Pesawat yang akan membawa mereka ke Ngurah Rai Denpasar Bali, transit di bandara Juanda Surabaya. Dewa dan Lorna memasuki kabin pesawat. Penumpang dalam kabin nampak penuh. Semua kursi terisi. Pesawat jurusan Bali selalu dipadati penumpang.
Walau Papi dan Mami berada di tempat duduk terpisah, hanya berbeda lajur. Petang ini mereka sudah berada di Bali.
Lorna menempati kursi dekat jendela. Kini tengah memperhatikan Dewa sedang memasukkan barang ke dalam bagasi kabin, tasnya sendiri, tas besar Lorna berisi; komputer tablet, handycam, dan kamera foto. Dewa segera menempati tempat duduk di samping Lorna. Langsung memasang safety belt.
Sementara di atas landasan pacu. Bayangan badan pesawat sudah condong ke timur. Seorang pramugari sudah bersiap di ujung lorong, membelakangi pintu kokpit pesawat, mulai memandu keselamatan perjalanan.
Pesawat bergerak mempersiapkan diri ke ujung landasan pacu. Lampu kabin mulai dimatikan. Suasana hening. Memendam ketegangan saat hendak take off. Posisi pesawat sudah di ujung landasan pacu, bersiap take off. Tak beberapa lama badan pesawat mulai bergerak menghela dengan kecepatan penuh di landasan pacu.
Lorna melihat ke luar jendela. Mencoba mencari posisi keberadaan kawan-kawannya. Mustahil dengan posisi pesawat, dan sudah tentu sulit menangkap keberadaan mereka. Badan pesawat mulai terangkat meninggalkan permukaan tanah. Meninggalkan Rahma, Grace dan teman-temannya yang barangkali sedang melambaikan tangan kepadanya. Selamat tinggal Surabaya.
Dewa menyandarkan kepala memejamkan mata. Tetapi Lorna tetap membuka mata, berpaling menatap Dewa yang terpejam. Perlahan disentuhnya punggung tangan Dewa yang berada di atas lengan kursi. Dewa merasakan sentuhan itu, namun masih memejamkan mata. Kelopak matanya terbuka setelah lampu kabin dinyalakan kembali. Dan penumpang diperbolehkan ke kamar kecil.
Dewa berpaling memandang Lorna. Pandangan keduanya langsung bersirobok. Lorna sudah lebih dulu memandangnya. Bertatapan tanpa sepatah kata yang terucap. Hanya pandangan saling menelusuri wajah masing-masing.
Nyonya Ivana menyempatkan diri melihat ke belakang. Melihat keadaan puterinya. Hatinya terasa damai melihat keakraban mereka. Kemudian kembali menghadapi bacaannya.
"Dewa seperti tak suka berkumpul teman-teman." kata Lorna perlahan membuka pembicaraan. Suaranya lirih. Namun cukup jelas di telinga Dewa. Pandangannya masih menatap tajam ke mata Dewa.
"Mereka ingin akrab denganmu."
Dewa diam.
"Maafkan Lorna atas kejadian dengan Ronal tadi."
Dewa tetap diam.
"Lorna tak memiliki perasaan apapun terhadapnya."
Dewa masih diam.
"Kalau ada yang bilang ada persaingan. Dewa yang memenangkan persaingan itu."
Dewa kemudian memandangnya lunak. Walau sesungguhnya menikam.
"Dewa marah pada Lorna?" tanya Lorna.
Dewa masih diam tak berucap. Menggeleng pelan. Menghela nafas seraya menyandarkan kepala, lalu memejamkan mata.
Lorna turut menarik nafas dalam. Ada kesekakan yang dirasakannya kini di sana.
"Kok diam saja?" tanya Lorna.
Dewa menghela nafas.
"Aku tak peduli apa yang mereka komentari perihal itu semua. Siapa itu Ronal, Jefry, Toni atau siapa saja cowok dari sekolah lain yang ingin mengejarmu." Dewa berkata dengan suara datar tanpa emosi dan tekanan, tapi makna kalimatnya menggelisahkan hati Lorna.
Lorna memegang punggung tangan Dewa.
"Kenapa Dewa menyebut nama-nama itu?"
Dewa diam. Lalu berkata.
"Karena kediamanku kamu tafsir sebagai ketidak sukaanku pada Ronal."
"Terus?"
"Aku mengenalmu, Lorna. Hampir setiap saat kita bertemu. Tetapi ketika kamu pergi jauh. Saat itu baru aku merasa marah terhadap diriku sendiri? Itulah bila Lorna bertanya tentang kemarahanku."
Lorna membelai pipi Dewa. Menariknya agar dekat ke wajahnya.
"Kenapa?"
"Aku tak mampu mencegahmu pergi. Seharusnya aku menahanmu."
"Kenapa tak mencegahku pergi?"
Dewa tersenyum.
"Karena kamu menghilang begitu saja."
Lorna lantas merajuk.
