Sebuah BMW metalik convertibel berusaha memotong dari sisi dari arah kanan, posisinya semakin menempel ketat, suara klaksonnya menambah bising lalu lintas, lampu depannya berkedip-kedip. Mereka pikir BMW itu hanya bermaksud menyalib, tetapi ternyata tidak, kendaraan itu seakan sengaja membuntuti ketat di belakang mereka saat posisinya gagal mendahului.
Pada saat BMW tersebut kembali menyusul dan dalam posisi sejajar, Grace mencoba mencari tahu pengendara mobil itu. Setelah tahu, Grace langsung berteriak.
“Busyet! Itu Ronal!”
Lorna tersentak.
“Terus! Terus!” Garce memerintah agar jangan berhenti.
Ronal memberi isyarat dengan lambaian tangan yang dikeluarkan dari jendela.
Rahma mengabaikan.
“Terus, Rah!” teriak Lorna sengit.
“Dia nempel terus! Kita bisa nyungsep ke pinggir!” balas Rahma serius.
Ronal berhasil memaksa Rahma membuatnya menepikan kendaraannya. Tak lama kemudian Ronal keluar dari BMW-nya. Tak sendiri, diikuti cs-nya; Timi, Johan, dan Limbong. Rambut mereka panjang, diikat belakang. Ketiganya berkaca mata hitam, seperti bersepakat dengan penampilan nampak seragam. Hanya Timi yang pakai tindik di telinga dan hidung, yang lain hanya di telinga.
Ronal mengetuk kaca jendela mobil Grace yang dikemudikan Rahma.
Ketiga gadis itu masih di dalam mobil. Tidak mau keluar.
“Aku menyusulmu! Aku baru dari rumahmu!” kata Ronal berteriak, karena kaca mobil tak dibuka.
Lorna diam tak menimpali.
“Kamu Gila, Ronl! Kamu bisa celakain kita tadi!” kata Rahma tak suka sikap Ronal.
“Sori! Sori banget!”
“Kalau mau bicara, jangan begitu caranya. Mau apa, sih?” tanya Grace kesal. Suaranya lantang dari dalam mobil.
“Wow! Aku perlu bicara dengan Lorna. Lorna kan sudah sembuh. Kemarin di rumah sakit, kita belum sempat bicara banyak. Ayo, aku traktir kalian?”
“Sudahlah! Sori, nggak ada waktu! Kita ada perlu!” kata Rahma ketus.
“Kalian mau kemana?”
Tapi Rahma tak mau menjawab, apalagi saat Lorna mencubit pahanya sebagai isyarat untuk menghindar.
“Jalan, Rah!” tiba-tiba Lorna menyela.
Rahma segera menjalankan kendaraannya kembali, dan tancap gas.
“Hei, tunggu!” teriak Ronal.
“Biarkan!” Grace berteriak.
Dari kaca spion. Ronal masih berusaha membuntuti. Rahma cari akal untuk menghindar.
“Kamu telpon Beni!” kata Rahma.
Lorna segera mengambil ponsel dari dalam tas besarnya.
“Berapa nomernya?” tanyanya.
“Nggak tahu aku!” jawab Rahma.
“Lho!”
“Hubungi, Joy!” kata Grace.
Lorna memandangnya.
“Telepon!” kata Rahma melihat Lorna masih bengong.
Lorna lalu menghubungi Joy. Sementara Rahma sibuk menghindari kuntitan Ronal. Arah mereka sudah kacau balau. Membuatnya tersesat jalan. Ronal dan kawannya, membuatnya kebingungan arah.
Lorna berhasil menghubungi Joy. Langsung menceritakan situasi yang sedang dihadapi. Joy pun berang.
“Brengsek!” Joy memaki, “Posisi kalian di mana?”
“Joy tanya posisi kita di mana?” tanya Lorna kepada Grace.
“Nggak tahu!” jawab Grace.
“Kau, Rah?”
“Nggak tahu juga!”
“Nggak ada yang tahu, Jo!”
“Kayaknya kita ada di Blimbing!” kata Grace.
“Di Blimbing, Jo!”
“Ngapain sampai sana?”
“Kok ngapain? Ya, bingung, Jo!”
