Saat melihat angka duabelas pada jam di ponselnya Lorna segera beranjak meninggalkan kamar. Kali ini sengaja mengenakan pakaian formal, bawahan rok span ketat di atas lutut, blus satin putih tertutup blaster dark blue. Kakinya yang jenjang nampak putih bersih tanpa terlapis stocking. Lalu tas besar berisi komputer tablet tersandang di bahu, dan melangkah anggun menuruni anak tangga dengan perlahan.
Sementara di lantai bawah. Papi dan Mami sudah menunggu menyambutnya. Keduanya terpesona melihat keanggunan anak gadisnya saat muncul di hadapannya.
"Perfect !" ujar Papinya.
Lorna mencium pipi dan memberinya pelukan.
"Lorna pergi dulu, I love you. Dad !"
"I love you, Babe!"
"Daddy dan Mommy tidak akan Lorna biarkan lama menunggu di sini," kata Lorna seraya melambaikan tangan.
Papi dan Mami tersenyum.
"Terima kasih!"
"Dewa sudah menunggumu di mobil," kata Maminya.
"Bye Dad! Bye Mom !"
Lorna melambai.
"Bye, good luck !"
Papi dan Mami membalas lambaian tangannya.
"Thanks !"
"Kita tunggu ya?"
Papi dan Mami mengantar hingga pintu. Mengawasi hingga menghampiri Dewa yang sudah menunggu di samping mobil.
Dewa bersandar di pintu mobil dengan kedua tangan terlipat di dada. Matanya tertutup kacamata gelap. Pintu mobil sudah dibuka untuk memudahkan Lorna bisa langsung masuk ke dalam. Lorna juga mengenakan kacamata gelap seperti telah bersepakat. Wajahnya bersemangat saat berada di hadapannya. Keanggunannya segera dirasakan Dewa saat pertama kali melihatnya dengan busana seperti itu. Gadis itu memang benar-benar cantik. Ujarnya dalam hati.
Keduanya saling melempar senyum.
Dewa membantunya saat masuk ke dalam mobil.
"Thanks you, Dewa!"
"Yes, Madame !" jawab Dewa seraya mencium punggung tangan Lorna dengan lembut.
"Apa-apan kamu ini..." kata Lorna seraya tertawa geli.
"I am sorry, Madame. I don't speaking English fluenly !" jawab Dewa menggoda.
Namun reaksi Lorna lantas menutup wajah dengan telapak tangan, dan berdiam diri seperti itu saat sudah duduk.
Dewa yang kemudian berada di belakang kemudi, memperhatikannya cemas
"Kenapa?" tanyanya ingin tahu.
Lorna menggelengkan kepala masih menutup wajah dengan telapak tangan.
"Maafkan sikapku bila ucapanku menyinggung perasaanmu," kata Dewa lembut.
Lorna lantas melepaskan telapak tangan dari wajahnya, memandangnya sayu.
"Tak seharusnya Lorna bicara denganmu dalam bahasa Inggris."
"Kenapa?" tanya Dewa heran.
"Ucapan Dewa membuat Lorna merasa bersalah. Dewa benar. Lorna tak bermaksud..."
"Sudahlah! Ucapanku hanya bermaksud menggodamu saja." Dewa menyela dengan tersenyum untuk meredakan kegalauan Lorna. "Aku mengatakan sejujurnya kalau aku tak bisa berbahasa Inggris dengan baik."
"Itu yang membuat Lorna merasa bersalah bila nyeletuk dengan bahasa Inggris."
Dewa tersenyum. Tangannya mencoba menggapai dan mengelus pipi Lorna. Lorna mendekatkan pipinya agar bisa disentuh Dewa.
"Jangan dipersoalkan. Aku tak tersinggung. Aku mengerti kok, gadis cantik."
Lorna tersenyum.
"Maafkan Lorna ya, De?" kata Lorna mengiba.
"Don't mention it !"
"Iiih!" kata Lorna gemas digoda Dewa. Digigitnya jemari Dewa yang sedang mengelus pipinya.
