Lorna berdiri tak jauh dari pintu gerbang, seorang diri di tepi jalan. Kembalinya suasana yang telah lama hilang, menciptakan kegelisahan. Dalam tidurnya semalam, kegelisahan itu kembali menderanya. Dan kini, di saat seperti ini, perasaan itu kembali timbul, di saat seakan tak berdaya, berdiri sendiri, di tengah cekaman udara pagi kota Malang yang mulai pudar.
Ada perasaan mengganjal, kenapa harus menunggu Rahma dan Grace di tempat seperti ini? Kenapa harus menuruti permintaan mereka kalau ternyata berakibat hatinya resah bukan main?
Kata Grace, kata Rahma, kata Dini, kata Ndari, kata-kata mereka semua. Tunggu di sini, biar mudah melihat keberadaanku.
Oalah, kok bodoh sekali aku ini! Memangnya aku ini boneka manekin? Mematung untuk jadi tontonan? Bukankah ada ponsel? Ponsel kan tak membatasi ruang dan waktu, di mana pun masih bisa terhubung? Ya, memang bodoh sekali! Seperti keledai, menurut saja diseret kesana kemari? Kenapa tidak beri tahu mereka, kalau aku pindah tempat menunggu?
Lorna ingin pindah tempat menunggu, karena merasa tidak nyaman berdiri sendiri seperti itu, dan lebih nyaman menunggu seperti kemarin, seperti saat dijumpai Rahma di bawah pohon trembesi, di tepi jalan besar di tepi taman Tugu.
Ada lagi yang membuatnya merasa berlebihan. Kenapa datang lebih awal? Kenapa sepagi dan serajin ini datang? Kenapa? Kenapa? Tentu ada alasannya, alasan yang telah lama mengendap di lubuk keinginannya paling dalam. Tapi keinginan apakah itu? Keinginan lekas berkumpul teman-temankah? Atau, ingin lekas menghadiri reuni? Ataukah keinginan bisa bertemu lelaki yang pernah menitipkan bunga bougenville putih padanya? Itukah alasan yang menggiringnya lekas-lekas mendatangi tempat ini? Ataukah lantaran ada keinginan yang lainnya?
Lantas apa sesungguhnya yang paling dirindukan setelah sekian lama meninggalkan tempat ini? Apa alasannya mau menghadiri reuni, di tengah perasaan trauma akibat kekecewaan yang mengkandaskan segala harapannya? Apa lantaran sosok wajah yang kerap berkelebat dalam benaknya yang menuntunnya kemari? Bukankah bayangan itu selalu mengusik hari-harinya, yang selalu ditepiskan, selalu dihindari, ingin dilenyapkan dari ingatannya?
Namun semakin ditepis, semakin menenggelamkannya ke lingkaran masa lalu. Ibarat getah nangka di jemari tangan, yang tak mungkin dilepas hanya dengan mengibaskan begitu saja, Ada caranya. Demikian pula belitan kenangan yang melekat dalam ingatannya, harus ada formulasi untuk mengurainya. Ataukah itu semua lantaran tarikan kerinduan yang demikian kuat di masa lalu? Ataukah itu lantaran keinginannya demikian kuat kembali ke masa lalu?
Hatinya sering berteriak. Lupakan Lorna! Lupakanlah! Masa-masa itu tidak akan pernah kembali! Masa-masa itu tidak akan pernah sama! Benarkah? Benarkah masa-masa itu tak pernah sama? Benarkah masa-masa itu tidak bisa kembali? Benarkah? Sudah demikian berubahkah?
Lorna menghela nafas. Ada yang membetot rasa haru biru dari kedalaman relung hatinya. Helaan nafasnya tidak mampu meredakan kegelisahan yang kini menyelimuti. Bahkan kegelisahan itu kian mengaduk-aduk.
