Semalam keinginan Grace dan Rahma bertandang ke rumah Lorna menjadi batal, lantaran ponsel Lorna tidak bisa dihubungi, menyebabkan keduanya tak bisa mengkonfirmasi sebelum memutuskan datang. Keduanya memahami dengan apa yang kini dihadapi Lorna, yang masih perlu waktu untuk menenangkan diri, butuh istirahat tanpa terganggu.
Esok hari saat angin lembah gunung Semeru bertiup ke arah barat, menyejukan kota Malang dengan belaiannya, di tengah udara kering. Langit biru berhias awan tipis. Mega bergumpal-gumpal di sepanjang kaki langit.
Sepasang elang Jawa, terlihat terbang berputar-putar di langit tinggi. Mengikuti arus udara thermal ke arah barat ke kota Batu. Di lereng gunung Arjuno, satwa-satwa itu bersarang. Sebagai satwa predator, wilayah perburuannya luas sekali, hingga mencapai Lumajang dan Banyuwangi. Kadang melintas di atas kota Batu, dari gunung Arjuno menuju arah selatan, ke gunung Kawi.
Hari ini Lorna kembali menghuni kamarnya. Kamar yang sudah lama tak pernah lagi ditempati. Kamar yang menyimpan berjuta kenangan. Kamar yang masih menyimpan pernak-perniknya semasa masih sekolah di sma. Tapi dia sepenuhnya belum membuka-buka isi almari maupun laci. Pikirnya masih fokus pada rasa tak nyaman yang mendera sanubarinya.
Menginap di rumah sakit biarpun sehari, cukup mendera bathinnya dengan kegelisahan. Anjuran dokter agar banyak beristirahat, dan menghabiskan obatnya, membuat Papi dan Maminya ekstra mengontrolnya. Sebagai anak semata wayang, sudah tentu menimbulkan kecemasan bila terjadi sesuatu terhadapnya.
Sesekali mereka melihat ke dalam kamarnya.
"Biar, banyak istirahat," kata Nyonya Ivana.
"Apa tak sebaiknya Mommy temani di kamar?" tanya Suaminya.
"Biarlah! Bidadariku masih ingin sendiri," jawab Nyonya Ivana.
Benarkah penyebabnya masuk rumah sakit hanya akibat kelelahan? Kenapa bisa begitu? Apakah lelah akibat bertahun-tahun berusaha melepas bayangan wajah lelaki yang melekat di dinding relung hatinya paling dalam? Ataukah, lelah akibat dirudung kegelisahan yang mengusik hari-harinya? Ataukah, lelah memikirkan masalahnya dengan Dewa yang tiada berkesudahan? Undangan reuni diharapkan membuka peluang mengakhiri semua perasaan itu, tetapi kenyataan yang diterima ternyata lain, reuni gagal diikuti.
Dikatupkan pelupuk mata, berusaha memejamkan rapat. Berharap pejaman itu mengembalikan bayangan wajah-wajah yang pernah dikenali, yang melintas laiknya slide film yang muncul silih berganti. Saat slide berhenti pada sebuah frame, dan menetapkan sebuah wajah, tapi wajah yang selalu muncul adalah wajah yang membikin sanubarinya laiknya tertikam belati kerinduan yang amat tajam. Menciptakan guratan kepedihan yang panjang. Menerbitkan kegundahan yang menggelapkan langit-langit hatinya. Bayangan wajah itu, laiknya melekat di kornea mata, yang sulit dikelupas, dan terbawa kemana saja pergi, menciptakan rasa sesak dalam dada, meledakkan kerinduan tiada tara. Ah.
Akibat terhimpit terus-menerus oleh perasaan itu. Dadanya pun lantas berguncang. Bibirnya yang tipis, yang lembut, yang berwarna pink, gemetar. Dan barisan gigi atas yang putih bak mutiara, menggigit lunak bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Matanya yang biru, jernih, menerbitkan air bening, yang bergulir jatuh membercaki bantal yang rapat dipelukannya.
Ada keinginan menelpon Rahma. Ada keinginan menumpahkan kecamuk di dadanya. Andai semua sudah ditumpahkan. Barangkali isi dadanya terasa lapang, sehingga tidak lagi menyesakkan. Ingin semua beban itu diringankan. Sebab, berat sekali menahan berkati-kati beban perasaan itu selama bertahun-tahun.
