13. Talun Es.

Kendaraan Grace meluncur keluar gerbang rumah sakit. Garce dan Rahma tak ingin mengganggu kebersamaan Lorna dengan keluarganya. Papi dan Maminya sudah berada di rumah sakit. Baru tiba di Indonesia dari Australia semalam. Lorna masih melendot memeluk Papinya saat Garce dan Rahma meninggalkannya.
Sesungguhnya Lorna ingin kedua sahabatnya itu tidak meninggalkannya. Tetapi Grace dan Rahma berjanji akan mengunjunginya bila sudah pulang dari rumah sakit.
“Lebih baik aku dan Grace kembali ke acara reuni,” Rahma memberi alasan. Lalu melanjutkan, "Kuhurap kamu bisa mengerti."
"Ya, sudah. Manfaatkan reuni itu."
"Tak lengkap sih tanpa kamu di sana," kata Grace.
"Sebenarnya di reuni itu, kita bisa berkumpul lagi," Rahma menambahkan.
"Seperti dulu!" sela Lorna.
"Ya, seperti dulu!" ujar Grace dan Rahma.
Lalu Grace dan Rahma memberinya pelukan.
"Saat ini kita kan sudah bereuni sendiri," Rahma mencoba menghibur.
"Kamu benar." jawab Lorna. Bola matanya berlinang, meski berusaha tersenyum.
Kedua orangtua Lorna memandang senang dan terharu pada pertemuan mereka itu.
Rahma dan Grace lantas menyeka matanya yang ikut basah, terbawa pula perasaan sedih.
“Permisi, Tante! Permisi, Om!” kata Grace dan Rahma berpamitan kepada orangtua Lorna.
“Terima kasih ya? Tante lebih suka kalau kalian berada disini,” kata Mami Lorna seraya mencium pipi Rahma dan Grace, sebelum kedua gadis itu meninggalkan ruangan.
“Datang ke rumah ya?” pinta Papi Lorna.
“Ya, Om! Nanti kita ke sana. Yuk, Na!”
Thanks ya!”
"Bye, Na!"
"Bye Grace... bye Rah!"
Rahma dan Grace ingin membahas hubungan Lorna dan Dewa, tetapi tidak di hadapan Lorna. Banyak pertanyaan yang perlu keduanya diklarifikasi. Mereka bermaksud kembali ke reuni yang masih berlangsung, tidak ingin ketinggalan momennya, tetapi mereka tak langsung ke sana.
Mobil yang mereka tumpangi membelah kepadatan lalu lintas jalan Basuki Rahmat. Di perempatan Raja Bali lalu berbelok ke kanan. Di depan sekolah kristen kemudian berbelok ke kiri yang akan tembus ke jalan Kawi. Tujuannya ke Talun Es, mengunjungi sebuah depot, yang dulu pernah jadi tempat favorit mereka. Apakah depot itu masih ada, ataukah sudah tenggelam di tengah menjamurnya kedai makan dan minum yang serba wah?
Ternyata depot tersebut masih ada, walau tidak seperti dulu lagi, sebab suasana dan pemiliknya telah berganti. Terasa asing, suasana dulu telah lama hilang.
Mereka pesan dua porsi bakso dan es campur, menu favourit depot itu dulu, dan itulah kenapa tempat itu dikenal dengan Talun Es, karena berada di wilayah Talun. Tempat yang sering mereka kunjungi bertiga dengan Lorna. Kadang janjian bertemu Dewa di situ.
Grace mengutarakan rasa penasarannya soal insiden Lorna dan Dewa. Rahma juga dihadapkan situasi yang sama. Yang membuat keduanya tak mengerti, ternyata Lorna sudah bertemu Dewa, tetapi kenapa Lorna menyangkalnya.
“Beni sudah jelaskan kalau Dewa sudah ketemu Lorna. Tapi kenapa Lorna diam saja?”
“Ataukah Lorna enggan bertemu Dewa?” tanya Grace.
“Pasti kejadiannya sebelum ketemu kita pagi itu. Hih! Kok rumit amat!” keluh Rahma sembari geleng-geleng kepala.
Grace membaca sms di ponselnya yang baru masuk.
“Ndari minta kita datang ke reuni,” Grace membacakan isi sms itu.
“Ya, sebentar lagi!” jawab Rahma.
