2. Kelas Mereka Dulu.
Rahma mengedipkan sebelah matanya.
“Pasti ketemu nanti...”
“Rah! Jangan mulai lagi.”
Keduanya keluar dari kendaraan. Lorna menyandang tas besar yang berisi kamera. Rahma mengunci pintu kendaraan.
Mereka menyayangkan tak memiliki foto gedung sekolahnya di masa dulu. Masa-masa saat gedung itu jadi saksi kegiatan mereka setiap hari. Bila memiliknya, menjadi tahu bagian mana yang berubah. Setiap perubahan tentu akan menghilangkan bagian suatu peristiwa yang pernah melekat. Ibarat sebuah fragmen yang menghilang dari sebuah cerita yang membuatnya tidak lengkap lagi.
Penyesalan memang selalu hadir terlambat. Sesuatu diperlukan bila saat dibutuhkan. Seperti bangunan sekolah, tak pernah terpikirkan untuk mengambil fotonya ketika itu. Lantas, apakah saat itu tak ada yang punya pikiran foto bareng satu alumni sebelum mereka meninggalkan tempat itu?
Kehidupan pun terus berlanjut. Selepas kelulusan, mereka tersebar ke segala penjuru menggapai kehidupan. Yang punya biaya, sudah tentu bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Yang tak beruntung, lebih memilih mencari pekerjaan. Pahitnya, lebih banyak yang menganggur lantaran belum beruntung.
“Iya, kenapa tak ada inisiatif foto bareng?”
“Menyulitkan kita mengingat kembali wajah-teman-teman.”
“Tapi dia tak sekelas dengan kita, Na.”
“Nah, mulai lagi!”
“Tapi kamu punya foto saat liburan dan kemping bersama.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya, nggak kenapa-kenapa. Sekedar mengingatkan.”
Mata Lorna membeliak menatapnya. Sengit.
Ada bagian-bagian yang membentuk kenangan itu kemudian hilang. Seperti hilangnya pohon bougenville di pelataran sekolah.
Kali ini Lorna tak ingin hal itu berulang. Tidak ingin menyia-nyiakan keberadaannya di tempat itu. Direkamnya suasana sekolah dengan handycam-nya. Tak ada yang terlewatkan. Terutama di sekitar lapangan olahraga bola voli, sebuah tempat yang banyak meninggalkan kenangan yang pernah dilaluinya, sebuah tempat yang kemudian berubah menjadi bayang-bayang yang kerap muncul dalam mimpinya, sebuah tempat yang kemudian menyisakan seribu lara yang berkepanjangan hingga kini. Ah!
Rahma hanya mengawasi Lorna yang merekam suasana di luar sekolah.
“Bagaimana bougenvillenya?” tanya Rahma.
“Sudah tamat!” ujar Lorna sedikit ketus.
“Ya tahu! Maksudku tempatnya tumbuh apa sudah kamu ambil gambarnya?”
“Apa mau dikata, sudah tamat!”
“Tapi kenangannya tak tamat kan?”
“Kenangan siapa?”
“Kenanganmu?”
“Rahma!”
Lorna kian sengit digoda terus.
“Yuk, langsung ke atas?”
Rahma mendekap kembali pipi Lorna. Mencium pipinya dengan gemas.
“Aku sungguh tak mengerti kalau ada yang masih menyia-nyiakan gadis cantik sepertimu.”
“Sudahlah, Rah!”
“Aku jadi ikut kesal.”
“Katanya mau ke atas?”
“Yuk, masih kamu simpan bougenville itu?”
"Rahma!"
"Kenapa? Aku kan cuma tanya? Kan kamu sendiri yang bilang akan kamu simpan terus sampai yang menitipinya teringat dan kamu harus pulangkan kembali."
"Sudahlah itu masa lalu!"
Rahma tertawa.
"Jangan bilang begitu. Tak baik membohongi kata hati sendiri!"
Lorna berhenti melangkah. Sengit.
"Aku pulang lagi lho!"
Rahma lantas merajuk memeluk, mencium pipinya gemas.
"Aku tahu perasaanmu tak seperti ini."
"Sudahlah Rah! Biarlah semua menjadi masa lalu."
"Aku berani bertaruh, masa lalumu adalah masa depanmu."
