Keramas air hangat membuat rambut cepat mengering. Rambutnya yang hitam lebat agak bergelombang dibiarkan terurai. Malam ini sengaja mengenakan t-shirt putih tipis, sebab warna putih memberi pengaruh dingin di tengah udara dirasakan kering. Meski angin laut yang menyelinap melalui jendela memberi hembusan kesejukan, tetap tak mampu mengatasi adaptasinya terhadap udara kering.
Dewa menutup kembali jendela setelah dirasakan udara dalam kamarnya sudah berganti. Kemudian dengan remote control mulai menghidupkan air conditioning. Lalu duduk di tepi ranjang memperhatikan bungkusan kardus di tangannya. Bungkusan yang belum lama berselang diberikan Nyonya Ivana saat di bandara Juanda Surabaya. Bungkusan itu terasa ringan. Lalu apakah isinya? Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul saat menerimanya. Ada rasa ingin tahu perihal isinya. Namun menyadari benda itu bukanlah miliknya. Alangkah tidak sopan bila melakukan itu, sekalipun benda itu milik gadis yang mencintainya. Ada batasan privasi yang harus dihormatinya dan dijaga.
Tentu ada alasan Nyonya Ivana, kenapa meminta dirinya yang menyerahkan benda itu kepada pemiliknya, dan bukannya dia sendiri. Meski tidak ada tenggat waktu penyerahan, namun ada keraguan untuk menyerahkan bungkusan itu secepatnya. Terbersit dalam pikirannya untuk tidak mengambil resiko dengan menyerahkan sekarang, siapa tahu akan ada persoalan yang mungkin ditimbulkan. Oleh karenanya, lebih baik menunda dan menyimpanya kembali ke dalam tas
Pintu kamar diketuk dari luar.
Dewa berjalan ke pintu membukanya. Tampak Lorna berdiri di hadapannya. Lalu menyapa dengan wajah dan suara yang ceria.
"Hai!"
"Hai!" balas Dewa tak kalah ceria.
"Selamat malam!"
"Selamat malam juga!"
Dewa membuka pintu lebar-lebar.
"Masuk?"
Lorna tersenyum.
"Terima kasih!"
Kedua tangannya mengkait ke belakang. Rambutnya sudah rapi. Juga terlihat habis keramas. Dewa memperhatikan sejenak dari atas hingga bawah.
"What?" tanya Lorna ditatap Dewa seperti itu.
Matanya yang biru berbinar-binar.
"Kamu cantik!" Dewa memuji.
Lorna tertawa renyah.
"Baru tahu?" jawabnya menggoda.
"Semakin hari melihatmu semakin cantik."
Lorna tertawa renyah kembali.
"Kamu selalu memujiku."
"Aku tak memujimu."
"Aku juga tak merasa terpuji."
Dewa membentangkan tangan.
"What?"
Lorna tersenyum senang. Mengangkat kening. Lalu menghamburkan diri ke dalam pelukan Dewa.
"Kita di Bali, Dewa!"
"Ya, kita berdua di Bali."
Dewa benamkan hidungnya dalam ketebalan rambut Lorna yang lembut. Merasakan kesegaran aromanya kembali.
"Aku mencintaimu." ucap Lorna lirih.
Seperti tiada bosannya Lorna mengucapkan cinta. Dewa pun tak bosan mendengarnya. Lorna hanya ingin menunjukkan perasaan cintanya yang luar biasa. Agar Dewa mengerti bahwa perasaan cintanya hanya diperuntukkan kepadanya.
"Aku tahu!"
"Lorna milikmu, Dewa."
Dewa mengecup pipinya.
"Aku tahu!"
"Jangan jauhkan aku darimu, Dewa."
Dewa menatapnya tajam.
"Tak akan pernah."
Lorna memeluknya hangat.
"Terima kasih!"
Kemudian hening.
"Maukah mengajak Lorna ke pantai setelah makan malam?"
"Kenapa tidak?"
"Kalau begitu kita turun. Daddy dan Mommy sudah menunggu di meja makan. Setelah itu kita ke pantai. Setuju?"
"Okey, setuju!"
Keduanya bertatapan.
