10. Minta Maaf.

Udara dingin memasuki suasana larut malam. Lampu penerangan masih padam. Belum ada yang menyalakan. Baba terkunci di lantai atas. Bersungut-sungut. Matanya yang tajam, bersinar di kegelapan. Daun telinganya bergas menangkap setiap suara sekecil apa pun. Di atas badukan di teras seekor kucing hitam mengawasi dengan matanya yang bersinar di kegelapan.
Di luar, terdengar derum mesin mobil meraung sejenak, kemudian diam. Sebuah mobil berhenti di depan. Dan tidak berselang lama, sayup-sayup ada yang mencoba membuka pintu di bawah pergola, menimbulkan suara berderit. Pintunya lebar, berat, tebal, serta berukir, terbuat dari kayu mahoni.
“Seram amat, Ben!” bisik Nana.
Lampu di bawah atap pergolapun juga tidak menyala. Di bawah bayang cahaya bulan. Tersamar wajah Ndari, Nana, Wieke, Joy, dan Beni. Mereka sebagian anggota panitia reuni yang bermaksud menemui Dewa.
Mereka berhati-hati memasuki bangunan itu. Ada perasaan giris menghinggapi gadis-gadis itu. Sebagian ada yang belum pernah kemari. Ornament kayu dan patung kepala sapi di atap bangunan utama. Topeng-topeng primitif yang bergantungan di beberapa tempat. Tekstur dinding batu, kasar tersamar dalam bayangan cahaya bulan, dan arca-arca batu memberi kesan magis.
“Kok gelap amat, sih?” tanya Nana.
“Kali nggak di rumah, Ben? Lampunya saja mati,” kata Wieke.
“Dia tinggal sendiri?” tanya Nana
“Kamu belum tahu dia yatim piatu?” jawab Beni
“Oo...” ujar Nana, Wieke bersamaan.
“Mungkin di Griyo Tawang,” kata Ndari.
Tiba-tiba menyeruak salak anjing di loteng. Itu Baba, seekor pudel.
“Biar kuambil senter di mobil,” kata Beni lalu pergi dan kembali lagi membawa sebuah senter di tangannya.
“Lewat samping. Ikuti aku!” ajaknya.
Beni sudah terbiasa dengan situasi rumah itu. Tahu detailnya. Sering berada di tempat itu. Tahu letak tombol lampu, tempatnya di dekat patung kayu hanoman, terdapat beberapa tombol lampu untuk beberapa ruangan. Lampu lalu mulai dinyalakan Beni.
“Baba!” Beni memanggil. Baba yang terkunci di loteng yang menyalak terus seketika terdiam, seakan mengenali suaranya.
Beni masuk ke dalam. Melihat pecahan keramik terserak di lantai. Ada sepatu boot Dewa terserak.
“Ada sepatunya...” katanya kepada rekan-rekannya.
Memberinya keyakinan bahwa Dewa sudah di rumah. Pertanyaannya. Ada apa dengan keramik itu? Kenapa sepatunya terserak di lantai? Apa yang terjadi? Kemana dia? Apakah sedang tidur? Atau dalam studionya di lantai atas. Sebuah keadaan yang tak seperti biasa dia temui.
Beni naik ke loteng membuka pintu buat Baba. Lalu kembali turun. Baba mengikutinya sambil mengibas-ibas ekor. Menyalak sebentar kepada teman-teman Beni yang asing baginya.
“Hus!” sergah Beni.
Membuat Baba diam lalu berlari ke belakang. Di sana kembali menyalak-nyalak. Membuat rasa ingin tahu Beni dan Joy.
“Ada apa?” tanya Joy.
“Kita lihat!” jawab Beni.
Keadaan di belakang juga gelap.
Joy dan Beni menuju ke sana. Menyalakan senter. Seketika terperanjat melihat Dewa tertelungkup di bawah sansak. Joy dan Beni mendekati dan mengetahui Dewa tertidur.
Beni membangunkannya. Dewa tergagap sejenak. Berusaha menyadarkan diri. Bola matanya merah. Kemudian bangkit berdiri melangkah lunglai ke beranda.
Dilihatnya Ndari, Nana dan Wieke sudah berada di situ.
