19. Hati Yang Bersedih.

Akibat kesalahpahaman, mereka batal pergi ke rumah Dewa, apalagi tak satu pun dari ketiganya mengetahui nomer telpon Dewa, dan lupa menanyakan itu kepada Joy saat berkumpul di MacD, dan tak berniat menanyakan kembali.
Ketiganya lalu memutuskan pergi ke Alun-alun square, bermaksud belanja pakaian untuk keperluan pergi ke Cangar besok.
“Kita pakai celana jean saja, Na.” usul Grace.
Maka ketiganya memilih celana jean.
“Atasannya pakai apa?” tanya Lorna.
“T-shirt?” tanya Rahma.
“Oblong saja.” jawab Grace.
“Semua pakai seragam kaos reuni dari panitia. Kita bertiga saja yang belum kebagian,” kata Rahma.
“Ya, nggak apa. Kita bertiga cari kaos yang sama. Kita berseragam sendiri,” kata Grace.
“Enak nggak?” tanya Lorna.
“Ya, dienak-enakin!”
“Nanti, dipikir kita lain sendiri,” kata Lorna lunak.
“Habis, kita kan nggak kebagian,” Grace berdalih.
“Oke, kalau itu mau kalian. Lorna ikut saja, tapi kalian yang menghadapi kalau itu bikin masalah,” kata Lorna seraya melambaikan sebuah topi.
“Pilih yang kabaret!” Grace meminta.
“Bertiga pakai kabaret ya?" tanya Lorna.
Ketiganya kembali pulang setelah terlebih dulu mampir ke supermarket, berbelanja buat kebutuhan besok untuk acara penutupan reuni.
Rahma masih berusaha mendapatkan konfirmasi Beni tentang telepon rumah Dewa, untuk membantu Lorna agar bisa melakukan kontak langsung dengan Dewa. Tetapi Beni sulit dihubungi. Demikian pula saat malam hari minta bantuan Ndari.
“Tidak nyambung, Na! Cobalah hubungi Joy!” kata Ndari.
"Okey, Ndar. Thanks ya?"
Lorna lalu mencoba menghubungi Joy, dan tersambung.
“Tahu nomernya Dewa, Joy?”
“Eh, mana punya nomer dia.”
“Apa? Yang betul, Jo?” Lorna tak yakin.
“Betul! Coba hubungi Beni. Dia paling tahu.”
“Sudah, tapi nggak bisa dihubungi.”
“Barangkali sibuk untuk acara besok. Mungkin sedang hunting lokasi?”
“Kemana?”
“Cangar!”
“Ke Batu?”
“Ya! Kamu ikut, Na?”
“Ikut apa?”
“Ke Cangar!”
“Kapan lagi, Joy.”
“Baguslah! Mungkin Beni ke tempat itu saat ini!”
“Kamu yakin?”
“Mungkin...”
“Berangkat bareng dari sekolahan, ya?”
“Ya, carter empat bis. Kalau kamu bawa kendaraan sendiri bebas saja. Tapi enjoy kalau bareng-bareng satu bis. Suasananya akan lain.”
“Aku bawa sendiri. Bertiga Grace dan Rahma. Joy, kamu yakin, dia nggak ada telepon?”
“Mau dipasangin?”
“Ah, bisa saja kamu!”
“Kudengar, di Jakarta kamu punya production house.”
“Ah, biasa saja. Gimana dengan grup musikmu? Sayang sekali, aku tak bisa menyaksikan kalian tampil di acara reuni.”
“Masih merayap!”
“Bikinlah album, Joy.”
“Sudah mencoba. Tapi masih banyak persoalan.”
“Kenapa?”
Joy tertawa.
“Kita masih bergantung pada Dewa, yang lebih mendorong kita yang maju. Padahal pinginnya kita dia jadi leader supaya kita bisa muncul, tapi dia nggak mau. Dewa tak cuma kuat di vokal dan penguasaan instrumen, tapi dia kreatif mengaransemen dan mencipta lagu.”
“Oh, ya?”
“Kamu belum tahu Dewa sekarang ya, Na. Banyak berubah.”