"Boleh aku menciummu?" tanya Dewa.
Lorna mengangkat kening lagi. Matanya yang biru kembali berbinar.
"Kenapa bertanya?"
"Boleh?"
"Kenapa bertanya?"
"Boleh?"
Lorna mengangguk lalu memejamkan mata. Lalu dia biarkan bibirnya dibasahi bibir Dewa. Terasa lembut ciuman itu. Terasa hangat ciuman itu. Terasa menjalar ke segenap pori-pori tubuhnya. Membuatnya terlena diterpa nafas hangat yang keluar dari lubang hidung Dewa. Membuatnya tak rela saat Dewa menarik bibir dari bibirnya
Dewa berbisik.
"Nanti kucium lagi di pantai!"
Lorna mencubit lengan Dewa.
"Nakal!"
Lalu tertawa bersama-sama.
Ketika di meja makan tak banyak yang dibicarakan. Nyonya Ivana menjelaskan tak bisa berlama-lama berada di Bali. Setidaknya bisa meluangkan waktu dua hari yang akan dimanfaatkan jalan-jalan. Ada urusan di Australia yang tidak bisa ditinggal lama. Selama di Bali akan dimanfaatkan berkeliling mencari cindera mata.
"Nanti kita rencanakan dengan baik. Begitu kan, Daddy?." tanya Nyonya Ivana.
"Okey!"
"Lorna mau jalan-jalan ke pantai," Lorna menyela.
"Minum vitamin dan obatmu dulu. Jangan lupa pakai switer."
"Daddy mau ikut?" tanya Lorna.
"No! kita istirahat dulu!"
Usai makan malam Lorna naik kembali kamarnya mengambil switer berikut syal untuk penutup leher. Dewa membantu mengenakan.
Keduanya lalu berpamitan pergi ke pantai yang tidak jauh letaknya.
"Night Daddy, Mom!"
"Night!"
"Selamat malam!" ucap Dewa.
"Malam Dewa!"
Ada jalan setapak yang landai mengarah ke pantai. Suara desah gelombang air laut yang sayup-sayup di kejauhan semakin terdengar jelas seiring langkah mereka mendekati pantai. Tempat yang dulu kerap didatanginya bila mengunjungi rumah Komang. Saat siang, tempat itu terasa terik. Pasirnya terasa panas di telapak kaki. Ada beberapa pohon bakau tumbuh di sisi lain sebagai peneduh. Tetapi suasana menjadi sebaliknya bila di malam hari. Dingin dan sepi seperti yang mereka rasakan kini.
Tak lama kemudian. Keduanya keluar dari jalan kecil. Menapak di atas pasir pantai. Pasir merekam jejak langkah kaki mereka di belakang. Terpaan angin laut mulai terasa di wajah. Sinar bulan menerangi bumi menjadikan panorama malam menjadi jelas. Buih lidah gelombang membentang sepanjang batas air laut dan pantai.
"Suka tempat begini?" tanya Dewa dengan berbisik.
"Suka sekali. Beautiful!"
Lorna melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa. Yang dibalas Dewa dengan merengkuhnya.
Dewa menyibakkan rambut Lorna ke belakang. Lorna senang sentuhan Dewa. Merasa nyaman diperhatikan. Berjalan perlahan menyusur pantai sambil berbincang. Terkadang langkah mereka berhenti sejenak. Memandang jauh ke tengah lautan yang samar. Permukaannya berkilatan ditimpa sinar bulan.
"After lunch besok aku sudah ditunggu Om Robi. Lorna ikut ya?"
Lorna menjawab dengan anggukan pelan.
"Kita bereskan dulu urusanku, setelah itu kita bisa leluasa."
"Ya..."
"Bagaimana urusanmu di Jakarta?"
Bila diingatkan tentang Jakarta. Lorna selalu berpikir tentang perpisahan. Lorna merubah posisi tubuhnya agar berhadapan. Bola matanya yang jernih, berkilat memantulkan bulan seakan ada di dalamnya. Dewa mengusap keningnya dengan lembut. Kemudian menyibakkan rambut yang menutup telinganya ke belakang dengan perlahan. Seraya memandangnya lama. Lama sekali.
