Hari sudah gelap saat melintasi pintu keluar. Dewa mendorong troli untuk mengusung barang bawaan. Lorna melangkah di samping berpegang pada lengannya. Papi dan Mami mengikuti di belakang.
Sebelumnya Dewa sudah terlebih dahulu menghubungi Komang agar menjemputnya di bandara pada jam sesuai jadwal tibanya pesawat yang mereka tumpangi. Dewa memutuskan membawa keluarga Lorna menginap di hotel milik keluarga Komang. Dewa pernah menginap di tempat itu yang menurutnya cukup representatif bagi keluarga Lorna yang terbiasa dengan hotel berkelas. Kelebihan tempat itu memiliki pemandangan menghadap pantai. Di samping memiliki fasilitas kolam renang, dan olahraga. Bar serta restorannya juga cukup nyaman.
"Tolong ditunggu di sini dulu. Jangan kemana-mana," kata Dewa.
"Dewa, mau kemana?" Lorna bertanya.
"Aku akan mengurus kendaraan yang akan mengantar kita ke penginapan."
"Bawa ponsel Lorna bila ada apa-apa nanti." kata Lorna.
Dewa menatapnya sejenak.
Lorna memohon, "Please !"
Dewa memahami kekuatiran Lorna.
"Oke!" jawabnya lalu menerima ponsel Lorna.
"Aku hanya sebentar saja!"
"Please, Dewa! Bawalah!"
"Baiklah, tetap di sini saja. Jangan pindah tempat!"
Lorna mengangguk. Dan tetap mengawasi Dewa yang kemudian menghilang di sela kerumunan penumpang yang baru turun dari pesawat yang sama-sama mereka tumpangi.
Mami mendekatinya.
"Kemana Dewa?"
"Tidak tahu, Mom ! Kita disuruh menunggu di sini. Katanya mengurus kendaraan."
"Taxi?"
"Nggak tahu Mom !"
Tak lama kemudian Dewa sudah kembali bersama seseorang. Dia Komang, kawannya yang menjemput dengan kendaraannya.
Dewa lalu memperkenalkan.
"Maaf terlambat!" kata Komang.
"Kita juga baru sampai," Nyonya Ivana menimpali.
"Aku akan ambil kendaraan dulu. Kusiapkan dan kutunggu di depan," kata Komang pada Dewa.
"Kalau begitu kita ke depan, ke pinggir jalan."
"Begitu lebih baik. Biar bisa langsung naik!"
Sementara Komang mengambil kendaraan yang sempat diparkir. Dewa mendorong troli ke pinggir jalan. Menunggu kendaraan Komang.
"Siapakah dia?" tanya Lorna.
"Kawan lama waktu di Ubud."
"Dewa pernah di Bali?"
Dewa mengangguk seraya menatapnya sejenak.
"Setahun. Selebihnya mondar-mandir."
Dewa lalu menjelaskan. Mereka akan bermalam di penginapan milik keluarga Komang. Dia sudah memesan tempat itu. Ada paviliun tersendiri. Sehingga privasi mereka terjaga. Lokasinya tidak jauh dari pantai Sanur. Jadi kalau mau ke Kuta atau ke Legian jaraknya tak seberapa jauh. Atau kalau mau jalan-jalan ke pantai berpasir bersih, seratus meter jaraknya dari lokasi penginapan. Pantainya sepi. Tidak ramai seperti di Kuta.
"Dewa yang mengatur. Dewa lebih tahu tentang Bali. Jadi Mami dan Papi ikut saja," kata Nyonya Ivana.
Lorna melendot manja di sisi Dewa. Berada dekatnya, tangannya selalu memegang lengan Dewa. Sesekali Dewa memandang Lorna. Lorna senang dipandang Dewa. Menimpalinya dengan senyum. Gadis itu hatinya merasa senang sekali bisa bersama Dewa di Bali. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benaknya sebelumnya.
"Dewa capai?" Lorna bertanya menatap Dewa.
Dewa mengedikkan bahu. Mengedipkan sebelah mata.
Lorna membalas kedipan sembari tersenyum. Senyumnya manis sekali.
"Bersamamu kelelahan itu tak terpikirkan."
"Terima kasih."
