95. Teringat Masa Lalu.

Karena yang membawa mobil Lorna adalah Dewa, maka Pak Karyo hari itu tidak membawa mobil, dia disuruh untuk mengeprint beberapa foto terakhir bersama anak-anak teman bernama Hun Wan, dan menyerahkan ke rumahnya yang merangkap restoran.
Dewa dan Lorna datang sebentar ke kantor untuk beberapa hal yang harus dikerjakan Lorna. Walau ini merupakan hari Minggu. Yang akan berangkat shooting ke Bali besok, mereka datang untuk melakukan persiapan. Karena itu dalam teleponya Imelda pasti datang. untuk memberikan konfirmasi nomer tiket pesawat Lorna dan Dewa.
Dalam perjalanan, Dewa yang membawa mobil Lorna, masih perlu menyesuaikan sebentar terhadap piranti mobil yang serba digital itu.
"Sonata For Piano, C-Sharp Minor, No.14, Beethoven." kata Dewa saat mendengar musik mulai mengalun dalam ruangan mobil.
Lorna tersenyum menatap Dewa ketika Dewa menyebut judul lagu klasik yang mengalun saat Lorna menghidupkan player musik pada dash board.
"Hafal ya?" kata Lorna.
Dewa membalas senyum Lorna.
"Daddy suka memainkannya."
"Aku tahu. Waktu kuantar kau pulang mau makan malam di rumahmu, kita mendengar Papi memainkan itu dengan piano saat kita keluar mobil."
Lorna tak mengatakan kalau dia juga hafal sekali. Setelah grade advance waktu ujian kursus piano, beberapa lagu klasik Beethoven menjadi wajib untuk dikuasai. Dia lebih sering memainkannya apabila ada yang dirindukan. Lelaki yang kini duduk di belakang kemudi itu yang selama ini kerap dirindukannya.
Seperti kebiasaannya bila hendak pergi, Dewa selalu melihat ke atas langit. Berharap hari cerah. Dia tak pernah melihat dan mendengar laporan cuaca. Dia lebih percaya pada nalurinya. Dan tidak seperti Lorna, yang lebih dulu harus membaca ramalan cuaca yang ada pada widget ponselnya, untuk mengetahui kondisi cuaca Jakarta, berapa temperaturnya, berawan atau tidak. Dan hari ini langit Jakarta tidak berawan, tidak turun hujan, temperatur normal. Normalnya temperatur udara Jakarta tetaplah panas lantaran Jakarta berada di tepi laut. Uap air laut yang bertiup ke daratan membuat siapapun akan merasa gerah dan berkeringat.
Sementara Sonata No.21 dalam nada C, III. Rondo-Allegretto moderato 'Waldstein' menggantikan Sonata For Piano, C-Sharp Minor, No.14, Beethoven.
"Piano di rumah Malang nadanya perlu ditala," kata Lorna.
"Nanti kalau pulang kesana kita cari orang yang bisa menala piano."
"Dulu kita ada orang yang biasa menalanya, tapi itu sudah lama sekali, karena kita sudah lama tak menempati rumah itu seperti dulu. Daddy dan Mommy pulang ke Malang jarang-jarang. Dan apakah orang tersebut masih ada ataukah sudah pindah?"
"Kita cari dan tanyakan ke lembaga kursus musik yang ada di Jalan Kawi, atau tempat menjual alat musik, tentu mereka punya hubungan dengan orang-orang yang biasa menala piano."
Lorna menyodorkan roti berlapis keju dan salad ke mulut Dewa. Roti itu mereka makan berdua. Dan Dewa menggigitnya sepotong, yang kemudian diikuti Lorna.
"Setelah dari Pameran kita kemana?" tanya Lorna.
"Lorna ingin kemana?"
"Kalau ke pantai baiknya sore hari, karena hari sudah dingin."
"Kalau ke puncak?"
"Hari minggu begini macet, apalagi satu arah."
"Bagaimana kalau ke museum?"
