45. Cappuccino

Jam empat pagi merupakan rutinitasnya bangun. Kali ini Lorna sudah bangun mendahuluinya, karena mendapati saat terbangun tak ada di sampingnya. Dewa belum tahu kebiasaan tidurnya, tapi itu tak dipersoalkan. Hanya saja semalam gadis itu tidur bersamanya, dan apa yang dilakukan dengan bangun selarut ini. Ataukah berpindah tidur ke kamarnya sendiri? Saat dicek, tidak melihat keberadaannya di kamar.
Namun kemudian menemukannya berada di ruang tengah, berkutat komputer tablet di pangkuannya. Sibuk online.
Dewa mengendap kembali ke dalam kamar karena tidak ingin mengganggu. Memutuskan mandi terlebih dahulu sebelum menemuinya.
Suasana di luar masih sepi. Hanya kokok ayam jantan sesekali terdengar. Apakah itu pertanda mentari mulai terbit di ufuk timur? Yang jelas udara terasa dingin dan suasana masih gelap. Angin masih belum bertiup.
"Selamat pagi!"
Dewa menyapa setelah merapikan diri dan menemuinya di ruang tengah.
Lorna terkejut.
"Selamat pagi, Dewa!"
"Jam berapa bangun?"
"Setengah jam yang lalu."
"Kenapa tak bangunkan aku sekalian?"
"Tadinya ingin begitu."
"Lalu?"
"Ya, karena memang begitu mauku!"
Dewa tertawa kecil.
"Lorna tak ingin mengusik tidurmu," kata Lorna memberikan alasan kenapa tak membangunkannya,"Kubuatkan minum!"
"Terima kasih!"
Dewa mengecup pipinya. Tetapi Lorna memberikan bibirnya. Bibir yang semalam dipilinnya. Dia tahu Dewa tak suka kopi hitam. Saat masih sering belajar bersama di malam hari. Semua teman yang laki-laki meminta kopi, hanya Dewa yang tak meminum miliknya. Saat digantikan dengan cappuccino Dewa baru mau meminumnya. Hal itu berlangsung beberapa kali dalam pengamatannya.Teh pun Dewa mau bila dicampuri air jeruk.
"Tumben bangun pagi. Di luar masih gelap."
"Entahlah!"
"Atau belum terbiasa tidur bersama?"
Lorna menatapnya sayu. Pertanyaan itu mengganggunya. Tapi tak bisa menyalahkan Dewa. Bisa jadi benar lantaran Dewa tak tahu hal yang dirasakannya. Sesungguhnya masih ingin tidur lama dalam pelukkannya. Sikapnya demi menghormati Dewa dengan membatasi diri tak terlampau bersikap bebas terhadapnya.
"Aku tak bermaksud mengganggu kesibukkanmu. Hanya menemani duduk."
Lorna tersenyum.
"Thank you! Duduk di dekatku, De."
Lorna memberi ruang dengan menggeser posisinya.
"Aku di sini saja!"
Dewa membawa sebuah buku. Sebelum mulai membuka. Cappuccino yang disiapkan Lorna diminum terlebih dulu. Ada kue fla dan brownies. Lorna ingin tahu buku apa yang dibaca Dewa. Sebuah kamus bahasa Jawa.
"Ada email dari staff pak Robi. Menanyakan, apakah Lorna masih di Bali atau sudah kembali ke Jakarta?" kata Lorna.
Dewa memandangnya.
"Tentang apa?"
"Ada berkas buat Lorna. Kalau sudah di Jakarta berkas akan dikirim. Tapi kalau masih berada di Bali akan diantar. Tetapi ke mana?"
"Ditelpon saja. Aku yang akan mengambilnya. Kalau diantar, barangkali tidak akan bertemu kita, sebab siang ini kita berangkat ke Bedugul dan Kintamani?"
Lorna bangkit dari tempatnya. Pindah ke samping Dewa.
"Bolehkah Lorna ikut mengambil berkas itu?"
Dewa memandang matanya.