"Lorna tak suka perpisahan." suara Lorna lirih, seakan mengadukan isi perasaannya.
"Kenapa beranggapan begitu?"
"Lorna kembali ke Jakarta dan Dewa ke Malang."
"Kan hanya sementara."
Keduanya bertatapan. Dewa membaca pikiran Lorna yang tetap tidak rela harus berpisah sekali pun itu sementara.
"Boleh aku menciummu?" tanya Dewa lembut.
Lorna mengangguk tersenyum.
"Kenapa mesti bertanya?"
"Nanti terkesan memaksa."
Lorna menyentil ujung dagu Dewa.
"Paksalah! Lorna tak keberatan!"
Tangan Dewa lantas memegang tengkuk Lorna dengan lunak. Kali ini Lorna tak memejamkan mata seperti saat dicium di pintu kamar. Dia ingin melihat wajah Dewa dari dekat. Mengikuti keinginan tangan Dewa di kuduknya yang menarik wajahnya perlahan hingga bibir mereka saling mendekat. Lorna membuka bibirnya sedikit manakala Dewa mendaratkan serta membenamkan bibirnya. Walau bibirnya gemetar, tak menundanya segera larut dalam pergulatan untuk saling mengulum dan menyergap.
"Mmph..."
Lorna akhirnya tak kuasa untuk tidak memejamkan mata saat bibirnya terpilin hebat. Jemari tangannya turut meremas lunak punggung Dewa. Dadanya yang padat terhimpit ke dada Dewa. Seakan saling bertukar nafas. Pilinan Dewa membuatnya tersengal. Sulit bernafas. Tapi, ya Tuhan. Lorna tak peduli. Bila perlu kehabisan nafas sekalipun rela untuk itu semua.
Sementara buih lidah air laut bergerak mendekat dan menjauh di kaki mereka. Berulangkali dengan teratur. Suara kecipak dan desir lidah laut yang menggilas permukaan pasir seakan musik merdu di malam itu. Laiknya kecipak bibir keduanya yang tengah berpadu.
Di kejauhan suara debur ombak pun demikian bergemuruh. Segemuruh isi dada Lorna. Wajahnya merah merona manakala Dewa melepas pilinannya. Membiarkan bibirnya terbuka basah. Nafasnya tak beraturan. Segera dibenamkan wajahnya ke dada Dewa. Dipeluknya ketat tubuh Dewa. Dalam dada itu juga terasa gemuruh irama detak jantung Dewa yang berdegub bertalu-talu.
"Aku takut kehilanganmu. De." suaranya terbenam di dada Dewa.
"Aku tahu."
"Aku sudah merasakannya saat jauh darimu."
"Aku tahu."
"Aku mencintaimu, De."
"Aku tahu."
"Mommy dan Daddy sekarang tahu kalau Lorna mencintaimu."
Dewa tahu tapi tak menjawab. Dihirupnya rambut Lorna. Dikecupnya kening gadis itu lembut. Wajah itu merona merah. Dibelainya perlahan. Bibirnya masih basah akibat bibirnya.
Dewa kembali memilin, yang dibalas Lorna dengan hebat. Lalu kecewa saat Dewa melepaskan pagutannya. Dia ingin Dewa tetap memilin bibirnya. Keinginan bertahun-tahun yang ingin dituntaskan
"Biarkanlah semua mengalir dengan sendirinya."
Lorna membalas tatapan mata Dewa.
"De?"
"Hm!"
Lorna menarik nafas sejenak.
"Kenapa tak bertanya apakah mereka setuju atau tidak?"
"Itu tak akan mengubah sikapmu padaku."
Hening sesaat.
"De?"
Hening kembali.
"Terima kasih telah mencintaiku."
Dewa memeluknya setelah mengecup bibirnya dengan sentuhan lembut.
"Aku pun mencintaimu sejak mengenalmu."
Bola mata Lorna berbinar. Wajahnya kian bergairah.
"Terima kasih telah mencintaiku, De."
Hening lama.
"Kenapa kamu memilihku?" Dewa bertanya.
Lorna memandangnya tak mengerti.
"Ya, karena Dewa mencintai dan memilihku."