"Tersenyumlah!" kata Dewa meminta.
Maka Lorna tersenyum. Senyumnya manis sekali.
Dan Dewa tak tahan untuk tidak menyentuh bibirnya dengan bibirnya. Walau berlangsung sesaat, tapi bagi Lorna lembut sekali. Ciuman Dewa terasa lembut dan manis.
Walau hari ini sesungguhnya bukan agendanya. Kepergianya hanya menemani Dewa bertemu pengusaha resort dan hotel yang telah membeli karyanya. Tetapi Dewa menempatkan dirinya sebagai mitra bisnis. Dewa sudah merencanakan tanpa sepengetahuannya. Membicarakan dengan Pak Robi tentang job yang bisa dikerjakan perusahaan Lorna. Timbulnya pekerjaan itu diawali keinginan Pak Robi untuk membuat publikasi perusahaannya, yang oleh Dewa direkomendasikan ke perusahan tempat Lorna bekerja.
Urusan Dewa dengan Pak Robi tak menyita waktu lama, hanya mengkonfirmasi penempatan lukisan, jadi akan disayangkan bila kesempatan itu tak dimanfaatkan, sebuah kesempatan yang ada korelasi dengan kegiatan perusahaan Lorna. Pak Robi menerima rekomendasi Dewa. Karenanya materi publikasi akan dibicarakan pagi ini bersama tim Pak Robi. Dewa percaya akan profesionalitas Lorna.
"Dewa yakin tentang ini?" tanya Lorna di tengah perjalanan.
Dewa mengangguk.
"Isi laptop yang kau bawa penuh persiapan untuk menghadapi hal-hal seperti ini."
"Hai!" seru Lorna seraya menurunkan kacamata. Matanya yang biru berbinar. Lalu melanjutkan dengan heran, "Tahu dari mana?"
"Di teras rumah."
Lorna menatap tajam.
Dewa mengangkat alis.
"Aku tak menyentuh laptopmu. Hanya tak sengaja melihat saat kamu sibuk bekerja dengan laptopmu." Dewa berkelit, kuatir Lorna menuduhnya mengutak-atik laptopnya.
Tetapi bukan itu yang Lorna maksudkan. Lorna hanya memastikan kalau Dewa benar-benar memahami, dan yakin akan kesiapannya melakukan presentasi, sebab Dewa sebelumnya tak pernah tahu bahwa hal seperti ini sudah biasa dilakukannya.
"Lorna hanya ingin tahu. Kenapa Dewa merasa yakin Lorna siap melakukannya?"
Dewa mengangkat tangan sesaat lepas dari kemudi.
"Itu bidangmu!"
Lorna tersenyum. Memperhatikan Dewa yang mengawasi jalanan kota Denpasar yang sibuk.
"Aku suka senyummu!"
Lorna mencibir.
"Sekalipun seperti itu tetap manis," pujinya.
"Terima kasih. Jangan mengalihkan dari topik presentasi, Dewa!"
Dewa menghela nafas panjang.
"Tentu disiplin ilmu yang kau ambil tak jauh dari itu semua."
"Ya memang! Terus kenapa?"
"Ah, nggak. Aku dulu ingin kuliah seperti kawan-kawan. Tapi tak seberuntung mereka."
Wajah Lorna berubah muram. Namun cepat sadar untuk menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba getir akibat pengakuan Dewa. Lalu berusaha menampakkan wajah datar, dan tidak ingin bertanya soal itu lebih lanjut, takut menyudutkannya, sebab Lorna tahu alasan Dewa tidak kuliah, itu yang membuat hatinya merasa getir, alasannya yang tidak memiliki biaya agar bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi sudah diketahuinya sejak di akhir masa sma, di saat semua teman-temannya sibuk mencari informasi untuk memilih perguruan tinggi.
Namun Dewa merasa kediaman Lorna membuatnya merasa bersalah, tidak bermaksud ucapannya membuat perasaan Lorna seperti itu.
"Jangan kau bawa dalam perasaanmu!" Dewa mencoba meredakan kegundahannya.