“Oke, oke, kalian balik arah saja. Kalian ke Sarinah. Aku tunggu di sana. Brengsek!”
“Lho! Siapa yang brengsek, Jo?” tanya Lorna.
“Ronal!”
“Oo...”
Mereka berbalik arah, ke selatan. Tak lama kemudian, mereka sudah memasuki halaman parkir pertokoan Sarinah, yang letaknya di bagian utara alun-alun. Rolan masih membuntuti.
“Itu Jo!” ujar Grace, menuding girang ke arah mereka, seakan baru saja terbebas dari kejaran setan. Mereka itu memang setan, makinya dalam hati.
Joy berlari menghampiri bersama pasukannya; Ismet, Nababan dan Rinto. Mereka nampak berjaga-jaga. Pandangannya menyelidik ke segala penjuru arah, terutama ke pintu gerbang tempat kendaraan masuk.
Joy memandu mencarikan tempat parkir. Ada ruang untuk parkir di depan butik pakaian. Dan
Lorna, Rahma dan Grace lantas bergegas turun.
“Terimakasih, Jo,” kata Lorna.
“Kamu sudah sehat?”
“Sehat, Jo.”
“Apa maksudnya mereka buntuti kalian?” tanya Joy jengkel.
“Nggak tahu, Jo. Katanya pingin bicara dengan Lorna. Tapi Lorna lagi tak mau diajak bicara.” jawab Rahma mencarikan alasan Lorna.
Ronal melihat Joy dan yang lainnya masuk ke dalam restoran cepat saji, mengawal ketiga gadis itu. Membuatnya batal parkir, dan hanya melintas, mengamati Lorna dan Joy sedang memilih tempat duduk dekat pintu masuk.
Dari sudut mata, Lorna melihat kendaraan Ronal melintas perlahan, lalu menghilang.
“Mereka sudah pergi,” kata Grace yang pandangannya ikut menyelidik.
Mereka duduk berhadapan. Di tengah meja, penuh makanan dan minuman yang dipesan Rahma.
“Sebenarnya, kalian mau kemana?” tanya Jo.
“Ke tempat Dewa,” jawab Rahma.
Joy berpaling memperhatikan Lorna sedang minuman menggunakan sedotan. Lorna berusaha menurunkan gejolak perasaannya setelah kejadian itu. Joy merasakan situasi yang berbalik dari peristiwa Lorna dengan Dewa. Kalau kemarin Dewa berusaha menemuinya. Kini gadis itu yang bermaksud sama. Hatinya turut gembira. Itulah maksudnya reuni dilangsungkan. Agar keduanya punya kesempatan bertemu kembali. Selanjutnya terserah keduanya.
“Kamu sudah sehat, Na?”
Lorna mengangguk.
“Tenanglah! Ronal nggak bakal kemari. Perlu kalian tahu hubunganku dengan Mirna berantakan gara-gara dia,” Joy melanjutkan.
Lorna mengangkat kening. Rahma berpaling menatap Joy. Mata Grace terbelalak.
“Kamu putus sama Mirna?” tanya Grace.
“Ya!”
“Pasalnya?”
“Dia pacarin Mirna.”
“Ou!” Lorna menyergah.
“Habis, Mirna mau!”
“Kamu diam saja?” tanya Rahma.
“Mirna mau!”
“Dia selingkuh kamu biarkan?”
“Apa hakku melarangnya?”
“Terus?”
“Ya, bubar!”
Ketiga gadis itu saling menatap.
"Kasihan deh kamu!" kata Grace.
Lorna kembali menyedot minuman dinginnya. Tak menyentuh potatoes stick yang dipesan Rahma, apalagi ayam goreng. Sengaja menghindari makanan itu, untuk menjaga keseimbangan kolesterolnya.
Grace dan Rahma menyuap kentang goreng sepotong demi sepotong. Memet, Nababan dan Rinto asyik dengan potongan paha, membelah dagingnya yang masih berasap.
“Jadi putusnya hubungan kalian sudah lama?” tanya Rahma ingin tahu.
“Setahun lalu.”
“Kosong dong?”
Joy ketawa.