"Yuk. Lorna belum pernah ke museum."
Setelah dua kali gigitan lagi, Dewa menyudahi makannya. Lorna memberinya minum memakai pipet. Setelah itu membantu membersihkan tepian mulut Dewa dengan sehelai tisu, agar Dewa tetap kosentrasi menyetir mobil.
"Terima kasih."
Tak lama kemudian kendaraan mereka sudah memasuki halaman parkir. Dewa dan Lorna berjalan berdampingan memasuki gedung. Suasana kantor tak berubah walau itu di hari minggu. Ada beberapa kegiatan shooting untuk iklan produk anak-anak. Jadi ada sekelompok anak-anak bersama orangtuanya berkumpul mengikuti jadwal shooting.
"Selamat pagi, Mbak!" sapa Imel ketika Lorna hendak masuk ke dalam lift.
"Selamat pagi, Mel!"
"Selamat pagi, Mas!" sapa Imel pada Dewa. Imel tak berani menatap mata Dewa berlama-lama.
Dewa hanya tersenyum.
"Kalian sudah siap untuk berangkat besok?" tanya Lorna.
"Sudah Mbak. Nanti mau rapat sebentar untuk melakukan konsoldasi dengan bagian produksi serta untuk mengevaluasi kembali, setelah mengecek semua persiapan dan peralatan," jawab Imel seraya memberikan sebuah amplop.
"Tiket Mbak, untuk tiga orang!" kata Imel menambahkan.
"Terima kasih, nanti kulihat."
Lorna mengajak Dewa pergi naik ke lantai atas tempat ruang kantornya berada. Lorna segera menyalakan ac ketika mereka sudah berada di dalam. Kemudian membuka amplop yang baru saja diterima dari Imelda. Meneliti sebentar, karena tiket itu untuk dirinya, Dewa dan Titi yang akan diajaknya pula.
Ada setumpuk surat-surat yang belum terbaca di atas mejanya. Lorna mengesampingkan. Kemudian menelpon Rahma.
"Pagi, sayang!" sapa Lorna.
"Hai, pagi, gadis cantik!" balas Rahma
Suara Rahma terdengar jelas, karena Lorna menyetel ke mode speaker agar Dewa ikut mendengarkan.
"Tiket kalian sudah diterima belum?"
"Sudah. Makasih ya? Kamu bersama Dewa?"
"Ya!"
"Baik-baikkah dia?"
"Dia baik-baik saja. Kamu mau bicara?"
"Sudahlah. Apa yang mau kubicarakan dengan Dewa? Tak ada. Yang penting kalian berdua baik-baik saja."
"Kita bertemu di Bali. Kutunggu nanti di Bandara Ngurah Rai, ya? Karena pesawatku tiba terlebih dahulu."
"Oke, Na!"
"Nanti kita sambung lagi. Aku mau pergi melihat pamerannya Dewa dan teman-temannya."
"Sampaikan salamku ke Dewa."
"Dia sudah mendengarnya."
Rahma tertawa.
"Sialan kamu! Halo, De. Jaga dia ya. Ikat yang kencang. Sekarang dia semakin terkenal dan banyak yang mengejar."
"Bagaimana aku harus mengikatnya?" tanya Dewa.
"Dengan cintamu, daaah!"
Lorna tertawa renyah seraya memandang Dewa yang juga tersenyum.
"Kita pergi sekarang, De?" tanya Lorna seraya mendekati tempat Dewa duduk.
Dewa mengangguk. Dan Lorna mematikan ac dan lampu ruangan sebelum meninggalkan tempat itu. Kehadiran Dewa yang nampak dekat denga Lorna menimbulkan berbagai pertanyaan spekulasi bagi para karyawan yang sering berada di kantor itu. Satpam yang bertugas pun tak tahu siapa Dewa dan apa hubungannya dengan bos mudanya itu, bahkan tak berani bertanya.
"Kita masuk ke pintu tol di samping lapangan golf Rawamangun, dekat kantor Bea Cukai," kata Lorna setelah berada dalam mobil.
