11. Didera Sepi.

Mentari beranjak ke langit. Sinarnya yang hangat perlahan merayap meninggalkan lantai kamar. Membuat butiran embun yang menggelayut di bawah daun mawar di bawah jendela paviliun tak bisa bertahan.
Hangatnya udara membuatnya merasa bosan berbaring. Lalu beranjak turun. Diletakkannya komputer tablet dari pangkuan ke atas kasur. Hanya peralatan itu yang menemaninya mengusir siksaan rasa sepi. Ditelusupkan ujung kakinya ke sandal berpengikat beludru warna jambu yang dibawakan Mami semalam dari rumah. Sandal itu tak berisik di lantai saat berjingkat ke jendela yang sudah dibuka perawat sejak pagi benar.
Berada di jendela, udara segar seketika menyergap lubang hidungnya. Jarum infus sudah tak lagi berada di pergelangan tangan. Juga suplai oksigen sudah dicabut dari lubang hidungnya. Obat yang diminumnya membuat nyenyak tidurnya semalam.
Sehari menginap di rumah sakit seperti melewati seribu tahun lamanya. Ingin rasanya meninggalkan tempat itu karena merindukan kamarnya sendiri. Berada di tempat ini, dirinya seperti dilemparkan ke dasar jurang yang paling dalam, yang di dalamnya hanya ada kegelapan dan kesepian yang tak berdinding batas.
Ponselnya berdering. Namun tak ada hasrat menyentuhnya. Apalagi, tiba-tiba kegelisahan mulai datang menyergap kembali. Entah apa sebabnya. Apakah lantaran tak sabar menunggu teman-teman yang berencana datang hari ini?
Semalam Rahma memberitahukan bahwa mereka akan mengunjunginya hari ini di rumah sakit. Mereka adalah kawan-kawan yang tidak jadi ditemui di acara reuni. Perasaan kecewa kehilangan peluang menghadiri reuni, membuatnya menangis semalam.
Lebih dari pada itu, seperti kehilangan peluang bertemu dengan lelaki yang membuatnya datang ke Malang. Benarkah tak ada peluang bertemu kembali? Di mana dia? Diharapkan, dia ada di antara mereka yang akan mengunjunginya pada hari ini.
Ingat bersamanya, teringat hari-hari yang pernah dilalui tidak sesunyi seperti saat ini. Terbayang saat-saat itu, menerbitkan air bening di sudut matanya. Yang lalu bergulir menggantung di bawah dagunya, dan jatuh menimpa kayu jendela warna hijau tua.
Perpisahan yang berlangsung sekian tahun lalu telah mengubah jalan hidupnya. Meninggalkan siksaan rasa bersalah berkepanjangan. Usahanya untuk menjauhi Dewa, ibarat buah simalakama, yang berbalik semakin membuatnya sulit melupakan segala hal yang berkenaan dengan Dewa.
Apakah Dewa mau berjumpa dengannya kembali? Apakah Dewa mau memaafkannya? Apakah hubungan mereka bisa pulih seperti dahulu lagi? Itu adalah sekian dari pertanyaan yang sedang bergelayut dalam benaknya.
Beberapa bulan terakhir, menempuh perjalanan bolak-balik Australia Jakarta, adalah keinginannya menciptakan kondisi agar bisa bertemu Dewa kembali.
Keberadaannya di Jakarta dalam kerangka menjalankan usaha dengan sepupunya, usaha yang belum lama berdiri, tapi sudah cukup menyibukkannya, kesibukan yang diharapkan akan membuatnya betah berada di Indonesia. Beberapa iklan tayang untuk televisi sudah berhasil diselesaikan. Barangkali teman-temannya tak ada yang menyadari bahwa dirinya sudah muncul di berbagai iklan produk. Dia berharap Dewa juga akan melihatnya. Tapi dia tidak tahu kalau Dewa nyaris tak pernah menonton televisi.
Pulang ke Malang adalah hal pertama yang diupayakan setiap kali ada kesempatan. Merindukan kamarnya yang sudah lama ditinggalkan, yang tetap terawat baik oleh pembantu rumah. Kepulangannya kali ini ditemani Maminya. Sedangkan Papinya dalam perjalanan ke Indonesia setelah diberitahukan dirinya masuk rumah sakit.
Hangatnya sinar mentari yang menerpa punggung tangan memberi kenyamanan. Namun segera menariknya dari siraman cahaya itu lantaran ponselnya berdering tiada henti.
Berasal dari Rahma.
“Hai, met pagi!” sapanya lunak.
“Met pagi juga. Sudah sehat?”
“Bosan saja ada di sini!”
“Sabarlah...sebentar lagi aku ke situ. Masih tunggu satu acara lagi.”
“Bisa nggak datang sendiri kemari?”
“Pinginku tadi seperti itu. Tapi, Bu Linda ingin ketemu aku pagi ini. Memintaku memandu mereka ke tempatmu.”
“Grace bagaimana?”
“Grace ada urusan. Kita sudah janjian ketemu di acara reuni.”
“Kalian bikin aku iri!”
"Kenapa?"
"Bisa ikutan reuni!"
“Sudahlah. Kesehatanmu jauh lebih penting. Sampai kapan di rumah sakit?”
“Hari ini aku minta pulang. Minta rawat jalan saja. Di sini kayak dipenjara!”
Rahma tertawa geli.
“Baguslah kalau itu perkembangannya.”
“Jam berapa rencana kalian ke rumah sakit?”
“Belum tahu. Kita usahakan pagi sesuai jam kunjungan. Teman-teman sudah bersiap-siap. Jadi masih sempat ketemu denganmu di sana, ya?”
“Masihlah! Kan tunggu Daddy dan Mommy menjemputku."
"Kau tunggu ya?”
Maka Lorna harus merasa kesepian dulu. Walau Maminya menemani bermalam dan kembali pulang ke rumah belum lama berselang untuk menunggu kedatangan Papi, tetap tak mampu mengusir kesepiannya. Apalagi di saat menunggu, perasaannya dipenuhi harap-harap cemas. Menunggu seseorang yang membuatnya memikirkan sikap yang akan diperlihatkan bila bertemu dengannya nanti.