Berkas hasil tindak lanjut presentasi yang sedianya dikirim ke Lorna, Dewa putuskan untuk mengambilkannya. Dengan halus pula kali ini terpaksa menolak keinginan Lorna ikut dalam pengambilan berkas karena ada agenda lain yang tidak ingin diketahui gadis itu.
"Kepergianku hanya sebentar saja. Manfaatkan waktumu bersama Papi dan Mami sebelum mereka pulang ke Australia. Setelah itu, waktumu akan banyak bersamaku. Okey?"
Lorna mengangguk. Penjelasan Dewa membesarkan hatinya. Lalu diciumnya punggung tangan Dewa saat melepaskannya pergi. Dewa membalas dengan pelukan hangat. Lorna senang dipeluk seperti itu. Baginya ada saat dirasakan sikap Dewa sebagai seorang kakak yang demikian protektif. Adakalanya Dewa bertindak sebagai sahabat yang menyenangkan. Dan ada saatnya Dewa menempatkan diri sebagai kekasih yang penuh cinta dan kelembutan.
"Aku tahu kamu tak ingin kutinggalkan lama," bisik Dewa di telinganya.
Lorna mengangguk.
"Pergilah Dewa. Lorna akan menunggumu bersama Daddy dan Mommy !"
"Itu baru gadisku."
"Terimakasih, Dewa."
"kalau tak ada Daddy dan Mommy, tak akan kubiarkan kamu sendiri menunggu."
"Lorna tahu Dewa. Kamu baik sekali."
"Maafkan bila menempatkan Papi dan Mami di kondisi seperti ini."
"Kenapa memangnya, Dewa?" Lorna menyela.
"Seharusnya mereka menginap di Hotel berbintang yang full layanan."
"Ah, Kenapa Dewa jadi aneh begini? Daddy dan Mommy sudah senang dengan keadaan ini."
"Aku hanya kuatir mereka kurang nyaman dengan keadaan ini."
"Kita merasa nyaman, Dewa. Penginapan yang Dewa pilih sudah cukup baik. Tak ada yang kurang. Semua terlayani dengan baik. Kita semua senang Dewa membuat kita berada di Bali. Kita senang dengan pilihan Dewa. Apalagi penginapan itu milik Komang dan keluarga besarnya."
"Baiklah. Untuk mempersingkat waktu sebaiknya aku cepat pergi mengambilkan berkasmu."
"Hati-hati di jalan ya?"
"Tunggu ya?" ucap Dewa seraya memandang teduh dan tajam.
Lorna mengangguk, tersenyum.
"I love you, Dewa!"
Sementara itu, Nyonya Ivana yang selalu menyelidik apa yang dikerjakan keduanya, nampak tersenyum dari balik jendela kaca saat mengintip anak gadisnya melepaskan kekasihnya yang hendak pergi sebentar.
Betapa manisnya Dewa memperlakukan anak gadisnya. Betapa manis Dewa membelai wajah anak gadisnya. Betapa manis Dewa mengecup bibir anak gadisnya. Dan betapa manis anak gadisnya bersikap kepada lelaki yang bakal menikahinya dengan mencium punggung tangannya, cara mencium sebagai rasa penghormatan.
Ah, Lorna. Kamu sudah dewasa kini. Kamu tentu sudah banyak belajar dari Dewa, belajar bersikap sebagai perempuan Jawa. Belajarlah kepadanya anakku, belajarlah. Maafkan Mami tak bisa banyak menuntunmu untuk bersikap sebagai perempuan Jawa sejati, kecuali unggah-ungguh yang normatif. Demikian kata hati Nyonya Ivana.
"Kamu tak ikut dengannya, Bidadariku?" tanyanya berpura-pura saat anak gadisnya menghampirinya.
"Keperluannya hanya sebentar, Mommy. Dewa meminta agar Lorna lebih baik menunggu sambil menemani Daddy dan Mommy."