“Ah, nggak juga. Boleh kupinjam ponsel kalian. Bateraiku drop.”
Lorna meminjamkan ponselnya.
“Thanks, Na!”
Joy menghubungi seseorang. Menunggu sambungan.
“Halo, Ya! Bisa minta tolong di sambung ke Suster Anita?”
Joy menunggu lagi.
“Suster Anita?” tanya Grace heran.
Rahma, Grace dan Lorna saling pandang.
“Aku jemput kamu ntar ya? Aku ada di MacD dengan temen-temen lama. Mau kenalan? Ngomong sendiri, ya? Temen! Ada laki, ada perempuan. Nih, dia mau kenalan dengan kalian,” kata Joy seraya menyodorkan ponsel Lorna di tangannya. Tetapi merubahnya terlebih dulu ke mode hand free, agar semua bisa ikut mendengar.
Rahma dan Grace berebut menangkap ponsel dari tangan Joy. Rahma lebih cepat. Lorna tersenyum memperhatikan.
“Halo!” sapa Rahma.
“Halo juga!”
“Aku Rahma. Dinas di mana?”
“Lavalette!”
“Lavalette?” tanya Rahma seraya mengangkat dahi, “Nama kamu, Anita? Eh, tunggu dulu! Suara kamu kayak aku kenal deh. Oo, Ya ampun! Kamu kan yang mengobati luka temenku kemarin, yang di poliklinik itu?”
“Yang mana?”
“Yang luka di dagunya?”
“O, yang ganteng itu!”
“Iya!”
“Iya, tadinya gue naksir dia. Tapi nggak tahu, kok kecantol sama Joy. Soalnya Joy bilang, lelaki itu sudah ada yang punya. Apa benar?”
Rahma ketawa.
“Ya lah! Jangan coba-coba naksir yang itu...”
Gadis itu tertawa renyah.
“Kalau soal Joy. Nggak promosi. Percaya deh padanya. Joy bisa kamu andelin. Dia tipe lelaki penuh tanggung jawab! Setia!”
Rahma ketawa lagi. Joy menimpuk Rahma dengan potongan kentang goreng.
"Tapi kenapa kalau cowok yang luka dagunya itu?"
"Cowok itu sudah ada yang punya!"
"Yang benar? Kamu kali?"
"Ih, mana mau dia sama aku?"
"Jadi siapa dong?"
“Cowok yang kamu obati lukanya itu. Yang punya ada di samping gue,” kata Rahma seraya melirik pada Lorna.
Lorna blingsatan. Memandang Rahma dengan tatapan tidak ngerti arah pembicaraan itu.
“Kamu ngomong apa, Rah?” tanya Lorna kemudian bernada penasaran.
Bahwa, yang punya ada di samping gue, yang Rahma bilang. Yang dimaksud tentu Dewa, sebab Joy duduk di seberang Rahma. Nababan, Ismet dan Rinto di meja lain. Lalu yang terluka dagunya pasti Dewa. Kenapa Dewa? Ada apa dengan Dewa? Dewa terluka? Kenapa dia terluka? Luka itukah jadi penyebabnya tidak datang mengunjungiku saat aku ada di rumah sakit?
Lorna nampak cemas. Ada yang mereka sembunyikan dariku. Berbagai pertanyaan mulai muncul. Rahma merasakan perubahan wajahnya, membuatnya lalu mengoper telepon di tangannya kepada Grace.
“Sori, Na!”
“Yang kamu bicarakan barusan tentang Dewa?” tanya Lorna.
Rahma mengangguk ragu.
“Kenapa kalian nggak bilangin aku. Aku jadi nggak ngerti. Kira-kira apalagi yang masih kalian sembunyikan?”
Rahma salah tingkah. Terdiam mendekap kedua pipinya dengan telapak tangan. Tak tahu bagaimana menjelaskan. Joy melihat kebingungan Rahma. Grace menyudahi teleponnya. Dalam hatinya menyalahkan Rahma keceplosan bicara.
Ponsel diberikan kembali ke Joy. Joy mematikan ponsel. Lalu dikembalikan ke pemiliknya, Lorna.
Situasi berubah kaku.