"Kamu sekarang pandai berdalih rupanya."
Rahma tertawa.
Hari minggu suasana sekolah lengang. Tak ada aktifitas belajar. Walau ada sekelompok pelajar sedang bermain basket. Jeruji besi yang menutup ke koridor lantai atas tak terkunci. Menandakan ruangan sedang dibersihkan.
Lorna dan Rahma masuk melalui koridor yang terhubung tangga ke lantai atas. Menurut Rahma. Grace dan Dini sudah menunggu di atas. Rahma sudah menelpon mereka sebelumnya untuk memastikan sebelum bertemu Lorna.
Kelas mereka letaknya berada di ruang pertama dekat pintu tangga. Bersebelahan dinding lorong tangga. Dekat mulut tangga, tidak berhadapan. Ada ruang tempat penyimpanan peralatan kesenian, seperti alat-alat lukis siswa, mesin stensil yang dulu digunakan mencetak majalah sekolah, juga disimpan di situ setelah dipakai.
Tangga ke lantai atas terbuat dari kayu jati, keadaannya masih baik, hanya warnanya kusam. Seharusnya dipelitur biar nampak segar. Barangkali lantaran setiap hari selalu dilewati, tidak ada kesempatan memelitur. Tangga itu dulu merupakan satu-satunya penghubung ke lantai atas. Tapi kini pada ujung selasar yang lain sudah dibuat tangga tembus di depan ruang perpustakaan yang berada di sudut bangunan gedung sekolah.
Usia bangunan sekolah sudah tua, namun masih kokoh, berdiri sejak jaman Belanda. Pernah dijadikan sebagai markas tentara Jepang ketika bangsa itu melakukan agresi ke negeri ini.
Rahma sudah berdiri di anak tangga teratas. Menunggu Lorna yang masih di lantai bawah, sibuk merekam setiap sudut gedung yang menurutnya menarik untuk diambil gambarnya.
Dilihatnyai gadis itu mulai meniti anak tangga, melangkah perlahan, merekam situasi tangga. Lalu layar LCD nya menangkap bayangan Rahma di tangga teratas. Sadar lensa kamera diarahkan padanya, Rahma berlagak bak peragawati, tapi kemudian menghindar malu sendiri.
“Cut!” seraya menggerakan tangan seperti memotong lehernya.
Lorna tertawa. Suaranya renyah. Baru sekarang dia mendengar gadis bermata biru itu tertawa, walau dalam tawa itu terpendam seribu nestapa.
Lorna menyudahi rekaman, menutup panel display handycam. Saat langkahnya di akhir anak tangga teratas disambut Rahma dengan menarik pergelangan tangannya, keduanya bergandengan tangan menuju kelas mereka dulu.
“Kamu duluan!” kata Rahma.
“Kenapa?” Lorna ragu.
“Sudahlah kamu duluan!”
Pintu bekas kelas mereka berlapis dua. Berpelitur coklat, masih kokoh, lapisan luar tebal berkisi-kisi dari atas sampai bawah. Daun pintu lapisan bagian dalam berhias kaca. Daun pintu terbelah tengah, model kupu-kupu yang bisa dibuka separuh. Tinggi pintu sekitar tiga meter, ciri dari pintu bangunan Belanda. Pintu kelas letaknya dekat mulut tangga, di balik tikungan lorong teras atas yang berpagar dinding sebatas dada.
Lorna berdiri di samping ambang pintu, bersiap masuk ke dalam kelas, saat dirinya sudah berdiri di ambang pintu, pada saat itu pula terdengar lengkingan jeritan Grace dan Dini yang sudah menunggu sejak tadi memanggil namanya.
“Haiiiii Lornaaaaaa!”
Grace dan Dini berteriak bersamaan.
“Ketemu lagi!” Dini berteriak kegirangan.
Keduanya menghambur merengkuh Lorna, memeluk dan menciumi pipinya, melepaskan kerinduan setelah sekian lama belum pernah bertemu lagi.
Rahma mengawasi mereka dari ambang pintu. Grace dan Dini menatap gemas wajah Lorna, wajah yang kian dewasa yang kian cantik, kian memikat, terutama matanya, warnanya seperti laut. Biru!
