31. Menyibak Tirai Kenangan.

Dewa mengajak pulang kembali, walau Lorna masih berharap Dewa mau membawanya pergi kemana saja sesukanya. Jadi bukan sekedar mencari tempat untuk makan. Keinginannya agar bisa bersamanya lebih lama. Meski demikian, Lorna berusaha menghibur hati, bila itu menjadi kemauan Dewa, sebab besok mereka berdua akan pergi ke Bali. Tentu perlu waktu menyiapkan segala sesuatunya. Barangkali itu yang jadi alasan Dewa tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu.
“Lain kali aku ingin mengajakmu kemping!”
Kata Dewa saat di perjalanan.
“Hai!” Lorna memekik girang.
“Mau?”
“Mau sekali! Kemana? Kapan?” Lorna pun mencecar pertanyaan bertubi.
“Maumu kemana?”
“Tempat yang pernah kita datangi dulu!”
Dewa langsung menangkap.
“Dewa tak datang di penutupan reuni,” Lorna mengingatkan.
“O, itu. Oke! Kita akan kemping di sana!”
Lorna memeluknya lebih ketat.
“Terima kasih, Dewa!”
Dewa tersenyum. Lorna merasa heran, karena tiba-tiba Dewa memutar arah motornya, berbalik arah kembali.
Lorna bertanya.
“Ada yang ketinggalan, De?”
“Ada!” jawab Dewa setelah arah motor kembali naik ke atas.
“Apa yang tertinggal, De?!”
“Kenangan!”
What?!”
“Kenangan!”
“Kenangan siapa?”
“Kita!”
“Hai! Apa itu?” teriak Lorna.
Awalnya Lorna belum mengerti, dan baru menangkap maksudnya, saat mereka hanya melintasi tempat yang baru disinggahi untuk makan ikan bakar. Dewa terus memacu sepeda motornya ke jalanan menanjak.
Beberapa saat kemudian melintasi desa Junggo. Jalanan yang dilalui sebelumnya menanjak terjal, menandakan mereka berada pada bagian kaki gunung.
“Dewa! Kamu membawaku ke tempat itu. Apa namanya?” teriak Lorna bertanya.
"Cangar!"
"Oh, iya Cangar!"
Kegembiraan menyelimuti wajahnya. Dewa tersenyum-senyum. Ingin melunasi hutang gadis itu yang tidak terpenuhi di penutupan reuni kemarin.
“Masih kukenang saat kita sama-sama di sana?” tanya Lorna.
“Ya! Kamu yang membuat kenangan itu tak pudar!”
“Ah, Dewa. Kamu yang bikin tak pudar!”
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. Hati Lorna terbilam kebahagiaan.
Jalanan yang dilalui berliku. Di desa Junggo mereka sempat berhenti untuk melepaskan helm, agar bisa merasakan suasana alam tanpa terganggu helm yang membatasi. Sembari menyempatkan singgah ke sebuah toko untuk membeli beberapa minuman kaleng. Setelah itu kembali meneruskan perjalanan.
Laju motor diperlambat agar perjalanan terasa santai. Merasakan sejuknya udara di lereng gunung Arjuno. Melihat hamparan tanaman sayur di kanan kiri jalan. Terlihat hamparan tanaman brokoli. Ladang kentang dan wortel yang luas.
Pohon apel banyak ditanam di daerah ini. Dulu pohon apel belum sampai menjangkau di daerah ini. Ketika itu iklimnya masih belum cocok, tetapi sekarang lebih cocok. Budidaya tanaman lain juga dikembangkan di wilayah ini. Terdapat beberapa perusahaan melakukan budidaya bunga potong dan jamur.
Lorna tertawa ceria. Wajahnya menempel ketat pada pipi Dewa.
“Kenangan siapa yang tertinggal?” Lorna bertanya berbisik untuk menggoda Dewa manja.
Dewa tersenyum, berusaha mengecup pipi Lorna dari samping. Karena usahanya untuk mengecup tak sampai, Lorna yang memberikan pipinya. Wajahnya di kedepankan biar bisa dikecupnya. Lantas Dewa berhasil mendaratkan bibirnya ke pipi Lorna. Kecupan Dewa terasa hangat bagi Lorna.
Lorna tersenyum senang.
"I love you!" ujar Dewa.
Lorna tertawa renyah.
"I love you too, Dewa!" jawab Lorna seraya memeluk Dewa dengan gemas.
