7. Rindu yang Terhalang.

Tiba di rumah sakit. Dewa langsung menuju UGD. Penjelasan petugas UGD membenarkan belum lama berselang ada pasien seorang gadis yang mengalami pingsan, tetapi sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ketika ditanyakan, di mana pasien tersebut ditempatkan. Petugas tak memberi penjelasan. Menyuruhnya menanyakan ke bagian informasi. Di bagian informasi, petugas jaga tidak memberi jawaban, alasannya belum ada konfirmasi terhadap pasien bersangkutan.
Dewa tertahan di pintu masuk tempat pasien menginap, tertahan oleh peraturan lantaran tidak sembarang waktu bisa keluar masuk berkunjung, waktu yang tidak tepat bukan saat jam berkunjung, juga lantaran tidak bisa memberikan alasan dan penjelasan yang meyakinkan perihal kunjungannya.
Dengan dagu terluka, serta kaos seputar leher dipenuhi bercak darah yang mengering. Dewa berdiri di pintu gerbang, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Yang pasti adlah perasaan jengkel yang sedang dirasakannya. Jengkel terhadap situasi yang dihadapi. Jengkel kepada mereka yang berusaha menghalanginya bertemu dengan gadis yang telah bertahun-tahun tak pernah ditemui lagi, yang muncul kembali dihadapannya.
Untuk meredakan emosinya, Dewa berusaha menghibur diri pada semua itu kenyataan yang harus dihadapi.
Tidak berapa lama, secara tidak sengaja Joy muncul di pintu. Keduanya terhenyak. Saling terkejut dan saling memandang.
“Lho!"
"De!"
"Jo!”
“Kamu ada di sini?”
"Kamu juga ngapain?"
Joy melihat luka di dagu Dewa. Juga t-shirt bagian atas terdapat bercak darah. Dia pikir, kemunculan Dewa bermaksud untuk mengobati lukanya itu. Tetapi dugaannya salah, sebab Dewa menolak ketika diajaknya ke poliklinik. Juga tak mau menjelaskan sebab lukanya saat Joy menanyakannya. Joy akhirnya menangkap maksud kedatangan Dewa ke tempat itu. Yang membuatnya kemudian harus bersikap pura-pura tidak tahu maksud kemunculannya di rumah sakit.
“Kamu kemari mau berobat kan?”
“Nggak!” sela Dewa.
“Lalu?”
“Aku mau lihat Lorna!”
Jo menatapnya.
Yah. Itulah maksudnya datang ke kemari, pikir Joy. Meski masih penasaran kenapa dagu Dewa terluka.
“Lukamu kena apa? Jatuh dari motor?"
Dewa tak menanggapi.
"Obati dululah!”
“Kau tahu tempatnya?” tanya Dewa mengabaikan pertanyaan Joy.
Joy blingsatan. Sulit memberi alasan pada Dewa, karena keberadaannya di tempat itu ada hubungannya dengan gadis yang sedang dicarinya. Tetapi Dewa tidak boleh tahu, sesuai pesan Rahma dan Grace kepadanya.
“Nggak!” jawab Joy mengelak.
“Lalu kau ngapain di sini?” Dewa menyelidik
Joy tahu Dewa mulai curiga, tetapi tetap tak ingin memberitahu keberadaan Lorna. Joy terpaksa berbohong. Tapi Joy tidak bohong kalau dia sendiri juga tidak tahu di mana ruangan Lorna menjalani rawat inap. Rahma dan Grace sengaja tidak memberitahu, karena tak sepenuhnya mempercayainya. Sebab mereka tahu hubungan Joy dan Dewa amatlah dekat.
Joy tahu persoalan Dewa dan Lorna. Tapi tak bermaksud berpihak kepada Rahma dan Grace. Melainkan ada alasan untuk melakukan itu. Semua demi kebaikan Dewa sendiri. Saat ini situasinya masih tidak baik bagi Lorna. Demikian juga dengan Dewa yang masih emosional.
“Kenapa diam, Jo?”
Semula Jo bersikeras berkelit. Sebuah dilema yang sulit dipertahankan. Tetapi karena tahu persis Dewa serta rasa hormatnya pada Dewa. Joy akhirnya tak tega untuk bersikap hipokrisi terhadap sahabatnya itu. Apalagi Dewa selama ini selalu mengkomunikasikan setiap persoalan dengannya dengan baik. Merasa yakin Dewa bisa mengendalikan diri. Dewa bisa menakar situasi yang dihadapinya.
Akhirnya Jo mengalah, dengan resiko Rahma dan Grace akan marah terhadapnya.
“Aku yang mengantar Lorna kemari,” jawab Joy mencoba menjelasan, “Mereka menyuruhku menunggu di sini. Sebelum kembali ke sekolah, Bu Linda sempat memberitahu kalau Lorna pingsan akibat Hb darahnya drop.”
Awalnya Dewa sempat kesal atas sikap Joy yang dirasakan mencoba menyembunyikan sesuatu. Tapi jawaban yang diberikan Joy tentang kondisi Lorna, membuat rasa kesalnya teredam.
Joy lantas menceritakan awal peristiwanya kenapa dirinya sampai terlibat. Cerita singkat Jo, akhirnya membuang kekesalan Dewa. Bahkan, sebaliknya berterimakasih Joy bisa membawa Lorna ke rumah sakit tepat waktu.
Thanks, Jo!”
"Sudahlah!"
Konflik yang terjadi antara dirinya dengan Beni belum lama berselang juga berusaha ditepiskan. Tetapi tetap tak ada keinginan menjelaskan pada Joy.
“Yang penting Lorna sudah ditangani,” Joy menambahkan.
“Kamu benar..."
Jo manggut-manggut.
"Kau benar-benar tak tahu tempat Lorna menginap?" Dewa mencoba bertanya lagi.