Berbaur kembali seperti itu, menciptakan suasana ribut bukan main.
Rahma, Grace dan Dini tak berhenti berbagi cerita. Dengan mata berkaca-kaca semua larut oleh keharuan mengenang masa silam, masa saat masih sering pergi ke kantin bersama-sama, ke perpustakaan, dan duduk di pagar tembok dekat lapangan bola voli, dekat pohon bougenvil, pohon yang berbunga sepanjang hari, bunganya yang putih yang mempercantik halaman sekolah, tapi sayangnya pohon itu kini sudah tidak ada lagi.
“Kudengar kau kembali ke Australia” kata Grace.
Lorna tersenyum. Pipinya masih didekap telapak tangan Dini
“Aku ambil kuliah di sana,” jawabnya pendek seraya mencubit pipi Dini gemas.
“Setelah ini kamu pulang lagi ke sana?” tanya Dini.
Lorna tersenyum. Senyum itu membuat pesona.
“Aku di Jakarta!”
“Hah, di Jakarta?” Grace dan Dini terperanjat, “Kenapa tak menghubungi kita?”
“Tapi, masih sering balik ke Australia kok.”
“Oooo...” kata Grace dan Dini bersamaan.
Lorna tidak melihat Ndari. Dini menjelaskan, Ndari lagi fokus mengurus konsumsi buat reuni besok. Tapi berusaha datang meski terlambat. Kalau tidak muncul, artinya urusannya belum tuntas. Jadi tak perlu ditunggu. Dia akan konfirmasi lewat hape bila tak bisa datang.
Mereka melanjutkan berbagi cerita, yang tak mampu meredakan kerinduan. Mengenang masa lalu membuat bola mata mereka berkaca berurai air mata. Bukan sedih, melainkan diluapi perasaan haru dan gembira.
Lorna merekam dengan handycam.
“Kalian duduk di bangku masing-masing,” Lorna meminta teman-temannya duduk di bekas bangkunya dulu.
Rahma, Grace dan Dini berlarian kecil menuju bangku yang pernah jadi miliknya semasa sekolah. Lorna menuju papan tulis. Memungut sepotong kapur tulis. Lalu menulis sesuatu di papan tulis hitam.
“Hari ini Grace, Rahma, Dini dan aku kembali ke bangku masing-masing”
Tulisan itu lalu di-shoot. Pada bagian kata ‘aku’. Kameranya di-cut. Diarahkan sejenak ke wajahnya sendiri sambil menempatkan posisi teman-temannya berada di latar belakang. Kemudian di-cut kembali. Selanjutnya merekam teman-temannya yang tersenyum melihat apa yang dilakukan Lorna.
“Kamu ini kayak cameraman aja” kata Grace.
“Hus!” sergah Rahma, “Dia ambil mata kuliah komunikasi juga multimedia...” lanjutnya.
“Oh ya pantas!” kata Dini.
Setelah selesai. Lorna meminta Rahma menggantikan memegang handycam. Sekedar merekam tak sulit baginya, dia juga punya alat semacam itu. Rahma menunggu sebentar, melihat Lorna tengah bingung menemukan bangkunya dulu.
“Di sebelahku kan?” kata Rahma mencoba mengingatkan.
“Bukan!” sela Lorna, “Bangkunya Ndari mana?” tambahnya.
“Dekat bangku Tari!”
“Sebelum denganmu. Dudukku dulu dengan Ndari.”
Lorna menebak bangkunya Ndari.
Rahma merekam saat Lorna menduduki bangku yang menurutnya adalah bangku yang pernah didudukinya bersama Ndari. Tak lama kemudian dia bangkit, pindah ke bangku Rahma. Karena setelah itu, Lorna pindah duduk di samping Rahma sampai mereka lulus. Alasan Lorna pindah duduk, karena di belakang tempat Ndari tempat duduk Ronal, yang membuatnya tak nyaman.
Setelah itu mereka berkeliling, melihat-lihat lingkungan sekolah sambil menunggu Ndari.
Karena kantin tutup dan Ndari setelah dikonfirmasi belum selesai dengan urusannya, maka mereka memutuskan makan bersama pergi ke Alun-alun Square.
Knalpot mobil Rahma menerbangkan daun-daun kering saat meninggalkan halaman sekolah.