Lebih dari sejam Dewa berendam di bath up memberinya relaksasi yang nyaris membuatnya tertidur. Kegiatan di luar menggiring orangtua Lorna berkeliling hingga larut malam cukup memberi kepenatan badan, yang kini berusaha diusirnya dengan berendam air hangat.
Sementara dalam kamar mandi lain, Lorna pun melakukan hal sama. Berendam di air penuh buih sabun. Permukaan buih nyaris menyembunyikan wajahnya. Kepalanya bersandar rilek ke tepian bak beralas handuk. Rambutnya yang coklat basah kuyup diselimuti shampoo. Pelupuk matanya terpejam dengan pupil bergerak-gerak di bawah pelupuk yang terkatup, mencerminkan jalan pikirannya menerawang tak menentu.
Semua bayangan peristiwa yang pernah dilalui melintas silih berganti. Seperti slide sebuah film. Memaparkan semua peristiwa yang tertangkap. Mulai dari pantai saat membicarakan pernikahan hingga di dalam mobil usai presentasi, saat Dewa mengutarakan janji akan menikahinya. Dalam peristiwa lain, saat berganti pakaian, Dewa mendapatinya tanpa busana lengkap, dan sengaja membiarkan dirinya setengah telanjang untuk dilihatnya, dengan alasan tak ada yang perlu dibatasi karena merasa dirinya sudah milik Dewa, biarlah Dewa menyaksikan kemolekannya. Lalu dalam peristiwa lain, saat berada di cafe milik Made, mengingatkan akan rumah Dewa yang membangkitkan kenangan pada ibunda Dewa.
Semua peristiwa tersebut melintas dengan cepat, yang tiba-tiba menimbulkan perasaan bersalah. Sikapnya selama ini seakan menjadi berlebihan. Ucapan Dewa seperti mengingatkan bahwa dirinya sebagai wanita agar senantiasa bisa menjaga diri. Alangkah tak sopan bersikap seperti itu, sekalipun Dewa adalah lelaki yang dipilihnya akan menjadi pendamping hidupnya. Tidak selayaknya membiarkan tubuhnya telanjang dan seronok di hadapannya. Tidak semestinya bersikap berlebihan seperti itu, apalagi sampai mengatakan, bahwa Dewa boleh melakukan apa pun atas dirinya, sekali pun sudah berjanji akan menikahinya.
Ah, vulgar! Vulgar sekali! Seharusnya dirinya merasa malu dengan ucapannya sendiri. Seharusnya menjadi sebuah pukulan saat Dewa menolak dengan halus saat mengatakan, bahwa hal itu akan dilakukannya bila sudah resmi menikahinya. Ah, betapa memalukan. Memalukan sekali!
Pikiran-pikiran itu menciptakan kegelisahan yang membuatnya tersadar dari lamunan. Lorna menghela nafas untuk meredakan kegelisahan yang kini melanda hatinya. Lorna segera membilas badannya dari air sabun. Lalu mengeringkannya dengan handuk sebelum mengenakan daster.
Saat berada di dalam kamar. Saat duduk di sisi tempat tidur sembari menyisir. Saat mengeringkan rambut dengan hair dryer. Pikirannya masih berkutat pada lamunan yang baru saja melanda pikirannya. Rasa gelisah yang timbul, akibat apa yang dipikirkannya, menciptakan ketidaknyamanan yang menjadi-jadi.
Tiba-tiba dirinya merasa harus meminta maaf kepada Dewa. Bila tidak, takut Dewa akan berpendapat dan berkesan memandang rendah dirinya sebagai wanita yang mudah mempertontonkan diri, meski bukan itu yang dimaksudkan atas sikapnya kepada Dewa.
Oh, Dewa. Maafkan Lorna. Maksud Lorna bukan seperti itu. Sikap itu hanya untuk menunjukkan perasaan cinta Lorna padamu tiada batas. Lorna berharap, kamu tak menilaiku berlebihan. Maafkan Lorna, Dewa. Maafkanlah aku.
Keluhan hatinya memaksanya harus menemui Dewa untuk meminta maaf agar tidak timbul salah mengerti.
Malam telah larut. Suara burung celepuk di pohon kelapa mengisi keheningan malam. Bulan cerah menerangi jagad raya. Bercak-bercak awan tipis seakan berada di balik bulan, membuat bulan seakan dekat sekali, sejangkauan tangan. Suasana malam demikian sunyi. Lamat-lamat di kejauhan suara gamelan Bali menambah sahdunya malam.