Ucapan Joy membuatnya kian penasaran.
“Berubah apanya, Joy?”
“Apa saja! Pokoknya hebat, Na! Hanya saja, kita tak lagi bisa menemukan keceriaannya seperti saat kumpul kamu dulu.”
“Memangnya kenapa, Joy?”
“Sulit membuatnya tertawa. Sikapnya dingin. Lebih serius. Nggak banyak bicara.”
Hati Lorna merasa diremas. Seperti dialiri rasa iba.
“Memangnya kenapa, Joy?” Lorna kian penasaran.
“Setahuku, sejak kalian berpisah, dan dia menikah. Sikapnya lain. Kegiatanku dengan Beni sepenuhnya dia yang sokong. Sebenarnya dia terlibat, tapi cenderung membebaskan kita untuk melakukan kemauan kita. Intinya dia ingin kita tak tergantung padanya dalam hal bermusik. Lagu-lagu ciptaannya sudah kita rekam.”
“Dia bikin lagu?”
“Bukan untuk konsumsi publik.”
“Terus?”
“Tak bisa kita gunakan. Dia tak ijinkan. Kita tak berani mengusik itu. Jadi kubuat lagu sendiri, kolaborasi dengan Beni dan kawan-kawan.”
“Boleh dengar lagunya?”
“Lebih baik jangan dulu, Na. Nggak etis. Bicara sendiri nanti padanya, kalau ingin dengar musiknya.”
“Tak apa, Joy. Bikinlah video klip. Barangkali aku bisa bantu-bantu.”
“Bener nih? Lagu Dewa jumlahnya cukup buat album.”
“Tapi kenapa tak dibuat?”
“Itulah repotnya. Dia tak mau!”
“Tak mau apa?”
“Tak mau menonjol. Dia lebih mendorong kita yang berjalan di musik.”
Lorna benar-benar penasaran.
“Oke, Jo. Kita teruskan nanti. Tapi besok ajak do’i mu ya. Kita kan bisa akrab.”
Thanks, Na! Kebetulan besok dia tak kena giliran jaga. Jadi bisa jagain kamu kalau kalau pingsan.”
“Jangan begitu, Jo!”
Joy ketawa.
“Becanda kok, Na.”
“Oke, Jo. Thanks ya!”
Thanks berat juga, Na! Sori, nggak bisa bantu lebih.”
“Nggak apa-apa, Jo. Kamu baik sekali. Terima kasih, ya.”
"Aku yang harusnya berterimakasih padamu."
"Salah, Jo. Aku yang harusnya berterimakasih, bukan kamu."
"Aku bilang terimakasih karena kamu masih menanyakan Dewa."
"Hei, Jo! Kamu ini..."
Apa yang dikatakan Joy perihal Dewa membuatnya penasaran. Perpisahan telah mengubah segalanya. Membangkitkan rasa ketidaksabaran ingin lekas-lekas bertemu dengan Dewa. Informasi Joy semakin menariknya untuk lebih banyak tahu perihal Dewa.
Beni ke Cangar? Sebuah tempat yang kini membuatnya kembali membayangkan kenangan yang pernah terjadi di tempat itu. Mengharapkan akan bertemu kembali dengan Dewa di tempat itu. Untuk menjelajahi semua kenangan itu, saat ini hanya bisa dihadirkan dengan membenamkan wajahnya ke dalam kelembutan bantal yang dipeluknya. Sudah tak terpikirkan lagi mencari tahu nomer telepon Dewa.
