94. Bougenville Dekat Jendela Kamar.

Seekor kupu-kupu monarch masuk ke dalam kamar. Terbang berputar-putar. Menyita perhatian Lorna yang sedang menelpon Imelda. Tangannya menunjuk mengikuti kupu-kupu yang terbang ke segenap penjuru ruangan. Wajah Lorna riang. Menurutnya, kupu-kupu pertanda baik.
Sebagian orang percaya, bila ada kupu-kupu masuk rumah, artikan ada tamu yang akan datang. Barangkali yang dimaksud kehadiran Dewa di rumah ini.
Dewa membuka daun jendela lebih lebar, memberi jalan, agar kupu-kupu tersebut bisa terbang keluar kamar. Dia tahu kupu-kupu itu akan mati bila tidak keluar ruangan, kalau tidak dimakan cicak, tentu akan kehabisan cairan. Tempatnya terbang bukan dalam ruangan itu, tetapi di alam bebas. Kupu-kupu itu nyasar, setelah hinggap pada bunga-bunga bougenvile yang sengaja ditanam Lorna di depan jendela kamarnya. Bunga bougenville itu ada beberapa macam warnanya.
"Kenapa dikeluarkan?"
"Agar tak mati terjebak dalam ruangan ini."
Dewa masih berdiri di jendela yang terbuka, menatap bunga tersebut. Bunga itu mengingatkannya saat-saat masih bersekolah di sma dulu. Dia pernah memberikan segenggam bunga bougenville berwarna putih kepada gadis yang kini sedang sibuk bertelepon. Dan itu awal dirinya mulai dekat dengan gadis itu.
Dewa tak menyadari, Lorna memperhatikannya. Dewa sedang memperhatikan bunga yang ditanamnya di depan jendela kamar tidurnya. Bunga itu ditanam di situ agar selalu teringat awal keakrabannya dengan lelaki yang saat ini berdiri di ambang jendela kamarnya. Pikiran keduanya sama, tentang bunga bougenville.
Dewa membalikan badan, melihat Lorna yang juga sedang memandanginya. Perlahan Lorna, meletakkan ponselnya ke atas sofa. Lalu bangkit, perlahan mendekati Dewa. Keduanya mata mereka tak lepas saling memandang.
"Bunga itu selalu ada dekat jendela kamar tidurmu?" kata Dewa.
"Bougenville?"
"Ya!"
"Di depan jendela kamarmu di Malang, juga kulihat tanaman itu."
"Juga depan kamarku di Australia," Lorna menambahkan.
Dewa membelai wajah Lorna lembut, saat berada dekatnya. Menyibakkan rambutnya yang lebat ke belakang.
"Kamu suka bunga itu?"
"Bunga itu, mengingatkanku padamu," kata Lorna, suaranya perlahan.
"Kenapa?"
"Agar terasa dekat denganmu. Dewa pernah menitipkan bunga itu padaku. Kalau memintanya kembali, tinggal memetik. Lorna tak tahu, kemana bunga yang pernah kusimpan itu berada."
"Kau menyimpannya?"
"Tak pernah kubuang. Hanya lupa menyimpannya."
"Bunga bougenville di setiap kamarmu, membuka ingatanku."
"Bunga itu, yang mengawali kebersamaan kita."
Kedua mata mereka saling memandang tajam. Dewa menarik tubuh Lorna dalam pelukannya.
"Bagiku, kaulah bunga itu," kata Dewa seraya mencium rambut Lorna, "Kaulah bunga putih itu, Na, yang selalu tersimpan dalam hatiku. Kaulah tempat cintaku tumbuh."
Lorna tersenyum memejamkan mata, lalu membenamkan wajahnya ke dada Dewa yang bidang. Tangannya memeluk pinggang Dewa, erat. Alangkah indahnya hari ini. Ada kupu-kupu. Ada bunga bougenville yang dilihat Dewa. Lalu ada Dewa yang membisikkan cintanya. Ingin rasanya hari-harinya berlangsung seperti ini.
"Lorna ingin tinggal bersama Dewa seperti ini setiap hari..."
"Sabarlah..."
Dewa mengecup sudut bibir Lorna dengan penuh perasaan. Tangan Lorna membelai rambut Dewa. Matanya terpejam meresapi kecupan bibir Dewa, tapi tak ingin mencari bibir Dewa. Biarlah bibir Dewa sendiri yang mencari dan memilin bibirnya. Namun yang dirasakan adalah bibir Dewa yang mengecup ujung hidungnya. Nafas Dewa terasa segar menyergap lubang hidungnya. Lalu bibir itu beralih ke pelupuk matanya. Ke keningnya. Lalu ke daun telinganya. Membangkitkan kegelisahan. Apalagi saat lidahnya mengait tepian kulit telinga yang dijepit bibir-bibir Dewa. Membangkitkan warna merah pada rona wajahnya. Membuat tangannya ikut bergerak mencari pegangan pada punggung leher Dewa. Pada punggung tubuh Dewa. Merengkuh tubuh Dewa karena Dewa membuatnya mengeluh tanpa sebab yang sulit dijelaskan.
Dewa lantas merengkuh dan memeluknya erat saat nafas Lorna mulai tersengal-sengal. Berusaha meredakan kegelisahan gairah yang timbul. Dan terdiam beberapa saat. Kemudian berbisik.
"Bagaimana kalau kita berenang?"
Lorna menarik wajahnya dari bahu Dewa, memandang dan tersenyum. Dan mengangguk.
"Tapi aku tak bawa celana renang." kata Dewa.
"Tak ada yang melihat," balas Lorna.
Maka pagi itu keduanya berenang dan bercanda di kolam renang. Hingga sinar mentari mulai menyeruak dari balik daun pohon ceremai di balik dinding di taman belakang.