Dipungutnya ponsel di dekatnya. Suaranya lemah saat bicara. Berdesah laksana desah angin di sela-sela ranting cemara di perbukitan yang dulu pernah dilaluinya bersama lelaki yang kini menggelisahkannya.
“Rah?” suaranya lunak. Lunak sekali.
“Hei. Ada apa, Na?” Rahma pun menjawabnya lunak. Mengimbangi suara Lorna. Tetapi Lorna tak melanjutkan. Ada keraguan.
“Halo!” sapa Rahma lagi.
Rahma menunggu. Tak juga ada balasan Lorna.
“Halo!”
Tidak ada jawaban. Tapi Rahma merasakan hubungan telepon masih tersambung. Lorna hanya diam. Lamat-lamat mendengar desah suara nafas kesedihan. Rahma sabar menunggu.
Saat itu bibir Lorna gemetar. Sulit memulai menumpahkan unek-uneknya. Bibirnya yang gemetar sulit diajak kompromi. Mulutnya terasa kaku terganjal oleh haru biru perasaannya. Banyak yang ingin diungkapkan. Tapi tak tahu mana yang akan didahulukan. Semua itu membuat bibirnya seperti terkunci.
“Ada apa, Na?” tanya Rahma lembut. Terus bersabar walau pertanyaannya belum dijawab.
Lorna masih kesulitan bicara lantaran beban yang menggelayuti. Bibirnya berusaha menahan agar tangisnya tidak pecah. Dia ingin bicara perihal Dewa. Ingin bicara perihal reuni. Ingin bicara perihal hubungan persahabatan mereka. Banyak keinginan yang muncul tiba-tiba saat itu.
Rahma bisa merasakan kalau Lorna berusaha mengungkapkan sesuatu kepadanya. Menurutnya, Lorna masih merasa berat meninggalkan Dewa. Akankah semudah itu menyerah dengan menghindari Dewa begitu saja? Kenapa tak diklarifikasi dahulu? Kenapa tak ditanya kepada Dewa. Kenapa Dewa sampai hati mengambil keputusan, menikah begitu saja dengan Nirmala? Sedangkan, selama ini, setahunya, tak secuil pun dirinya tahu, bahwa Dewa menjalin hubungan dengan gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya?
Rahma bersabar menunggu hingga Lorna bicara. Tapi dia kaget saat Lorna menutup telepon.
"Aduh, kenapa dia?" gumamnya dalam hati.
Rahma tidak tahu. Saat itu Lorna kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Mengabaikan ponselnya yang berdering berulang kali dari Rahma yang penasaran karena Lorna menutup ponselnya.
Karena tak juga juga ditanggapinya, panggilan Rahma lantas berhenti sendiri.
Lorna larut dengan kepedihan, kepedihan yang berasal dari penyesalannya akibat memutuskan meninggalkan Dewa, lantaran Dewa menghianati cintanya, menghancurkan harapannya, memenjarakan cinta sucinya. Benarkah seperti itu?
Kenapa Dewa berpaling ke Nirmala tanpa sepengetahuannya? Padahal mereka sudah menjalin keakraban sebelum kehadiran Nirmala? Apakah keakraban yang terjalin selama itu hanya sekedar sebuah persahabatan?
Memang, saat masih bersama, mereka tak pernah bicara perihal cinta, tapi perasaan itu yang selama ini mereka berdua rasakan. Hubungan yang terjalin seperti mencerminkan kesepakatan yang tak terucap. Ada perasaan yang sama. Saling mencintai. Saling mengerti. Saling memperhatikan. Saling mengasihi. Saling. Saling. Ah.
Yang terjadi biasanya, bila lelaki dan perempuan sudah akrab, apalagi cocok, selalu dilanjutkan dengan jalinan cinta. Pepatah jawa mengatakan 'witing trisno jalaran soko kulino' yang artinya, awal tumbuhnya perasaan cinta bermula dari kebiasaan.
Tapi Dewa tak pernah menyinggung cinta. Tak pernah bicara cinta. Demikian pula Lorna. Tapi, sikap Dewa, dirasakannya mencerminkan perasaan cinta terhadap dirinya. Perlukah kata cinta diucapkan agar maknanya jadi jelas? Apakah harus demikian? Bila tidak, akibatnya seperti yang dialaminya selama ini. Keliru memahami perasaan masing-masing.