“Harusnya, Lorna tak perlu jaga jarak. Dewa juga harusnya bersikap wajar saja terhadap Lorna? Kita tahu, Lorna menyadari perbedaan kehidupan mereka. Lorna memahami kondisi kehidupan Dewa. Seharusnya, Dewa tidak menyikapi perbedaan itu secara berlebihan. Nyatanya hidup berlanjut, dan waktu telah mengubahnya!”
“Kupikir bukan persoalan itu yang membuat mereka berpisah. Tapi, persoalan Nirmala yang mengubah keadaan. Sejak pertama mengenal Dewa, Lorna sudah tahu kehidupan Dewa sehari-hari. Kalau masalah materi yang jadi pertimbangannya, tentu hubungan keduanya tak akan seakrab itu.”
“Bagaimana Ronal?” Grace menyela.
“Kamu pikir Lorna menyukainya?” Rahma balik bertanya.
“Manuver Ronal ke keluarga Lorna, menyebabkan Dewa menjaga sikap.”
“Nggak tahu persis, sih. Kan Lorna sudah bilang, tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Ronal.”
“Bilang ke siapa?”
“Ronal!”
“Siapa yang bilang?”
“Lorna sendiri!”
"Tapi kenapa sikap Lorna seperti itu?"
"Maksudmu sikap apa?"
"Seakan memberi peluang pada Ronal untuk bisa dekat dengannya."
"Ah, tapi itu sikap yang wajar."
"Ah, ya enggak kalau menurutku. Justru itu yang akan membuat Lorna terjebak sendiri."
“Selama ini hanya kepada Dewa, sikap Lorna menunjukkan sikap lebih familiar. Tak ada cowok spesial baginya, selain Dewa.”
Grace menunjukkan lagi sms dari Ndari ke Rahma yang menanyakan keberadaan mereka.
"Jangan dijawab!" kata Rahma.
Situasi hening.
Depot yang mereka datangi, tidak lagi ramai dikunjungi anak sekolah. Barangkali karena dulu saingannya tak sebanyak sekarang. Depot itu kini dikelola generasi dari pemiliknya terdahulu.
“Eh, Grace...” kata Rahma memecah kebisuan, seraya menyeka sepotong daging kelapa yang menempel di sudut bibir Grace dengan tisu di tangannya.
“Aku kini jadi merasa bersalah melarang Dewa menemui Lorna,” kata Rahma melanjutkan.
“Bukan salahmu saja, tapi juga salahku! Salah kita berdua! Tapi kita kan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Maksud kita kan baik,” jawab Rahma mencari pembenaran.
“Ya, tapi kita memprotek Lorna berlebihan.”
“Habisnya, itu yang kita cemaskan. Gara-gara Dewa kan, Lorna jatuh pingsan.”
Suasana kembali bisu.
Mata Rahma dan Grace memandang keluar Depot. Memperhatikan becak becak yang diparkir berderet di luar, di depan depot. Pengayuhnya tiduran menunggu penumpang. Suasana tak sama seperti dulu. Barangkali lantaran Lorna tidak ikut menjadikan suasana terasa tidak pas. Berlama-lama di tempat itu tak memberi keduanya ketenangan. Mereka memutuskan meninggalkan tempat itu dengan segera.
“Kita kembali ke reuni. Nanti dipikir sombong, nggak mau kumpul. Ndari sudah mengingatkan kita,” kata Rahma.
“Yo’i!”
Mentari berada di kulminasi. Udara terasa terik, menciptakan fatamorgana di atas jalanan aspal. Keduanya meninggalkan depot Talun Es. Melewati spleendid agar lekas sampai ke bekas sekolahnya yang kini masih bereuni.
Pohon-pohon trembesi tua yang berjajar sepanjang tepi jalan Tugu, menciptakan kanopi yang daunnya tak lagi rimbun seperti dulu, yang menyejukkan jalanan. Barangkali iklim dan ekosistem di sekitarnya membuat pepohonan itu tumbuh tak sesehat dulu.
“Bagaimana, kalau ntar malam kita ke rumah Lorna?” ajak Grace.
“Ya, kutelpon kamu nanti,” jawab Rahma.
“Kita ketemuan. Mumpung dia masih di Malang.”
“Tapi kita telpon dulu. Jangan sampai mengganggu?”
“Ah, nggak. Kan tadi kita diharapkan ke sana. Lorna tak berubah, sikapnya ke kita masih seperti dulu?”
“Pakai mobilmu atau kujemput?”
“Kujemput saja!”