingin diungkapkan kepada Dewa, tak menandingi ungkapan bahasa cinta Dewa yang disampaikan kepadanya hari ini melalui sebuah cincin, cincin pengikat.
"Terimakasih, Dewa." ucap Lorna lirih.
Dewa mengecup dahinya lembut.
Dewa menawarkan kepada Papi dan Mami menginap semalam dengan menyewa kamar hotel. Namun keduanya menolak dan tetap memutuskan kembali saja.