Mereka berdua membiarkan keheningan menyelimuti. Namun sebenarnya tak sesederhana itu. Ada alasan keduanya saling mencintai.
"Apakah Dewa perlu penjelasan?"
Dewa menggeleng perlahan.
"Itu sudah merangkum maknanya."
Keduanya lantas berpelukan erat. Dewa memilin bibir Lorna kembalidengan hebat. Sesuatu yang tak pernah dilakukan dengan siapapun. Untuk hal satu ini siapa pun pasti bisa melakukannya dengan baik. Dewa menyelesaikan memilin bibirnya sebelum gadis itu kehabisan nafas.
Lorna merapatkan wajahnya ke dada Dewa dengan nafas tersengal-sengal. Dadanya terhela seperti sehabis berlari jauh. Kedua tangannya memeluk erat-erat tubuh Dewa. Bibirnya masih basah dan gemetar. Wajahnya merona merah.
Dewa membelai rambutnya.
"Tak perlu dijelaskan kenapa kamu memilihku."
Dewa mengusap-usap pipinya.
"Tapi kenapa tanya?"
"Keberhasilan hubungan kuncinya bila saling mengerti."
"Lorna mengerti."
"Ciumanku padamu, ciuman pertamaku pada seorang gadis."
"Dewa..."
"Ciuman itu hanya kepada gadis yang benar-benar kucintai."
"Dewa..."
Lorna menengadah mendekap kedua pipi Dewa. Memandang wajahnya dengan seksama. Dari mata lalu ke bibir silih berganti dan berkata. Seakan ingin bertanya. Benarkah? Bila itu disampaikan tentu Dewa akan beranggapan dirinya tidak percaya. Benarkah? Tidakkah dia pernah punya isteri? Benarkah dia tak pernah melakukannya? Artinya dia tidak pernah menciumnya selama ini. Padahal menurutnya ciuman Dewa yang baru saja dilakukan demikian hebat. Ciuman mereka yang terbiasa dan berpengalaman. Ciuman yang mampu membuatnya tak berdaya dan menjadi sedikit lepas kendali dengan meremas-remas kulit punggung Dewa hingga berbekas. Ciuman yang membuatnya terpekik dan mendesah panjang.
Namun sebaiknya Lorna mempercayainya agar tak timbul kecurigaan.
"Kaulah lelaki pertama yang mencium bibirku."
Dewa membalas mendekap kedua pipi Lorna, membalas tatapannya.
"Karena hanya kaulah yang boleh menyentuh bibirku dengan bibirmu."
Sesaat kemudian keduanya mengulang kembali saling memilin bibir. Membuat tubuh Lorna kian terbakar.
"Dewa..."
Lorna memanggil namanya saat bibir Dewa menyentuh lehernya.
"Dewa..."
Lorna menggerinjal.
Dewa mengangkat wajah. Memandangi wajah Lorna yang merona merah.
"Bagaimana kalau kita kembali ke penginapan?"
Lorna mengangguk. Berteriak dalam hati. Bawalah aku cepat Dewa!
Dewa lantas menggendong tubuh Lorna. Tangannya langsung membelit leher Dewa.
"Tubuhku berat, Dewa!"
"Biarlah!"
"Berat Dewa!"
"Kucoba!"
Lorna tertawa renyah dan manja. Bibirnya yang basah berusaha dibenamkan ke sudut bibir Dewa yang kemudian ikut menjadi basah. Berharap Dewa membawanya ke kamar lalu memilin kembali bibirnya habis-habisan. Sekalipun mereka belum lama berada di pantai, tapi pilinnan Dewa membuatnya ingin meninggalkan pantai. Bukankah suasana pantai yang sepi, lengang bisa keduanya lakukan? Tapi kali ini pilinan itu sebaiknya dilakukan di dalam kamar.
Ah, itu keputusan final Dewa, seperti keputusannya di Cangar saat dirinya minta dicium, tapi Dewa menunda beralasan takut direkam dengan camera hape orang iseng, lalu meng-upload -nya ke youtube lalu tersebar tak terkendali.
Dewa menggendongnya hingga pintu halaman penginapan.
"Dewa hebat!"
