Di depan kantor Bimbingan dan Penyuluhan ketiga sahabat itu berkumpul. Belum memutuskan untuk menuju Aula, tempat reuni dilangsungkan. Seharusnya ketiganya mengisi daftar hadir dulu, agar bisa memperoleh kaos oblong dan topi seragam reuni, seperti teman-teman lain yang sudah mengenakannya.
"Hai isi absen dulu!" kata Dini yang baru saja mengambil atribut setelah mengisi absensi.
"Ntar dulu ah!" kata Grace.
"Aku akan ke dalam dulu. Ndari minta bantuanku."
"Pergilah. Bantu dia!"
"Kutunggu kalian di dalam. Ndari pingin sekali ketemu kalian."
"Nanti kita ketemu di dalam. Biarlah! Dia kan masih repot."
Dini lalu kembali ke dalam Aula.
“Siapa yang menggagas reuni ini?” tanya Rahma.
“Menurut Ndari sih gagasannya Beni,” tukas Grace.
“Beni cs-nya Dewa?” Rahma mencoba mengingat.
"Memangnya ada Beni lain?" tanya Grace.
"Ada, anak Sos itu!"
"Ah, kita kan IPA!"
Setiap kali Rahma menyebut nama Dewa, jantung Lorna terpacu kencang. Detak dalam dadanya sudah dirasakan sejak nyaris ditabrak motor beberapa saat yang lalu. Lorna merasakan sesuatu tak nyaman dalam dadanya. Tubuhnya tiba-tiba terasa melemah. Sejak menginjakkan kaki di Indonesia, merasakan seperti kurang beristirahat akibat kesulitan tidur. Bayangan wajah lelaki yang baru disebutkan itu seperti pangkal dari segala kegelisahannya selama ini. Semakin kerap muncul semenjak kabar dari Rahma bahwa dirinya ditunggu di reuni sekolah.
Di pagi hari ini, nama itu kembali disebut. Sebutan yang tak asing baginya, sebutan yang telah bertahun tak pernah lagi ada yang menyebutkannya. Semenjak tamat sekolah, selama itu pula tak pernah lagi nama itu singgah di telinganya. Seribu pertanyaan tentang Dewa, menggelayuti benaknya. Tapi selama itu, pikiran tentang lelaki itu sengaja disembunyikan dari siapa pun. Lorna sibuk berusaha meredam keinginannya untuk bertemu. Yang menimbulkan pergolakan bathin, antara keinginan untuk bertemu dan menghindar. Tarik menarik dua keinginan tak hanya mengaduk-aduk perasaannya, tetapi menimbulkan berkecamuknya perasaan yang mengakibatkan sesak di dalam dadanya.
Suhu badan Lorna tiba-tiba terasa dingin. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres terhadap tubuhnya. Namun enggan mengungkapkan pada Rahma atau Grace.
Rahma yang sejak tadi memperhatikan, melihat perubahan itu.
“Kenapa?” tanya Rahma menatap wajah Lorna yang wajahnya berubah pasi.
“Ah, nggak!” jawab Lorna pendek seraya melepaskan kacamatanya.
“Kamu nampak nervous?”
Lorna menggeleng lemah.
Saat memegang pergelangan tangan Lorna. Rahma merasakan tangan itu dingin. Rahma berusaha memahami perasaan Lorna melalui matanya. Grace turut berpaling melihat ke arahnya. Lalu bersama-sama keduanya menuding ke dada Lorna, tudingan yang tepat mengarah ke jantungnya.
“Karena Dewa ya?” seru Rahma dan Grace bareng.
Wajah Lorna seketika sayu dan tubuhnya kemudian layu. Pelupuk matanya terkatup. Rahma dan Grace terkejut.
“Hah!”
"Lorna!"
Panggil Rahma dan Grace ibarat pedang damocles yang tiba-tiba menghujam tepat ke jantung Lorna. Ucapan Rahma dan Grace adalah sumber petaka batinnya selama ini. Kepalanya tiba-tiba terasa berputar. Pandangannya berpendar. Cahaya pychadelic bertabur dalam kornea matanya. Kemudian hilang kesadaran. Tubuhnya lantas limbung. Nyaris terjerembab bila saja Rahma tak sigap menyangganya.
“Lornaaaa! Kenapa Lornaaaa!” Rahma menjerit berkali-kali memanggil namanya.
Grace ikut panik.
“Lorna pingsan!
“Bagaimana ini, Grace?!” Rahma kebingungan.
“Toloooong!” Grace berteriak lantang.
Teriakannya mengundang perhatian.
Tak jauh dari tempat mereka, Joy sedang menutup pintu mobilnya. Jeritan Grace membuatnya langsung berpaling ke arahnya, dan melihat Rahma dan Grace sedang menopang tubuh seseorang. Joy merasa bahwa mereka memerlukan pertolongan. Langsung melemparkan kembali tasnya ke dalam mobil melalui jendela. Lalu berlari cepat menghampiri mereka.
“Lorna?!” kata Joy terkejut seraya menyebut nama gadis yang sedang pingsan itu, “Kenapa?”