Sejak pulang dari jalan-jalan. Tak melihat Dewa sesaat saja, terasa berlangsung seperti seribu tahun. Padahal letak kamar mereka saling berhadapan. Lorna berharap Dewa datang menjenguknya di kamar, atau sebaliknya dirinya yang akan pergi ke kamarnya.
Sebelum mandi keduanya sudah saling berpamitan dan tak ada kesepakatan untuk bertemu kembali setelah itu. Sehingga saat mandi berlangsung waktu terasa berjalan lambat. Meski begitu Lorna tidak tahan berpisah walau untuk saat seperti itu.
Untuk meredakan kerisauan. Dihidupkannya komputer tablet untuk mengusir kegalauannya. Memindahkan data dari kamera untuk mengosongkan memory-nya. Men-charge baterai kamera dan camcorder agar siap digunakan kembali sewaktu-waktu.
Diaktifkannya aplikasi winamp untuk mengisi keheningan kamar dengan alunan musik instrumentalia.
Lorna merebahkan punggung ke atas tempat tidur dengan kaki masih menjuntai di lantai. Berharap Dewa datang menjenguknya. Namun setelah beberapa lagu berlalu, Dewa tak juga datang mengunjungi kamarnya. Sementara malam kian larut membuatnya semakin tidak tahan dengan siksaan kegundahannya.
Dewa sendiri pada saat yang sama merebahkan punggung ke pembaringan. Benaknya juga dipenuhi pertanyaan. Kenapa Lorna tak juga menjenguknya? Biasanya gadis itu tak bisa jauh dari sampingnya, sekedar memberinya pelukkan, memberinya kemanjaan, mengucapkan kata cinta, serta berharap bisa saling memilin bibir.
Tetapi ada keraguan untuk mendatanginya, barangkali gadis itu butuh kesendirian, atau ingin beristirahat tanpa ada yang mengganggu. Kelelahan setelah seharian berada di luar, barangkali akan membuatnya langsung berangkat tidur setelah mandi. Ataukah dia menyibukan diri dengan urusannya?
Meski berharap gadis itu mendatangi kamarnya untuk mengucapkan selamat malam sebelum berangkat tidur, harapan itu dikesampingkan karena gadis itu harus dijaga privasinya.
Sembari memejamkan mata, Dewa menyangga belakang kepala dengan tangan. Pikirannya mulai menepis keinginan melongoknya di kamar. Walau sudah terbiasa bergumul kesepian, berkumpul bersama gadis itu situasinya terasa berbeda, seperti telah membalikkan keadaan yang kini justru menjadi kesepian tanpa kehadirannya, terasa hampa.
Dewa tergagap saat membuka mata. Betapa tidak. Wajah gadis yang ada dalam pikirannya, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Menatapnya anggun dengan kornea biru berkilatan berkaca-kaca.
"Aduh, ada apalagi?" tanyanya dalam hati.
Sejak berkumpul kembali. Bola mata gadis itu kerap basah berkaca-kaca. Gadis itu mudah sekali merasa sedih meski tak sepenuhnya. Matanya berkaca-kaca terkadang juga akibat perasaan bahagia. Tetapi kali ini tak tahu apa yang menyebabkan bola matanya berkaca-kaca.
Dewa segera bangkit menghadapinya. Dan yang membuatnya lebih tak mengerti, saat Lorna tiba-tiba bersimpuh di lututnya, membenamkan wajah di pangkuannya, serta mencium punggung tangannya.
Membuat Dewa bingung. Bingung sekali.
"Maafkan Lorna!"
"Kenapa?" tanya Dewa tak mengerti.
"Lorna minta dimaafkan."
"Minta maaf untuk apa?"
"Atas sikap Lorna selama ini."
Dewa menggelengkan kepala.
"Ada apa dengan sikapmu? Bagiku tidak ada yang salah!"
Lorna mulai terisak di atas pangkuannya
"Kenapa? Ada apa? Janganlah begitu, Lorna! Bangunlah! Duduklah di sampingku. Tempatmu di sebelahku, bukan di kakiku. Jelaskan ada apa? Kenapa aku harus memberimu maaf? Aku tak mengerti. Coba jelaskan."
Lorna menggeleng, menengadah, memperlihatkan bola matanya yang basah berurai airmata.
Dewa mengingsut bawah matanya. Menyeka airmatanya dengan jarinya.
