Sebelum mereka beranjak pergi ke rumah Dewa. Grace dan Rahma menunggu di ruang depan ditemani Papi dan Mami Lorna yang tidak mampu mencegah keinginan Lorna pergi. Sementara Lorna sendiri masih berada dalam kamarnya, duduk di pinggir tempat tidur, sedang berusaha mengingat-ingat, di mana property lamanya tersimpan, khususnya saputangan batik pemberian Dewa. Di tumpukan tempat saputangan dalam laci sudah dicari, tidak ditemukan. Di laci yang lain di kumpulan; bh, celana dalam, pengikat rambut, badanda, tidak juga ditemukan.
Bila sulit ditemukan, artinya barang itu teramat istimewa, pasti tersimpan di tempat khusus. Sejenak pandangannya tertumpu pada tumpukan kain slayer. Ada beberapa kain itu yang mengaitkan ke berbagai kenangan yang pernah dilalui bersama Dewa.
Tapi, kali ini yang dicarinya adalah saputangan. Benda itu juga tidak ada di antara tumpukan itu. Dicobanya untuk membuka dan membolak-balik kembali tumpukan itu, barangkali terselip, tapi tak juga ditemukan.
Di manakah barang-barang itu berada? Sulit sekali mengingat lantaran sudah lama terlupakan. Atau, barangkali dia lupa telah membuangnya lantaran emosi hebat saat tahu Dewa menikah dengan Nirmala.
“Lorna!”
Lorna tersentak.
“Dipanggil berkali-kali nggak nyahut!” kata Grace dari jok belakang.
Rahma tersenyum di samping Lorna.
“Sori!”
“Melamun?” tanya Rahma.
Lorna tak menjawab. Menyibak rambutnya yang panjang ke belakang.
“Pikiranmu jangan kemana-mana.”
“Nggak kemana-mana, Grace!”
“Kok diam saja?”
Lorna tak menjawab. Urusan saputangan, tak ada sangkut paut dengan para sahabatnya. Tapi, ketika Grace mendesak terus. Akhirnya Lorna mengutarakan apa yang sedang dipikirkannya.
“Saputangan batik dari Dewa?” tanya Garce.
Lorna mengangguk.
“Lupa di mana kusimpan.”
“Kamu pernah menerima saputangan darinya?” giliran Rahma yang bertanya.
Lorna mengangguk.
“Waduh!” Grace memotong ucapan Rahma, “Nah, lho...”
“Kenapa?” tanya Lorna tak mengerti.
“Itulah jawabannya selama ini...”
“Jawaban apa?”
“Alasanmu berpisah dengan Dewa!”
“Tak ada hubungannya.”
“Ada!”
"Ah, sok tahu kamu!"
"Saputangan itu yang membuatmu berpisah dengan Dewa." Grace masih ngotot.
“Bukan karena saputangan.”
“Karena saputangan itu!”
“Karena dia kawin, Grace!” Lorna berdalih.
Grace dan Rahma tertawa.
“Pemberian saputangan itu simbol perpisahan.”
“Wow! Terus?” ujar Lorna.
“Simbol kesedihan yang bakal terjadi,” Grace berusaha meyakinkan Lorna.
"Ih, masak sih?" Lorna tak percaya.
"Benar!"
“Tahayul!” Lorna menyebut sebagai tahayul.
“Bukan tahayul!”
“Tahayul”
“Bukan!”
“Tahayul!”
“Buktinya kalian berpisah. Dan kamu dirudung kesedihan terus-menerus!”
Lorna lantas diam. Tak bergeming. Ragu untuk membenarkan. Karena yang dialaminya memang seperti itu.
Rahma berusaha menenteramkan perasaan Lorna.
“Sudahlah. Itu memang tahayul. Yang kamu alami hanya kebetulan saja.”
Lorna merasakan adem perasaannya. Tersenyum sendu.
“Jangan coba-coba memprovokasi. Entar kubunuh kamu!” ujar Rahma kepada Grace.
Lorna tertawa lunak. Grace terbahak.
“Cari kembali saputangan itu, Na!”
“Grace!” potong Rahma.
“Terima saja saranku...”
“Grace!” sela Rahma. Suaranya meninggi.
“Carilah, Na!”
“Grace!”
"Kamu bisa celaka nanti!"
"Greeeeeeeeece!"
Rahma kesal.
“Sudah kucari!” Lorna menyela.
Rahma dan Grace diam, menahan nafas. Lorna memandang Rahma sejenak.
“Tapi belum ketemu...” lanjut Lorna.
Rahma dan Grace saling memamandang sesejenak.
“Apa saranmu, Grace?” tanya Rahma kemudian.
“Buang ke laut!”
“Jauh amat!”
“Ke sungai juga bisa.”
“Sungai Brantas maksudmu?”
“Boleh...”
Lorna tertawa geli.
“Kamu kayak dukun!” ujar Lorna. Suaranya lunak.
Mereka melintasi jalan Ijen. Pohon jambe masih tumbuh rapi di kanan kirinya. Hanya rumah-rumah yang berada di sekitar itu sebagian beralih fungsi jadi tempat bisnis.
Rahma yang mengemudi memperlambat laju kendaraan. Seratus meter dari depan museum Brawijaya, memutar kembali menuju jalan Semeru bawah.
Lalu lintas yang hendak berbelok padat.
Rahma mencoba bertanya perihal penutupan reuni yang sudah mereka bertiga bahas sebelumnya.
“Kamu serius sudah fit?” tanya Grace ke Lorna.
“Ya. Aku ikut ke Cangar besok. Kenapa?”
“Jangan gila!” potong Grace yang duduk di belakang.
“Kita kan bawa kendaraan sendiri,” Lorna tak mau mengalah.
“Apa Mami kasih ijin?”
“Emangnya balita. Dikit-dikit Mommy,” Lorna masih membela diri.
“Kamu kan masih harus banyak istirahat,” kata Rahma .
“Ih, kau ini kayak dokter Ratna!”
“Dasar bandel!” ujar Grace.
Mereka tertawa lepas. Sesungguhnya, obat Lorna adalah bisa ketemu Dewa. Sungguh tak terbayangkan bila keduanya bertemu setelah lama pisah, pikir Grace dan Rahma. Hari ini keduanya bahagia bisa mengantarkannya untuk berjumpa dengannya. Keduanya juga ingin bertemu Dewa. Mereka dulu akrab.
“Apakah masih menempati rumahnya yang dulu?” tanya Rahma.
Lorna tak menjawab pertanyaan itu. Pikirannya melayang ke masa silam. Dinding bola matanya yang jernih, memantulkan bayangan sepanjang tepi jalan.
“Kita coba. Kalau sudah pindah. Kita tanyakan Ndari, atau Beni. Joy juga pasti tahu,” jawab Grace.
Kendaraan meluncur ke timur. Lewat jalan Semeru. Lalu membelah jalan Basuki Rahmat. Sepanjang jalan, bangunan-bangunan sudah berubah. Nampak padat. Komplek sekolah Kanisius yang tak berubah, bangunannya yang kuno menjaga kenangannya di masa lalu, yang terpelihara dan tak berubah.