"I am sorry, Dewa. Peluklah aku, De. Lorna tak ingin ada lagi kemarahan yang Dewa rasakan. Saat itu sesungguhnya berharap Dewa mencegah kepergianku."
Lorna menelusupkan wajahnya ke bawah leher Dewa. Tangannya melingkar ke pinggang Dewa.
"Aku tak marah."
"Ah, masak?"
"Hanya kehilangan."
Dewa balas memeluk. Membelai rambut Lorna yang terasa harum dalam rongga hidungnya. Menempelkan bibir ke keningnya. Mengecup kelopak matanya. Menyentuhkan ujung hidungnya yang bangir dengan ujung hidungnya.
"Walau ketika itu kita tidak satu kelas. Tapi Lorna merasa nyaman bila sudah melihatmu masuk sekolah. Lorna tahu Dewa sering tidak masuk sekolah. Semula Lorna tak tahu kenapa Dewa sampai seperti itu. Tetapi akhirnya Lorna tahu alasan Dewa sering tak masuk sekolah karena harus membantu Ibumu untuk menyelesaikan pekerjaan membatiknya agar tepat waktu karena akan diambil pemesan. Setelah itu baru mendapatkan uang."
"Ya untuk beli beras, beli gula, beli bahan baku batik."
Penjelasan Dewa mengharubirukan perasaannya.
"Lorna ingin mengenang kembali saat sering menemani Ibu membatik."
"Oleh sebab itu selama bersekolah sekalipun aku tak pernah mentraktirmu di kantin. Kamu yang sering memberiku makanan seperti roti lapis, buah, coklat dan lain sebagainya. Ingatan itu tak pernah hilang."
"Karena saat itu Dewa sudah kuanggap kakak."
"Tapi aku sesungguhnya malu selalu menerima darimu. Tapi aku menepiskan rasa malu itu untuk menyenangkanmu. Apalagi yang kamu lakukan sesuatu yang baik. Tak ada alasan bagiku merasa malu. Hanya kadang harga diriku sebagai lelaki terusik. Seharusnya aku yang lebih memperhatikanmu."
"Dewa sudah banyak memberikan perhatian pada Lorna."
"Boleh aku tanya?" Dewa balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa tidak. Tentang apa?"
"Kediamanmu sejak dari makam?"
Lorna mendekap kedua pipi Dewa.
"Lorna hanya merasa sedih saja."
"Kenapa?"
"Sedih melihatmu?"
"Kenapa?"
"Kamu telah ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat denganmu."
Dewa mencoba tersenyum.
"Takdir yang menggariskan hidup manusia. Kita hanya bisa pasrah menerima?"
Lorna pun merasa dirinya telah meninggalkannya.
"Tapi aku tak sepenuhnya meninggalkanmu, De."
"Aku tahu."
"Aku hanya marah."
"Aku mengerti."
"Maafkanlah Lorna."
"Aku mengerti perasaanmu. Tak ada yang perlu dimaafkan."
"Terima kasih, De."
"Kemunculanmu sudah melegakan perasaanku."
Lorna menatap mata Dewa dalam-dalam.
"Matamu indah." kata Dewa.
"Terima kasih."
"Bibirmu bagus."
Lorna tersenyum.
"Terimakasih. Hanya Dewa yang boleh menyentuhnya."
Lalu dibiarkannya saat Dewa mengecup bibirnya beberapa saat.
Kecemasan Dewa langsung sirna, sebab kemuraman Lorna bukan akibat mengunjungi makam almarhum isterinya, Nirmala.
Mengenang Nirmala akan mengingatkan kembali betapa getir perjalanan hidup yang mereka berdua jalani. Bila Nirmala kemudian menjadi isterinya adalah takdir yang tak kuasa dihindari. Bila Nirmala kemudian meninggal juga tak ada kuasanya untuk bisa mencegahnya. Tak ada alasannya untuk membenci Nirmala. Tetapi ada alasannya untuk mencintai Nirmala. Pertama karena dirinya telah bersedia menjadi suaminya. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi semua persoalan Nirmala yang kemudian berkubang dalam duka nestapa yang berakhir dengan kematian, adalah bentuk tanggungjawabnya sebagai suami. Walau sesungguhnya cinta sejatinya ada pada gadis yang saat ini selalu ingin bersamanya.
Lorna merebahkan wajahnya ke bahunya. Membiarkannya hingga dia terlena. Nyonya Ivana melihatnya. Suaminya turut melongok. Keduanya melihat anak gadisnya telah tertidur tersandar di dada Dewa. Wajahnya yang cantik nampak polos. Keduanya tersenyum seraya mengangkat alis.
"Sleep?"
Dewa mengangguk.
Tidurnya pun tak berlangsung lama. Penerbangan dari Surabaya ke Denpasar hanya berlangsung beberapa saat saja. Di luar jendela pesawat. Gumpalan awan putih seperti busa sabun kental menghalangi pandangan ke selat Bali yang mulai gelap.