5. Keributan di Ujung Koridor.

Di belakang panggung Beni nampak kesal karena belum melihat batang hidung Joy, padahal dia sudah menunggunya sejak pagi. Seharusnya Joy sudah berada di panggung, bergabung mendampingi kepala sekolah yang sedang memberi sambutan, sesuai gladiresik yang dilakukan sore hingga malam kemarin. Joy juga harus mengiringi musik setelah semua pidato sambutan selesai disampaikan.
Kekuatiran Beni bila Joy terlambat datang membuatnya mengambil keputusan dengan menyuruh Rinto masuk panggung menggantikan posisi Joy. Rinto menolak, beralasan menunggu Joy. Dalam situasi seperti itu, Beni tak mau ambil resiko, lalu mengambil alternatif lain dengan meminta Reni menggantikan posisi Joy.
“Kemana Joy?” tanya Reni
“Nggak tahu!” jawabnya kesal, “Kita rolling saja. Kau yang duluan. Ok?”
“Kau bosnya! Sudah ditelepon?”
“Modar!”
“Apa?”
“Hapenya!”
“Dewa?”
“Jangan usik Dewa!”
Reni lalu ke panggung, bergabung dengan Dandra dan Cakil. Kepala sekolah masih berapi-api dalam pidato sambutannya. Sebelumnya dan sebagai ketua panitia, Beni sudah menyampaikan pidatonya. Kini masih ada beberapa lagi yang akan ikut berpidato.
Masih menahan kesal, Beni meninggalkan panggung. Siapa tahu Joy sedang bersama Dewa. Tapi dilihatnya Dewa masih sendiri. Jongkok dekat tiang lorong koridor depan ruang kepala sekolah, tersamar oleh daun monstera.
Beni menghampiri.
“Ngapain di situ?”
“Ngapain?” Dewa balik tanya, “Kan kamu yang nyuruh aku tunggu di sini?”
“Oh, sori. Aku lagi suntuk! Nggak lihat Joy?”
Dewa menggeleng. Lalu diam kembali. Tatapannya dingin. Tahu Beni sedang suntuk, omongannya ngelantur. Bukankah dengan Joy keduanya saling koordinasi?
“Mau bantuin?”
“Apa?” Dewa melirik sebentar.
“Menggantikan Joy.”
Dewa mengangkat alis. Merasa lebih aneh lagi.
“Bukankah posisiku di akhir acara? Rinto bagaimana?”
“Maunya tunggu Jo,” sambungnya.
“Hei! Bukan begitu, Ben!” Rinto yang menguntit di belakangnya menyela, “Teleponlah Joy!”
“Jangan ngajari aku. Nggak ada sinyal?” jawab Beni sengit.
“Sinyal apa?” tanya Rinto.
“Hapenya!” jawab Beni kesal.
“Kecemplung kakus kali!” timpal Rinto tak kalah kesal.
Dewa diam. Tak bergeming. Menunduk menatap rumput yang ada di depannya. Membiarkan kedua kawannya berdebat dengan kekesalan.
“Harus diambil keputusan!” tukas Beni.
“Ya, ambilah!” sergah Rinto.
“Kan sudah kuambil, tapi kamu bantah.”
“Bukan mau bantah, Ben. Tentu ada solusi lain.”
“Ya, itu solusinya!”
“Sudahlah!” Dewa menyela perdebatan itu.
Beni dan Rinto terdiam.
“Beni benar, Rin. Kalau Jo nggak muncul, masak kalian nggak tampil. Untuk apa band kalian ada di agenda acara? Lihat, teman-teman menunggu di dalam. Dan ini pula kalian yang menyusun. Mulailah!”
Rinto dan Beni memandang Dewa.
“Aku akan pergi kalau kalian berselisih!”
Rinto dan Beni terhenyak oleh ucapan Dewa.
Walau pun Dewa nampak tak acuh. Sejak dulu setiap ucapannya selalu mereka dengar. Apalagi yang bernada ancaman seperti itu. Keduanya tahu, Dewa tak pernah bersikap macam-macam. Tak banyak bicara.
“Tunggu apalagi?” tanyanya seraya menatap keduanya.
“Oke bos!” jawab Rinto dan Beni serempak.