Suara burung gereja yang sibuk di atap genting di atas tempatnya berdiri. Tak pula mampu meredakan kegelisahan itu. Kelengangan suasana halaman sekolah. Teduhnya pepohonan trembesi yang melingkari jalan Tugu di depan kantor Balaikota, serta aroma bunga-bunga di taman Tugu yang menyelinap ke lubang hidungnya. Semuanya tak mampu mengalihkannya dari kegelisahan. Sesungguhnya suasananya terasa sama walau telah lama meninggalkan tempat itu, dan itu akibat terusik oleh kenangan yang pernah dialaminya.
Dalam percakapan telpon semalam. Grace dan Rahma berjanji bertemu di tempat itu.
“Jam sembilan!”
“Betul, ya?”
"Yo'i!"
Ternyata hingga kini mereka belum juga nampak. Janji ketemu jam sembilan sudah ditepatinya. Mereka yang ingkar. Atau barangkali mereka sudah berada di aula reuni? Ah, nggak ah! Mana mungkin membiarkan aku sendiri di sini. Lebih baik kutelpon menanyakan posisi mereka, kata Lorna dalam hati.
Lorna menyelipkan tangan ke dalam tas besarnya, bermaksud mengambil ponsel. Tetapi benda yang dimaksud tidak berada di dalamnya. Ah, pasti tertinggal di mobil, pikirnya. Sehingga tak ada pilihan selain mengambilnya. Memang baru diingatnya. Selama perjalanan kemari, dia gunakan bertelepon dengan Rahma dan Grace, namun lupa memasukkan kembali ke dalam tas.
Lorna beranjak menuju tempat mobilnya diparkir. Berlari kecil memotong jalan aspal yang membelah halaman yang mengarah ke gedung sekolah, langkahnya bergegas-gegas. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti seketika bersama suara gesekan ban kendaraan di atas aspal, suara itu demikian dekat dengannya, karena memang berada persis di sampingnya, denyitnya membuat hatinya miris.
Ciiiiiiiiit!
Suara itu kian memacu debaran jantungnya yang sudah berlangsung sejak kegelisahan melanda hatinya. Akhir-akhir ini jantungnya sering berdebaran. Lorna terpana sesaat. Lalu tersadar bahwa dirinya nyaris ditabrak sepeda motor besar kuno berwarna hitam, yang roda depannya telah mencium betis kakinya, mengotori gaun longdress-nya.
Lorna berdiri terpaku.
“Oh!” pekiknya sembari menutup mulutnya dengan jemari tangan.
Lorna berusaha mencari tahu wajah pengendara motor itu. Tetapi wajah itu tertutup rapat oleh kaca helm berwarna hitam. Karena kacanya gelap, menyulitkannya mengenali wajah yang ada di baliknya. Merasa bersalah akibat kurang berhati-hati saat melintas, Lorna melontarkan senyum, berharap pengendara itu tidak marah atas kecerobohannya.
“Maaf, ya?” dia berusaha menyapa.
Tetapi pengendara motor itu tidak bergeming, atau turun dari motornya. Barangkali pengendara itu sedang jengkel, pikir Lorna. Tanpa menunggu lama, Lorna bergegas berlalu dari tempat itu, memberi ruang agar motor itu juga bisa cepat melintas.
Perhatiannya kembali pada ponselnya yang tertinggal di mobil. Setelah mengambil, lalu kembali ke tempat semula berdiri dekat gerbang pintu masuk sekolah, menunggu kedatangan Grace dan Rahma.
Hal yang paling tidak disukainya adalah menjadi pusat perhatian. Berdiri sendiri di tempat itu, jelas memberi peluang dirinya menjadi pusat perhatian. Melalui sudut mata, merasa acap diperhatikan mereka yang melintas di depannya. Kacamata berlensa acromatic yang dikenakan yang berubah violet gelap, menyembunyikannya dari mereka yang mencoba mengingat siapa gadis yang sedang berdiri sendiri itu, warna matanya harus disembunyikan, sebab mata itu yang memudahkan siapa pun mengenalinya.
