12. Kunjungan.

Pintu kamar terbuka perlahan. Lalu muncul suster Dewi. Namun pagi ini kemunculannya tak seperti biasanya, di belakangnya menyusul Rahma dan Grace.
“Selamat pagi, Lorna!” ujar mereka bersamaan.
“Selamat pagi!” balas Lorna.
Lorna yang semula tersenyum, jadi terperangah, sebab di belakang Rahma dan Grace menyusul ada Ndari, Nina, Lucy, Wieke, Joy, Ismet, dan banyak wajah lain yang cukup dikenali, tetapi nama-nama mereka ada yang sudah lupa.
“Hai semua!” sambut Lorna.
“Hai, Lorna!” seru mereka serempak.
Ruangan kemudian terasa riuh. Semua menyapa dan ingin berada dekat dengan Lorna. Ingin melihat wajahnya lebih dekat. Ingin berbicara lebih akrab. Sebagian masih berada di luar ruangan, mengurangi beban ruangan agar tidak berdesakan.
Meskipun begitu, kehadiran mereka masih belum mampu mengurangi kegelisahan hati Lorna. Sebab, ada seraut wajah yang ditunggunya selama ini yang masih belum terlihat.
Mereka menyalami bergantian. Mencium pipi dan memeluknya. Mata mereka berlinang. Mungkin lantaran bahagia. Pertemuan itu mengaduk-aduk emosi. Terlebih perasaan wanita jika dihadapkan situasi seperti itu, pasti hatinya akan larut.
Setelah satu persatu memberi salam. Tiba giliran teman-teman yang lelaki. Hingga sampai ke giliran Beni.
Lorna terhenyak sesaat begitu melihat Beni.
“Apa kabar?” Beni menyapa hangat.
Beni mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Perjumpaan itu terasa kaku. Entah lantaran Beni masih merasa bersalah akibat peristiwa kemarin, atau karena Lorna sendiri punya perasaan yang mengganjal terhadapnya.
Beni mengulangi, “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik!” akhirnya Lorna membalas lunak.
Tapi Beni tahu, perasaan gadis itu tidak seperti ucapannya. Dia melihat kehangatan di wajahnya tiba-tiba lenyap begitu melihat dirinya. Pasti ingatan gadis itu tidak bisa lepas dari Dewa. Hubungan dekatnya dengan Dewa pasti penyebab wajah Lorna nampak muram.
“Nggh...” Lorna tergagap. Bingung. Lebih bingung lagi ketika melihat Joy tiba-tiba menyeruak di belakang Beni.
“Sori, kita belum sempat ketemu! Kemarin aku yang mengantarmu kemari,” Joy berusaha menjelaskan.
Lorna berusaha tersenyum.
“Oh, thanks, Joy!” jawab Lorna kalem.
Don’t mention it!” jawab Joy.
“Hei, ini bukan di Australia. Nggak usah ngomong Inggris!” sela Rahma.
“Lorna yang mulai,” ujar Joy.
"Lorna lain, dia masih terbawa kebiasaannya. Kalau kamu kan..."
"Oke..oke..aku ngerti," sela Joy.
Lorna mencoba tersenyum. Tetapi tetap menghindari tatapan Beni. Dia berharap, di belakang Beni dan Joy, tiba giliran lelaki yang ingin ditemuinya selama ini. Kegelisahannya menjadi beralasan, sebab di belakang Joy tidak ada lagi seseorang yang muncul yang diharap akan menyapanya.
Menangkap hal tak beres. Rahma yang sejak dulu perhatian sekali pada Lorna. Tahu betul arah dari setiap gerakan matanya. Ada yang dicarinya. Tapi yang dicari ternyata tidak muncul.
“Sus, Dewi, kapan dong primadona kita pulang?” Rahma mencoba mengalihkan keresahan Lorna.
Semua tertawa.
“Ya, kapan dong?” timpal yang lain.
“Lho. Dia primadona to? Pantas cantik banget!”
Lorna membeliakan mata ke Suster Dewi. Matanya yang biru. Indah sekali. Kawan-kawannya melihat mata itu laiknya mata boneka barbie
“Kalau urusan pulang, tanya ke dokter Ratna. Bagaimana hasil konsultasi semalam dengan dokter Ratna?” tanya suster Dewi.
“Lho, kok malah nanyain aku? Situ kan lebih tahu. Biasanya Suster paling tahu rahasia pasiennya,” ledek Lorna disambut tawa yang lain.
“Rahasia siapa? Oke. Mau buka-bukaan rahasia? Pertama. Primadona kalian sehat..hat..haaaat! Kedua, primadona kalian manja sekali. Kalau malam minta ditemani tidur.”
“Huuuu...!” Lorna menimpuk suster Dewi dengan tisu yang diremasnya sejak tadi.
“Primadona kalian kesepian,” suster Dewi menggoda sambil berlari keluar ruangan.
Seketika ruangan dipenuhi tawa.
Grace menyeret Beni ke luar ruangan, Joy ikut di belakangnya.
“Aku nggak ngerti, Grace,” kata Beni penasaran, ”Dia melihatku, seperti melihat the gost.”
“Hus! Bukan begitu, Ben! Kamu salah! Ngeliat kamu dia ingat Dewa!” ujar Grace.