Betapa indahnya hari ini baginya. Kenapa hal ini tak terjadi sedari dulu?
“Tapi waktunya tak cukup berlama-lama di sana, De?” Lorna mengingatkan.
“Untuk kali ini kita tak perlu berlama-lama. Sekedar melihat situasinya saja!” jawab Dewa pendek.
“Boleh juga!”
“Kita hanya mampir. Melihatnya dari atas. Tak perlu masuk ke dalam. Nanti saja, kita puaskan di lain waktu.”
“Melihat dari atas bagaimana maksudmu?”
“Dari sisi jalan yang mulai menurun menuju lokasi.”
Memasuki desa Jurangkuali kontur jalan mulai mendatar hingga tempat yang dimaksud Dewa. Mereka lalu berhenti di pinggir jalan. Tempat pemberhentian mereka yang memiliki pandangan leluasa ke lokasi Cangar.
“O, di sini yang kau maksud! Oh, ya benar! Terlihat jelas sekali dari atas sini!”
Lorna berdiri merapat memeluk lengan Dewa. Pandangan keduanya mengedar ke sekeliling. Melihat hamparan hutan pinus. Tempat itu sekarang dikenal sebagai Taman Hutan Rakyat Suryo. Gunung Welirang terlihat lebih jelas. Asap belerang keluar dari puncaknya yang kuning. Mengepul tiada henti. Di tempat itu dieksploitasi mineral belirang.
“Mau mandi air panas?”
“Nanti kalau bersama Dewa ke sana.”
Keduanya berdiri bersandar pada sepeda motor. Dewa memeluk Lorna sambil menikmati minuman kaleng.
Lorna masih menyeka wajahnya dengan tisu basah yang tak pernah lupa dibawanya. Perasaannya damai bila berada di samping Dewa. Perasaan yang sempat hilang lama. Ternyata Dewalah kunci dari semua persoalannya selama ini.
Dewa menarik tubuhnya dan merangkulnya. Lorna membalas dengan melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa. Keduanya berusaha mengenang kembali apa yang pernah terjadi di tempat itu saat masih bersekolah.
“Kamu datang di penutupan kemarin?”
Lorna mengangguk.
“Aku mencarimu.” kata Lorna halus.
Dewa mengangguk.
"Aku merasakan itu," jawab Dewa seraya membelai wajahnya.
Lorna memberikan wajahnya agar leluasa dibelai Dewa. Belaian itu memberinya perasaan nyaman.
Dewa memandangnya sayu. Lorna balas menatapnya.
“Maafkan aku mengecewakanmu,” Dewa meminta maaf.
“Sudah Dewa tebus hari ini,” jawab Lorna dengan suara lunak.
“Belum sepenuhnya. Kalau kita kemping nanti, itu baru tertebus.”
“Hari ini Lorna merasa Dewa telah menebusnya. Kemping nanti akan jadi pelengkapnya.”
Kemudian keduanya diam. Menikmati suasana alam. Menikmati perasaan lega yang kini dirasakan.
Dewa menyibakkan rambut Lorna ke belakang.
“Kamu yakin mau ikut ke Bali besok?”
Lorna mengangguk.
“Tak mengganggu jadwal kegiatanmu?” tanya Dewa.
Lorna menggeleng. Dewa lantas merangkulnya lebih erat.
Agar bisa bersamamu, kukorbankan apapun yang bisa menjadi penghalang kebersamaan ini. Kata Lorna dalam hati.
"Aku kehilangan kamu, saat kusadari kamu tak hadir di sana," kata Lorna dengan pandangan mengarah ke bawah ke lokasi di mana kemarin rombongan reuni mereka menutup acara.
"Kupikir kamu tak hadir," kata Dewa menanggapi.
Lorna mengangguk.
"Lorna mengerti, mungkin Dewa berpikir Lorna masih di rumah sakit."
Dewa tak menimpali. Sesungguhnya apa yang ada dipikiran Dewa lain. Dia beranggapan bahwa Lorna sedang tak berkeinginan menerimanya. Jadi akan sulit dirinya menjumpai di acara itu.
"Seharusnya mereka kemping di tempat itu." kata Dewa.
"Kalaupun ada acara kemping. Lorna tak akan ikut karena kamu tak ada di antara mereka."
Dewa merengkuh bahunya lebih merapat ke tubuhnya.
"Kamu sepertinya ingin bersamaku."
