37. Sebuah Bungkusan dari Nyonya Ivana

Agar tidak mengganggu, barang bawaan yang hendak dimasukkan ke bagasi pesawat segera didaftarkan. Dewa melakukan check in untuk mengetahui nomer kursi. Tasnya berisi beberapa potong pakaian, dan keperluan lain tetap dibawa karena bisa dimasukkan ke bagasi kabin, juga tas besar Lorna yang berisi komputer tablet, kamera foto dan video.
Urusan bagasi dan nomer kursi sudah selesai.
Dewa memberikan tiket kepada Nyonya Ivana.
"Terima kasih, Dewa!"
"Untuk Lorna biar saya yang membawakan."
"Tidak satu baris denganmu?" tanya Nyonya Ivana setelah memperhatikan nomer kursi pada tiket mereka.
"Yang penting, Mami dan Papi bisa bersebelahan, demikian juga saya dengan Lorna."
"Okey, bagus!"
"Kita ke boarding sekarang atau nanti?" tanya Daddy
"Kita tunggu maunya our Sweetheart, Daddy."
"Okey, where is she?"
"That is... sedang melihat keluar. Dia sedang mencari temannya."
Dewa mendekati Lorna yang memperhatikan pintu masuk. Dewa tahu ada yang berkecamuk di hati gadis itu. Namun menahan diri untuk tidak menanyakannya. Tahu situasi yang tak memungkinkan membicarakannya. Sikap ngemongnya selama ini membuat gadis itu merasa nyaman bersamanya. Dewa tersenyum seraya menunjukkan tiket.
"Tempat duduk kita tidak sebaris dengan Papi dan Mami. Tapi kita saling berdampingan."
"Nggak apa-apa. Toh perjalanannya hanya sebentar," jawab Lorna, kemudian bertanya dengan nada lembut, "Boleh Lorna keluar menemui teman-teman?"
"Silahkan! Apakah mereka masih ada?"
"Lorna hubungi dulu ya?"
"Hubungi cepat nanti keburu pergi!"
Lorna lantas menelpon Rahma. Membalikkan badan, memunggungi Dewa. Mencoba menangkap bayangan teman-temannya yang berada di koridor. Yang dicari tak kelihatan dari tempatnya berdiri. Sementara Dewa perlahan menjauhi Lorna. Menurutnya Lorna butuh privasi saat menelpon teman-temannya. Tetapi saat Lorna membalikkan badan, menemukan Dewa sudah berada jauh dari tempatnya berdiri, sedang memperhatikan monitor display jadwal kedatangan pesawat.
Wajah Lorna nampak kecewa, seketika hatinya terenyuh. Maksud dirinya membalikkan badan bukan untuk menghindari Dewa, tetapi untuk mencari tahu keberadaan teman-temannya. Cara menghindar Dewa merisaukan hatinya.
"I am sorry, Dewa..." keluhnya dalam hati.
"Hai, Grace! Tahan di situ! Jangan pulang dulu!"
"Oh, hai! Kenapa?"
"Tadi aku sengaja buru-buru masuk untuk menghindari Ronal!"
"Dia sudah pergi!"
"Benar?!"
"Iya!"
"Yang lain?"
"Masih kumpul. Memutuskan pulang setelah melihat pesawatmu take off."
"Kalau begitu aku ke sana. Tunggu jangan pergi dulu ya? Pesawatku belum datang. Masih sejam lagi. Masih lama."
Lorna menghampiri Dewa, bermaksud mengajaknya keluar untuk menemui kawan-kawan. Tetapi Dewa enggan. Dia akan menunggu di dalam menemani Papi dan Mami.
"Kenapa?" tanya Lorna, "Mereka juga menginginkanmu."
Lorna memegang tangan Dewa. Menatapnya sayu. Dewa tersenyum untuk melegakan hatinya. Tapi Lorna merasakan kegetiran dalam senyum itu.
Apakah lantaran sebab Ronal? Lorna ingin menjelaskan tentang peristiwa barusan. Perasaannya tidak nyaman saat Dewa memergokinya bersalaman lama dengan Ronal. Tangannya sudah berusaha melepaskan diri, tapi tangan Ronal mencengkeramnya kencang.
"Oh. I am sorry, Dewa." keluh hati Lorna berkali-kali.
"Sudahlah temui mereka!" kata Dewa melihat Lorna termangu menatapnya.
"Lorna hanya ingin menemui mereka," Lorna berusaha meyakinkan.