"Biarlah kuambil sendiri. Waktumu bisa untuk kesibukanmu yang lain."
Lorna memahami maksud Dewa. Dirinya memang penuh kesibukkan urusan pekerjaan. Lalu ditutupnya komputer tabletnya. Dalam bersitan pikirannya dirinya harus mengambil sikap untuk mengabaikan kesibukkannya dari pada mengabaikan Dewa yang kini ada di sampingnya.
Dewa membuka bukunya.
"Dewa lapar?" Lorna bertanya.
Dewa tak menjawab. Mengangkat sisa kue fla di tangannya.
Lorna merapatkan duduknya ke Dewa. Membuka ponsel.
"Mommy, bisa minta dipesankan mie goreng satu. Terima kasih, Mom."
"Mami, sudah bangun?"
Lorna mengangguk.
"Mereka bangun lebih dahulu. Tadi Lorna berbincang di bawah."
"Kalau begitu kita ke bawah."
Lorna mencegahnya.
"Jangan sia-siakan berkumpul dengan Papi dan Mami."
"Mereka yang menyuruh Lorna memberi perhatian pada Dewa."
"Wow!"
"Kenapa?"
"Dewa merasa tersanjung."
"Karena kita sudah lama tak bertemu."
Tapi Lorna tidak ingin memberitahukan, bahwa saat bangun tadi, Mami mendatangi kamarnya, dan memergokinya keluar dari kamar Dewa. Lorna beralasan ketiduran di kamar Dewa. Tapi Mami mengerti. Masalahnya, apa jadinya bila Dewa tahu bahwa Mami memergokinya tidur di kamarnya.
Lorna tersenyum sendiri.
Dewa memperhatikan.
"Kenapa?" tanya Dewa melihat Lorna tersenyum sendiri.
"Ah, nggak."
"Ada yang salah denganku?"
Lorna menggeleng. Merangkul leher Dewa. Merapatkan wajahnya ke pipi Dewa.
"Lorna merasa geli. Minta mie buat Dewa. Bukan bertanya dulu apa yang dimaui Dewa. Mie goreng atau kuah? Tapi Lorna sudah putusin sendiri," kata Lorna berkilah.
Dewa tersenyum.
Padahal Lorna kuatir Dewa tahu dirinya telah dipergoki Mami.
"Memang mauku mie goreng," kata Dewa.
"Jadi tak salah ya?"
Tidak lama. Mami mengantar permintaan Lorna.
"Thank you, Mom!"
"Selamat pagi, Mami!" sapa Dewa.
"Selamat pagi, Dewa!"
"Papi sudah bangun?"
"Sudah. Lagi jalan-jalan memutari taman. Sedang menghirup udara pagi Bali."
Lorna memegang mangkuk mie goreng .
"Bagi ya, De?"
"Kenapa nggak minta dua? Mami minta dibuatkan lagi, ya?" tanya Mami.
"Nggak usah, Mom! Ini buat berdua!"
Nyonya Ivana tersenyum melihat kemanjaan anak gadisnya yang tak lagi sebagai gadis kecil. Dia tahu bahwa semalam keduanya tidur bersama. Melihat keakraban itu. Nyonya Ivana tak ingin keberadaannya membuat keduanya tak leluasa.
"Mami turun ya?"
"Di sini saja, Mom!" pinta Lorna.
"Papimu akan mencari Mami nanti."
"Oke, Mommy!"
Lorna mulai menyuapkan mie ke mulut Dewa. Dewa masih memegang buku.
"Kamus apa?" tanya Lorna
"Kosa kata bahasa Jawa yang disusun orang Belanda," jawab Dewa.
Lorna tersenyum. Dewa meletakkan buku tersebut. Lalu membelai rambut Lorna. Menyibakkannya ke belakang telinganya. Mata indah itu menatapnya.
"Besok Papi dan Mami pulang ke Australia. Apakah tiketnya sudah disiapkan?"
"Sudah! Sekalian waktu pesan tiket ke Bali."
"Ya, sudah! Penerbangan jam berapa?"