"By pass?"
"Naik, ke tol jalan layang nanti keluarnya di Gatot Subroto, depan Polda di Semanggi, lalu belok kiri," Lorna menambahkan.
Walau udara di luar mobil terasa terik, pemandangan dari atas jalan layang nampak silau dan kering. Sepanjang mata memandang yang nampak adalah puncak-puncak bangunan yang memenuhi hamparan tanah kota Jakarta. Dan udara kotor yang berasal dari asap kendaraan mengambang di atas permukaan.
"Ada koleksi musik era delapan puluhan?"
"Mau yang mana?"
"Yang kita berdua suka."
"Ebiet G. Ade, Bimbo, Broery Marantika, Panbres. atau nostalgia barat?"
"Bimbo dan Broery, sudah lama aku tak mendengarkan musik mereka."
Maka Lorna menyeting dalam player digitalnya hanya dengan menggunakan sebuah remote controle. Kecanggihan tehnologi memanjakan manusia. Menjadi praktis dengan kualitas suara yang baik. Sehingga saat musik yang kemudian mengalun memenuhi segenap dinding ruangan dalam mobil mampu menghanyutkan kenangan mereka berdua.
"Teringat aku ketika Dewa memboncengku dengan sepeda pulang ke rumah, ketika mobil yang menjemputku mogok."
Dewa tersenyum dan berkata.
"Saat itu kita berdua kehujanan, kita pikir hujan sudah berhenti."
"Dan besoknya Lorna bingung mencarimu karena tak masuk sekolah. Lorna pikir Dewa sakit akibat kehujanan ketika itu."
"Aku tak masuk sekolah karena aku harus membantu mengeringkan dan menyeterika batik Ibu, pesanan orang yang janjinya harus diambil hari itu."
Kenapa mereka teringat peristiwa itu? Lagunya Bimbo 'Payung Hitam' itu mengingatkan mereka berdua saat berteduh dan mendengarkan dari kios pedagang rokok ketika itu. Sambil mereka menunggu hujan berhenti untuk melanjutkan perjalanan mengantarkan Lorna pulang. Akibat hujan yang tak juga berhenti, Dewa memaksanya untuk naik becak. Semula Lorna menolak, dan Lorna pun tak bisa berbuat apa pun ketika Dewa menguntit dengan mengayuh sepedanya hingga sampai rumah dalam guyuran hujan yang deras. Dan Dewa menolak singgah ke rumah, hanya mengantar lalu melambaikan tangan untuk kembali pulang ke rumahnya.
"Masih adakah sepedamu itu?" tanya Lorna.
"Masih. Kusimpan..."
"Aku juga masih menyimpan baju yang penuh coretan dan tanda tangan saat mendengar kelulusan. Tapi tak ada tanda tangmu di bajuku..."
Dewa tak menimpali. Dia tak mencoba mengingatnya. Dia sibuk kosentrasi pada jalanan. Tapi bagi Lorna kediamannya menimbulkan pertanyaan.
Sebab pada saat kelulusan hingga perpisahan sekolah mereka berdua tidak pernah bertemu lagi. Saat itu yang dicemaskan dengan ketidakmunculan Dewa di acara eporia kelulusan, justru Dewa tak lulus. Tapi tak mungkin, sebab dia tahu Dewa selalu masuk ranking. Setelah mencoba mencari tahu justru yang ditemuinya adalah berita yang membuatnya seperti disengat listrik ribuan voltage. Dewa sedang melangsungkan pernikahan.
Lorna menghela nafas panjang. Dewa menatapnya sejenak. Tapi Lorna berusaha menyembunyikan perasaan dengan mencoba tersenyum.
"Kenapa?"
"Kenapa..kenapa?"
Dewa diam, kembali berkosentrasi.
"Kenapa diam? Kenapa bajumu tak ada tandatangku?"
"Ah..lupakan..." jawab Lorna menghindar.