Beni dan Rinto lalu saling pandang. Kemudian memadukan telapak tangan di udara. Plak!
“Sori, De. Aku ke dalam dulu...” kata Beni.
Beni dan Rinto masuk ke dalam gedung meninggalkan Dewa sendiri.
Reni tampil membawakan sebuah lagu. Merangkap pembawa acara. Berusaha membangkitkan kebersamaan. Meleburkan dan mencairkan suasana, agar setiap yang hadir ikut terlibat bernyanyi. Reni turun ke arena, berbagi microphone.
“Suasana ini yang kita tunggu. Yang akan membekas dalam hidup kita. Benar nggak kawan-kawan?!”
“Benar, Ren!” terdengar jawaban serempak.
“Yang dulu berselisih. Mari tinggalkan perselisihan. Kita jalin tali persahabatan. Benar nggak kawan-kawan?”
“Benar Ren!”
Gadis itu sudah lama bernyanyi. Beberapa kali juara lomba tarik suara. Bernyanyi di tv lokal. Bernyanyi di cafe dan hotel dan di acara lainnya. Menempatkan profesinya sebagai penyanyi. Sibuk mengejar karir bernyanyinya.
Dia melantunkan lagu Smoke on the Water. Lagu berirama slow rock, lagu lama. Gedebag-gedebug suara drum yang ditabuh Dandra. Serta lengkingan gitar listrik yang dibetot Rinto. Juga suara sound system memekakkan gendang telinga. Seperti hendak meruntuhkan atap aula, sekiranya pengeras suara tidak diletakkan di luar gedung.
Tak lama kemudian Beni kembali menemui Dewa.
“De!”
“Yo'i.” Dewa menjawab pendek.
Beni ragu melanjutkan.
“Kau ketua panitia. Tempatmu di dalam,” kata Dewa.
“Sudah ada mc. Sambil tunggu Joy di sini.”
Seharusnya Dewa bergabung dengan yang lain di dalam, ikut mengisi acara. Dia berada di tempat itu karena ada hal yang membuatnya memisahkan diri. Antara lain karena ‘Ronal his gang’ ikut mengisi acara. Mereka punya kelompok band sendiri. Sebagai ketua panitia, Beni harus fair, mengundang tanpa perkecualian. Dia tahu ada persoalan antara Dewa dengan Ronal. Persoalan memperebutkan Lorna.
Karena itu posisi Dewa, untuk mengisi vokal dan gitar akustiknya diagendakan di akhir acara. Sengaja mengkondisikan itu mengingat kualitas Dewa. Dewa piawai menguasai berbagai alat musik. Suaranya berkualitas. Beni sengaja tidak melibatkannya di awal atau di tengah acara. Bukan karena Ronal yang ikut mengisi acara. Tapi, agar Dewa punya peluang mengurusi persoalannya dengan Lorna bila keduanya bertemu. Ronal dulu sekelas dengan Lorna. Dewa di kelas berbeda.
Memang ada agenda skenario tersembunyi yang hanya diketahui mereka berdua. Pada saat yang tepat. Beni sudah menyiapkan segala sesuatunya mengenai tampilnya Dewa, yang berhubungan dengan Lorna, bila gadis itu benar-benar muncul dalam reuni.
Beni tidak tahu bahwasannya Dewa sudah melihat kemunculan Lorna. Tapi menunda keinginan untuk langsung meghadapinya karena ada kesepakatan dengan Beni untuk melaksanakan apa yang sudah jadi rencana mereka. Bila tidak, tak akan menjadi kejutan lagi.
Dewa dan Beni masih berjongkok di depan kantor kepala sekolah. Dewa memilih berada di situ, karena ingin menyendiri. Tidak ingin berada di sekretariat reuni, atau pun bergabung di belakang panggung.
Keberadaannya yang terhalangi bunga monstera. Tidak tampak dari pintu aula yang terbuka. Di sana banyak teman-temannya yang berdiri dan lalu lalang.
Ada sebagian di antaranya berusaha mencarinya. Menanyakan keberadaannya. Ingin bertemu. Mengobrol. Kangen. Apalagi Dewa kini telah memiliki reputasi dalam bersenian. Belum lagi kisah cintanya dengan beberapa gadis, khususnya Lorna, menjadi rumor sedang hangat diperbincangkan mereka kini. Mereka ingin mengetahui kelanjutan hubungan Lorna dan Dewa.