"Suka?"
"Suka sekali. Thanks you!"
Sudah lama tidak mengunjungi Bali. Tentu membuatnya canggung. Perkembangan di Bali sungguh pesat. Terutama roda bisnis yang terkait wisata. Dari penginapan, resto, bar, rental kendaraan, pertunjukkan kesenian, dan lain sebagainya. Seakan manusia dari segala penjuru dunia bertumpah ruah di Bali. Beragam etnis bisa di temui.
Mobil Komang datang. Lorna membimbing Papi dan Mami masuk terlebih dulu ke dalam kendaraan.
"Biar kumasukkan dulu koper ke belakang," kata Dewa.
Dewa memasukkan koper dan tas dibantu Komang. Setelah itu duduk di depan mendampingi Komang yang mengemudi. Di bangku tengah. Lorna duduk berdampingan Papi dan Mami.
Mereka segera meninggalkan lokasi bandara Ngurah Rai.
Hari sudah gelap. Bulan putih bersinar cerah merangkak ke puncak langit yang gelap.
"Sori, De. Terlambat menjemput!" kata Komang.
"Ah, kita juga baru selesai ngurus koper," balas Dewa.
"Paviliun sudah siap. Baru ditinggalkan turis dari Perancis yang pindah cari penginapan ke pantai utara. Untung semalam kamu telepon. Kalau tidak, besok pagi sudah ada yang menggantikan."
"Ok, thanks berat. Bukan semalam aku menelponmu, sudah larut pagi."
Komang tertawa.
Lorna mendengarkan. Dewa ternyata diam-diam sudah mempersiapkan segala sesuatunya, pikirnya. Begitu tiba di Bali semua hal yang dibutuhkan sudah tersedia.
"Aku baca beritamu soal pameran di Surabaya. Ada di koran pagi ini. Ada yang berminat dari Bali ya? Mencari yang berbeda. Lukisanmu memang berbeda."
Dewa tertawa datar.
"Pertama karena itu. Tapi tak ada salahnya mengajak keluargaku melihat-lihat Bali," katanya seraya berpaling sejenak ke belakang, memandang Lorna yang tersenyum senang Dewa mengatakan itu. Nyonya Ivana turut mendengar, sembari menyeka butiran keringat yang terbit di ujung hidung Lorna dengan tisu basah.
Komang tak bakal percaya apa yang dikatakan Dewa. Dia tahu Dewa sebatang kara. Ah, tapi siapa tahu bule itu mengadopsinya. Atau Dewa menikahi gadis bermata biru itu? Tapi sejak kapan Dewa menikah lagi setelah kematian Nirmala? Ah, Komang jadi melantur sendiri. Dia kenal baik Dewa. Bila ke Bali selalu menginap di tempatnya. Sebaliknya Komang juga sering berkunjung dan menginap di tempat Dewa.
"Aku perlu kendaraan untuk beberapa hari. Bisa tolong carikan sewaan?" tanya Dewa.
"Pakai punyaku. Nanti kuantar. Ini punya adikku."
"Tapi di-rent kan?"
Komang mengedipkan mata.
"Tenang saja, De!" ujar Komang.
Selama perjalanan, pembicaraan lebih didominasi Komang dan Dewa. Lorna hanya mendengarkan sambil tak bosannya memandangi Dewa. Sudah bertahun-tahun wajah itu hanya menjelma dalam bayang-bayang mimpi dan lamunan. Kali ini dipuaskan.
Tak lama kemudian. Mereka tiba di hotel. Udara pantai terasa menyergap hidung saat keluar dari dalam kendaraan. Demikian pula aroma bunga kamboja di taman.
"Kita berada di Bali, Dewa!" kata Papi.
"Welcome to Bali !" kata Komang.
"Ya, Pi!" kata Dewa.
"Di mana kita bisa melihat pertunjukkan?"
Dewa tertawa.
"Nanti malam atau besok, terserah Papi!"
"Yours Daddy sudah tak sabar, Lorna," kata nyonya Ivana.
Lorna menggandeng Papi masuk ke dalam paviliun.
"Ajak Papimu jalan-jalan, Dewa," kata nyonya Ivana.