Nyonya Ivana tersenyum seraya membelai wajah anak gadisnya dengan lembut.
"Tentu urusan pekerjaanmu banyak sekali. Bagaimana kalau Mami menemanimu mengerjakan sesuatu sehubungan dengan itu?"
Lorna tersenyum dan menggeleng.
"Di mana Daddy?"
"Sedang membaca koran di atas."
Maka keduanya kemudian naik ke lantai atas menemuinya.
"I love you, Daddy!" kata Lorna saat sudah duduk merengkuh pinggang Papinya.
"Daddy juga sayang kamu!" balas Papinya.
"Beli yang banyak koran Indonesia untuk dibawa pulang," kata Lorna seraya mencium pipi Papinya.
Papi tertawa renyah.
"Kamu yang selalu rutin memaketkan buku-buku, majalah dan bacaan lain. Kamu rupanya ingin Daddy banyak memahami Indonesia."
"Iyalah Daddy! Indonesia adalah negeri Mommy dan negeri Lorna."
Nyonya Ivana tersenyum-senyum.
"Daddy juga cinta Indonesia, itulah kenapa Daddy cinta kalian semua."
Nyonya Ivana lalu turut duduk bergabung memeluk suaminya.
"Bagaimana dengan Dewa?"
"Masih pergi mengambil berkas!" jawab Lorna.
"Hanya sebentar, agar kita bisa cepat pergi ke Bedugul dan Kintamani," Nyonya Ivana menambahkan.
Setelah mengambil berkas. Dewa singgah ke sebuah pusat penjualan perhiasan berharga. Agenda Dewa selanjutnya membeli sebuah cincin yang akan diberikan kepada Lorna pada saat yang dirasakan tepat. Dia ingin memberinya sebuah kejutan. Tetapi lebih dari itu adalah untuk meyakinkan kepada gadis itu untuk tidak lagi meragukan cintanya.Tak perlu mencemaskan setelah trauma yang dialaminya sehubungan pernikahannya dengan Nirmala. Cincin itu sebagai ikatan bahwa mereka tak akan berpisah lagi seperti yang pernah terjadi.
Dewa mengeluarkan potongan kertas kecil.
"Tolong diukur sepanjang kertas ini, Cik. Ini contoh ukuran dari diameter jarinya," kata Dewa ke pemilik toko emas.
"Sudah diukur seperti ini?"
"Ya. Lingkaranh diameternya sepanjang kertas ini," kata Dewa meyakinkan.
Pemilik toko lalu membawa kertas itu untuk diukur. Tak lama kemudian kembali lagi.
"Carikan yang diameternya sesuai dengan ukuran itu," kata Dewa.
"Tapi Abang silahkan memilih dulu tipe cincin yang cocok. Mau pakai mata atau yang polosan?"
"Polos saja!"
Dewa lalu meneliti dan memperhatikan dari sekian banyak cincin yang terpajang dalam etalase kaca. Dewa menunjuk salah satu yang dirasakan bagus untuk dipakai di jari Lorna. Pemilik toko segera mengambil pilihan Dewa, dan memberikan kepadanya untuk diteliti. Dewa mencoba memperhatikan dengan seksama terlebih dulu.
"Kalau diberi nama apakah bisa ditunggu?" tanya Dewa seraya memberikan cincin itu kepada pemilik toko.
"Bisa. Tidak lama. Tapi ada tambahan untuk ongkos."
"Atur saja. Diameternya tolong diukur yang pas."
Pemilik toko memberikan secarik kertas untuk ditulisi Dewa dengan nama yang akan digrafir pada cincin pesanannya. Dewa menuliskan sesuatu di sana.
Pemilik toko tak bertanya. Hanya memenuhi keinginan Dewa. Lelaki muda yang dihadapinya nampaknya tidak suka banyak bicara.