Dewa dan Beni saling berdiam diri. Beni sibuk menikmati asap rokok. Pikiran Dewa menerawang. Entahlah apa yang sedang diterawangnya. Akhirnya Beni tak tahan dengan situasi diam. Lalu bertanya.
“Kamu sudah melihat dia?”
Dewa mengedikkan bahu. Mencoba berkelit menutupi. Tahu yang dimaksudkan.
“Aku juga belum. Sudah kucari-cari. Di dalam juga tidak kelihatan. Di daftar hadir, namanya juga tak muncul. Atribut jatahnya belum diambil. Mungkin dia tak muncul,” lanjut Beni sambil menarik lagi sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Menyelipkannya di antara bibirnya yang hitam tebal, menggantikan batang rokok yang sudah pendek yang dilemparkan ke dalam kolam ikan tak jauh di depannya. Beni sengaja tak menawari Dewa karena tahu tidak merokok.
“Kata Ndari. Pagi kemarin. Rahma, Grace, Dini dan Lorna berkumpul di kelasnya,” Beni memberi tahu.
Dewa diam tak bereaksi. Kali ini. Soal itu dirinya tak tahu. Tapi kalau hari ini Lorna datang dirinya tahu. Tapi kenapa tak mengambil atributnya seperti kaos, topi, kartu nama, dan mengisi daftar hadir? Itu membuatnya penasaran.
Tapi dia harus berterus terang pada Beni. Cepat atau lambat Beni pasti akan tahu. Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk menyampaikannya. Pikiran Dewa terusik, tetap diam membisu. Keduanya membisu, sebab Beni bereaksi sama. Suara sound system mengganggu pembicaraan.
Beni memperhatikan asap rokok yang ditiupnya. Membentuk tiga lingkaran susul menyusul di udara.
“Aku hampir menabraknya di pintu gerbang tadi,” akhirnya Dewa mencoba menjelaskan.
“Siapa?”
Dewa menghela nafas. Helaannya berat.
Beni penasaran. Lalu bertanya lagi.
“Siapa?”
“Dia...” jawab Dewa dengan nada berat.
“Iya siapa?”
“Dia!”
“Maksudmu?”
“Ya dia! Siapa lagi?”
“Maksudmu, Lorna?”
Dewa mengangguk.
Beni terperanjat.
“Kalian sudah ketemu?”
Dewa menggeleng perlahan.
“Belum?” alis kening Beni beradu. Tidak paham.
“Dia nggak mengenaliku.”
“Busyet!” ujar Beni penasaran.
“Wajahku tertutup helm!”
“Bah!” Beni memaki sendiri. “Ya dipanggil!” lanjutnya.
“Sudah!”
Beni diam. Menatap tajam mata Dewa.
“Mulutku kaku...” jawab Dewa datar.
“Bah!” Beni menyerapah sendiri, ”Hatimu yang kaku!” lanjutnya kesal, “Kubela bikin acara ini agar kamu bisa dekat, tapi kau sia-siakan!”
“Sori!”
Mereka bertatapan lama. Berusaha memahami. Memahami persoalan yang bertahun-tahun tak pernah tuntas. Persoalannya Dewa dan Lorna. Masalahnya sih sederhana. Cinta, tapi ruwetnya bukan main. Hubungan mereka ibarat benang kusut yang sulit diuraikan.
“Kita tuntaskan setelah acara ini. Aku penasaran kenapa kamu tak memanfaatkan momen yang ada.”
“Sori!”
“Artinya dia datang. Cari dong cari...” tukas Beni sambil membanting rokoknya.
Debu api memercik dari ujung puntung yang dibanting Beni.
Dewa memandang Beni datar. Menyesal, kenapa setelah kejadian itu tidak langsung berusaha mencari. Kenapa lebih mempercayakan semuanya pada Beni? Dan berharap setelah kejadian itu, akan bertemu Lorna di akhir acara reuni.
Sementara smoke on the water nya Reni sudah berakhir.
