Dalam pergantian malam dengan pagi. Angin darat diam tak bergeming menunggu angin laut bertiup menyejukkan udara pantai. Daun pohon kelapa bergoyang bukan akibat angin laut mulai berhembus, tapi akibat seekor kelelawar menyelinap di sela-selanya untuk kembali beristirahat di sepanjang siang nanti menunggu senja hari.
Dewa telah selesai berolahraga di saat semua penghuni penginapan masih tertidur. Kebiasaan bangunnya selalu mendahului terbitnya mentari. Sementara Lorna dilihatnya masih pulas di atas tempat tidurnya saat dirinya keluar dari kamar mandi. Baginya mandi pagi menyegarkan tubuhnya. Apalagi pagi ini keduanya sudah merencanakan mengajak Papi dan Mami berjalan-jalan ke pantai. Karena itu Dewa memutuskan mengenakan celana watch out sebatas lutut berpasangan kaos oblong katun warna hitam.
Lorna masih tergolek di atas tempat tidur seperti bayi. Daster tidurnya tersingkap ke atas pinggang, memperlihatkan celana dalam yang warnanya seperti warna kulitnya. Dewa lantas naik ke pembaringan membetulkan letak dasternya. Menyelimuti kembali, meski kemudian memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Menyapa lembut di telinganya bermaksud membangunkan.
"Hai..."
Sapaan pertama belum mampu menyadarkan Lorna dari tidur lelapnya.
Sesungguhnya tidak ingin membangunkannya bila bukan lantaran mereka sudah bersepakat mengajak Papi dan Mami pergi ke pantai. Di samping itu, ada alasan lainnya, yakni tidak ingin keberadaan gadis itu tidur dalam kamarnya diketahui Mami. Dia tidak ingin Mami memergoki anak gadisnya tidur di dalam kamarnya. Hal yang harus dihindari. Sebab bisa menimbulkan kesan berlebihan ditengah kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dewa menyapa kembali Lorna seraya membelai wajahnya dengan lembut. Kali ini membuat gadis itu menggeliat. Merasakan ada yang memeluk tubuhnya dari belakang. Biasanya Mommy yang selalu melakukan itu. Tapi kali ini tidak seperti biasanya.
"Morning !" sapa Dewa lagi.
Dewa membenamkan hidungnya ke pipinya yang lembut. Lorna perlahan membuka kelopak mata. Saat mendapati wajah Dewa menempel di pipinya, tangannya langsung membelit leher Dewa. Tersenyum senang.
"Morning!"
"Sori membangunkanmu."
"Hei, sudah mandi rupanya?"
"Giliranmu sekarang..."
"Jam berapa, Dewa?"
"Waktunya menyelusuri pantai."
Lorna langsung teringat.
"Oh, iya ya!"
"Bangunlah cepat. Entar ketahuan Mami!"
Ucapan Dewa membuat Lorna ketawa kecil seraya menyentil ujung hidung Dewa dengan telunjuknya.
"Kenapa? Takut?"
"Saru." jawab Dewa seraya menangkap telunjuk Lorna dengan bibirnya.
"What ?"
Lorna biarkan Dewa mengulum jari itu.
"Apa itu saru?"
"Tanyakan ke Mami, dia pasti tahu."
Lorna ketawa kecil lagi.
"Kenapa mesti tanya Mommy. Kan Dewa yang bilang. Kenapa bukan Dewa sendiri yang menjelaskan?"
Dewa tersenyum.
"Apa itu saru, De?" tanya Lorna mendesak.
Lorna menempelkan ujung hidungnya ke ujung hidung Dewa setelah telunjuknya terbebas dari kuluman bibir Dewa.
"Saru itu tidak baik!"
"Hanya itu?"
"Ya!"
"Maafkan kalau itu tidak baik, Dewa."
"Hanya untuk menjaga perasaan Mami. Dia kan perempuan Jawa. Menjaga kesantunannya."