Dewa mengangguk. Meski anggukan itu tak cukup meredakan kerisauan hatinya.
"Lorna tak bermaksud menemui Ronal. Dia sudah pergi."
Dewa tersenyum.
"Ah, kenapa Lorna anggap ini tentang dia? Sudahlah jangan dipersoalkan! Pergilah cepat temui mereka!"
"Tidak, De! Kalau Dewa keberatan Lorna menemui mereka, Lorna akan tetap di sini agar perasaan Dewa nyaman."
"Kenapa? Kamu pikir aku cemburu?"
Lorna diam menatapnya.
"Temuilah mereka. Aku tak ingin menganggu kebebasanmu. Keberadaanku jangan jadi belenggu. Biar kuajak Papi dan Mami minum ke cafe di atas. Oke?"
Lorna tak menjawab maupun mengangguk.
Dewa lantas berusaha meredakan situasi dengan mengecup pipinya. Kenapa di pipi, Dewa? Pikir Lorna. Ah, barangkali lantaran diperhatikan Daddy dan Mommy dari kejauhan. Lorna melambaikan tangan kepada mereka, yang disambut dengan lambaian dan senyuman.
"Kutelpon nanti ya?" kata Lorna lembut pada Dewa.
Dewa mengangkat alis.
Lorna lekas meralat ucapannya, menyadari Dewa tak ada ponsel.
"Maksud Lorna lewat ponsel Mommy."
Dewa mengangguk.
"Mereka menunggumu. Kemarikan tasmu, biar aku yang bawa."
Dewa mengangkat tali tas laptop dari pundak Lorna.
Lorna memandangnya.
"Kamu baik-baik, De?" Lorna masih mencemaskan.
"Aku baik-baik. Pergilah!" jawab Dewa seraya mengedipkan sebelah mata.
Lorna berusaha tersenyum meski getir.
Lorna lantas perlahan berlalu menjauh, dengan pandangan yang tak segera lepas dari Dewa. Dirasakannya ada sesuatu yang mengganjal dari sikap Dewa.
Dewa mengajak kedua orangtua Lorna naik ke lantai atas. Menghabiskan waktu di dalam sebuah kedai sambil minum. Selama duduk bersama, Dewa tak banyak bicara. Hanya bereaksi bila diajak berbicara. Nyonya Ivana pergi sebentar ke sebuah kios bacaan. Membeli bahan bacaan. Untuk memberi kesibukan suaminya agar tak banyak bertanya pada Dewa yang tak suka bicara yang tak perlu.
Bagi Dewa berdiam diri adalah kegiatan. Walau diam, bathin dan pikirannya mengelana. Membaca bukan jalan keluar membunuh waktu. Apalagi bila dipaksakan. Membaca harus dinikmati dalam suasana bathin yang nyaman. Alasan itu yang membuatnya menolak halus saat Nyonya Ivana menyodorkan sebuah koran.
"Terima kasih, Mam."
"Dewa bisa tinggalkan Mami, kalau ingin jalan-jalan. Tasnya biar Mami yang jaga. Kenapa tak menemani Lorna?" tanya nyonya Ivana.
"Biar dia bisa leluasa, Mami."
Mendengar jawaban itu Nyonya Ivana meletakan bacaannya. Kemudian duduk menghadapi Dewa. Melepas kaca matanya lalu mencoba bertanya,
"Bagaimana hubungan kalian selama ini?"
"Seperti yang Mami lihat."
Perempuan itu menggeleng perlahan.
"Tak seperti yang Mami lihat. Lama sekali kalian tak bertemu dan berhubungan. Tanpa surat, tanpa email, tanpa telepon. Tentu ada persoalan yang tidak Mami ketahui. Semula Mami berpikir hubungan kalian seperti kakak beradik. Menemaninya. Menjaganya. Bertahun-tahun. Dewa tahu Lorna tak punya saudara kandung. Sejak Lorna masuk rumah sakit. Baru Mami tahu hubungan kalian lebih dari sekedar kakak beradik."
Dewa memandang sejenak ke mata nyonya Ivana. Dahi Dewa sejenak mengerenyit. Ada kekuatiran dalam benaknya.
"Maksud Mami?" tanya Dewa lunak.
"Kamu mencintai anakku?" Nyonya Ivana bertanya seraya menatap tajam mata Dewa.