Reuni yang mengundang tiga angkatan, dari sekian banyak yang hadir dan melintas di hadapannya. Masak sih tidak ada yang mengenalinya? Sudah lebih dari sepuluh menit berada di tempat itu, nyatanya tidak seorang berusaha menyapanya.
Tetapi Lorna tak peduli. Lebih baik terus seperti itu. Barangkali dirinya nampak berubah, hingga sampai tidak ada yang mengenalinya. Ataukah ada keengganan mereka menyapaku? Pikir Lorna menghibur diri.
Dari peristiwa yang baru saja terjadi. Lorna tidak menyadari bahwa lelaki pengendara motor yang nyaris menabraknya, bermaksud menegurnya, bermaksud memanggil namanya. Tetapi tak terjadi lantaran tenggorokan lelaki itu tiba-tiba tercekat, hingga suaranya tak sampai hinggap ke daun telinganya.
Andaikan wajah itu tidak terhalangi oleh kaca helm yang gelap! Andaikan Lorna mendengar suara panggilannya! Andaikan Lorna tidak lekas berlalu dari tempat itu! Andaikan! Andaikan! Ah! Entah apa yang akan terjadi andai pada saat itu keduanya saling mengenali.
Wajah pemilik motor itu sesungguhnya adalah wajah yang cukup dikenalinya. Wajah itu adalah wajah yang selalu membayanginya selama ini. Wajah itu adalah wajah yang menyebabkannya meninggalkan Sidney dan terbang ke Indonesia. Wajah itu adalah wajah yang membuatnya melewati perjalanan menjenuhkan demi sebuah keinginan agar bisa bertemu di tempat ini.
"Ah, lama sekali!" keluh Lorna.
Lorna menelpon Rahma yang sedang di perjalanan.
“Kamu di mana? Lama amat sih?”
“Aduh, sori! Habisnya Grace terlambat jemput. Kutelpon kok nggak diangkat?”
“Hape ku ada di mobil. Hai! Sudah sepuluh menit aku di sini!”
“Wuh! Kasihan!”
“Apa? Kasihan? Cepetan, tahu! Kalian ini masih saja pakai jam karet!”
“Ha ha ha ha! Molor ya? Sabar ya, Sayang?”
“Cepetan dong. Please! Aku sudah nggak tahan nih?”
“Nggak tahan apa, Sayang?”
“Berdiri, tahu!”
Rahma tertawa.
"Kupikir nggak tahan bertemu..."
"Rahma!" kata Lorna memotong sengit.
Lorna meminta Rahma tidak menutup saluran teleponnya. Agar bisa menemaninya berdiri sendiri sampai mobil mereka memasuki halaman parkir sekolah.
Tak berapa lama kemudian mobil mereka sudah tiba. Setelah terparkir, mereka lantas membaur kembali seperti kemarin, saat bertemu pertama di ruang kelas.
“Halo bidadariku!” sapa Grace begitu keluar mobil, merentangkan tangan ke arah Lorna, menghambur memeluknya, membenamkan ujung hidungnya ke pipi Lorna yang merah jambu, menghirup kesegaran pipinya dalam-dalam.
“Coba saja kalau mau dijemput. Kan nggak nunggu di sini!” ujarnya.
Lalu Dini menggantikan Grace memeluk dan mencium pipi Lorna. Gemas!
“Teman-teman pingin ketemu kamu?” katanya seraya menatap tajam bola mata Lorna. Mata itu masih biru seperti dulu, tak berubah, mata yang paling disukainya, mata yang jernih, bak kristal, mata yang tak tersaingi oleh temannya yang lain, mata yang bikin sensasi. Warna mata itu asli, bukan berlapis soft lense atau contact lense. Semua suka akan bola mata itu, warnanya biru, biru sapir.