"Atau kita bisa pergi bersama-sama nanti melihat-lihat pertunjukan," jawab Dewa.
"Boleh, sambil makan malam!"
Dibantu Komang, Dewa mengangkat barang-barang ke dalam penginapan. Orangtua Lorna memilih kamar di bawah. Dewa memasukkan koper dan tas. Barang-barang Lorna dimasukkan ke kamar yang berhadapan.
"Di atas masih ada dua kamar lagi. Terserah mau pakai yang mana," kata Komang.
"Diatur sambil jalan. Yang penting setelah ini kita bisa mandi dan istirahat dulu," sela Dewa.
"Papi dan Mami masuk ke dalam dulu ya." kata Nyonya Ivana.
"Silahkan, Mam!" jawab Dewa.
"Sayang, kamu mau kamar di bawah atau di atas?" lanjut Maminya kepada Lorna yang masih berdiri menunggu Dewa mengatur barang-barang ke dalam kamar Mami.
"Di atas saja," kata Lorna berniat membantu memindahkan barang.
"Biar aku saja yang bawa!"
Dewa mengangkat koper Lorna.
"Saya permisi dulu untuk mengurus makan malam dan yang lainnya. Untuk makan malam nanti akan di antar dan disiapkan di meja makan," kata Komang.
"Oke, Komang. Terima kasih banyak. Sampai nanti. Kita mau berbenah dan mandi dulu. Selamat malam," kata Nyonya Ivana.
"Selamat malam. Permisi."
"Yuk, De!" sapanya ke Dewa.
"Yuk!"
"Lorna!"
"Terima kasih, Komang!"
Komang menawarkan kendaraan.
"Kalau perlu mobil sekarang. Biar kuantar?"
"Terserah. Tapi, besok juga tak apa."
Sepeninggal Komang. Dewa dan Lorna naik ke lantai atas. Meletakkan tasnya ke dalam kamar lalu keluar kembali. Melihat suasana ruangan. Kemudian berdiri di teras. Memandang kegelapan yang dihiasi lampu-lampu kecil di kejauhan. Lampu-lampu perahu nelayan. Suara desah ombak yang menghantam pantai terdengar sayup-sayup dari tempatnya berdiri.
Bulan bulat putih berada dibalik bayangan gelap daun kelapa.
Dewa dan Lorna berdiri saling berhadapan. Saling berpegangan tangan. Saling menatap.
"Terima kasih telah mengajakku ke Bali," suara Lorna lunak. Lunak sekali.
Jemari tangan Dewa menyibakkan rambut Lorna untuk disangkutkan ke daun telinganya bagian kiri.
"Lebih baik kita mandi dulu."
Lorna mengangguk. Lantas Dewa mengecup sudut bibirnya dengan lembut yang diresapi Lorna dengan memejamkan mata. Namun Lorna membalas dengan pagutan. Sejak tadi keinginan itu ditahannya. Kali ini ingin dilampiaskan. Namun Dewa melepaskan bibirnya dari pagutan yang lembut itu.
Lorna nampak kecewa dan merebahkan wajahnya ke bahu Dewa.
"Nanti kita lakukan lagi," bisik Dewa.
"Maafkan Lorna!" kata Lorna dengan suara lirih.
"Aku hanya kuatir Mami atau Papi naik dan memergoki kita."
"Lorna hanya rindu padamu."
"Aku tahu. Nanti kita lakukan lagi. Hm?"
Lorna mengangguk lemah.
"I am sorry, Dewa!"
Dewa membenamkan hidungnya ke kelebatan rambut Lorna yang coklat. Menghirup keharumannya. Lalu memagut bibir Lorna agar memberinya perasaan tak bersalah lantaran mendahului memagut bibirnya. Apa yang dilakukannya lantas membuat gadis itu tak merasa bersalah lagi. Sehingga dia bisa leluasa membalas pagutan Dewa.
"Terima kasih, Dewa," ucapnya lirih setelah Dewa melepaskan pagutannya.
"Sebaiknya kita mandi untuk menyegarkan badan."
Tak lama kemudian Lorna sudah berada dalam kamarnya. Dewa juga lantas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan badan sebagaimana Lorna yang kini telah melolosi pakaiannya dan berendam dalam bath up.