116. Di Penginapan Samboja

Bulan putih menggantung di langit saat Lorna berpamitan kepada Dewa untuk menemui Rahma dan Grace di kamarnya. Saat itu dia sedang berbaring di samping Dewa. Sementara bulan bundar tersenyum di luar jendela. Lampu kamar yang gelap sengaja dimatikan agar hanya cahaya bulan saja yang memberikan penerangan. Dengan begitu suasana terasa adem.
Keduanya berbaring setelah mandi bersama beberapa saat yang lalu.
"Boleh aku menemui mereka dulu, setelah itu kita beristirahat?" tanya Lorna dengan pandangan mata masih menatap langit-langit yang temaram.
"Temuilah mereka!"
Lorna berbalik menempatkan dagunya di puncak dada Dewa. Memandangnya.
"Hanya sebentar kok."
Dewa membelai wajahnya.
"Aku tak ingin membuatmu terbelenggu."
Lorna menggeleng lemah.
"Lorna tak merasa terbelenggu."
"Anggap seakan aku tak di sini sehingga kamu bisa bergerak bebas."
"Mana bisa Dewa?"
"Bebaslah. Mereka sahabat dekatmu."
Telapak tangan Lorna membekap kedua pipi Dewa.
"Lorna hanya tak ingin melewatkan waktu sedetikpun saat bersamamu."
Dewa tersenyum.
"Kalau Dewa ingin tidur. Tidurlah. Nanti Lorna menyusul," bisik Lorna lembut.
Dewa menatapnya teduh.
"Pergilah. Temani mereka. Aku tak ingin ada kesan dalam pikiran mereka aku memonopolimu."
Lorna tersenyum. Jari telunjuknya mengelus ujung hidung Dewa yang bangir.
"Terima kasih. Kamu baik sekali. Mereka tak akan berpikiran seperti itu..."
Telapak tangan Dewa lantas menarik punggung lehernya perlahan, membuat wajah Lorna mendekat beradu wajah. Sesaat kemudian Dewa melumat bibirnya yang ranum, bibir Lorna terasa lembut dan manis.
"Aku mencintaimu, De," bisik Lorna lembut. Bibirnya basah bekas pilinan bibir Dewa.
"Aku juga mencintaimu, Na. Aku ingin mengajakmu bercinta malam ini."
Lorna lantas membenamkan ujung hidungnya ke pipi Dewa dan menghirupnya.
"Bercintalah dengan Lorna sepuasmu, Lorna mau temui mereka dulu ya?"
"Temuilah!"
"Bye!" kata Lorna sebelum menutup pintu kamar.
"Bye!"
Lorna membuka pintu kamar Rahma dan Grace.
"Hai!"
Rahma dan Grace yang berada di atas tempat tidur menyambutnya senang.
"Hai, juga!"
"Kemana Dewa?"
"Kutinggalkan di kamar..."
Lorna kemudian ikut nimbrung bersama mereka.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Lorna ingin tahu, sebab ketika masuk tadi dia melihat keduanya serius banget membicarakan sesuatu.
"Kamu!" jawab Grace jujur.
"Ada apa denganku?"
"Ternyata kamu pintar nyanyi," kata Rahma.
"Ah. Dewalah yang hebat!"
"Memang...dia juga!"
"Eh, Na. Boleh dong dikopikan rekaman penampilanmu di bar bersama Dewa tadi?"
"Maksudmu?"
"Si Erwin kan mensyuting kalian?"
Lorna menatap Grace dan Rahma bergantian.
"Keberatan?" tanya Grace.
"Ah, nggak. Besok saja kusuruh Imel untuk minta kopiannya."
Wajah Rahma dan Grace seketika ceria.
"Thank you, bidadari cantik!" kata Rahma.
"Syuting tinggal sehari besok. Paling setengah hari. Setelah itu kita bebas. Sehabis syuting kita belanja pakaian renang. Kalian tentu tak membawa. Dewa berencana membawa kita memutari pulau Bali."
"Asyik..." sela Grace.
"Mungkin kita akan menginap di pesisir utara Bali."
Pintu kamar ada yang mengetuk.
"Dewa?" tanya Rahma.
"Bukan!" jawab Lorna.
"Bisa tolong bukain, Grace!" pinta Lorna.
"Siapa?"
"Titi!"
"O... o..."
Grace beranjak membuka pintu. Titi membawa nampan berisi makanan dan minuman yang dipesan Lorna sebelum masuk ke kamar Rahma.
"Makasih, Titi. Sudah taruh saja di atas nakas..." kata Grace.
"Buat Mas Dewa bagaimana, Non?" tanya Titi pada Lorna.