“Kenapa? Apa dia benci Dewa?”
“Mana kutahu?” tukas Grace.
“Semalam, kita ke rumahnya. Minta maaf atas kejadian kemarin. Pagi tadi, kucoba lagi menemui kembali ke tempatnya. Niatku mengajaknya kemari. Tapi rumahnya kosong,” kata Beni.
“Hah! Ngacau kamu! Kenapa mengajaknya kemari?” sergah Grace.
“Lho, peraturan kemarin masih berlaku?”
“Ya masih!”
“Ah! Kalian menempatkan aku pada situasi sulit!” balas Beni.
“Sulit apanya? Kan demi kebaikan.”
“Tujuan Dewa ketemu Lorna, kurasa bermaksud baik.”
“Iya aku ngerti!”
“Kalau ngerti, kenapa mesti dihalangi? Aku jadi serba salah. Sepertinya, dia menuduhku bersekongkol dengan kalian, mencegahnya bertemu dengan Lorna.”
Joy yang bersandar di dinding. Berusaha tidak larut perdebatan itu. Pandangannya di arahkan ke langit-langit, berusaha membungkan lubang telinganya dari apa yang diperdebatkan temannya.
Beni memandang Joy. Joy apatis.
“Joy, gimana nih?”
Dimintai pendapat, semula Joy enggan menjawab.
“Begini saja, Ben. Lorna kan sama sekali belum ketemu Dewa. Anggap saja insiden di pintu gerbang tidak pernah terjadi. Lorna kan tidak tahu, bahwa yang di motor itu, Dewa.”
“Tunggu!” tiba-tiba Grace menyela.
“Kapan Dewa melihat Lorna?” tanyanya menambahkan.
“Sebelum Lorna pingsan kemarin.”
“Dewa tidak menegur, Lorna?”
“Sudah!”
Grace mengerencitkan kening.
“Lalu?”
“Kata Beni. Dewa bilang, Lorna diam saja saat dipanggil.”
“Ah, yang benar?” Grace tak mengerti.
Joy dan Beni saling memandang.
“Begitulah!” jawab keduanya bareng.
Grace bingung. Dia tidak yakin akan cerita itu. Tapi tidak ada alasan baginya untuk tidak mempercayai Joy dan Beni.
Yang membuatnya tak habis pikir. Kenapa Lorna tidak membalas teguran Dewa? Apakah benar Dewa memanggil Lorna? Apakah Lorna sudah tidak mengenali wajah Dewa? Atau, sedemikian bencikah, sampai Lorna tak membalas teguran Dewa? Benarkah Lorna membenci Dewa? Ah, tiba-tiba timbul banyak pertanyaan berdesakan dalam pikiran Grace.
Tidak ada yang jelas. Lorna pernah mengatakan bahwa selama ini belum pernah bertemu Dewa. Padahal tujuannya menghadiri reuni, ingin bertemu dengannya. Sudah sekian kali berusaha bertemu, tapi selalu gagal. Benarkah Lorna tak pernah bertemu Dewa selulus sekolah? Sulit mendapatkan penjelasan dari keduanya.
Tiba-tiba, Ronal dan cs-nya masuk ruangan. Mengejutkan Lorna yang segera minta Rahma dan Grace merapatkan diri kepadanya.
“Hai, sayang!” sapa Ronal.
Lorna mengangkat alis. Tak nyaman dengan sapaan yang genit.
“Hai!” balas Lorna pendek, tak ingin memberi kesan tak peduli.
“Rupanya kamu ada di sini. Pantas, ditunggu di reuni tak nampak.” lanjutnya.
Lorna tak menimpali.
“Kudengar gara-gara Dewa!”
Lorna tersentak.
“Apa, Ron?”
“Ada masalah dengan Dewa?”
“Ah, nggak ada!”
"Benar begitu?"
"Benar!"
“Kenapa dia tidak muncul di sini?”
Lorna bingung. Tidak bisa menjawab. Benarkah Dewa tidak muncul? Kenapa dia tak datang?
Kemudian memandang Rahma dan Grace. Kedua sahabatnya itu, sepertinya juga tidak tahu.
Ronal menatap mata Lorna.
"Aku ingin mengunjungimu di rumah bila kamu sudah meninggalkan rumah sakit."
"Aku nggak tahu sampai kapan di sini."
"Sore nanti kukunjungi lagi di sini."
"Ah, lebih baik waktumu untuk menemui teman-teman yang lain selagi mereka berkumpul."
Rahma dan Grace lantas mengalihkan, agar semua teman yang berkunjung bisa secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengusir Ronal secara halus, agar Lorna bisa terbebas dari Ronal.
Thanks!” kata Lorna kepada Grace dan Rahma.
“Itulah gunanya kita!” jawab Rahma.
Lorna tak bertanya perihal Dewa. Sejak awal dia tak pernah menyinggung Dewa. Rahma dan Grace berpikir, ada yang disembunyikan dalam perasaannya. Tetapi, keduanya juga tidak mengungkit, kenapa Dewa tidak datang? Keduanya tidak ingin mengulang kejadian kemarin. Tetap berusaha menghindari untuk menyebut nama Dewa.