Lorna memeluk lehernya. Dalam hatinya Lorna bilang. Kamu keliru Dewa. Pikiran Mommy sudah seperti pikiran orang bule. Apalagi kita toh juga bukan anak-anak lagi. Lihatlah di atas bibirmu sudah mulai tumbuh kumis. Lihatlah payudaraku sudah kian besar. Lihatlah pinggulku sudah mekar. Kita bukan anak-anak lagi Dewa.
"Baiklah, Lorna bangun kalau begitu!" kata Lorna untuk menyenangkan perasaan Dewa. Tapi meminta Dewa mengangkat dan membawa ke dalam kamar, dan meletakkan di atas pembaringannya.
"Terima kasih. Silahkan tunggu di luar. Lorna mau mandi dan ganti pakaian."
Dewa tersenyum seraya memperhatikan Lorna bangkit dari tempat tidur. Daster tidur yang dikenakannya benar-benar tipis. Dewa menahan nafas.
"What ?" tanya Lorna merasa Dewa memperhatikannya.
Dewa tersenyum.
"Kamu cantik!"
Lorna tertawa kecil.
"Kenapa kalau aku cantik?"
"Kecantikan seorang wanita bisa diukur saat bangun tidur."
"Hei, kenapa begitu?"
"Kalau memang cantik, ya cantik, sepertimu. Tapi bila tidak, ya tampak apa adanya."
Lorna tertawa renyah.
Dewa masih memperhatikannya. Lorna tahu Dewa memperhatikan tubuhnya dengan seksama. Namun tak merasa jengah.
"Tubuhmu bagus!"
"Hei!"
Lorna tertegun menatapnya.
Dewa mengangguk. Tersenyum.
Lorna lantas mendorong tubuh Dewa hingga terlentang ke pembaringan. Lalu menindihnya. Lalu mengangkanginya. Lalu menggelitiknya. Lalu menggigit lehernya. Lalu menggigit telinga. Lalu menggigit dagu Dewa. Lalu memandang wajah Dewa. Lama.
Keduanya saling menatap.
"De."
"Ya?"
"Lorna bahagia kita bisa kembali seperti dulu."
"Kamu yang kembali." jawab Dewa sembari membelai wajah di hadapannya.
Lorna melekatkan dahinya ke dahi Dewa.
"Lorna tak pernah meninggalkanmu."
Dewa tersenyum. Lorna tahu senyum itu seperti menyindir pada kenyataan bahwa dirinya yang pergi meninggalkannya begitu saja tanpa pesan sampai mereka bertemu kembali di Surabaya.
"Lorna hanya marah saat itu," ucapnya memberi alasan.
"Kemarahan yang bertahun-tahun."
Lorna memijit ujung hidung Dewa.
"Ya, sudah. Tapi Lorna bahagia Dewa memaafkan."
"Perlu team work untuk membujukmu pulang ke Indonesia."
"Hei, Lorna ada di Indonesia."
"Tapi aku tak tahu."
"Belum saatnya Dewa tahu, sebab Lorna masih ragu."
"Kenapa? Aku mencarimu!"
Lorna diam.
"Itu yang menepiskan keraguan Lorna. Peluklah aku, De."
Maka Dewa memeluknya.
"Apakah Dewa masih menganggap Lorna sebagai adikmu?"
Dewa mengedip.
"Apakah Dewa masih menganggap Lorna masih sahabat sekolahmu?"
Dewa mengedip.
"Semua yang kamu rasakan adalah bagian yang kurasakan."
"Termasuk Lorna kini menjadi kekasih Dewa?"
"Sejak dulu kamu kekasihku."
"Terima kasih, De! I love you, De! I love you !"