Dewa memberikan kartu ATM untuk melakukan pembayaran. Pemilik toko lalu memijit tombol-tombol angka pada sebuah mesin scanner sesuai nominal kwitansi yang sudah dibuatkan.
"Bagaimana, apakah sudah benar?"
Dewa meneliti sejenak nilai angka yang diketikkan pada mesin scanner. Lalu memijit angka PIN miliknya. Sesaat kemudian urusan pembayaran selesai. Pemilik toko mempersilahkan Dewa menunggu seraya memberikan sebotol minuman teh dingin. Penggrafiran tulisan pada cincin ternyata tidak membutuhkan waktu lama.
Waktu yang diperlukan mulai pemesanan cincin hingga penggrafiran hingga selesai, tak lebih dari satu jam. Dewa menyempatkan diri belanja buah durian di tengah perjalanan kembali ke penginapan. Dia perkirakan berada di penginapan bersamaan kedatangan Komang dan kawannya. Ternyata selisih waktu kedatangan berbeda beberapa menit saja. Ada kendaraan diparkir di depan penginapan. Artinya Komang dan temannya sudah tiba terlebih dahulu.
Dewa keluar kendaraan.
Lorna senang melihat Dewa cepat kembali. Bergegas menghampiri. Selama menunggu, mencoba menahan diri untuk bersabar selama Dewa pergi. Andai saja Dewa memiliki ponsel sudah pasti dirinya tidak segelisah itu.
Lorna mencium punggung tangan Dewa sebelum memberikan pipinya untuk dicium.
"Sudah datang?" tanya Dewa seraya memberikan berkas kepadanya.
"Sudah!"
Lorna menerima berkas tersebut.
"Terimakasih, De."
"Bagaimana? Lama nggak pergiku?" tanya Dewa seraya menatap mata Lorna yang membalasnya dengan tatapan kerinduan.
"Kepergianmu menyiksaku."
"Maafkan aku! Harus dibiasakan!"
"Lorna mengerti, Dewa. Tapi saat ini Lorna ingin melepaskan kerinduan setelah lama kita berpisah." kata Lorna berterus terang.
Baginya keberadaan Dewa dalam hidupnya saat ini sebagai tempat menampung apa yang ada dalam sanubari dan pikirannya.
"Aku tahu. Sebaiknya kita temui mereka agar kita bisa lekas pergi. Nanti kita lanjutkan pembicaraan ini selama di perjalanan. Okey?"
"Okey, Dewa!" jawab Lorna seraya memegang pergelangan Dewa saat mereka melangkah masuk ke penginapan.
Komang dan teman wartawannya saat itu sedang ditemui ke dua orangtua Lorna.
"Halo, apa kabar?" tanya Dewa kepada teman Komang seraya bersalaman.
"Widi!" teman Komang memperkenalkan diri.
"Sori, kalian menunggu! Ada keperluan sedikit mengambil berkas. Bagaimana? Bagaimana?" Dewa lalu duduk dan memulai pembicaraan.
Papi dan Mami mohon diri naik ke lantai atas untuk memberi privacy kepada Dewa dengan tamunya. Lorna pun demikian tapi dicegah oleh Dewa.
"Di sini saja, temani aku!"
Lorna lantas duduk di samping Dewa.
"Tentu kalian sudah berkenalan. Untuk yang satu ini tidak masuk dalam materi pembicaraan," kata Dewa seraya tertawa.
Komang dan Widi turut pula tertawa.
"Lorna adalah temanku, sahabatku, saudaraku, pacarku, tunanganku, dan calon isteriku."
Lorna tersipu-sipu. Memandang Dewa. Jemarinya menyentil bawah dagu Dewa.
Komang dan Widi tertawa terbahak.
"Mas Dewa ini bisa saja. Tak banyak bicara, tapi sekali bicara semuanya masuk," kata Widi.