Yang tak dimengerti adalah alasan Dewa berpaling dan menikahi Nirmala? Apa lantaran tak pernah kuutarakan perasaan cintaku padanya? Kenapa mesti menunggu aku yang harus memulai? Harusnya dia yang bilang duluan. Bukan aku. Ataukah dia menilaiku egois karena tak mau mengungkapkan perasaan itu? Seharusnya lelaki yang agresif, perempuan kan pasif. Lalu siapa sesungguhnya Nirmala? Sehebat apa dia bisa menggaet cinta Dewa?
Barangkali karena sebab semua itu, membuatnya kini mudah menangis. Sedih. Kesal. Kecewa. Segala perasaan berkecamuk jadi satu.
Lorna pun menangis. Dengan menangis diharap akan mengurangi beban yang dirasakan. Tetapi, setelah sekian lama menangis, beban itu tak juga mau pergi.
Menangislah Lorna. Menangislah. Basahi kembali bantalmu dengan airmata. Cuci terus bola matamu yang biru jernih itu dengan airmata. Berdamailah dengan tangis. Karena dengan begitu, akan jadi pelipur lara cintamu yang kini tengah terluka. Atau, pergilah temui Dewa. Tanyakan persoalanmu. Katakan perasaanmu. Tanyakan perasaannya. Tuntaskan persoalan hubungan kalian. Agar tak jadi beban lagi yang kau tanggung selamanya. Marahilah Dewa yang menyia-nyiakan hubungan kalian selama ini. Setelah itu mintalah maaf bila yang kamu lakukan mengacaukan hubungan yang terjalin selama ini. Lalu putuskanlah apa yang terbaik bagimu.
Lorna berusaha menghibur diri di tengah deraan kepedihan yang sedang melanda.
Lorna segera menyeka airmatanya, ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Sweetheart!”
Itu panggilan Maminya, yang berniat masuk ke dalam kamarnya.
“Come in, Mommy!”
Lorna tak bisa menyembunyikan pelupuk matanya yang sembab dari Maminya. Mami langsung memeluknya.
“Kamu bersedih lagi, bidadariku? Kecewa tak bisa ikut reuni?”
Lorna menggeleng lemah. Mami menghapus airmatanya. Mengecup pipinya dengan lembut.
“Bicarakan dengan Mami, sayang.”
Lorna memeluk erat Maminya.
“Kesedihanmu tentang apa, sayangku?”
Lorna tak mau menumpahkan keluh kesahnya. Persoalan dengan Dewa ingin disembunyikannya. Sikap yang tak pernah dilakukan sebelumnya terhadap Maminya, yang biasa terbuka, tak pernah ada yang disembunyikan. Tapi yang dilakukannya kini agar Maminya tidak cemas.
Keberadaannya di Malang seharusnya jadi kesempatan untuk menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi antara dirinya dengan Dewa, agar tidak menghantui terus-menerus.
“Datanglah ke reuni, kalau itu kemauanmu. Perlu Mami temani?”
Lorna tersenyum geli dalam kesedihannya.
“Nanti teman-teman mengira Lorna masih bayi...”
Maminya tersenyum.
“Ah, jangan berpikir seperti itu, Sayang. Mereka pasti memaklumi kalau kamu masih belum pulih benar.”
“Lorna pingin datang!”
“Datanglah...datang saja, Sayangku. Kan ada Rahma dan Grace. Biar kuminta tolong mereka untuk menjagamu.”
Maminya mencium lembut pipi Lorna.
“I love you, Mommy.”
“I love you, sweety. Datanglah kalau itu akan melegakan perasaanmu.”
“Tapi Lorna tak tahu, apakah reuni sudah selesai atau belum?”
“Kan bisa ditanyakan ke Rahma atau Grace, sayang. Atau coba lihat di acara undangannya.”
"Hanya berupa email dari Grace."
"Ya, sudah. Ditanyakan saja ke Rahma."
Lorna melihat ke jendela kaca. Di luar hari sudah gelap. Tapi tak tahu apakah bulan muncul ataukah tenggelam tertutup awan?