"Apa itu, De?" Lorna bertanya berlagak tak mengerti.
"Ucapanku barusan!"
"Ah, nggak!"
"Tersenyumlah. Aku suka senyummu"
Lorna berusaha memaksa diri untuk tersenyum, meski hatinya getir. Ya, getir sekali. Ungkapan Dewa yang tak seberuntung dirinya bisa mengenyam pendidikan tinggi, membuat relung hatinya dilanda kegetiran.
"Aku suka itu!"
"Suka apa, Dewa?"
"Suka senyummu!"
"Terima kasih, Dewa!"
"Hari ini..."
Dewa berhenti sejenak. Membuat Lorna bertanya.
"Hari ini kenapa, Dewa?"
"Kamu anggun sekali!"
"Terima kasih. Lalu apa lagi?"
"Kamu cantik!"
"Hm, terus apa lagi?"
"Kamu pintar."
"Apa lagi?"
"Aku ingin menikahimu!"
Lorna tertegun sejenak. Dewa sudah mengatakan itu saat di pantai tadi pagi. Kalau tadi pagi Dewa bilang akan menikahinya, kini Dewa bilang ingin menikahinya. Antara kata akan dan kata ingin, dua kata, manakah antara keduanya yang lebih berarti? Dua kata yang sama-sama harus ditunggunya untuk menjadi kenyataan yang sesungguhnya.
"Benarkah?"
Dewa menangguk.
"Janji?"
"Sure !" jawab Dewa seraya mengangkat dua buah jari tengah dan telunjuk.
Maka cerialah wajah Lorna. Menepiskan perasaan yang belum lama nyaris mengacaukan kosentrasinya pada persoalan yang akan dihadapi. Kini kembali percaya diri saat memasuki kantor Pak Robi.
Semua pandangan mata yang dilintasinya, menatapnya kagum. Ada yang menyangka peragawati atau aktris. Matanya yang biru menandainya sebagai gadis peranakan.
Sebagian pegawai sudah mengenal Dewa. Mereka menyapa. Menyapa Dewa.
"Apa kabar, Mas?"
"Baik!"
Dewa sudah beberapa kali datang ke tempat itu. Beberapa hari lalu juga berada di tempat itu. Hanya kepada gadis yang berjalan di sampingnya. Mereka masih asing. Seorang pegawai mengantar hingga masuk ke sebuah ruangan.
Saat berada di dalam. Pak Robi sudah menunggu.
"Nah, ini dia! Selamat siang, Dik Dewa!"
"Selamat siang, Om!"
Dewa langsung memperkenalkan Lorna kepadanya.
"Selamat siang!"
"Lorna!"
"Dik Dewa sudah bercerita. Terima kasih mau datang. Dan kita sudah bertemu di Surabaya."
"Terimakasih, Pak Robi," jawab Lorna.
Dalam ruang sudah berkumpul staf Pak Robi. Mengitari sebuah meja lebar. Di atas meja sudah disiapkan infocus, untuk presentasi.
Dewa membantu menggeser kursi ketika Lorna hendak duduk. Lalu duduk di kursi di sebelahnya. Pak Robi mulai memperkenalkan Dewa dan Lorna. Semula Lorna sedikit terperangah dengan apa yang dihadapinya. Karena yang akan dilakukan benar-benar sebuah presentasi. Dewa memang tidak bercanda. Ah, Dewa memang tak pernah bercanda dalam segala hal.
"Tentunya semua sudah mengenal. Mas Dewa. Sangkakala Dewa. Mas Dewa tentu urusannya dengan saya. Karena setelah ini saya dengan Mas Dewa akan meninggalkan kalian untuk melakukan rapat sendiri. Mbak Lorna akan membantu kita untuk membuat publikasi dari semua aspek product. Jadi sebagai langkah awal saya pastikan kalian manfaatkan waktu satu jam bersama Mbak Lorna. Tentu saja nanti ada aspek estetika yang akan dibantu oleh Mas Dewa. Tapi itu tak mempengaruhi kebebasan dan kreatifitas yang akan diajukan perusahaan Mbak Lorna. Dan ini atas dasar rekomendasi yang diberikan Mas Dewa. Sebelum saya dengan Mas Dewa keluar dari ruangan ini. Saya ingin mendengarkan sedikit penjelasan yang akan diuraikan oleh Mbak Lorna. Silahkan."