Dewa tidak asing dengan kemanjaan Lorna. Barangkali sikap kepadanya lantaran Lorna tidak memiliki saudara kandung, jadi butuh perhatian berlebih. Atau barangkali selama bertahun-tahun lantaran Dewa selalu memperhatikan dan melindunginya. Atau barangkali lantaran Dewa selalu bersikap lembut tak pernah marah, tak pernah membuat hatinya kesal. Atau barangkali lantaran sikap Dewa yang sopan. Atau barangkali lantaran Dewa tak pernah berkeinginan cabul pada dirinya. Padahal ada banyak kesempatan bila dia ingin melakukannya. Dewa punya keleluasaan tanpa harus memaksa. Cinta membuat Lorna tak kuasa menolak apa yang bisa menjadi keinginan Dewa. Cinta yang mampu membuatnya bersikap pasrah bila Dewa ingin melakukan apa yang menjadi keinginannya.
Ah. Dewa. Aku tahu, kamu memperhatikan tubuhku. Lihatlah Dewa. Lihatlah sepuasmu. Aku tidak keberatan, Dewa. Jangankan kamu lihat, lakukan apa saja pada tubuh ini, Dewa. Cinta dalam dada ini, membuatku pasrah bila kamu ingin melakukan apa saja terhadapku. Tetapi aku percaya, kamu menjaga milikmu ini, menjaga keperawananku. Tapi petiklah, Dewa. Petiklah sesukamu. Petiklah kapan saja. Sekarang. Besok. Lusa. Terserah, Dewa. Sesukamu.
"Masih mengantuk?" tanya Dewa.
Lorna tersentak dari lamunanya.
Dewa merenggangkan pelukannya.
"Kalau masih ingin melanjutkan tidur, atau malas ke pantai, bisa kita batalkan."
"Jangan! Baiklah Lorna akan mandi!"
"Nanti saja mandinya setelah dari pantai."
"Hei...!"
"Kamu tetap cantik, tubuhmu masih harum meski belum mandi."
"Hei...!"
"Sungguh!"
"Tidak bisa begitu, Dewa!"
"Ya, sudah. Mandilah kutunggu!"
Lorna tersenyum.
"I love you !"
Dewa masih rebah ketika Lorna menutup pintu kamar mandi. Lalu memejamkan mata. Menenggelamkan pikirannya dalam jalinan bayangan. Mencoba menghadirkan kembali saat mereka bersama dulu hingga pertemuan kembali di Surabaya.
Namun saat membuka mata kembali, Lorna tengah berganti pakaian di hadapannya. Gadis itu baru selesai mandi. Kini membiarkan mata Dewa memperhatikan tubuhnya yang polos saat berbusana. Baginya tidak perlu membatasi diri di hadapan lelaki itu, sebab batasan sudah diciptakan Dewa, yang hanya memandang dan menyentuh dalam batasannya, tidak liar, yang membuatnya tak berkeberatan, karena memang Dewa sopan sekali memperlakukanya, semua itu membuat dirinya semakin suka pada lelaki itu.
Sementara Dewa terkesima tanpa terhalang saat Lorna berdiri polos dihadapannya. Terpukau oleh keindahan tubuhnya. Tubuh dengan kulit berwarna putih bersemu pink itu membuatnya kemudian bangkit perlahan mendekatinya.
"Tubuhmu indah," ucap Dewa lirih.
Lorna tersenyum tanpa perlu merasa malu. Padahal selama ini, dirinya tak pernah bertelanjang diri di hadapan siapa pun tanpa kecuali Mommy, selain di depan kaca.
"Karena Lorna kini milikmu tak perlu harus membatasi diri di hadapanmu." ucap Lorna lirih.
Dewa mengangguk. Memeluknya sejenak. Merasakan kelembutan kulitnya. Kemudian membantu mengenakan pakaian. Setelah itu mengecup bibirnya sesaat. Lorna memejamkan mata saat kecupan itu berlangsung.
"Aku mencintaimu, Dewa."
"Aku pun demikian, Lorna."
"Kamu tahu apa yang menjadi keinginan Mommy ?"
"Apa itu?"