“Percayalah...”
Ganti Dewa yang mengangguk. Tatapannya dingin.
Seorang Suster perawat melintas di hadapan mereka.
Joy memanggilnya. Suster itu masih muda.
“Selamat pagi, Suster!” kata Joy menyapa ramah.
Gadis itu menghentikan langkahnya.
“Selamat pagi!”
“Bisa minta tolong, Sus. Teman saya perlu pengobatan.”
Sejenak gadis perawat itu memperhatikan Dewa.
Dewa balas memandang tatapan suster itu sejenak.
Suster itu tergagap oleh tatapan Dewa yang tajam menusuk. Lalu pandangannya segera dialihkan kepada Jo.
“Kenapa?” tanya suster itu.
"Tanya kepadanya?" kata Jo.
"Kenapa, Mas?"
Dewa mengedikkan bahu.
Suster itu memandang Joy. Enggan mendesak dengan pertanyaan lagi.
“Kenapa, De?” Joy menanyai Dewa.
“Nggak kenapa!” Dewa menjawab datar.
“Kok, nggak kenapa. Di bawah dagumu ada luka sobek. Nanti infeksi!” timpal suster itu.
“Biarlah!” tukas Dewa dengan suara datar.
Suster muda itu mengerenyitkan kening oleh jawaban Dewa.
Joy mengusap dahi tanpa alasan atas jawaban Dewa yang asal-asalan.
“Kalian mau berobat atau mau apa?” tanyanya Suster muda itu gusar.
“Saya pingin tahu pasien yang baru masuk,” tukas Dewa.
“Apa hubungannya? Wah, banyak sekali. Pasien yang mana?”
Joy memberi isyarat kedipan kepada gadis itu. Tapi gadis itu tidak menangkap maksud kedipan Joy.
“Coba tanyakan saja ke loket pendaftaran atau ke bagian informasi. Tapi kalau mengunjungi pasien, waktunya bukan sekarang, nanti sore. Sebentar lagi waktu pasien makan siang. Setelah itu, mereka tidur tidak boleh dikunjungi. Lebih baik kalian pulang dulu.”
“Pulang?” potong Joy menyela.
“Ya, terserah, kalau mau menunggu di luar.”
“Luka temanku bagaimana?”
“Dia bilang biarkan saja.”
“Bujuk dong, Sus?”
“Emangnya bayi...” jawab Suster itu sambil tertawa.
Joy menepuk bahu Dewa.
“Kau obati dulu lukamu.”
“Sudah mendaftar ke loket?” Suster itu balik tanya.
Dewa bertanya menyela. Menepiskan pertanyaan gadis itu.
“Kamu benar nggak tahu di ruang mana Lorna ditempatkan, Jo?”
“Sumpah, De! Saya disuruh menunggu di sini. Grace dan Rahma yang tahu.”
Lantaran diabaikan. Suster muda itu lalu pergi meninggalkan Joy dan Dewa yang berdebat sendiri. Tetapi tidak beberapa lama Suster muda itu kembali menghampiri. Kali ini disertai seorang lelaki berseragam satpam.
“Selamat siang, Mas!” sapa satpam bernama Hermanus, namanya terbaca di bordiran di atas saku seragamnya. Melihat tampangnya, kalau bukan dari Ambon ya Flores, batin Joy.
“Siang, Om!” balas Joy.
“Kalau mau berobat kami persilahkan ke polikinik. Mari kami antar mendaftar,” ajak satpam Hermanus.
Joy curiga Suster manis itu sengaja membawa satpam. Kecurigaannya benar. Di belakang satpam. Gadis itu menjulurkan lidah. Meledek Joy.
Mereka menuju ke poliklinik.
“Sudah punya pacar?” tanya Joy perlahan. Suaranya nyaris seperti bisikan.
“Iih, kok nanyaknya itu.?” jawabnya berkelit.
“Kan cuma tanya.”
“Kalau tanya lihat situasi dong. Mending pikirin temenmu.”
“Yang dipikirin nggak ngerti pikiranku,” balas Joy.
Gadis itu menahan tawa. Mencuri pandang ke Dewa yang melangkah tegar di samping satpam. Berbeda dengan lelaki yang menggodanya. Lelaki itu tak banyak bertingkah. Bila ditatap matanya selalu menghindar. Wajahnya terkesan dingin. Rambutnya lurus. Panjang sebahu. Terikat karet hitam di belakang. Wajah itu mengingatkan aktor serial film Renigade serial film tivi. Namanya Lorenzo Lamas. Wajahnya kayak aktor itu. Kaos t-shirt-nya, sabuknya, sepatunya, celananya. Segala yang dipakainya gayanya kayak Lorenzo. Ngefans Lorenzo kali? Ah, wajah itu memang mirip Lorenzo. Cuma wajahnya nggak bule. Ah, Lorenzo juga bukan bule. Dia Latin? Tapi orang Amerika Latin kebanyakan juga bule. Atau dia lebih mirip dengan Antonio Banderas? Bodo ah kok jadi bandingkan dia dengan bintang film latin dan bule!
“Sus, rumahnya di mana?”
Pertanyaan Joy membuyarkan lamunan gadis itu yang lagi mikirin Dewa.
“Hus! Jangan berisik!” sergah Suster itu.
“Sudah sampai. Silahkan!” kata satpam Hermanus, “Selanjutnya, Suster Anita yang akan mengurus,” katanya menambahkan.
Pria paruh baya itu kemudian berlalu dari situ.
“Suster, Anita!” panggil Joy.
“Ya?”
“Ah, nggak. Cuma menyakinkan nama situ Anita,” kata Joy sambil menghenyakan pantatnya ke kursi plastik.
“Bandel!” ujar Suster Anita sengit.