99. Berangkat ke Bali.

Titi sudah tahu apa yang harus dikerjakan bila Lorna mengajaknya keluar kota. Gadis itu kerap ikut Lorna pulang ke Australia. Saat Lorna masih berada di dalam kamar bersama Dewa hingga jam dua belas siang, Titi sudah selesai menyiapkan barang yang hendak dibawa ke Bali.
Pak Karyo memasukkannya barang-barng tersebut ke bagasi mobil, termasuk peralatan elektronik. Makan siang Lorna dan Dewa juga sudah disiapkannya di meja makan.
Jam setengah satu Dewa dan Lorna keluar kamarnya. Keduanya sudah berbusana rapi, siap berangkat. Titi menyambutnya di meja makan.
"Kubuatkan sup, Non!" kata Titi.
"Terima kasih, Ti. Kalian sudah makan?"
"Sudah. Pak Karyo juga sudah."
"Kubuatkan tempe goreng buat mas Dewa."
Dewa mengangkat jempolnya.
"Jam satu kita berangkat, Ti!"
"Ya, non. Tapi kubenahi dulu selesai, Nonik dan Mas Dewa makan. Pak Karyo juga sudah siap. Barang-barang yang sudah disiapkan semalam sudah dimasukkan ke mobil."
Maka selesai Dewa dan Lorna makan siang. Titi membenahi bekas makan mereka sebentar, sehingga pada saat dia harus ikut Lorna pergi ke Bali, dapur sudah dalam keadaan bersih. Walau ada Pak Karyo dan isterinya serta Ujang di rumah.
"Kamu duduk di depan, Ti. Pakai sabuk pengamanmu," kata Lorna ketika sudah berada dalam mobil.
"Ya, Non!"
"Jangan lupa pintu gerbang ditutup dulu, Pak." kata Lorna kepada Pak Karyo.
"Ya, Non."
Tapi Ujang yang melakukannya.
Wawan adalah penjaga rumah Om Ruyus, ikut menjaga rumah Lorna bersama Ujang. Rumah mereka bersebelahan, yang dipisahkan pagar yang terhubung dengan sebuah pintu.
Lorna juga selalu memberitahu ke Tantenya setiap mau pergi keluar kota. Jadi bila rumah tidak ada orang Ujang yang ditugasi menjaga ditemani Wawan, apalagi bila pak Karyo harus pergi ke rumah Lorna yang ada di Malang.
Titi duduk di depan dengan penampilan tak sebagaimana pembantu. Titi mengenakan celana jean dan kaos t-shirt, berkacamata hias untuk menghindari silaunya cahaya di luar, rambutnya dikuncir, diikat tali manik, memakai gelang warna-warni. Lorna yang mengajarinya berdandan. Lorna sering membelikan baju serta memilihkan untuknya. Apa yang menjadi pilihan Lorna membuatnya nampak menjadi gadis yang menarik. Titi senang bekerja ikut Lorna, sebab Lorna tak memperlakukannya seperti pembantu. Lorna memperlakukannya sebagai teman di rumahnya. Tetapi Titi tetap menjaga, bahwa dirinya tetaplah seorang pembantu.
Saat ini Lorna duduk bersandar pada Dewa. Matanya yang sembab bekas menangis tertutup kacamata hitam berbingkai putih. Anting besar di telinganya berwarna putih. Dan kalung yang melingkari lehernya pun berhias mutiara putih. Gelang di pergelangan tangannya pun bermanik mutiara putih. Rok span dan blasernyapun berwarna putih. Sangat kontras dengan Dewa yang serba hitam. Warna hitam dan putih menjadi paduan yang serasi, sebab bagian dalam Lorna mengenakan warna hitam, stocking dan sepatu hitam.
Jemari Lorna berada dalam genggaman jemari Dewa.
Teleponnya Lorna berdering.
"Ya, Mel?"
"Kita semua sudah sampai di Bali. Rombongan kita sudah dijemput dan dibawa langsung ke resort tempat kita akan shooting. Mbak Lorna kapan sampai, mereka menanyakan?"
"Paling lama empat jam. Tapi aku berangkat dari penginapanku."
"Baiklah. Sekian dulu kabarku, Mbak. Nanti Imel ditelpon ya bila sudah sampai?"
"Yuk, Mel!"
"Mereka sudah sampai," Lorna memberitahukan Dewa.
"Berarti Rahma dan Grace juga sudah sampai. Pesawat Rahma dan Grace kan juga pesawat Imel yang transit di Surabaya," kata Dewa.
"Ya, ini mau kuhubungi mereka, kasihan Rahma dan Grace jadi lama menunggu kita."
Lorna lalu menghubungi ponsel Rahma.
"Hei, Na. Aku sudah sampai. Jam berapa pesawatmu sampai?"
"Maaf ya. Cobalah cari tempat duduk sambil makan atau minum disitu sambil menunggu kita yang masih dalam perjalanan."
"Berarti sebentar lagi sampai, kutunggu saja di tempat duduk di koridor."
"Bukan, aku masih dalam perjalanan ke bandara."
"Lha?!"
"Maaf banget. Itulah kenapa kutelpon."
"Berapa jam lagi?"
"Sudah, pokoknya doain supaya selamat sampai disana."
"Ya, sudah, kudoain dan kutunggu. Mau bicara dengan Grace."
"Yoi."
"Hei, Na. Nggak apa-apa deh, sampai besok pun kutunggu," kata Grace ketika telepon dialihkan padanya.
"Aduh, sori banget ya Grace. Jangan ngambek ya?"
Grace tertawa renyah.
"Mana Dewamu?"
"Di sebelahku. Ngapain tanya-tanya Dewa kalau tak mau bicara."
Grace tertawa lagi.
"Tapi bukan berarti basa-basi. Kalau nggak ada Dewa bersamamu, apalah artinya semua ini."
Lorna tertawa.
"Bukan bersamaku, tapi bersama kita. Dulu kita selalu kompak kan."
"Hei, sampai sekarang masih kompak! Tak ada perubahan formatur kan? Masih ada Dewa berarti masih lengkap."
"Sudah, sudah jangan bicarain dia. Kita bicara kalian saja. Kalian tunggu sabar sambil cari makan dan minum di salah satu tempat minum di situ, nanti kalau pesawatku landing langsung kutelepon dari kabin."
"Yoi, gadisku yang cantik."
"Tunggu dan bersabar ya?"
"Bye, Na!"
"Bye, Grace!"
"Nanti saja kita telepon Komang saat berada di ruang tunggu bandara," kata Dewa.
Lorna mengangguk.
Lorna memberikan hapenya kepada Dewa saat berada di ruang tunggu bandara Soetta. Dewa harus menghubungi Komang, walau semalam mereka sudah melakukan kontak memastikan kabar penginapan buat. Komang sudah siap menjemput di bandara Ngurah Rai.
"Sudah siap, De?"
"Sudah, Mang. Di bandara sana, ada dua temanku perempuan sudah sampai, dan kini sedang menungguku sampai sana. Mereka ada di salah satu tempat minum di sana."
"Aku akan ada disana sebelum pesawatmu tiba. Tak seperti kemarin ketika menjemputmu bersama Papi dan Mami Lorna yang agak terlambat."
"Terlambat nggak apa-apa, yang penting selamat. Oke, begitu dulu ya, kita sudah ada panggilan untuk segera masuk ke dalam pesawat."
"Baiklah De, sampai jumpa nanti."
Dewa pun lalu menutup telepon. Lorna langsung mematikan ponselnya, sehingga saat berada dalam kabin dia tak lagi mematikan ponsel itu.