Lorna tersenyum. Ada perasaan senang, bahagia dan malu campur aduk jadi satu saat Dewa bilang begitu. Apalagi Dewa bilang tentang tunangan dan calon isteri.
"Tapi jangan masuk jadi materi tulisan ya, Wid?"
"Beres, Mas! Bagaimana kita mulai?"
Dewa pun kemudian diwawancari. Dalam pembicaraan kadang nampak serius. Kadang diseling gelak dan kelakar. Lorna terpesona dengan cara Dewa berbicara. Menunjukan kematangan. Matang dalam cara berpikir. Matang dalam mengkaji dan menjabarkannya. Tetapi ada kesulitan bagi Widi untuk menggali latar belakang dari masa lalunya. Bagi Dewa, hal yang telah lalu ibarat sebuah cermin dan yang akan datang ibarat sebuah lentara. Kita harus memperlakukan keduanya dengan baik. Bila cermin itu pecah tentu kita tidak bisa lagi bercermin diri terhadap masa lalu. Demikian pula memperlakukan sebuah lentera. Agar jangan sampai membiarkan lentera padam. Agar kita bisa melihat apa yang ada disekitar kita.
Satu jam kemudian Dewa pun mengakhiri wawancara itu.
"Analogi mas Dewa mempunyai makna yang dalam," kata Widi kemudian mematikan flash recorder-nya. Setelah itu menyiapkan kamera untuk mengambil gambar Dewa.
"Sendiri atau?"
"Terserah Mas Dewa."
"Kalau begitu berdua."
Maka Dewa merengkuh Lorna. Rengkuhan Dewa menyandarkan tubuh Lorna rebah ke dadanya.
"Sori bukan maksudku memamerkannya."
"Ha ha ha ha!" Widi ketawa terbahak-bahak.
"Sebab yang ini yang membuat hidup yang melukisnya. Cantik nggak?"
"Cantik banget, Mas!" kata Widi.
"Pas!" Komang menambahkan.
"Ah, komentar kalian kayak iklan saja!" kelakar Dewa.
Lorna menyentil ujung hidung Dewa dengan ujung telunjuknya.
Widi kemudian mengambil gambar itu.
"Terima kasih. Seperti yang diberitahu, kan hari ini Mas Dewa beserta keluarga mau pergi ke utara. Ke Bedugul atau Kintamani?"
"Kalau waktunya cukup akan kedua tempat itu," jawab Dewa.
Dewa memberitahu Lorna untuk membagikan beberapa butir buah durian yang masih ada dalam mobil kepada Komang dan Widi.
"Welah, terima kasih!" kata Widi.
"Kalau waktu kita banyak tadi rencananya bisa dimakan bareng. Main ke Malang kalau sempat. Bisa sama Komang," jawab Dewa.
Komang memindahkan sebagian buah durian itu ke mobil Widi.
'Ya, Mas. Kapan-kapan. Supaya bisa mengenal Mas Dewa lebih dekat."
"Selamat siang, Widi. Selamat jalan!" kata Lorna sambil melambaikan tangan ketika Widi meninggalkan halaman penginapan.
"Biarkan saja sisanya di mobil. Bisa kita makan nanti di perjalanan," kata Dewa kepada Komang saat hendak menurunkan buah durian dari dalam mobil.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Komang.
"Sebentar! Kita harus mengambil perlengkapan kamera Lorna. Sekalian memberitahu Papi dan Mami. Katanya kamu mau mengajak Nengah?" kata Dewa.
"Nanti sekalian jalan, kita bisa menjemputnya."
"Bensin sudah kupenuhi tadi," Dewa memberitahukan.
Lorna pergi memberitahukan agar Papi dan Mami siap berangkat. Dewa menyusul untuk membantu membawakan tas kameranya.
Udara berlangit biru cerah sekali tanpa awan. Angin bertiup menciptakan udara segar untuk bernafas. Saat-saat yang baik melakukan perjalanan wisata ke Bedugul dan Kintamani.