“Kenapa?” tanya Lorna jengah ditatap begitu.
“Kayak barbie.”
“Nah! Mulai lagi kan!” balas Lorna sembari memijit ujung hidung Dini.
Hari ini Lorna mengenakan longdress warna abu-abu. Dengan sepatu bertumit tinggi, dengan warna yang sama. Kalung bermanik selang-seling warna biru putih dan abu-abu menghiasi lehernya yang jenjang. Anting berhias batu putih gepeng mengintip di balik rambutnya yang kecoklatan. Serasi dengan kornea matanya yang biru. Anggun sekali. Karena itukah yang membuat teman-temannya sepintas sulit mengenali?
Grace melihat noda kotor pada longdress Lorna. Lalu berjongkok bermaksud mengibas noda debu yang menempel.
“Sudahlah Grace, biarin! Tadi ada motor yang menyenggolku,” kata Lorna kepada Grace.
“Motor siapa?” tanya Grace.
“Mana kutahu?”
Lorna menjauhkan kakinya dari tangan Grace yang terus memaksa membersihkan.
“Motor kuno bangsa mptpr Harley,” imbuh Lorna.
Grace pun tak tahu. Dia tak tahu perkembangan di sini. Setamat sma mengambil kuliah di Surabaya. Yang tahu banyak Ndari. Kalau saja ada Ndari di situ, dia akan memberitahukan bahwa motor itu bermerek AJS, milik Dewa yang dibelinya dua tahun yang lalu. Ndari masih kerap bertemu Dewa.
“Bagaimana kejadiannya?”
“Siapa yang menyenggolmu?”
“Masak sih kamu tak mengenali wajahnya?”
Diberondong pertanyaan bertubi-tubi. Lorna mengangkat tangannya.
“No! No! No! Please! Aku benar-benar tak tahu! Aku tak apa-apa. Sudahlah... lupakan!”
Rahma, Grace, Dini memandang datar. Ketiganya tidak menyadari bahwa Lorna merasa lelah. Tak hanya badan. Bathinnya paling dalam juga lelah. Belakangan sulit tidur akibat dorongan keinginan yang kuat bisa bertemu kawan-kawan di ajang reuni. Bahkan membuatnya semalam sulit memejamkan mata hingga pagi.
Rahma mendekati. Memegang pergelangan tangannya. Menatap dan tersenyum. Lalu berkata lirih.
“Sori, Na. Hatiku pun sesungguhnya terluka dengan apa yang telah terjadi antara kalian. Aku menyayangimu, Na.”
Lorna mengangguk perlahan. Matanya sayu.
“Terima kasih, Rah. Hidup bisa berubah dalam waktu singkat. Kadang tak sesuai dengan harapan kita.”
“Syukurlah kalau kamu menyadarinya. Baiklah kita masuk ke dalam. Katanya dalam aula sudah penuh sesak. Mudah-mudahan masih dapat tempat yang baik.”
Mereka berempat bersepakat mengenakan longdress. Keputusan itu mereka rundingkan saat berada dalam kelas mereka kemarin. Dan kemudian pergi ke Alun-alun Squere untuk makan bersama di restoran dan berbelanja pakaian.
"Kita semua nanti dapat kaos dan topi reuni biar seragam," kata Dini.
"Keren!" kata Grace.
Kini keempatnya berjalan berendeng. Melangkah anggun menuju lorong koridor yang mengarah ke aula tempat reuni berlangsung.
Sayup-sayup dalam gedung seseorang sedang menguji sound sistem.
"Test!" itu suara Beni.
Sementara mentari mulai beranjak naik. Cahayanya yang hangat menyirami pucuk kerimbunan daun trembesi. Menyambut peserta reuni yang semakin banyak bermunculan. Halaman dan sudut-sudut sekolah mulai dipenuhi para peserta reuni. Membentuk kelompoknya berdasarkan kedekatan mereka saat masih bersekolah.