Lorna menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Dewa. Ada keraguan masuk ke dalamnya padahal daun pintu di hadapannya hanya tinggal mendorong. Keraguan yang timbul akibat sekelumit pertanyaan. Kenapa keinginan untuk selalu berada dekat Dewa seperti tak terbendung? Padahal baru berpisah berlangsung beberapa menit, tapi sudah membuatnya gelisah bukan main, bila kelak berlangsung berhari-hari, bisa-bisa membuatnya gila.
Bertahun-tahun lalu dirinya mampu bertahan dalam situasi seperti itu, tetapi kenapa kali ini seakan menjadikannya tidak berdaya. Apakah lantaran telah mendapatkan kepastian akan status hubungannya dengan Dewa? Ataukah lantaran akibat ciuman pertama yang dilakukan Dewa terhadap dirinya, hingga membuatnya sulit melepaskan diri dari keinginan untuk selalu mengulangi? Kenapa kini menjadi gampang disergap kesepian? Kenapa Dewa sedemikian menyimpan medan magnit yang membuatnya terhisap mengikutinya? Apalagi ada keinginan untuk menuntaskan apa yang sudah dimulai di tepi pantai beberapa saat yang lalu.
Ah, tetapi kenapa harus memaksakan diri? Apakah dia juga sedang menungguku? Ataukah lebih baik kutunggu saja di kamarku? Tetapi, apakah dia akan mendatangiku ke kamar? Apakah...apakah?
Pikiran itu yang muncul di tengah keraguannya saat berdiri termangu di depan kamar Dewa. Kepalanya masih menunduk dengan dahi menempel di daun pintu kamar Dewa. Dan tanpa menyadari bahwa lelaki yang ingin ditemui sebenarnya tidak berada di dalamnya. Lelaki yang ingin ditemui saat ini sedang berdiri di serambi, sedang memperhatikannya sejak dirinya berlari menaiki anak tangga, lalu berdiam diri di depan pintu kamarnya seperti itu.
"Aku menunggumu!"
Lorna terkejut saat disapa perlahan, tapi tak langsung berpaling, hanya tersenyum sendiri karena merasa dipergoki. Wajahnya tersipu-sipu.
"Kenapa tak jadi masuk?"
Lorna tak siap menjawabnya.
"Karena Dewa berada di luar," jawabnya berkelit.
"Di dalam sepi."
Lorna tersenyum.
"Kurasa bukan itu?"
"Tidak ada kamu terasa sepi."
Akupun begitu, kata Lorna dalam hati.
"Kan Dewa sudah terbiasa sendiri."
"Sekarang ada kamu, tak seperti itu lagi."
"Lorna pikir Dewa ada di dalam."
"Sengaja menunggumu di sini."
"Ya?"
Lorna melangkah mendekat lalu menempelkan tubuhnya yang disambut Dewa.
"Sekarang bagaimana?" tanya Lorna.
"Nyaman!"
Dewa menjawab dengan membenamkan hidungnya ke dalam kelebatan rambutnya. Sedang Lorna membenamkan wajah ke dada Dewa. Senyum dan kebahagiaan menyelimuti wajahnya. Dewa suka keharuman rambut Lorna yang tumbuh sehat, warnanya coklat tua terasa dingin di mata. Asal keharumannya sulit ditebak. Apakah akibat aroma sabun rambut yang digunakan, atau memang berasal dari aroma rambut serta kulit kepalanya yang memang segar dalam penciumannya?
"Mami tak marah aku memelukmu?"
Lorna seketika tengadah, lalu memijit hidung Dewa.
"Hanya kamu yang boleh memelukku seperti ini."
"Dan hanya kamu yang kupeluk seperti ini," jawab Dewa.
"Bagaimana kalau kita duduk di beranda?"
Lorna mengangguk.
Kemudian mereka berpindah tempat. Bercengkerama di beranda. Menatap kekelaman laut. Menatap bulan di langit. Bintang mulai kian jelas menampakkan diri mencoba menemani keduanya.
"Dingin!" kata Lorna.
"Kemarilah!" pinta Dewa.
Lorna lantas duduk meringkuk. Merapatkan diri ke tubuh Dewa. Dewa mendekap untuk memberinya kehangatan. Dalam keheningan itu, memberi nuansa damai yang sebelumnya tak pernah lagi didapatkan selama mereka berpisah.
Lorna mencoba menatap memuaskan diri memandang wajah Dewa. Yang dibalas Dewa dengan kebisuan. Tangan Lorna yang halus, meraba dan mengelus bekas luka yang terdapat di bawah dagunya. Mencoba membayangkan kembali, bagaimana luka itu bisa terjadi, tetapi dia kesulitan, sebab pada saat kejadian dirinya tidak berada di sana.
"Sakitkah ketika itu?" tanya Lorna lembut, berusaha memecah keheningan di antara mereka.
Tangan Dewa mengelus keningnya.
"Tak sesakit saat gagal menemuimu ketika itu."
Lorna mengecup pipi Dewa.
"Maafkanlah Lorna."