"Kenapa tidak?"
Kemudian keduanya diam. Pandangannya masih mengedar melihat pemandangan yang terbuka. Udara mulai terasa dingin. Kabut mulai turun di lereng gunung, menyelimuti hutan pinus. Keheningan suasana sesekali dipecahkan suara pekik burung. Desah suara air sungai yang mengalir dalam hutan terdengar lamat-lamat.
“Aku sudah membintangi beberapa iklan, De,” Lorna berusaha berterus terang untuk memecah keheningan di antara mereka. Dia ingin mengungkapkan agar tak ada beban yang menggelayuti. Dan berusaha mengetahui, apakah Dewa keberatan dengan kegiatannya? Sebab Lorna tidak ingin di kemudian hari ada persoalan yang timbul. Lorna ingin melihat reaksi Dewa.
Dewa mengangguk-angguk.
“Aku nyaris tak pernah melihat acara tivi.”
Lorna mengangguk, tidak ingin mengomentari.
“Lorna tak mau terlibat kegiatan entertaint. Lorna berusaha menjauhi reportase.”
Dewa mengangkat alis.
“Kenapa?”
“Tak tertarik!”
Dewa mengangguk-angguk.
“Barangkali tak lama lagi teman-teman kita akan tahu kalau beberapa iklan yang tayang, aku yang membintangi di dalamnya. Itu kulakukan untuk memajukan usahaku di Jakarta.”
“Aku mengerti.”
“Dewa keberatan?”
Dewa menggeleng dan menjawab.
“Itu bagus! Seharusnya begitu. Kamu layak menjadi bintang!”
“Ah!”
“Sungguh!”
“Tapi, Lorna tak ingin itu!”
“Jalani saja!”
“Lorna tak ingin popularitas!”
“Popularitas adalah pendapat orang.”
“Lorna takut! Tak siap dengan gosip!”
Dewa merangkulnya lebih erat. Menarik wajahnya agar tengadah. Lantas mengecup bibirnya sesaat. Lorna berharap lebih, tetapi Dewa tak melakukannya. Sebaliknya Lorna yang tak tahan akan kerinduannya, lantas bereaksi memagut bibir Dewa, melampiaskannya dengan gemas.
Dewa membalas, namun berusaha mengakhiri, tak ingin menarik perhatian orang. Lantas bibirnya segera dilepaskan dari bibir Lorna yang basah.
“Aku tahu kamu rindu. Nanti di rumah kita teruskan. Takut ada kamera mengawasi kita,” kata Dewa dengan suara lirih.
“Maafkanlah Lorna,” Lorna tersipu.
"Aku tahu. Aku pun rindu. Tapi kamu kan takut gosip. Ini bisa jadi gosip!"
Wajah Lorna bersemu merah.
"Maafkanlah Lorna, De."
“Perasaanku sama. Aku juga ingin menciummu selamanya. Tak ingin kulepas bibirku dari bibirmu.”
“Hai!”
“Setuju?”
Lorna mengangguk.
“Aku mencintaimu!”
“Lorna juga mencintaimu!”
Lorna membenamkan wajahnya ke bawah leher Dewa. Dewa merengkuh memeluknya hangat.
"De!"
"Ya?"
"Terima kasih menerimaku kembali..."
"Ah!" Dewa menyergah, "Aku tak pernah membencimu. Aku tak pernah menyuruhmu pergi. Aku tak pernah menolakmu. Tak ada alasan bagiku untuk tak menerimamu."
"Aku takut kehilanganmu, Dewa."
Dewa menatapnya tajam.
Lorna diam menunggu Dewa bicara.
"Selama ini aku seperti berjalan dalam gelap. Meraba mencari pijakan dengan lentera yang padam. Setelah lentera kembali bersinar membuat jalanku tak lagi gelap, dan kutemukan kembali pijakan. Lentera itu adalah dirimu."
"Oh, Dewa!" ucap Lorna lalu memeluk Dewa erat, "Selama ini Lorna juga merasa sepi tak berujung sejak jauh darimu. Dewa tak cuma sahabat. Dewa tak cuma teman. Dewa tak cuma seorang kakak. Lebih dari itu Dewa..."
Dewa merangkul. Menarik wajah Lorna dan mencium bibirnya sesaat. Menyeka pelupuk matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Jiwakulah yang merasa kesepian jauh darimu," bisik Dewa.
Lorna melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa dengan erat.