Sesaat kemudian. Ada pemberitahuan. Beberapa undangan ada yang tak bisa hadir. Sebab ada insiden kecil yang membuat salah seorang teman harus dibawa ke rumah sakit.
Beni dan Dewa menyimak. Seketika suasana dalam gedung berubah riuh. Riuh karena nama yang masuk rumah sakit itu adalah Lorna.
Dewa tersentak.
Beni terbatuk-batuk. Tersedak asap rokok. Matanya berusaha menatap tajam Dewa.
“Sori, Ben!
Beni masih terbatuk-batuk.
“Hampir, Ben! Hanya hampir menabrak! Hampir, Ben! Hampir!”
Beni berusaha mengatasi batuknya.
“Dia baik-baik! Dia sempat bilang minta maaf sebelum pergi! Percayalah! Dia nggak apa-apa!”
“Kamu...huk..huk..!” Beni masih berusaha mengatasi batuknya.
“Pikirku nanti pasti bertemu...” Dewa berusaha menjelaskan.
“Ada apa tadi itu?” tanya Beni tak mengerti setelah batuknya teratasi.
Tiba-tiba Ndari menyeruak di antara mereka.
“Rupanya kalian di sini! Lorna kena serangan jantung!” katanya menyela.
Apa yang disampaikan Ndari, seperti petir yang menyambar kepala Dewa dan Beni. Terutama Dewa.
“Hah!” keduanya terperangah.
Beni kembali terbatuk-batuk. Masih ada sisa asap yang terjebak di tenggorokannya.
Belum sempat Ndari menjelaskan lebih lanjut. Dewa bangkit. Bergegas pergi.
Beni dan Ndari terpana. Dewa berlari melintasi koridor menuju lapangan parkir. Sepeda-motornya diparkir di sebelah utara Aula. Bermaksud mengambilnya.
“Dewa! Tunggu!” Ndari berteriak berusaha menahannya pergi.
“Jangan kesana!”
Usahanya terlambat. Dewa sudah lenyap di ujung koridor.
“Beni! Cegah Dewa jangan sampai ke rumah sakit!” kata Ndari memohon.
“Kenapa?”
“Itu pesan Rahma lewat telpon barusan!” pinta Ndari penuh rasa cemas.
“Kenapa?”
“Aduh! Pokoknya cegah dulu! Nanti kujelaskan!”
“Wow...wow...beri tahu alasannya dulu...”
“Lorna pingsan gara-gara Rahma dan Grace menyebut nama Dewa”
“Busyet!” Beni tersentak.
“Kejar dia, Ben!” teriak Ndari panik.
“Hanya karena sebab itu?”
“Iya!”
“Sesederhana itu?”
“Iya! Iya! Cegah dia!”
“Lucu!”
“Tidak lucu kalau bikin Lorna kena serangan jantung!” Ndari kesal.
“Oke! Oke!”
Beni lantas lari ke ujung lorong koridor. Menghadang Dewa. Raungan motor Dewa mulai menyalak. Di mulut lorong Beni berdiri berancang-ancang. Menghalangi motor Dewa yang hendak melintas.
“Wow! wow! Sabar dulu, De! Please De! Please! Dengar penjelasan Ndari dulu!”
“Nanti saja! Minggirlah, Ben!”
“Please! Ini buat kepentinganmu!”
“Kamu tahu kepentinganku?” tanya Dewa
Beni ketawa tanpa sebab.
“Jangan bersikap bodoh, De! Satu alasanku, kenapa kurencanakan reuni ini? Biar kamu bisa ketemu Lorna!”
“Kalau begitu minggirlah. Biarkan aku menemuinya!”
Beni mengelengkan kepala.
“Jangan De! Jangan sekarang!”
“Minggirlah, Ben! Kalau terjadi sesuatu terhadapnya. Aku tak bisa memaafkan diriku! Sekian tahun, Ben! Ini kesempatanku! Minggirlah!”
“Iya, aku tahu! Jelaskan dulu! Ada insiden apa tadi antara kamu dengan Lorna? Kalau kau tetap memaksa ke sana, aku juga tak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Lorna. Ini buat kepentinganmu, De!”
“Lepaskan tanganmu, Ben!”
Beni memaksa memegang setir sepeda motor Dewa. Menghalangi di depannya.