“Ada apa sih?” Grace pura-pura bertanya. Ingin mencairkan suasana.
“Ah, nggak!” jawab Lorna tersenyum terpaksa. Jawaban itu menikam Rahma. Jawaban Lorna terasa hipokrisi baginya.
Lorna minta di antar pulang. Membatalkan niat ke tempat Dewa. Rahma dicekam rasa bersalah. Ucapan Lorna dirasakannya seperti telah menuduhnya merahasiakan sesuatu. Menjadi serba salah. Bila diceritakan kejadian sebenarnya, Lorna akan beranggapan, dirinya sengaja mencegahnya bisa bertemu Dewa.
Rahma mengurangi kecepatan mobil. Perlahan lalu berhenti di tepi jalan.
Lorna menatap Rahma.
“Kenapa berhenti?”
Meski tatapan itu datar, namun terasa menikam. Selama ini mereka bertiga seperti satu perasaan.
“Maafkanlah aku!” Rahma meminta maaf.
“Ya sudah, lupakan!”
“Nggak bisa sesederhana itu melupakan, Lorna!”
“Bisa!” Lorna berusaha tersenyum.
“Nggak, Na!”
“Sudahlah...”
“Nggak bisa, Na! Kamu mesti dengar! Ini nggak seperti yang kamu kira!”
“Aku nggak mau hubungan jadi nggak baik lantaran ini,” sela Lorna.
“Sebaliknya, aku juga nggak mau, kamu punya prasangka buruk padaku.”
“Hei! Kenapa bilang begitu? Kalau begitu maafkan bila tadi aku salah bicara!”
“Kamu nggak salah!” sergah Rahma.
“Aku salah!”
“Enggak!”
“Kamu benar. Aku yang salah!”
“Enggak! Kamu nggak kesalahan. Aku yang salah. Kalau kamu punya prasangka kalau aku menyembunyikan sesuatu. Itu benar. Tetapi...” Rahma tak meneruskan kalimatnya.
Suasana jadi hening.
Grace yang duduk di belakang, yang serius memperhatikan. Diam saja. Bersikap hati-hati. Menghindari salah bicara. Berharap Rahma bisa menyelesaikan salah pengertian itu. Grace menyimak dengan tangan dilipat. Menurutnya, memelihara persahabatan itu sulit, sesulit seperti saat ini.
Rahma terus mencoba menjelaskan. Lorna diam tak bergeming.
“Kita tak bermaksud menyembunyikan sesuatu, Na. Sikap yang kita ambil karena kita tak ingin ada hal-hal buruk menimpamu. Sebenarnya, memang ketika itu Dewa bermaksud menemuimu begitu dengar kamu dibawa ke Lavalette. Tetapi teman-teman sengaja mencegah. Bu Linda juga mencegah. Semua diberitahu jangan sampai kalian bertemu. Tetapi langkah yang diambil itu bukan tanpa alasan. Persoalannya diawali, saat Dewa tanpa sengaja hampir menabrakmu di pintu gerbang.”
Kening Lorna mengerenyit sejenak.
“Tetapi kamu tidak tahu. Yang nyaris menabrakmu itu adalah Dewa. Kamu tak menyadari pengendara motor itu Dewa. Dewa pikir, kamu pingsan akibat insiden kecil dengannya di pintu gerbang. Padahal kita sendiri tidak tahu sebabnya, kenapa tiba-tiba kamu pingsan. Apalagi kamu pingsan gara-gara kita sebut nama Dewa dengan menuding ke arahmu.”
Rahma berhenti sejenak. Lorna menyimak serius.
“Kalau luka yang dialami Dewa, akibat Beni berusaha mencegahnya pergi menemuimu ke rumah sakit. Dia jatuh menimpa pijakan rem motornya. Akhirnya, kita semua berusaha mencegah kalian bertemu? Kita semua merasa takut, jika pertemuan kalian akan berakibat runyam lantaran...”
Rahma berhenti sejenak.
Lorna menunggu Rahma meneruskan. Pelupuk matanya basah. Tapi Rahma tak juga meneruskan.
“Lantaran apa, Rah?” Lorna bertanya. Suaranya melunak.