"Lorna tak bermaksud tidak baik dengan membiarkan diri telanjang di hadapanmu. Lorna baru menyadari bahwa itu tidak sopan. Maafkanlah Lorna, ya De?"
"Ah!"
Dewa mengecup dahi Lorna.
"Bangunlah! Dewa tak menilaimu buruk. Tak terbersit dalam pikiranku bahwa itu menurutku buruk. Sudahlah. Bangunlah, Lorna! Bangunlah! Itu bukan salahanmu. Tapi salahku yang masuk ke dalam kamarmu tanpa mengetuk terlebih dahulu!"
Karena Lorna tetap berlutut di kakinya, membuatnya menunduk sambil mencium rambutnya, berbisik.
"Lupakanlah, sayang! Apa yang kamu lakukan. Aku tahu. Kamu ingin menunjukkan cinta kepadaku. Dewa tahu itu. Bangunlah, Na! Bangunlah, sayangku! Beri aku pelukan!"
Lorna berusaha menahan isak. Telinganya suka saat Dewa memanggilnya dengan kata sayang.
"Lorna melakukannya hanya terhadap Dewa. Lorna tidak pernah memperlihatkan kepada orang lain selain padamu."
"Aku tahu, Na! Dewa tahu!" bisik Dewa untuk meyakinkan,"Dewa tak punya pikiran apalagi merendahkan sikapmu. Seharusnya aku yang meminta maaf. Aku yang seharusnya merasa bersalah..."
Dewa menarik tubuh Lorna dari lantai. Kemudian memeluknya. Mengingsut bawah matanya yang masih basah. Kemudian mengajak duduk berdampingan.
"Maafkanlah Lorna. Maksud Lorna, Dewa boleh melakukan apa pun terhadap diri Lorna, karena perasaan cinta Lorna yang tulus."
"Aku tahu, Na!" potong Dewa untuk meyakinkan bahwa dirinya memahami apa yang dilakukan Lorna adalah spontan.
"Lakukanlah apa yang membuatmu bisa menyenangkan kita berdua. Ada saatnya kita melakukannya nanti, dalam suasana yang baik, di tempat yang baik," jawab Dewa berusaha menenangkan perasaannya.
"Lorna berharap Dewa tak tersinggung!"
Dewa menggeleng.
"Dewa tak pernah menganggap sikapmu tak baik."
"Maafkanlah aku ya, De?"
Dewa tersenyum.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang salah."
"Kamu baik sekali, De."
"Aku memang baik!" kata Dewa berusaha menggoda.
Lorna tersenyum.
"Kamu nakal!"
"Ya, aku memang nakal, selalu mencuri kemolekan tubuhmu."
"Cintailah aku!"
"Sejak dulu, Lorna!"
"Aku mencintaimu, De!"
Dew mengangguk.
"Aku tahu sejak dulu. Karena itu aku biarkan apa yang kamu lakukan, agar dirimu merasa nyaman bersamaku. Hari sudah larut, sebaiknya kita tidur. Kamu tentu sudah lelah setelah seharian berada di luar. Tidurlah bersamaku."
Bola mata Lorna menyalang. Dewa mengangguk untuk meyakinkan ajakannya.
"Tidurlah bersamaku kalau kamu tak keberatan?"
Lorna tersenyum, wajahnya mencerminkan bahwa dia tidak keberatan.
"Jangan pernah merasa bersalah. Dewa juga tak mau Lorna kehilangan kemanjaan."
"Benarkah?"
"Sejujurnya aku ingin tidur bersamamu. Ingin merengut kesucianmu. Tapi tak akan kulakukan. Karena, apakah dengan begitu akan meredakan gelora cintaku padamu? Ataukah dengan membiarkan kesucianmu kurengut, apakah itu menjadi sebuah jawaban untuk membuktikan ketulusan cintamu? Aku lebih suka untuk memetiknya kelak dalam suasana tanpa beban."
Lorna lantas melingkarkan tangannya ke leher Dewa dan memeluknya erat.
"Terima kasih. Lorna tak keliru memilihmu sejak pertama bertemu."
Dewa tersenyum.
"Kenapa?"
"Kamu pria yang baik."
"Apakah tetap kamu anggap pria baik bila mengajakmu tidur?"
Lorna mengangguk.
"Sekalipun Dewa rengut kesucian Lorna malam ini. Dewa tetap Lorna anggap lelaki yang baik."
Dewa tersenyum.
"Nanti kurengut sungguhan," bisik Dewa menggoda.
