8. Menunggu.

Di atas tanah pelataran rumah sakit. Debu bulan Agustus beterbangan tertiup angin. Membentuk pusaran seperti angin tornado. Sampah plastik dan daunan kering ikut diterbangkan.
“Jo!”
Joy yang duduk memejamkan mata, tersentak. Lalu membuka kelopak matanya.
“Ngapain di situ? Kita putar-putar mencarimu. Nggak tahunya tiduran di sini!” ujar Rahma yang sudah berdiri di hadapannya.
Joy tergagap sesaat.
“Ssstt...” Joy segera memberi isyarat dengan jari telunjuk di bibir agar Rahma dan Grace tidak bersuara keras.
“Ada apa?” tanya Grace.
“Dia ada di dalam!” Suara Joy pelan.
“Siapa?”
“Dewa!”
“Dewa?” dahi Rahma berkerut
“Iya!”
“Di dalam?”
“Iya!”
“Ngapain?”
“Berobat!”
“Berobat? Sakit apa?” Rahma semakin tidak mengerti.
“Terluka!”
“Apanya?”
“Ininya sobek!” Joy menunjuk ke dagunya persis seperti letak luka di dagu Dewa..
“Sobek?” tanya Rahma.
“Iya!”
“Kenapa?” tanya Grace.
“Mana tahu? Dia juga nggak mau beritahu!” Joy mencoba jelaskan.
Grace dan Rahma berpandangan.
“Ah, jangan ngaco, Joy! Persoalan Lorna saja sudah bikin jantungku mau copot. Sekarang kamu lagi bawa cerita yang nggak-nggak.”
“Terserah kalian ah! Kalau nggak percaya. Kalian tunggu di sini sampai dia keluar. Eh, kalian mencari aku ada urusan apa?”
“Mengajak makan siang. Udah makan?” tanya Rahma.
“Ya, belum! Sungguh, dia ada di dalam. Aku ketemu di depan. Dagunya sobek. Mungkin sekarang lagi di jahit. Dia mau ketemu Lorna.”
“Jangan!” sergah Rahma, ”Lorna sudah bersama Maminya.”
Lalu Grace dan Rahma saling berbisik. Membuat kesepakatan. Joy penasaran dengan apa yang direncanakan mereka berdua.
“Rahasia nih?” tanya Joy
“Ah nggak! Kalau kamu ikut kita, nanti Dewa curiga,” kata Rahma.
“Batal ngajak makan?”
“Tugasmu di sini!” kata Rahma.
“Tugas apa lagi?”
“Mengasuh Dewa!” jawab Rahma sembari ketawa.
Joy kembali duduk. Kedua temannya sudah menjauh. Mencoba mengembalikan lamunannya yang terputus, mencoba menghadirkan kembali wajah suster Anita. Joy tersenyum sendiri. Duduk di kursi plastik di teras poliklinik.
Seperti yang telah dilakukan Suster Anita. Rahma dan Grace ternyata pergi menemui satpam Hermanus. Mereka terlibat pembicaraan. Satpam Hermanus nampak manggut-mangut. Setelah itu Rahma dan Grace pergi mencari kantin.
Satpam Hermanus kini berjalan menghampirinya. Nah, mau apalagi manusia satu itu, pikir Joy. Dari sela pelupuk mata, satpam itu semakin mendekatinya. Lelaki paruh baya itu menyangka dirinya tengah tiduran menunggu Dewa selesai melakukan pengobatan.
Pada saat bersamaan Dewa keluar dari ruang pengobatan. Satpam Hermanus sudah berjaga-jaga agar keduanya tidak masuk ke dalam rumah sakit.
“Sialan!” Joy menyerapah sendiri.
"Kenapa, Jo?"
"Ah, nggak!"
Suster Anita ketawa lepas, tawanya renyah. Membuat hati Joy gemas, merasa dikerjai. Tapi hatinya senang, sebab gadis itu menyita perhatiannya. Joy sendiri tidak mengerti kenapa gadis itu tiba-tiba memikat sekali di mata hatinya. Di tengah kekosongannya setelah putus cinta, ini saatnya untuk memutus matarantai kekecewaannya selama ini, berkeinginan menggapai cinta Suster Anita sebagai peluang yang tak akan disia-siakannya.
Mentari sudah melintasi titik kulminasi saat Dewa berada di atas sadel sepeda motornya. Meski dirudung rasa kecewa akibat kesulitan bertemu Lorna, terlebih kepada teman-temannya berusaha menghalangi, namun berusaha tegar, dia berharap masih ada kesempatan lain.
“Kau ikut atau menunggu?” tanya Dewa menawarkan tumpangan kepada Joy.
Pandangan Joy masih tertuju ke Suster Anita yang melintas menjauh sampai lenyap dari pandangannya.
“Bagaimana dengan mobilku kalau aku ikut kamu. Aku harus kembali ke acara reuni,” jawab Joy tanpa melihat ke arah Dewa.
Dewa angkat bahu.
“Sori! Posisimu sudah digantikan Reni,” Dewa memberitahukan.
Joy tak paham maksud ucapan Dewa.
Suara knalpot motor Dewa mengeluarkan tekanan, menerbangkan debu di atas permukaan tanah. Lalu perlahan melajumeninggalkan Joy yang terpaku memandang Dewa berlalu dari hadapannya.
Joy harus cepat kembali ke ajang reuni. Meski apa yang dilakukan di rumah sakit membantu Lorna kelanjutannya belum jelas. Apakah urusan dengan Lorna sudah selesai atau belum. Sebagai anggota panitia itu juga satu kewajiban mengurus bila ada peserta yang sakit, sebagai bentuk pertanggungjawaban. Apalagi peserta yang sakit merupakan peserta yang spesial bagi sahabat dekatnya, Dewa. Sebab reuni itu sengaja digelar bertujuan mempertemukan Dewa dengan Lorna.
Ada dilema bagi Joy. Di satu sisi merasa bersalah bersikap pura-pura tak tahu terhadap Dewa. Tetapi di sisi lain, harus menyelamatkan gadis itu terhadap suatu yang buruk yang bisa saja terjadi. Ah. Dia harus mencari Rahma dan Grace agar segera bisa meninggalkan rumah sakit.
Sementara itu Dewa ragu untuk meninggalkan rumah sakit. Karenanya dia memperlamban laju sepeda motornya. Saat menjauh dari rumah sakit. Udara kering dan gersang terasa pengap, segersang dan sepengap perasaan Dewa. Rasa penasaran dan keinginan kuat menemui Lorna membuatnya mengurungkan niat menjauhi tempat itu. Lalu memutuskan memantau pintu rumah sakit dari seberang jalan. Diharapkan ada yang dikenali datang mengunjungi Lorna, sehingga bisa ikut masuk ke dalam.
Namun, hingga bayangan tubuhnya yang jatuh di atas tanah kian memanjang ke timur mulai pudar, dan lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Demikian pula penerangan rumah sakit juga mulai melawan kegelapan. Apa yang diharapkan tak juga kesampaian. Dari sekian banyak pasien yang berkunjung, tak satupun di antaranya yang dikenali.
Dewa masih menunggu untuk bersabar. Masih mengamati dari seberang seperti seekor kucing yang sedang mengintai burung yang ingin disergapnya. Sampai para pengunjung meninggalkan rumah sakit. Dan pintunya ditutup kembali.
Hari beranjak kelam bersama udara malam yang mulai menyergap dingin. Sekelam dan sedingin hatinya saat ini. Saatnya meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berharap gadis yang mau ditemui bisa pulih kesehatannya.