Dalam pejaman mata timbul keinginan kuat bisa berkumpul seperti dulu lagi. Di manakah kamu sekarang, Dewa? Kenapa tega nian kamu biarkan aku pergi? Tak adakah sesuatu yang memberatkanmu untuk mencegahku meninggalkanmu saat itu? Harusnya kamu peduli akan kemarahanku padamu ketika itu. Aku tak mengharapkan peristiwa itu terjadi. Pernikahanmu dengan Nirmala membuatku berpikir, bahwa kamu tidak merasa selama ini aku mencintaimu? Tidakkah selama ini hubungan kita seperti itu? Perhatianmu kepadaku kuanggap cerminan cinta yang kamu berikan padaku. Tidakkah kamu merasa hal yang sama atas sikapku kepadamu? Memang kamu tak pernah mengucapkan kata cinta. Aku pun tak akan mengatakannya bila kamu juga tak mengatakan itu. Tapi bukankah perasaanmu, perasaanku, sikapmu kepadaku, sudah menggambarkan perwujudan perasaan cinta kita? Tapi kenapa Dewa? Kenapa? Kenapa kamu berpaling? Kenapa kamu harus kawin dengan Nirmala? Aku sungguh tak mengerti, kenapa kamu mengambil keputusan yang membuatku seperti disambar petir? Terbakar seribu perasaan yang membara. Ataukah itu semua yang terjadi hanya sebuah kesalahpahaman? Perhatianmu kepadaku hanyalah sebuah nilai persahabatan, sementara aku menangkapnya lebih dari itu? Bila kamu ambil keputusan menikah dengan Nirmala adalah menjadi hakmu. Terlalu berlebihankah sikap yang kuambil selama ini bila aku marah dengan keputusanmu itu? Oh, Dewa. Tolonglah. Aku sungguh tak mengerti akan semua ini. Aku mencarimu Dewa. Aku ingin penjelasan. Aku ingin tahu hal sesungguhnya. Aku ingin kita bertemu. Dimanakah kini kau Dewa?
Ada tangan lembut yang membelai rambutnya. Membuatnya segera menghapus airmatanya pada kain bantalnya. Namun bercak-bercak basah akibat tumpahan airmatanya tak bisa disembunyikan.
Dia tahu tangan yang membelai adalah tangan Maminya, yang kemudian menarik tubuhnya, dan merengkuhnya dalam pelukannya. Matanya turut berkaca-kaca.
“Apa lagi yang kamu sedihkan, bidadariku?”
“Oh, Mom!”
“Peluk, Mami, sayang!””
Maka Lorna memeluknya erat. Tangisnya tumpah.
“Katakanlah apa yang sedang kamu pikirkan? Mami tak melihat Dewa saat di rumah sakit.”
“Oh, Mom!”
“Dia tak datang di reuni?”
“Mommy...”
Lorna sulit bicara. Apalagi saat Mami mengungkit Dewa. Karena itu yang sedang dipikirkannya. Mami belum tahu, bahwa hubungan keduanya selama ini sedang runyam. Dia tak ingin Mami tahu. Yang Mami tahu selama ini hubungan mereka sebatas yang terlihat, persahabatan.
“Bukankah besok sayangku datang reuni?”
“Ya, Mom. Di penutupan.”
“Mami juga sedih, kamu tak bisa mengikuti reuni dari awal. Sudah minum obat, Sayang?”
Lorna mengangguk lemah. Mami memandang sayu. Lalu mengecup bibir anak gadis kesayangannya.
“Apa yang membuat hatimu sedih, hm?” tanyanya memandangi bola matanya yang digenangi airmata.
Lorna menggeleng lemah.
“Kenapa, Dewa tak kelihatan, hm?”
“Lorna, nggak tahu, Mom,” jawabnya parau.
“Kamu sama sekali belum melihat Dewa?”
Lorna menggeleng lagi.
“Kemana dia ya?”
Lorna tak menjawab.
“Lama sekali kita tak pernah bertemu lagi. Mami baru menyadari kalian sudah lama juga tak saling kontak.”
Lorna tak menanggapi. Berusaha menahan isak.
“Mami temani tidur, ya?”
Lorna mengangguk.
I love you, Mommy.”
“Mami juga sayang padamu. Bicarakan dengan Mami kalau ada persoalan. Jangan beri Mami kecemasan. Kesedihanmu juga kesedihan Mami.”
I know, Mommy. Goodnight, Mom.”
“Persoalannya apa, sayang?”
Lorna menggeleng lemah. Tak menjawab. Hanya mengecup sudut bibir Maminya.
Goodnight, Mom.”
Goodnight, Sweety.”
Hingga terlelap, Lorna tetap tak menyampaikan yang menjadi penyebab tangisnya.