Rahma ikut merasa gelisah, sulit tidur setelah Lorna memutus hubungan telponnya, awalnya masih tersambung namun tak ada pembicaraan panjang, menimbulkan rasa penasaran. Apakah Lorna sedang dilanda kesedihan yang mendalam? Apakah hari-harinya selama ini seperti saat itu? Ah, kasihan sekali kalau dia merasa patah hati.
Lalu diteleponnya Grace. Ingin berbagi perasaan.
“Aku yakin dia menelponku. Dia ngomong tapi hanya menyebut namaku, lalu berhenti, diam, tak berlanjut sampai hubungan diputuskannya!”
“Coba hubungi lagi!"
“Aduh gimana kamu ini. Sudah kucoba berkali-kali nggak juga diangkat!”
“Mungkin keliru. Bukan dia yang kamu telepon.”
“Eh, kamu pikir aku ini bodoh ya? Yang kuhubungi tetap nomernya yang itu!”
“Kalau nggak diangkat barangkali sudah tidur. Coba lihat jam berapa?” kata Grace.
Rahma meneliti jam di ponselnya. Angka satu lebih dua belas detik.
“Wow! Sudah pagi, Grace!”
“Kamu saja yang nggak tahu diri.”
Rahma tertawa.
“Tapi dia telepon aku...”
"Barangkali dia mau menanyakan kenapa kita nggak jadi ke rumahnya?”
“Ya, tapi kenapa diputus, dan tak bisa dihubungi lagi?”
“Mungkin juga dia sedang bobok setelah minum obat tidur. Kalau penasaran kita ke rumahnya saja besok, bagaimana?” ujar Grace.
“Terserah! Jemput aku ya?"
"Yup!"
"Bagaimana persiapan kita untuk akhir acara reuni?"
"Lalu Lorna?"
"Sayang sekali kalau keadaannya masih seperti itu. Terlalu beresiko mengajaknya. Perlukah kita beritahu dia kalau penutupan reuni dilangsungkan di Cangar?"
"Kalau sekedar memberitahu, kurasa tak ada masalah, tapi akan menjadi masalah bila kemudian dia memutuskan untuk ikut. Mudah-mudahan kondisi kesehatannya cepat pulih. Kita tahu, dia sering menyinggung tempat penutupan reuni seperti amat spesial baginya, karena disanalah dia mulai mengenal dekat Dewa."
"Tapi, Grace. Kamu yakin kalau dia memaksa ikut, kejadian di sekolah kemarin tak akan terjadi lagi?"
"Mmm..."
"Harus siap-siap ambulan!" potong Rahma.
Grace tertawa.
"Jangan tertawa, ini persoalan serius kalau hal itu sampai terjadi!"
"Kenapa kamu melarangku tertawa? Aku juga serius memikirkannya. Aku jadi mikirin Joy yang saat membawa Lorna ke rumah sakit, kebingungan menghadapi kita ketika itu."
"Soal apa itu?"
"Soal kamu larang dia ngebut, tapi begitu Joy bilang Lorna mungkin terserang jantung, kamu langsung menyuruhnya ngebut."
Rahma tertawa.
"Sori. Panik tahu!"
"Kuharap Dewa muncul di penutupan reuni besok. Kita berdua belum ketemu dia. Kayak apa sih dia sekarang?"
"Tapi Lorna sudah lihat tentunya ketika itu."
"Belum. Buktinya dia tak mengenali."
"Karena Dewa saat itu kepalanya tertutup helm."
"Sebaiknya kita cari tahu keadaan Lorna besok. Dia semakin cantik ya Grace?"
"Memang!"
"Tubuhnya, wajahnya, rambutnya, matanya, bibirnya, hidungnya, senyumnya, cara berdandannya, ah!"
"Kulitnya harum waktu kucium pipinya, segar!"
Rahma tertawa
"Aku jadi takut, Grace!"
"Takut apaan?"
"Kamu jadi lesbi!"
Grace menjerit.
"Wao, gila kamu!"
"Cara kamu menikmati keharuman pipi Lorna kayak cewek lesbi."
"Lesba lesbi, sudah, sudah, aku mau lanjutin tidur, ganggu saja kamu!"
"Sori, met malam Grace, met tidur nyenyak lagi!"
"Sudah pagi, Rahma! Met tidur juga. Met pagi!"
Ponsel keduanya lantas digeletakkan si sampingnya, menunggu digunakan kembali di saat bangun nanti untuk meng-update facebook mereka.