“Hai!” sapanya dengan suara dingin.
“Hai!” Nana, Ndari dan Wieke membalas bareng.
Sapaan hai adalah sapaan yang cukup mereka kenal. Itu bukan sapaan Dewa. Itu sapaan Lorna. Lorna selalu menyapa dengan kata hai. Barangkali yang diingat Dewa saat itu hanyalah Lorna.
“Duduklah...”
Ketiga gadis itu lantas duduk. Tapi keheningan masih menyergap. Semua membisu. Suasana kaku. Beni dan Joy berdiri di belakang gadis-gadis itu. Memperhatikan Dewa tertunduk menatap lantai temaram. Lampu di langit-langit memang redup, membuat wajah Dewa tak nampak jelas.
“Aku...”
Beni mencoba memulai pembicaraan, tetapi Dewa cepat mengangkat tangan, memberi isyarat agar jangan bicara. Beni menarik nafas, gusar. Pikirnya, Dewa masih marah dengan peristiwa yang terjadi tadi siang.
Nana, Ndari dan Wieke saling pandang. Tak ada yang berani memulai. Semua masih enggan bicara. Seperti takut akan reaksi Dewa.
Keheningan semakin menyergap. Seakan hanya deru nafas mereka yang terdengar. Baba yang berada dekat pintu turut menatap Dewa yang tepekur menatap lantai.
Nana dan Wieke meremas lengan Ndari. Memberi isyarat padanya untuk mulai bicara kepada Dewa. Barangkali dia enggan bila Beni yang bicara.
Ndari menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
“Boleh, aku bicara, De?” akhirnya pertanyaan Ndari meluncur juga dengan nada suara perlahan.
Sesaat menunggu jawaban. Tapi jawaban tak segera diberikan Dewa.
Dia tetap bersama menunggu, walau lama. Akhirnya Dewa buka suara.
“Aku tahu maksud kalian kemari,” kata Dewa masih menatap lantai.
Tak ada yang berani bereaksi. Beni dan Joy saling memandang ragu.
”Sudahlah! Apa yang telah terjadi memang salahku. Seharusnya aku tak memaksakan diri. Aku hanya tidak mau ada yang menghalangiku bertemu Lorna. Kalian tak berhak!”
“Kita tak bermaksud menghalangi...” Beni menambahkan.
Dewa tersenyum dingin. Ndari berpaling, hatinya dilanda kesedihan. Wieke dan Nina juga terdiam menatap Dewa penuh rasa heran. Beni dan Joy diam tak berdaya.
Dewa berdiri sembari meluruskan tangan.
“Apa hak kalian mencegahku bertemu Lorna?”
“Bukan begitu masalahnya...” sela Ndari merasa bersalah.
Dewa kembali menyela dengan mengangkat tangan. Ndari tak meneruskan ucapannya. Hatinya risau. Dia seperti yang paling merasa bersalah. Dan tak bergeming mengawasi Dewa. Matanya berkaca-kaca.
“Maafkanlah aku, De...” suara Ndari lirih.
Beni menepuk-nepuk pundak Ndari, mencoba menenteramkan perasaannya.
"Aku memang tak berhak melarangmu..."
Dewa beranjak masuk ke dalam, meninggalkan mereka yang terdiam di tempat itu. Sikap yang diperlihatkan Dewa, memberi gambaran keengganannya membahas persoalan itu.
Keheningan melanda. Semua membisu. Seperti bisunya lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Karena Dewa tak muncul kembali. Beni yang berdiri di mulut pintu ruang tengah, mencoba menyampaikan pesan dengan suara sedikit keras.
”Acara reuni dilanjutkan ke Cangar!”
Tak ada reaksi Dewa. Tak ada jawaban Dewa.
Walau kecewa belum bisa menyelesaikan persoalan. Tapi sudah mengurangi beban bisa bertemu Dewa, mencoba minta maaf, meski hasilnya tidak menyenangkan, karena Dewa belum bisa menerima keadaan itu.
Mereka lalu beranjak meninggalkan rumah Dewa tanpa bersuara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Suara tonggeret di pohon cermai memberi salam keheningan. Bulan seakan berjalan kesepian sendirian di langit tinggi. Di balik awan yang melintas perlahan terbawa angin.