"Ingin menimang cucu."
Dewa tersenyum. Memeluknya hangat setelah berpakaian lengkap.
"Kita berikan nanti."
Bola mata Lorna berkaca-kaca.
"Berjanjilah!"
"Itu janjiku!" bisik Dewa di telinganya.
"Terima kasih, Dewa!"
Tidak lama kemudian mereka sudah berada di pantai. Cahaya merah menyinari angkasa. Udara segar pun menyegarkan rongga dada.
"Dewa!" Lorna berteriak memangil dan mengejar Dewa.
Mereka berlarian kecil meninggalkan Papi dan Mami di belakang. Saat Dewa berhenti. Lorna melompat ke punggungnya. Dewa lalu menggendongnya.
Lorna tertawa riang. Hari-hari bersama Dewa memberinya kebahagiaan.
Mentari mulai terbit di timur. Suasana pagi yang indah membentuk siluet tubuh Papi dan Mami dikejauhan. Mereka juga tengah menikmati panorama pantai Sanur.
Dewa dan Lorna bercengkerama sendiri. Dewa menggendong Lorna masuk ke air laut. Air laut terasa hangat. Meniti menuju ke tengah laut di perairan dangkal. Menentang riak gelombang dan membasahi bawah celananya.
"Dewa! Basah!"
"Kita sudah lama nggak mandi air laut."
Lorna berteriak-teriak kecil.
"Masih ingat nggak, kita berdua mandi bersama di laut waktu di Sendang Biru?"
Lorna mencoba mengingat. Kemudian tertawa ceria.
"Ih, itu sih bukan mandi!" katanya seraya menggigit telinga Dewa manja.
"Kenapa?"
"Itu sih kita kecebur!"
Dewa tertawa. Ya. Keduanya pernah tercebur ke laut ketika Dewa tak mampu menarik Lorna saat mencoba membantu menaiki sebuah perahu. Kejadian itu berlangsung di sebuah pantai saat liburan sekolah. Nama pantai itu Sendang Biru letaknya berseberangan dengan Pulau Sempu, di sebuah pantai di selatan kota Malang.
Lorna benar-benar bahagia. Kesedihannya selama bertahun-tahun akibat perpisahan selama ini, seakan terlunasi. Gadis itu menjerit-jerit gembira saat Dewa memercikinya air laut. Kakinya ikut terendam ke air laut.
Kedua orangtuanya tersenyum-senyum turut merasakan kegembiraan mereka. Nyonya Ivana berteriak mengingatkan, agar jangan terlalu jauh ke tengah laut.
"Hei, kembali! Nanti keseret ke tengah!"
Dewa lalu menghindari air laut. Lorna masih berada di punggungnya. Memeluk lehernya dengan ketat. Mencium pipi Dewa dengan gemas. Menggigit daun telinga Dewa dengan gemas. Lorna gemas sekali pada Dewa. Gemas sekali. Gemas. Gemas.
"Turunkan aku, Dewa!"
Maka Dewa menurunkan Lorna dari punggungnya. Lorna lalu merengkuh pinggangnya. Memeluknya. Keduanya kembali meniti menyusuri pantai.
Cahaya langit semakin cerah seiring bangunnya mentari. Kegiatan di pantai semakin ramai. Kepala Lorna masih bersandar di bahu Dewa.
"De!" panggil Lorna perlahan.
Dewa mengusap-usap lengan atasnya memberi tanda bahwa dirinya mendengarkan.
"Kamu mencintaiku, De?"
Dewa menghentikan langkah lalu menghadapinya.
"Kenapa? Masih meragukan cintaku?"
Lorna menggeleng.
Keduanya saling bertatapan
"Tiba-tiba Lorna merasa takut," bisiknya.
"Apa yang kamu takutkan?"
Dewa membelai wajah Lorna.
"Perpisahan."
"Kita tidak akan berpisah."