“Nggak tahu, Jo. Tahu-tahu begini!” jawab Rahma.
Tubuh Lorna lunglai. Mereka kemudian bersama-sama mengusung dan membawanya ke ruang penyuluhan siswa. Dibaringkan di sofa panjang. Beberapa guru yang berada di tempat itu, turut panik. Tidak tahu harus berbuat apa. Tak satu pun di antara mereka punya pengalaman mengurus orang pingsan. Ruang UKS masih tutup sebab pengurusnya belum datang.
Menyadari tidak satupun yang tanggap mengatasi orang pingsan. Rahma ambil inisiatip untuk melarikannya ke rumah sakit. Hanya mobil Joy yang paling siap dipakai membawa Lorna ke rumah sakit terdekat.
Maka mereka berbondong menggotong tubuh Lorna. Peristiwa itu menyita perhatian. Semua teman-teman yang melihat kejadian itu, terkesima. Peristiwa itu menimbulkan kehebohan.
Sesaat kemudian di dalam mobil Joy.
“Kita bawa kemana?” tanya Joy.
“Lavalette!” teriak Rahma.
Sesaat kemudian kendaraan Joy sudah menyeruak di tengah kepadatan jalan raya. Menyelinap kesetanan.
“Hei! Hei! Yang bener dong nyetirnya. Bisa celaka kita semua!” ujar Grace
“Sori, kan harus cepat. Siapa tahu kena jantung?”
“Hah!” pekik Grace dan Rahma ketakutan.
“Jangan begitu dong!” kata Rahma cemas.
Di dalam mobil. Bu Linda bekas guru bahasa Inggris yang turut mengantar, turut cemas. Rahma dan Grace menepuk-nepuk lembut pipi Lorna. Berusaha menyadarkan, berharap Lorna siuman.
“Bangun, sayang! Bangun!” ujarnya berurai airmata.
Tubuh Lorna tak bereaksi. Semua dicekam rasa takut. Wajah Lorna pucat. Rahma dan Grace merasa paling bersalah atas kejadian ini.
“Cepat, Jo!” Grace mengiba.
“Tadi kamu bilang jangan ngebut?”
“Huss! Jangan bertengkar! Kalian masih saja seperti dulu!” sergah Bu Linda.
“Tapi, Bu. Kenapa Lorna bisa begini?” Rahma mulai terisak.
“Makanya harus cepat dibawa ke rumah sakit.”
“Kebut Jo!” pekik Grace.
“Yo’i!” jawab Joy.
Sesampai di UGD. Lorna cepat mendapat penanganan. Dan itu memberi sedikit kelegaan perasaan Rahma dan Grace. Keduanya menunggu Bu Linda yang mendampingi Lorna. Rahma, Grace dan Joy menunggu di luar ruang UGD.
“Bagaimana selanjutnya? Apakah kita beri tahukan Maminya,” kata Rahma menahan isak.
“Jangan!” Grace mencegah, seraya menyeka bawah matanya yang basah, ”Sebaiknya tunggu Bu Linda. Dengar dulu penjelasannya.”
“Betul. Kan sudah ditangani. Kalian jangan kemana-mana. Tunggu Bu Linda. Aku mau nelpon dulu,” kata Joy.
“Nelpon siapa, Jo?” tanya Grace.
“Ndari!”
“Eh, Jo. Sekalian kasih tahu Ndari. Jangan sampai Dewa tahu keadaan ini. Soalnya tadi Lorna pingsan, gara-gara kita menyebut namanya. Pasti ada hubungannya,” kata Rahma seraya meminjamkan ponsel pada Joy.
“Maksudmu?”
“Pokoknya atur, jangan sampai Dewa dan Lorna bertemu. Paham?”
Joy terdiam menatap ponsel yang ada di tangan.
“Jooooo!” teriak Rahma, karena melihat Joy bengong tak menanggapi pertanyaannya.
“Paham, Jo?” Rahma mengulangi lagi.
Joy manggut-manggut.
“Jo. Jangan manggut saja.”
“Oke! Oke! Aku paham!”
"Nah, gitu jawab!"
"Sori!"
Joy menjauh untuk melakukan pembicaraan dengan Ndari. Ponselnya tertinggal karena terburu-buru, dan dalam keadaan off saat diisi baterainya.
Rahma dan Grace saling menggenggam jari tangan sambil memperhatikan Joy menelpon Ndari. Kedua wajah gadis itu masih membersit kecemasan.
“Kuharap Jo menyampaikannya, Rah,” kata Grace.
Rahma mengangguk lemah. Keduanya lalu berpelukan. Terisak.
“Aku tak mengerti kenapa bisa begini, Rah?”
“Ada apa sikapnya terhadap Dewa? Apakah telah berubah? Ataukah kini memendam kebencian terhadapnya? Tapi kenapa dia mau datang ke reuni kalau perasaannya seperti itu?”
“Entahlah, Rah!”
Keduanya lalu melepaskan pelukan.
“Aku nggak tahu, Grace!”