6. Di Rumah Sakit.

Bu Linda keluar dari ruang perawat. Suara langkah sepatunya di atas lantai abu-abu yang dingin memantul ke segenap dinding lorong yang dilaluinya. Iramanya seperti irama detak jantung Grace dan Rahma yang sedang memperhatikan dari kejauhan. Raut wajah keduanya masih diselimuti perasaan cemas.
Sesaat kemudian Bu Linda sudah berada di hadapannya. Memandang keduanya silih berganti, tanpa berkata. Rahma dan Grace balas menatap tanpa berkedip. Menunggu apa yang akan dikatakan perempuan itu. Cekaman rasa cemas mereda setelah Bu Linda memberitahu kondisi Lorna sudah ditangani dengan baik.
Rahma dan Grace bernafas lega.
“Lorna sudah siuman,” tambah Bu Linda
“Syukurlah. Terima kasih, Bu.”
”Dari hasil pemeriksaan. Tekanan darahnya menurun. HB darahnya drop,” Bu Linda menjelaskan.
“Jadi....” kata Rahma tapi disela Bu Linda.
”Dia menanyakan kalian. Ayo, kuantar kalian, sambil kita menunggu Maminya datang. Aku sudah beritahukan. Ternyata Lorna dan Maminya baru datang dari Australia.”
“Apakah Lorna akan rawat inap, Bu Linda?” tanya Grace
“Dokter menyarankan begitu,” Bu Linda menambahkan.
"Tapi bukan jantung kan, Bu?"
"Hanya itu menurut dokter begitu."
Ketika bertemu di bangsal UGD, Rahma dan Grace memeluk Lorna bergantian. Memandangi wajah Lorna yang masih pucat pasi. Selang oksigen dipasang di bawah lubang hidungnya. Sementara cairan infus dimasukkan melalui nadi di pergelangan tangannya.
“Maafkan Rahma ya?” Rahma berkata dengan suara perlahan.
Bola mata Rahma berkaca-kaca. Bola mata Grace juga berkaca. Keduanya tak kuasa menahan airmata yang kemudian berurai.
Lorna tersenyum. Jemari tangannya meremas jemari tangan Rahma yang memegangnya.
“Kenapa mesti minta maaf?” tanya Lorna.
Grace mencubit sembunyi-sembunyi pinggang Rahma. Memberi kode agar tidak menanyakan perihal itu. Grace takut Rahma menyinggung perihal Dewa. Dan Rahma tak menjawab pertanyaan Lorna. Takut membangkitkan kembali ingatan Lorna terhadap Dewa.
Setamat sma, Rahma tidak tahu kelanjutan hubungan Lorna dan Dewa. Sebab, tiba-tiba saja Lorna lenyap begitu saja. Seolah menguap ke udara terbawa angin. Meninggalkan seribu pertanyaan yang tiada habis-habisnya muncul dalam pikirannya. Sejak saat itu keduanya tak berhubungan lagi dengan Lorna dan Dewa. Sebab Lorna dan Dewa sudah tak bisa lagi dihubungi. Membuat Grace dan Rahma bingung dan putus asa kala itu.
“Temani aku, ya?” ucap Lorna lirih.
“Tentu kutemani, Sayang,” bisik Grace ke telinganya.
Lorna dipindahkan ke ruang VIP. Permintaan itu disampaikan orangtuanya dalam konsultasi dengan dokter melalui percakapan telepon.
Bu Linda, Rahma dan Grace mengantar ke ruang VIP. Mereka mengiringi troli yang membawa Lorna. Di depan pintu masuk kamar VIP. Rahma sempat berbincang dengan dokter Ratna yang menangani Lorna. Rahma menjelaskan asal kejadian. Kenapa sampai Lorna bisa tak sadarkan diri ketika dokter Ratna menanyakan kepadanya. Dokter Ratna yang masih muda itu pun menambahkan sedikit.
“Maminya juga memberitahu. Sejak datang dari Australia istirahatnya juga kurang. Mengalami sulit tidur. Begitu juga ceritamu, itulah kenapa temanmu sampai pingsan.”
“Iya, Dok. Sepertinya setiap hal menyangkut Dewa, kuperhatikan sikapnya selalu aneh.”
Dokter Ratna menitip pesan ke suster kepala. Sementara untuk menjauhkan pasiennya yang bermata biru itu, dari seseorang yang bernama Dewa.
“Betul kan Dewa namanya?” tanyanya kepada Rahma.
“Ya, Dok!”
“Kenapa sih, Dok?” tanya suster kepala penasaran.
Dokter Ratna berbisik ke telinga Suster Kepala.
“Masalah cinta...”
“Wow!” kata suster kepala seraya mengangkat keningnya.
“Faktor psikologis, Suster. Faktor psikologis!” tambah dokter Ratna seraya mengedipkan sebelah mata. Suster Kepala tertawa renyah.
Rahma sedikit bingung melihat sikap mereka.
“Kayak apa sih Dewa itu?” tanya Suster Kepala kepada Rahma.
Pertanyaan itu menahan langkah dokter Ratna yang sedianya mau beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu menatap ke arah Rahma. Ingin tahu.
Rahma tak menjawab. Hanya mengangkat ibu jarinya.
“Wow, pantas! Lha gadis itu sendiri cuantik buanget.” kata Suster Kepala.
Dokter Ratna memukul pinggang Suster Kepala lalu beranjak menjauh.
Rahma dan Suster Kepala kemudian masuk ke dalam kamar VIP. Lorna sudah dibaringkan di atas tempat tidur. Dikelilingi oleh Bu Linda, Grace dan Rahma sembari menantikan kehadiran Maminya.
"Sori, membuat kalian tak ikutan reuni," kata Lorna dengan suara lemah.
"Ah, nggak apa-apa. Reuni denganmu sudah cukup," jawab Grace.
"Kamu bukan datang dari Jakarta tapi langsung dari Australia kan?" tanya Rahma.
Lorna menjawab dengan mengatupkan mata.
"Maminya masih dalam perjalanan kemari..." kata Bu Linda.
Lorna berusaha tersenyum. Namun mata gadis itu nampak sayu dan berat. Barangkali akibat obat penenang agar dia bisa istirahat.
Maka Grace dan Rahma membatasi diri untuk tidak mengajaknya berbicara. Keduanya berjaga di sisi tempatnya berbaring seraya sesekali menyeka wajah Lorna yang kulitnya halus seperti pualam, bersih sekali. Bulu matanya berwarna coklat panjang dan lentik. Bibirnya berwarna pink hanya dilapisi pelembab tanpa cat. Alis matanya melerit seperti busur.
Gadis itu kini semakin nampak cantik sekali, demikian menurut pikiran Grace dan Rahma. Tak lama kemudian daun pintu kamar terbuka sedikit. Mereka pikir Mami Lorna yang datang, melainkan wajah Joy tersembul dari baliknya.
Joy memberi isyarat pada Rahma dan Grace untuk mendekatinya.
"Ada apa?" tanya Rahma ketika sudah berada di pintu.
Joy menunjukkan hapenya Lorna yang tadi jatuh saat dia pingsan.
"Dari siapa?"
"Dari sekolahan, ada yang memungut kemudian ada yang disuruh mengantarkan kemari," Joy menjelaskan.
"Baiklah, nanti kuberikan padanya, atau ke Maminya kalau sudah datang," kata Grace.
"Kamu berjaga saja di luar," kata Grace.
Joy tak menjawab, lalu berlalu dari hadapan Grace dan Rahma yang kembali untuk menjagai Lorna yang kini nampak tertidur pulas.