"Papi dan Mami tahu hubungan kita?" tanya Dewa.
Lorna menatap dan ragu untuk menjawab.
"Katakanlah!"
Sebelum menjawab Lorna memandang wajah Dewa dengan seksama. Untuk mencoba mencari siratan makna yang terpancar, apakah itu akan menjadi sebuah persoalan?
"Kenapa diam? Ada yang salah dengan pertanyaanku?"
Lorna menggeleng lemah.
"Hanya Mommy yang tahu," jawab Lorna perlahan.
Dewa tersenyum. Senyumnya menepiskan kecemasan bila Dewa memiliki pandangan lain.
"Kenapa?" Lorna ganti bertanya.
"Perasaanku tak nyaman," jawab Dewa pendek.
"Kenapa?"
"Kenapa aku yang menjadi pacarmu?"
"Kenapa?"
"Melihat hubungan kita selama ini seperti sebuah pepatah saja."
"Pepatah apa itu?"
"Pepatah Jawa!"
"Iya apa?"
"Kawitaning trisno jalaran soko kulino!"
"Apa artinya?"
"Cinta datang dari kebiasaan, biasa bertemu, berkumpul, ya seperti hubunganmu denganku."
Lorna tertawa.
"Ah, ya enggak!" Lorna mencoba membantah, "Lorna cinta Dewa karena ada peristiwa yang membuat kita saling tahu tentang diri kita masing-masing."
"Kamu benar!" kata Dewa yang menenteramkan hati Lorna.
Keduanya diam kembali. Menikmati suasana alam yang damai. Inginnya seperti itu. Kenangan yang pernah terjadi di tempat itu membuat keduanya sesungguhnya enggan beranjak pulang. Tetapi mengingat mereka harus pergi ke Bali besok, dan harus melakukan persiapan. Dengan berat hati harus meninggalkan tempat itu.
“Kita sudahi dulu nanti kita rencanakan dengan baik kalau ingin kembali kemari,” bisik Dewa .
Lorna menatap sayu, mengangguk.
Dewa tersenyum.
"Atau Lorna masih mau di sini?"
“Lorna terserah pada Dewa,” jawab Lorna pelan.
"Kalau tak ada acara makan malam di tempatmu. Kita bisa berdiri di sini hingga gelap."
Lorna tersenyum.
"Tapi kurasa kita akan kedinginan bila matahari mulai redup," Dewa menambahkan.
Lorna membelai wajah Dewa..
"Lorna tak kuatir. Dewa bisa menghangatkanku."
Dewa balas tersenyum.
"Kemarilah! Peluk aku! Peluklah aku, si mata biru! Peluk aku Lorna!"
Lorna lantas memeluk Dewa dengan senyum bahagianya. Dia merasakan sikap yang diberikan Dewa sikap dewasa. Sikap yang sanggup memberinya kenyamanan selain Daddy-nya.
"Aku senang bisa bersamamu di sini," kata Dewa lirih.
"Lorna juga!"
Dewa menatap wajahnya.
"Kamu cantik sekali!" bisik Dewa.
"Terima kasih, Dewa!"
"Kenapa kamu cantik sekali?"
Lorna tersenyum.
"Karena Dewa melihat Lorna begitu!" jawab Lorna manja.
Dewa tertawa renyah.
"Tepat! Kalau kamu kulihat jelek, artinya mataku yang jelek."
Lorna tertawa.
Keduanya tertawa.
Lorna memeluk pinggang Dewa.
Dewa merangkulnya hangat.
Wajah Lorna tenggelam di dada Dewa.
Wajah Dewa tenggelam dalam kelebatan rambut Lorna yang harum.
"Lain kali kita kemari lagi," bisik Dewa.
Lorna mengangguk.
"Kita pulang?"
Lorna mengangguk lagi.
"I love you, De!"
Lalu Dewa membalas di telinganya dengan lembut.
"Aku pun demikian, Bidadariku."
Sebutan bidadari membuatnya merasa ada kuutuhan bahwa Mommy dan Daddy-nya berada pada diri Dewa.
Lorna tersenyum dengan mata terpejam sebelum melepaskan pelukannya.
Sesaat kemudian keduanya sudah melaju meninggalkan tempat itu. Seiring kabut putih yang tiba-tiba melintas di hadapan, menutupi pemandangan. Kabut yang datang ibarat tirai yang menutupi seribu kenangan yang pernah terbentuk di tempat itu.