Dewa menggeleng.
"Kamu yang seharusnya memaafkan aku. Aku gagal menemuimu. Aku tak pernah bermaksud mengabaikanmu saat di rumah sakit."
"Lorna mengerti," kata Lorna menyela dengan lunak, "Sebab Dewa harus mengurusi pameran di Surabaya."
Dewa menggeleng.
"Kamu tak mengerti. Bukan karena itu."
"Lalu karena apa?"
Dewa menarik nafas panjang.
"Saat itu perasaanku campur aduk. Aku sudah berusaha menemuimu. Mendatangi rumah sakit tempatmu dirawat. Tapi gagal masuk. Banyak halangan. Tapi, akhirnya aku sadar, hari itu, bukan waktuku bisa bertemu denganmu. Walau mencemaskanmu. Usahaku seperti tak sungguh-sungguh. Lebih baik aku menghindar untuk sementara."
Lorna menyimak dengan pandangan penuh haru.
"Kamu sudah berusaha, De! Rahma, Grace dan Joy, sudah ceritakan semuanya."
"Ada yang belum kamu ketahui."
"Apa itu?"
"Perasaanku saat itu."
"Perasaan campur aduk yang baru Dewa katakan?"
"Bukan!"
Dewa diam sejenak. Lorna masih memandang tajam, menunggu apa yang mau dikatakan.
"Saat itu ada keraguanku padamu. Tapi itu hanya prasangkaku saja saat itu. Kupikir Lorna yang tak ingin bertemu denganku."
Ucapan itu membuat Lorna langsung memeluk lehernya erat, seraya mengecupi pipinya.
"Tak benar, Dewa!"
"Ya, memang tak benar!"
"Lorna tak bisa jauh darimu, Dewa."
"Aku tahu. Kamu bisa mengatasi perasaanmu selama ini."
"Dewa pikir begitu?"
Dewa menjawab dengan anggukan. Tapi, Lorna menggeleng lemah.
"Tidak, Dewa. Hati Lorna merasa rapuh akibat itu semua. Terima kasih, Dewa tidak marah kepadaku."
"Kenapa Lorna pikir, aku marah."
"Karena, Lorna pergi tanpa pamit."
"Aku memahami. Seharusnya Lorna yang marah kepadaku."
Lorna memandangnya. Lalu mengangguk.
"Ya, memang. Maafkanlah Lorna, ya?"
"Ah, Aku yang seharusnya minta maaf."
"Dewa sudah mengatakannya ketika di Surabaya."
"Maafkan Dewa, Lorna?"
"Tak ada alasan untuk mengatakan tidak. Tapi minta maaf untuk apa? Karena bukan kesalahan Dewa."
"Karena aku menikahi Nirmala..."
Lorna terdiam. Matanya berbinar. Ingin menghindari pembicaraan ini. Sebab, dirinya belum siap. Hatinya masih diliputi berbagai perasaan yang bercampur aduk, Bila membicarakan pernikahan Dewa dengan Nirmala meski Nirmala sudah meninggal, apa yang terasa di lubuk hatinya paling dalam rasa sakit itu masih belum hilang. Saat ini masih bertempur dengan perasaannya sendiri.
Antara benci dan cinta. Benci, karena Dewa menikah dengan Nirmala. Kenapa bukan menikah dengan dirinya? Benci, sebab Dewa harus melepaskan keperjakaannya kepada Nirmala, bukannya melepaskan keperjakaan untuknya yang masih perawan. Benci, bila menghadapi kenyataan, dirinya yang perawan sementara Dewa sudah menduda, tentunya sudah tak perjaka lagi. Benci, kenapa tidak sejak dulu saling berterus terang kalau mereka berdua sesungguhnya saling mencintai. Benci sekali bila Dewa bukan memilih dirinya, kenapa mesti Nirmala? Benci sekali, kenapa dirinya tidak berani berterus terang bilang mencintai Dewa, agar pernikahan dengan Nirmala tak pernah terjadi. Benci sekali aku! Benci sekali!
Itu sesungguhnya perasaannya ketika seribu kebencian yang masih mengendap di dasar sanubarinya lantas muncul kembali. Perasaan itu diendapkannya agar tak diketahui Dewa, karena perasaan cintanya kepada Dewa masih terpelihara. Tapi, benarkah Dewa tak merasakan apa yang dirasakannya?
Ucapan terakhir Dewa itu membuat Lorna enggan melanjutkan pembicaraan. Namun demikian, Lorna merebahkan wajahnya di bawah dagu Dewa untuk memelihara perasaan Dewa. Dibenamkan tubuhnya dalam pelukan Dewa untuk meredakan kegalauan hatinya.
"Maafkan ucapanku. Aku tak bermaksud mengungkit," kata Dewa untuk memecah kebisuan.
Tapi Lorna tak menanggapi ucapan itu.
Suasana kembali hening.
Bulan masih berkalang awan tipis seakan pantulan riak gelombang laut yang ada di bawahnya.