Dewa menahan nafas sejenak. Mencoba mencari jawaban dan arah dari pertanyaan itu. Belum sempat menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan sederhana itu, tangan nyonya Ivana di atas meja tiba-tiba memegang punggung tangan Dewa dengan lembut. Nyonya Ivana mengulangi pertanyaannya. Tetapi Dewa menjawab dengan pertanyaan.
"Apakah Mami keberatan bila saya mencintainya?"
Nyonya Ivana semakin tajam memandang mata Dewa. Berusaha menangkap makna dari pertanyaan balik yang diajukan Dewa.
"Dia anakku satu-satunya, Dewa. Selama bertahun-tahun kamu telah ikut menjaganya. Kamu paling tahu sifatnya. Kenapa Lorna tidak memiliki saudara? Nanti bertanyalah sendiri kepadanya. Yang ingin kuyakini hanyalah, apakah kamu sanggup menjaganya bila kamu memang benar-benar mencintai anakku?"
Dewa langsung mengangguk perlahan tanpa ragu.
Nyonya Ivana menarik nafas lega. Apalagi setelah Dewa menjelaskan.
"Saya selama ini memang mencintainya, Mam. Tetapi saya tidak pernah memaksanya untuk mencintai saya. Selama ini saya hanya berpikir bahwa persahabatan saya dengan Lorna tumbuh atas dasar cinta dan kasih sayang. Saya menganggap lebih dari sahabat. Kuberlakukan dia sebagai adikku, sebagai saudaraku, sebagai temanku. Saya tak pernah menciptakan situasi agar dia menjadi pacarku."
"Mami melihatnya begitu." sela nyonya Ivana.
Dewa diam sesaat. Nyonya Ivana menarik tangannya. Menyeka wajah dan mata dengan selembar tisu. Matanya berkaca-kaca.
"Mami tidak perlu kawatir. Saya tidak akan memaksanya mencintai saya bila itu yang Mami maksudkan. Saya pahami kekuatiran Mami, bila keberatan atas hubungan kami. Saya akan membatasi, dan akan tetap menjaga sebagaimana seorang sahabat."
"No... no... no!" Nyonya Ivana menyela cepat, "Bukan itu maksud Mami. Mami hanya ingin memastikan, hubungan kalian lebih dari itu. Mami tahu anak Mami mencintaimu. Mami bahagia melihat ada perubahan saat berkumpul kembali denganmu. Mami hanya ingin kepastian bahwa Dewa lebih dari sekedar mencintai. Anak Mami sudah dewasa. Mami tak bisa menghalangi apa yang menjadi keputusannya."
Dewa mengangguk-angguk perlahan untuk meyakinkannya kembali.
"Dewa mencintai Lorna, anak Mami lebih dari apa yang Mami pikirkan." Dewa menjelaskan.
Nyonya Ivana menyeka matanya yang kemudian basah. Suasana hatinya disiram kebahagiaan. Seakan baru terbebas dari beban. Karena tak ingin anaknya mengambil keputusan yang salah. Sehingga tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Setidaknya keberadaan Lorna di Indonesia merasa tidak sendiri. Dia percaya Dewa akan selalu menjaganya. Dia mengenal Dewa. Sikapnya tak pernah berubah. Bersahaja dan sopan.
"Kalian sudah dewasa. Kamu akan menceritakan apa yang kita bicarakan ini kepadanya?" tanya nyonya Ivana kemudian.
Dewa menggeleng perlahan.
"Tidak untuk sekarang, Mam."
Nyonya Ivana tersenyum.
"Thank's you, Dewa. Jagalah dan cintailah anakku."
"Ya, Mam."
Nyonya Ivana lalu mengeluarkan sebuah kotak kardus berlapis kertas metalik dari dalam tas di pangkuannya, lalu memberikannya kepada Dewa.
"Simpanlah. Kamu bisa berikan ke Lorna kelak. Tapi jangan sekarang. Semula Mami pikir akan memberikannya sendiri. Tapi lebih baik kamu saja yang memberikan. Sebab ini ada terkait tentang hubungan kalian."
"Apa ini, Mam?"
"Milik Lorna. Semalam kutemukan saat berbenah lemari."
Dewa menerima kotak itu. Nyonya Ivana tak menjelaskan isinya secara detail selain bahwa benda itu mengkaitkan hubungannya dengan Lorna. Benda itu segera dimasukkan ke dalam tasnya. Meninggalkan pertanyaan yang mengisi benaknya tentang isi kardus itu.