Lorna memuji.
"Capai?"
Dewa diam. Membungkuk sejenak untuk mengatur nafas.
"Tadi Dewa yang membuat Lorna kehabisan nafas..."
"Ya ya, kini kamu yang membuatku kehabisan nafas..."
Lorna tertawa. Membelai wajah Dewa. Mengusap keringat yang terbit dengan kain syal di lehernya.
"Memaksa sih..."
"Besok pagi kita ajak Papi dan Mami jalan-jalan menyusur pantai," kata Dewa setelah nafasnya kembali pulih.
Lorna setuju sekali.
Ke dua orangtuanya masih duduk-duduk di beranda. Merasa heran mereka lekas kembali.
"Hai, Dad! Belum tidur?" sapa Lorna mendekat dan memeluknya sesaat.
Dewa permisi untuk langsung ke kamarnya.
"Papi, Mami. Selamat malam!"
"Malam, Dewa!"
Sepeninggal Dewa.
"Perginya kok sebentar? Bagaimana lautnya?" tanya Papi.
"Bagus! Besok pagi kita kesana? Kasihan. Dewa perlu istirahat menyiapkan untuk keperluan besok."
"O, jadi itu alasan kalian cepat kembali. Jangan sampai mengganggu urusannya," sela Mami.
"Ah, nggak, Mom. Bahkan besok after lunch mengajak Lorna menemani mengurus keperluannya."
"Ya, sudah. Kalau begitu kamu juga perlu istirahat."
Lorna lalu duduk di samping Maminya. Nyonya Ivana membelai wajahnya. Mencium lembut pipi anak gadisnya, pipi yang belum lama diciumi Dewa. Seakan gadis itu masih anak perempuan kecil yang segalanya masih diurusi. Padahal anak gadisnya kini dadanya telah berkembang padat, demikian pula pinggangnya. Tubuhnya tinggi semampai. Kemudian mengajak anak gadisnya masuk ke dalam kamar.
"Sebentar. Daddy di sini saja!" kata Nyonya Ivana.
Saat dalam kamar.
"Ada apa, Mom?" tanya Lorna.
Mereka duduk di tepi ranjang. Maminya mengeluarkanl sesuatu dari dalam tas kecil. Sebuah benda yang kemudian diberikan kepada Lorna.
"Apa ini, Mom?" tanya Lorna tidak mengerti.
Maminya membelai wajahnya dan mencium sudut bibirnya, sudut bibir bebas dipilin Dewa.
"Mungkin bidadariku perlu ini. Untuk membeli benda ini di apotik memerlukan keberanian bagi gadis sepertimu," katanya menjelaskan dengan suara lembut, "Mami sayang sekali padamu."
"Lorna tahu, Mommy. Lorna juga sayang Mommy. Tapi apa ini?"
Nyonya Ivana menatap lembut ke bola mata anak gadisnya. Demikian polosnya hingga anak gadisnya tak tahu benda yang ada di tangannya. Untuk itu dia tak tega bila terjadi sesuatu terhadap anak gadisnya. Lantas dia berbisik dengan lembut ketelinganya.
"Berikan ini ke Dewa mu bila dia ingin melakukannya padamu."
"Mommy?" tanya Lorna dengan alis terangkat.
Lorna memperhatikan benda kecil yang terbungkus rapi itu dengan seksama. Setelah mengamati dan membaca tulisan-tulisan yang ada pada pembungkusnya, baru sadar bahwa itu adalah karet pelindung. Itu kondom.
"Oh, Mommy?"
Maminya tersenyum seraya mengangguk.
"Kau sudah melakukannya?" tanyanya lunak.
Lorna tiba-tiba memeluknya. Lalu berbisik ke telinganya.
"Lorna masih virgin, Mom."
"Oh ya?"
"Mommy pikir Lorna sudah tak virgin?"
Lorna menatap mata Maminya.
"Maafkan Mami kalau begitu. Semalam dari balik jendela Mami melihat bibirmu diciumnya."
"Tetapi bukan berarti apa yang dilakukannya lebih dari itu. Dewa menjaganya, Mommy!"
"Tentu di pantai kalian juga baru saja melakukannya."