"Sepertinya sore hari!"
Dewa mengusap-usap pipi Lorna yang terasa lembut.
"Sekedar memastikan semuanya beres. Bagaimana perasaanmu bila mereka kembali ke Australia?"
"Kenapa? Kan sudah biasa. Apalagi kini ada Dewa. Membuat Lorna sudah tak merasa sendiri lagi."
Lorna menyuapi lagi Dewa.
"Aku yang akan menjagamu."
"Terima kasih, De. Sejak dulu kamu selalu menjagaku."
"Setelah itu apa rencana kita?"
Lorna mengedikkan bahu.
"Terserah Dewa. Yang pasti Lorna kembali dulu ke Jakarta."
Dewa mengelus dagu Lorna yang oval dengan punggung jarinya.
"Dewa akan mengunjungimu."
Lorna mengangguk.
"Terima kasih, De."
"Dewa juga ada urusan di Jakarta. Ada undangan pameran di sebuah gallery di Jakarta Selatan. Di mana Lorna tinggal?"
"Rawamangun. Bersebelahan dengan rumah tante. Menginaplah di rumah ya?."
Dewa menatapnya teduh. Tatapannya lama. Kemudian mengambil piring dari tangan Lorna dan meletakkannya ke atas meja. Lalu memandang kembali wajah gadis itu seperti tak ada bosannya.
"Menginap di rumah bila ke Jakarta, ya?" tanya Lorna kembali.
"Dewa usahakan."
"Jangan usahakan. Harus!"
Dewa tersenyum. Memandang teduh wajah itu.
"Kamu memang cantik sekali."
Lorna membalas senyum Dewa. Membersihkan bibir dan sekeliling mulut Dewa dengan selembar tisu.
"Dewa baru tahu kalau Lorna cantik?" tanya Lorna menggoda.
Tapi Dewa tak menjawab. Hanya mengelus pipi-pipi Lorna sesaat. Terasa lembut dan halus.
"Dewa juga."
"Juga apa?"
"Handsome!"
"Ah!"
Lorna menggeleng.
"Benar! Lorna mengenal Dewa luar dalam. Itu alasan Lorna suka Dewa."
"Suka?"
"Cinta, De! Cinta!"
Dewa tersenyum.
Lorna memegang jemari Dewa. Jemari Dewa memegang jemari Lorna. Jemari keduanya saling berkutat.
"Apakah Lorna sudah yakin mau hidup bersama Dewa?"
Lorna mengangguk tanpa ragu.
"Dengan kondisi apapun yang ada pada diri Dewa?"
Lorna mengangguk tanpa ragu.
"Aku mencintaimu, De. Sepenuh hati. Segenap..."
Dewa memadukan keningnya ke kening Lorna. Lalu saling memadukan ujung hidung. Menggesek-gesekkannya. Lorna melingkarkan lengan tangannya ke leher Dewa. Dewa melingkarkan tangannya ke pinggang Lorna.
"Apakah sikap Lorna padamu berlebihan, De?"
Dewa menggeleng.
"Semua ini akibat perpisahan lama dan tiba-tiba bertemu kembali..."
Lorna memeluk. Dewa membalas pelukannya.
"Tidak keberatan menunggu di sini, bila siang nanti kuambilkan berkasmu? Aku akan cepat kembali. Karena nanti akan ada tamu. Waktunya sudah kutentukan."
"Siapa, De?"
"Teman Komang. Seorang reporter. Ingin bicara ngalor-ngidul saja."
"Maksudmu, wawancara?"
"Komang yang punya acara. Aku hanya tidak ingin mengecewakan."
"Baiklah, Lorna akan menunggu di sini."
Dewa mencium pelupuk mata Lorna. Lorna pun terpejam. Betapa bahagia dirinya.
"Tapi cepat ya?"
Dewa mengangguk.
"Jangan biarkan Lorna menunggu lama."
Dewa merengkuhnya. Lorna memang tak ingin berpisah sekalipun berlangsung semenit saja.
"Tak kubiarkan."