Dewa memandang Lorna yang sudah terlelap tidur tidur dalam pelukannya. Kepalanya bersandar di dadanya. Lalu lama sekali mengamati wajah itu. Wajah yang pernah lama menghilang. Wajah yang mampu membuatnya terpuruk dalam kepedihan. Wajah yang menuai penyesalan yang tak kunjung padam.
Dewa kemudian mengangkat tubuh Lorna berhati-hati agar tak membangunkan. Lalu memindahkannya ke dalam kamar dan menyelimutinya. Pintu kamar lalu ditutup sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
Tengah malam. Di saat rembulan berada di tengah langit. Lorna terjaga. Menemukan dirinya sudah berada di atas tempat tidur dalam kamarnya. Tentu Dewa yang meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Lorna bangkit. Segera berganti pakaian dengan daster tidur. Ada rasa kehilangan. Inginnya melanjutkan tidur di pelukkan Dewa seperti saat di teras.
Jam di ponsel menunjukkan pukul satu malam. Lorna kembali rebah ke pembaringan. Namun suasana sepi membuatnya sulit memejamkan mata kembali. Lalu bangkit menuangkan air putih kemasan botol yang tersedia di atas meja ke dalam gelas. Meneguk perlahan untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Lalu duduk di tepi ranjang. Menunduk menatap lantai. Mencoba meredakan kegelisahan yang muncul. Kegelisahan yang berasal dari keinginan selalu berada di sisi Dewa. Akhirnya dia tak kuasa meredakan keinginannya. Lalu melangkah berjingkat keluar kamar menuju kamar Dewa.
Sudah tidurkah Dia? Bila diketuk pintu kamarnya, tentu akan membangunkannya. Lorna masih berpikir. Lalu dia coba mendorong pintu kamar Dewa perlahan. Ternyata pintu kamarnya tak terkunci. Lorna masuk diam-diam. Setelah di dalam segera menutupnya kembali.
Dilihatnya Dewa nampak tertidur pulas. Terlentang menghadap langit-langit. Selimut putih menutupi tubuhnya sebatas dada. Hanya mengenakan pakaian dalam. Wajahnya nampak teduh diterangi cahaya lampu tidur yang temaram.
Lorna naik ke pembaringan. Menyusup masuk ke dalam selimut Dewa. Berbaring di sampingnya. Merapatkan tubuh, dan menempatkan dirinya perlahan memeluk tubuh Dewa dengan hati-hati, menjaganya agar tidak terbangun.
Dipandanginya wajah lelaki yang dicintainya itu. Wajah yang tak lagi menciptakan kecemasan bila dirinya tak bisa hidup bersamanya. Wajah yang kini telah melebur kebimbangannya selama ini karena lelaki itu tak pernah marah sekalipun hatinya telah disakitinya. Wajah yang kini tidak lagi sekedar bayang-bayang yang selalu menguntit kemana pun pergi karena kini wajah itu tak lagi berupa bayang-bayang. Wajahnya kini telah meredakan kerinduan yang terus-menerus menyiksanya selama ini. Wajah yang kemudian membuatnya bisa memejamkan mata dan tertidur pulas, karena ada perasaan nyaman berada di sampingnya.
Jam empat pagi sesuai kebiasaan. Dewa terjaga pada jam tersebut. Dirasakan ada beban yang menindih tubuhnya. Ada rambut menghalangi pandangannya yang segera dikenali sebagai rambut Lorna. Lalu disibakkannya rambut itu perlahan agar bisa melihat wajah yang cantik itu tertidur seperti wajah bayi yang tanpa dosa.
Gadis itu tertidur pulas memeluknya. Membuatnya enggan bangun, karena gerakannya akan membuatnya terbangun.
Tubuh dan kulit Lorna terasa hangat dan halus menempel di tubuhnya. Gaun tidur yang dikenakan tipis transparan, membuat kulitnya terasa seperti tak ada pembatas dengan kulitnya. Lembut dan hangat.
Dewa berupaya melepaskan diri dari pelukan Lorna. Wajahnya yang cantik, bentuk tubuhnya yang indah, serta keluguan wajahnya menyadarkannya untuk tidak berpikir macam-macam. Melihat keadaannya seperti bayi yang tak berdaya, membuatnya tak ingin mencederai pualam itu. Keindahan cinta yang diberikan sudah cukup menepis dari kegairahan berlebih yang merusak.
Pada akhirnya Dewa bisa melepaskan diri dari himpitan tubuh Lorna, meski harus terlebih dulu menyingkap selimut yang menutupi mereka. Sejenak membuatnya tanpa terhalang melihat dengan jelas bentuk tubuhnya. Dasternya yang transparan tersingkap. Memperlihatkan pinggul dan pahanya terbuka bebas. Celana dalamnya yang berenda terbuat dari satin tipis berwarna putih transparan. Dewa tak sampai hati membiarkannya terbuka tersapu hawa dingin dari temperatur ac. Lantas segera membetulkan letak selimutnya yang terserak, dan mengecup keningnya sebelum meninggalkannya tidur sendiri seraya berbisik.
"Tidurlah bidadariku."