"Rengutlah..." ucap Lorna lirih terbata-bata tak kalah menggoda.
Dewa memeluk erat sejenak. Lalu berbisik.
"Kalau sekedar melihat tubuhmu. Tak perlu mengambil kesimpulan salah dan benar. Kita sudah dewasa. Apalagi kita bersepakat membangun bahtera rumahtangga. Memperlihatkan keindahan tubuhmu padaku, tak menghilangkan harga dirimu dariku. Mari kita tidur."
Dewa melepaskan pelukannya. Kemudian menutup pintu kamar. Mengangkat tubuh Lorna ke tengah pembaringan.
Lorna tertawa manja, senang saat tubuhnya diangkat Dewa.
Dewa berbaring di sebelahnya. Menutupi tubuh keduanya dengan selimut. Ditariknya tubuh Lorna agar bisa dipeluk. Lorna balas memeluk. Dewa mendekapnya, masih merasakan sisa isaknya.
Dewa menatap langit-langit kamar. Lorna memperhatikan wajahnya dari samping lalu memanggil namanya dengan suara perlahan.
"De..."
"Ya..."
"Kamu lelaki yang baik."
"Terima kasih."
Hening.
Lorna tak tahu kesepakatan Dewa dengan Maminya, bahwa dia kini yang akan menjaga Lorna.
"Jangan berpikiran seperti itu lagi. Aku tak pernah berprasangka buruk terhadapmu. Sekali menjadi milikku, selamanya tetap milikku," kata Dewa dengan suara perlahan. Masih menatap langit-langit kamar.
Lorna mendengar seksama dengan masih menatapnya. Meresapi ucapannya.
"Wajahmu yang cantik. Tubuhmu yang indah. Kulitmu yang halus. Aku sudah cukup puas memilikimu. Aku ingin menciummu bila aku ingin, tapi itu untuk cinta. Aku tak ingin menyentuhmu semena-mena. Apalagi merengut kesucianmu. Bagiku sudah cukup menjadi pemiliknya. Ada saatnya nanti. Ada saatnya kita melakukannya tanpa harus memaksakan diri."
Dewa berpaling. Menatap wajah Lorna. Mengecup ujung hidung Lorna. Lorna memejam membiarkan helaan nafas Dewa menerpa hidungnya..
"Sikapmu sudah benar. Aku senang kamu bisa mengutarakannya. Sehingga tidak memendam yang tentu akan membuat perasaanmu tidak nyaman terhadapku."
"Cintailah aku, De."
"Aku mencintaimu sebelum kamu menyadarinya."
"Aku takut kehilangan cintamu."
"Perasaan cintaku padamu tak pernah hilang. Aku pahami setelah perkawinanku dengan Nirmala, tentu telah membuatmu berpikir cintaku padamu seakan terengut."
"Oh, Dewa."
Lorna merengkuh tubuh Dewa erat. Tak ingin Dewa mengungkit masalah Nirmala. Dirinya belum siap mendengarnya. Dia masih ingin menikmati kebersamaan setelah bertahun-tahun tak bertemu.
"Selamat malam, Dewa!"
"Selamat malam, Lorna!"
Dewa mengecup bibirnya.
"Selamat tidur, Dewa!"
"Selamat tidur, Lorna!"
Dewa mencium kening Lorna. Mengingsut matanya yang basah dengan telunjuknya.
"Aku mencintaimu, De!"
"Aku juga mencintaimu, Na!"
"Lorna tak akan bosan mengucapkan kata cinta padamu."
"Semakin sering kamu bilang cinta, semakin aku terbiasa. Akan terasa janggal bila kemudian ucapan itu menghilang. Dewa tak pernah bosan mendengarnya."
Lalu hening sesaat.
"De..." panggil Lorna dengan suara yang nyaris berbisik.
Dewa berpaling menatapnya. Keduanya kini saling berhadapan dan menatap tanpa berkedip.
"Aku mencintaimu..." bisik Lorna.
Lorna memejamkan mata saat Dewa menjawabnya dengan memilin sesaat bibirnya dengan lembut. Lalu melepaskan pilinannya. Dan membiarkan kedua bibir basah setengah terbuka itu saling menempel.
Dewa memeluknya hangat. Lorna merasa damai. Dan Dewa tak lagi merasa sepi. Dia memang membutuhkan kehadiran gadis itu. Gadis yang tak pernah jauh dari lubuk hatinya.
Mata Lorna telah terpejam. Nafasnyapun terhela teratur.