“Lantaran kamu masih mengharapkannya,” Rahma menyelesaikan kalimatnya.
Grace yang duduk di belakang membenamkan wajah ke pangkuan. Menyembunyikan bola matanya yang tiba-tiba ikut basah.
“Kamu masih mencintainya?” tanya Rahma perlahan.
Lorna tak menjawab, mengingsut lubang hidungnya yang berair dengan tisu. Tatapannya kabur oleh genangan airmata.
“Katakanlah, Na!” Desak Rahma.
Lorna menggeleng lemah.
“Aku nggak tahu!”
“Kamu masih mencintainya?”
“Aku nggak tahu!”
“Katakanlah!”
“Nggak tahu!”
“Jangan menipu dirimu. Kamu mengajak kita untuk menemuinya, bukankah...”
Lorna cepat memotong.
“Aku hanya bermaksud mengklirkan hubungan kita selama ini.”
Lorna menutup wajah dengan telapak tangan seraya berkata dengan terbata-bata.
“Sejak kehadiran Nirmala, kurasakan hubungan itu sudah berakhir.”
“Tapi Nirmala sudah meninggal. Kamu sendiri akhirnya mengetahui alasan hubungan Dewa dengan Nirmala?”
“Dia sengaja menjauhiku!”
“Itu penafsiranmu. Yakinkah dia tidak lagi mencintaimu?”
“Tapi bukan begitu caranya. Kenapa dia tidak bicara terus terang. Setidaknya kan bisa tulis surat, beritahukan aku, ‘Hai Lorna hubungan kita sudahi sampai di sini saja? Apakah tidak ada cara lain selain bersikap seperti itu? Kenapa? Hatiku sakit, Rah! Hatiku sakit! Sakit sekali! Aku benci keadaan ini! Benci situasi ini!” ujarnya berulang seraya menatap Rahma dengan bola mata basah.
Rahma merengkuhnya ke dalam pelukannya.
“Tidak, Na! Kalau hubungannya dengan Nirmala sebagai alasan agar kamu menjauhinya aku juga tak mengerti. Hubungan kalian kan sedemikian dekat. Tapi kalian tak memahami arti hubungan itu. Katakanlah kalau kau masih mencintainya?”
Lorna tak menimpali.
“Katakanlah kamu masih mencintainya...” ulang Rahma.
Lorna masih tak menimpali.
“Aku tahu Lorna cinta banget pada Dewa!” Grace tak sabar melihat sikap Lorna.
“Diamlah, Grace!”
“Bilang kamu masih mencintai Dewa!” Grace masih menekan.
“Grace!” sergah Rahma.
"Aku yakin Lorna cinta banget padanya." kata Grace dengan mata berkaca-kaca.
"Husss!" Rahma menatap tajam Grace.
Sambil menggigit bibir bagian bawah, Lorna mengangguk lemah.
Rahma menarik nafas.
"Nah, apa kubilang?" Grace menambahkan, "Yang menghalangi cinta kalian adalah cintamu sendiri, Na." Grace melanjutkan.
Rahma melempar wajah Grace dengan gumpalan tisu bekasnya mengeringkan matanya yang juga berlinang.
“Jalan terbaik. Kalian harus bertemu. Kalian harus bicara. Tanyakan. Apa sesungguhnya dia memiliki perasaan yang sama denganmu. Ataukah hubungan kalian dalam pandangannya, ternyata sebatas persahabatan?”
Lorna menyeka matanya dengan tisu.
“Keterlaluan kalau ternyata memang sekedar persahabatan!" sela Grace.
"Kita cari jalan keluar, Oke?!” kata Rahma menghibur.
Lorna menatap lembut Rahma.
“Ah, cinta! Harusnya dibilang, jangan dipendam!” ujar Grace.
Rahma menatap tajam Grace.
Lorna berusaha tersenyum.
“Grace benar, Rah!”
“Nah, apa kubilang?”
“Aku berniat menemuinya, ingin menyampaikan seperti yang baru dibilang, Grace.”
Perasaan Rahma dan Grace menjadi lega mendengar pengakuan Lorna. Sejak dulu keduanya merasa, bahwa Lorna mencintai Dewa. Meski tak pernah berterus-terang.