Lorna menatap Dewa sejenak.
"Silahkan!" kata Dewa.
"Selamat siang. Terima kasih. Pertama kepada Bapak Robi atas kepercayaan yang diberikan atas pekerjaan yang sedianya akan kita bicarakan sebentar lagi. Kedua terima kasih pula kepada Mas Dewa atas rekomendasi yang diberikan hingga saya bisa memperoleh kepercayaan untuk membuat publikasi dari Bapak Robi.
Ada beberapa hal yang perlu dijabarkan sebelum memulai pembuatan materi product. Karena masing-masing harus dipilah atas dasar spesifikasinya. Namun bukan berarti masing-masing pilahan berdiri sendiri. Ada faktor yang akan membuat pilahan itu saling berkaitan, yaitu karakter. Seperti sudah diutarakan oleh Bapak Robi, kita akan membuat publikasi dari semua aspek produk. Artinya secara utuh. Seperti publikasi audio, visual dan printing. Untuk itu nanti akan saya coba menguraikannya dan mempresentasikan beberapa contoh dari laptop saya."
Tiba-tiba Pak Robi menyela dengan tepuk tangan. Diikuti stafnya.
"Good. Jadi bisa saya tinggalkan kalian untuk berdiskusi dan merencanakan follow up -nya." katanya melanjutkan lalu bangun dari tempat duduk.
Semuanya turut bangun dari kursi.
"Baiklah, saya permisi dulu. Silahkan Mbak Lorna lanjutkan. Perlu saya ingatkan. Kalian hanya menyita waktunya Mbak Lorna cukup satu jam. Karena saya perlu waktu satu jam bersama Mas Dewa membicarakan hal lain."
Dewa beranjak dari kursi. Dan menyempatkan berbisik ke telinga Lorna.
"Teruskan. Aku mencintaimu, gadisku," bisiknya lembut.
Bisikan itu membuat hati Lorna berbunga. Wajahnya kian ceria.
"Sampai ketemu nanti."
"Silahkan, De," jawab Lorna sembari mengangguk. Lorna menatapnya sekilas. Walau sekilas tatapan itu mengandung arti yang dalam.
"Terima kasih," kata Lorna menambahkan. Suaranya lunak.
Dewa kemudian meninggalkan Lorna melakukan presentasi sendiri. Artinya Lorna melakukan pekerjaan profesionalnya. Urusan dengan Pak Robi hanya menyita waktu, tak lebih dari setengah jam. Selebihnya, menghabiskan waktu di Bar sembari menunggu Lorna menyelesaikan presentasinya.
Pak Robi memanggil satu staf-nya.
"Tolong setelah mereka rapat. Antarkan Mbak Lorna kemari."
Maka setelah satu jam. Lorna telah menyelesaikan presentasinya. Kemudian diantar ke tempat Dewa dan Pak Robi berada. Mereka berpindah tempat. Seluruh staff yang ikut rapat, turut makan bersama Dewa dan Pak Robi.
"Kalau pendapat saya. Mbak Lorna cocok sebagai bintang iklan promosi resor kita," kata salah seorang staff-nya. Dia terpesona dengan keanggunan Lorna.
"Wow, kenapa tidak? Rencanakan itu!" sela Pak Robi seraya mengangguk-angguk. Pak Robi juga berpendapat, Lorna pantas jadi bintang film.
Lorna tercengang seraya menggeleng dan mengangkat tangannya. Dalam situasi itu, mereka mengambil pemungutan suara. Hasilnya, semua setuju menjadikan Lorna sebagai bintang iklannya.
Lorna memandang Dewa. Berharap Dewa memberi keputusan. Tetapi Dewa tak bisa memutuskan. Dewa hanya tersenyum.