"Kita akan berpisah kalau Lorna kembali ke Jakarta."
Dewa mencium keningnya untuk menenteramkan.
"Itu hanya sementara. Kamu berkarir. Kamu memiliki perusahaan. Pertahankan itu. Aku akan mengunjungimu bila kamu merasa rindu untuk bertemu."
Lorna merebahkan kepala ke dada Dewa.
"Tapi sulit menjauhkan perasaan itu."
Dewa menarik nafas panjang. Berusaha memahami perasaannya.
"De."
Dewa menarik wajah itu. Bola mata itu berbinar. Angin laut mengibarkan helaian rambutnya.
"Apakah Dewa kelak akan menikahiku?"
Dewa menyergap bibir Lorna. Memilin sejenak dengan lembut. Lalu melepaskan dan memandangnya.
"Jangan berpikir bahwa perhentian cinta kita akan sia-sia? Aku akan menikahimu," ucap Dewa dengan suara berdesah.
Bola mata Lorna yang berkaca-kaca mulai basah.
"Aku akan menikahimu," Dewa mengulangi ucapnya. Suaranya masih lirih penuh perasaan, "Lorna akan menjadi ibu dari anak-anak Dewa. Percayalah. Dewa akan menikahimu." Dewa berusaha meyakinkan.
Lorna mengangguk. Mengecup kedua pipi Dewa sambil berkata.
"Lorna akan menjadi ibu dari anak-anakmu, De. Kamu pria yang baik, De. Kita sudah lama berteman. Selama ini Dewa selalu menjaga Lorna. Kamu seperti kakak bagi Lorna. Kamu seperti saudara bagi Lorna. Entahlah, apa jadinya bila tak ada Dewa dalam hidup Lorna. Dewa tidak seperti teman-teman pria lain yang Lorna kenal. Kamu berbeda. Berbeda sekali. Lorna menyadari hubungan kita ternyata bukan sekedar sebuah persahabatan. Karena Lorna merasakan ada cinta yang tumbuh bersamanya."
Dewa memeluknya erat. Membelai wajahnya. Membelai rambutnya.
Lorna terisak bahagia.
"Terima kasih, De. Terima kasih atas cinta yang kau berikan. Cintailah aku, Dewa. Cintailah aku. Selain kedua orangtuaku, tak ada yang lebih kucintai selain dirimu."
Dewa memeluknya erat.
"Aku mencintaimu, Lorna. Aku mencintamu. Aku mencintaimu bahkan sebelum kamu menyadari ada cinta yang tumbuh dalam persahabatan kita. Aku hanya ingin kamu merasakan cinta yang kuberikan, dan bukan sekedar kata cinta yang kuutarakan. Kamu tak perlu memintanya agar aku mencintaimu karena kamu sudah mendapatkannya sejak pertama kali kamu merasakan perasaan cinta itu padaku."
"Aku merasakannya, Dewa. Lorna merasakan itu. Lorna hanya ingin agar Dewa bisa merasakan apa yang menjadi keinginan Lorna selama ini."
"Aku bisa melihat dari sinar matamu."
Keduanya saling menatap tajam.
Kali ini Lorna tiba-tiba ganti yang memagut bibir Dewa. Membenamkan bibirnya lama di sana. Dia ingin merasakan cinta yang diberikan Dewa melalui ciuman. Ciuman Dewa adalah ciuman cinta. Ciuman Dewa betapa lembut rasanya. Seperti ciuman yang diberikan di tempat ini semalam yang disaksikan rembulan, tapi pagi ini ciuman yang dirasakannya disaksikan mentari pagi, dan berharap ciuman itu kian membakar seperti panasnya sinar mentari.
Nyonya Ivana melihat mereka dari kejauhan. Melihat bagaimana bibir anak gadisnya kini tenggelam lagi dalam pagutan bibir kekasihnya. Walau dari kejauhan, gelora cinta mereka getarannya sampai ke relung hatinya.