Dewa mulai geram. Wajahnya berubah tidak ramah. Hatinya gusar. Yang terlintas dalam pikirannya adalah kekawatirannya terhadap Lorna. Tak mau kehilangan kesempatan kedua andai terjadi sesuatu terhadap gadis itu. Beni tak juga melepaskan pegangannya. Bahkan semakin kuat.
“Tolonglah, De! Sabarlah! Ini demi kebaikan kalian!”
Dewa kian gelisah. Panik. Dengan menekan gas dipikir Beni akan melepaskan pegangannya. Tapi celaka. Saat menekan gas. Beni tidak juga melepaskannya. Akibatnya motor melaju hilang keseimbangan. Oleng dan jatuh. Mesinnya meraung menyeret keduanya di atas aspal. Mesin kemudian diam.
Dewa berusaha bangun. Tetapi Beni tidak tinggal diam. Tetap berusaha menahannya pergi. Direngkuhnya kedua pergelangan kaki Dewa yang berdiri bermaksud menjauhinya. Pegangan itu mengakibatkan Dewa hilang keseimbangan. Jatuh telungkup. Dagunya menimpa pedal rem yang terbuat dari baja, menimbulkan luka sobek yang dalam. Darah lantas keluar dari luka terbuka. Emosi dan situasi membuat Dewa tak mempedulikan rasa sakit.
Ndari histeris menyaksikan pergulatan Dewa dan Beni. Tak mampu melerai. Hanya menjerit-jerit. Mengundang perhatian.
“Tolong! Tolong!”
Dalam sekejap, tempat kejadian dikerumuni teman-temannya yang berhamburan keluar dari dalam aula reuni berlangsung. Mengira terjadi perkelahian antara Beni dan Dewa. Mereka berusaha melerai.
Beni bersikukuh mencegah Dewa pergi. Dewa menegakkan kembali motornya. Ndari mendekat berusaha membujuk Dewa.
“Tolong De! Jangan ke sana!” Ndari memohon.
Teman-temannya bingung. Selama ini antara Dewa dan Beni tidak pernah terjadi persoalan. Bahkan belum lama berselang masih ada yang sempat melihat keakraban mereka.
Keduanya berusaha dipisahkan. Tapi Beni meronta.
“Cegah dia!” teriak Beni seraya berusaha melepaskan diri dari himpitan.
Pak Sono bekas guru olahraga mereka merengkuh perut Beni dengan kedua lengannya dari belakang. Tak memahami persoalan. Hanya berusaha melerai. Beni dipisahkan dan dibawa ke ruang bimbingan dan penyuluhan murid.
Ndari paling tahu duduk persoalannya tidak berdaya mencegah kepergian Dewa, yang segera berlalu dari hadapannya. Meninggalkan asap yang keluar dari kenalpot motornya. Asapnya terasa menyengat di lubang hidungnya.
Bola mata Ndari berkaca-kaca. Wajahnya muram. Bibirnya gemetar. Hatinya geram.
Tari menghampiri. Mengajak kembali ke belakang panggung.
“Biarlah Beni sudah ada yang ngurus. Urusan kita jangan sampai terbengkelai. Jangan sampai reuni ini berantakan karena ini. Dini masih di perjalanan bersama kendaraan yang mengangkut kosumsi.”
Ndari menyeka matanya yang masih berlinang.
“Aku bingung, Tar!”
“Ada apa, sih? Dewa marah?”
“Salah paham saja!”
“Masalahnya apa?”
“Lorna!”
Tari diam sejenak.
“Aku nggak ngerti?“ tanyanya kemudian.
“Beni berusaha mencegah Dewa menemui Lorna.”
“Salah Beni. Apa haknya?”
“Aku yang minta Beni mencegahnya pergi menemui Lorna.”
“Lho, kenapa?”
“Lorna kena serangan jantung gara-gara Rahma dan Grace menyebut namanya.”
Tari memandang Ndari semakin tak mengerti.
“Kenapa bisa begitu?” tanyanya lagi.
“Nggak tahulah aku.”
Sementara tempat kejadian kembali sepi. Mereka yang melihat peristiwa itu kembali masuk ke gedung pertemuan.