"Letakkan di situ saja, nanti biar aku yang membawa ke sana. Kamu istirahat saja. TV nyalakan kalau Titi mau nonton sambil tiduran."
"Ya, Non!" jawab Titi kemudian segera keluar kamar.
Pandangan mata Rahma dan Grace sebentar-sebentar tertuju pada cincin yang melingkar di jari manis Lorna. Selama ini mereka berdua tidak begitu memperhatikan, apakah cincin itu sudah ada sejak mereka bertemu kembali dengan Lorna, atau cincin itu muncul setelah Lorna berkumpul kembali dengan Dewa?
Apa yang menjadi perhatian Grace dan Rahma sudah tentu berhubungan dengan pembicaraan yang tanpa sengaja mereka berdua dengar saat keduanya berbincang dalam kendaraan saat dalam perjalanan kembali ke penginapan.
"... kamu bukanlah Lorna yang kukenal sebelum kita berpisah. Saat ini kamu adalah Lorna yang kini menjadi kekasihku, tunanganku, walau lebih dari itu, kamu sudah kuanggap sebagai isteriku."
Ucapan itu seakan masih terngiang dalam pendengaran Rahma dan Grace. Sebelum Lorna datang bergabung di kamarnya. Keduanya membahas ucapan Dewa. Bahwa Lorna merupakan tunangannya. Lalu kapan mereka berdua bertunangan? Barangkali cincin di jari manis Lorna adalah cincin pertunangan itu. Yang mereka berdua yakini hanyalah bahwa keduanya memang diberi tugas untuk merancang undangan dan pesta pernikahan mereka, meski waktunya belum ditentukan. Ancang-ancangannya setelah acara reuni.
"Kenapa?" tanya Lorna ketika Grace tertangkap olehnya memperhatikan cincin di jari manisnya.
"Cincinmu bagus!" kata Grace.
Rahma memandang Grace. Lorna memandang Rahma. Curiga, menangkap maksud tatapan kedua sahabatnya itu.
Lorna lantas tersenyum.
"Lorna ngerti..." kata Lorna kemudian.
"Ya sudah kalau sudah ngerti," kata Rahma.
"Tapi kenapa kalian tak tanya?" tanya Lorna.
"Takut akan membuatmu pingsan kayak di pembukaan reuni," jawab Grace.
Lorna tertawa renyah, diikuti Rahma, lalu Grace.
"Kita sudah bertunangan."
"Kita juga sudah tahu kok!" jawab Grace dan Rahma bersamaan.
"Dari mana kalian tahu?"
"Dari cincin yang kamu pakai!" jawab Grace dan Rahma bersamaan kembali.
Lorna diam sejenak.
"Maafkan Lorna tak memberitahu kalian."
"Nggak apa!" jawab Rahma dan Grace bersamaan.
Keduanya memperhatikan dengan seksama wajah Lorna yang melakukan hal yang sama, bergantian.
"Dewa sudah melamarku..."
"Itu maksudku!" ujar Grace segera mencubit manja kedua pipi Lorna.
Rahma pun ikut mencubit dagu Lorna gemas.
"Bilang begitu saja kok susah amat. Kita berdua nggak bakal bocorin ke teman-teman," kata Grace berusaha menggelitik pinggang Lorna.
Ketiga sahabat itu sejenak terlibat pergumulan, bercanda, yang pada akhirnya ketiganya terlentang menghadap langit.
"Sepertinya impianmu sudah tercapai," kata Rahma kepada Lorna.
Lorna tak menimpali.
"Belum!" Grace menyergah.
"Kenapa?"
"Perkawinan adalah pelengkapnya," kata Rahma.
"Agar lengkap. Itu tugas kalian," Lorna lalu menimpali.
Grace dan Rahma mengangguk dengan tatapan ke langit-langit kamar.
"Beres!" jawab keduanya bersamaan.
"Tadi kupikir kalau Lorna pergi meninggalkan Dewa, aku mau menggantikannya," goda Grace masih terlentang memandang langit-langit kamar.
Grace dan Lorna tersenyum.
"Perasaanku juga sama, Grace. Apalagi setelah menyaksikan aksinya di bar tadi," Rahma menambahkan.
Grace dan Lorna tersenyum.
"Mana mau Dewa sama kalian, apalagi kalian sudah tidak pera..."
Garce dan Rahma lalu mengeroyoknya dengan gelitikan di pinggang dan lehernya.
"Memangnya dia masih perjaka kok nuntutnya perawan!" kata Grace.
"Iya. Mentang-mentang kamu masih..." Rahma menambahkan seraya berusaha menggigit leher Lorna.
Lorna menggelinjang.
Ketiganya bercanda hingga kelelahan. Terlentang berjajar memandangi langit-langit kamar.