Lorna mengangguk. Memperhatikan benda di tangannya.
"Tapi Lorna tak bisa, Mom?"
"Tak bisa apa, sayang?"
Benda itu diberikan kembali kepada Maminya.
"Kenapa?"
"Takut!"
"Apa yang sayangku takutkan?"
"Apa jadinya bila ada yang tahu Lorna menyimpan benda ini."
"Oh!" Nyonya Ivana lalu menarik kepala anak gadisnya ke dadanya. Memeluknya.
"Kamu tak akan menyimpannya sayang. Mami hanya memberimu untuk berjaga-jaga malam ini bila kamu tidak ingin memiliki baby."
"Mom. Bukankah Mommy ingin Lorna punya baby?" Lorna menyela seraya memegang kedua pipi maminya. Menatap matanya lembut.
"Ya, tapi itu bila bidadariku sudah siap."
"Terima kasih. Mommy memperhatikan kebutuhan Lorna sampai hal seperti ini. Tapi Lorna tidak tidur satu kamar dengannya. Dia menjagaku, Mom. Dewa menjaga Lorna. Kami memang dekat seperti tak ada batas, Mom. Kami hanya..."
"Mami paham. Dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutmu," sela Maminya seraya membelai pipi anak gadisnya dengan lembut.
Lorna tersipu.
"Benar bukan?"
Lorna mengangguk, seraya mengatupkan kelopak matanya sesaat.
"Lorna merasa aman di dekatya, Mom."
Mami mengangguk.
"Dia pernah bilang akan menikahimu?"
Lorna menatap tajam. Kemudian menggeleng lemah.
"Kami belum berbicara sejauh itu."
"Ya, sudah. Sebaiknya dia cepat menikahimu dan memberiku baby. Mami senang anak Mami baik-baik."
"Lorna bisa menjaga diri, Mom."
"Mami percaya itu. Walau Mami ingin segera menimang cucu. Tapi kalau Dewa kamu yakini akan menikahimu, lebih baik tak usah Mami berikan ini padamu."
"Mom?"
"Biar bidadariku cepat pregnant."
"Mommy?"
"Biar Mami lekas punya cucu."
"Mom, tapi tidak sekarang!"
Keduanya lalu berpelukan.
"I love you, Mom!"
"I love you too, sweety!"
"Lorna akan memberi Mommy cucu darinya, Mom."
Maminya lantas mengecup bibir anak gadisnya, bibir yang belum lama dipilin habis oleh Dewa.
"Janji. Berikan itu, ya?"
Lorna mengangguk meyakinkan dan tersenyum.
"Sure!"
Lorna bangkit berdiri. Nyonya Ivana merapikan pakaian Lorna yang kusut. Wajahnya ceria. Senyumnya juga tak kalah manis dengan senyum anak gadisnya. Keduanya bertatapan saling membalas senyum.
"Yuk! Apalagi? Temuilah pangeranmu sekarang."
"Lebih dari pangeran, Mom. Dia seorang Dewa karena namanya memang Dewa," kata Lorna menimpali seraya memijit ujung hidung Maminya dengan manja. Memeluknya seraya bertanya dengan berbisik ke telinga Maminya.
"Apakah terasa sakit bila dia memasuki tubuh Lorna, Mom?"
Nyonya Ivana lantas memegang wajah anak gadisnya. Menatapnya lembut seraya tersenyum.
"Bila kalian lakukan itu dengan cinta. Tak akan ada rasa sakit, sayang. Kalian akan merasakan kebahagiaan."
"Terima kasih, Mom."
"Kamu mau melakukannya."
"Tapi tidak malam ini, Mommy!"
Maminya tertawa renyah.
"Terserah kalian!" jawabnya senang.
Lorna lalu berlarian kecil ke depan. Menjumpai Papinya dan mencium pipinya. Nyonya Ivana tersenyum-senyum mengawasinya.
"Good night, Daddy! Selamat tidur. Jangan lupa bangun pagi. Besok kita jalan-jalan."
"Good night..."
Wajah nyonya Ivana ceria, memperhatikan anak gadisnya menghilang naik ke lantai atas. Menjumpai kekasihnya.