36. Lambaian Perpisahan.

Saat Lorna masih berada di rumah Dewa, Grace dan Rahma sudah berada kembali di rumah Lorna. Semalam keduanya menginap dan tidur bertiga di kamar Lorna. Setelah breakfast bersama Papi dan Mami Lorna, Garce dan Rahma pulang sebentar untuk mempersiapkan diri mengantar Lorna ke bandara Juanda Surabaya.
Lorna mengantarkan Rahma dan Grace ke mobilnya saat hari masih pagi sekali sebelum dirinya berangkat ke rumah Dewa.
"Kita pulang dulu, ya Sayang!" kata Grace seraya saling memadukan pipi dengan Lorna, demikian pula dengan Grace.
"Nanti kutelepon kalau kita sudah berada di sini lagi," kata Rahma saat sudah di belakang kemudi bersiap meninggalkan rumah Lorna.
"Tadinya ingin berangkat bareng ke rumah Dewa. Tapi aku lagi bikin makanan buat Dewa," kata Lorna menimpali.
"Dewa pasti senang kamu perhatikan seperti itu," kata Rahma.
Lorna tersenyum.
"Bye, Na!"
"Bye Grace! Bye Rahma!"
Kepergian Lorna disamping bermaksud menjemput Dewa juga keinginannya ikut pergi ke makam Ibundanya. Dalam kebiasaan masyarakat Jawa. Pasaran Jum'at legi, merupakan hari baik untuk membersihkan dan menaburkan bunga ke makam kerabat.
Lorna masih berada dalam mobil setibanya dari mengunjungi makam Ibu Dewa dan almarhum isteri Dewa, Nirmala. Kini sedang menerima telepon Rahma.
"Aku baru pulang dari makam. Masih di rumah Dewa. Sebentar lagi sudah di rumah."
"Ya, sudah. Buatlah santai, kan masih lama!" kata Rahma.
Dewa hanya membuka pintu mobil buat Lorna. Tak ingin mengganggu kesibukan Lorna bertelepon. Banyak telepon yang diterimanya, antara lain berhubungan dengan urusan pekerjaannya di Jakarta.
Gino memindahkan tas yang akan dibawa Dewa pergi dari lantai atas untuk dimasukkan ke bagasi mobil Lorna. Sementara Dewa tengah berbincang dengan Damayanti di tempat duduk yang ada di teras. Sedangkan Lorna bertelepon seraya memperhatikan Dewa berbincang dengan Dama. Melihat keakraban keduanya, terbersit perasaan cemburu, tetapi perasaan itu berusaha ditepiskan, dan menilai sikap Dewa tak lebih sikap seorang kakak kepada adiknya. Perasaan itu muncul akibat perasaan cintanya kepada lelaki itu yang semakin mendalam. Apalagi kini dirinya sedang dilanda badai asmara tak terkatakan.
Setelah Lorna selesai bertelepon lalu menghampirinya. Dama sudah terlebih dulu masuk ke dalam saat Lorna keluar dari dalam mobilnya. Dama nampaknya masih enggan berbincang dengan gadis blasteran itu. Untunglah Mas Dewa sudah selesai mengajaknya berbicara. Baginya lebih baik ke dalam untuk berbenah rumah. Baginya tak ada topik menarik berbicara dengan gadis blasteran itu. Semestinya ikut senang mas Dewa akrab dengan gadis cantik. Tapi ada perasaan aneh yang memaksanya harus menghindari gadis itu dari hadapan pandangannya.
Dewa mengajak Lorna ke lantai atas untuk membersihkan diri karena habis dari makam.
"Teman-teman sudah berada ke rumah," Lorna menyampaikan.
"Maksudmu, Rahma dan Grace?"
"Bukan. Ndari, Dini, Joy dan lainnya."
Dewa melihat roman wajah Lorna tak seperti biasa. Kehadiran temannya biasanya membuat ceria, tapi kali ini tidak. Ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya sejak dari makam.
"Lorna, ganti pakaian dulu, ya?"
Dewa menahannya pergelangan tangannya dengan lembut saat Lorna bermaksud masuk ke dalam kamar.
"Apa yang mengganggu pikiranmu?" Dewa bertanya lembut.
Lorna menggeleng lemah. Berusaha menyembunyikan kegundahannya dengan tersenyum. Tetapi perasaan Dewa tak bisa dibohongi. Dia tahu Lorna berusaha menutupi perasaannya.
"Lorna baik-baik, Dewa!""
Dewa memegang dagunya yang bulat. Lalu menatapnya lama dan lembut.
"Aku berada di bawah kalau Lorna mencariku."
Lorna mengatupkan pelupuk mata sesaat, memberikan bibirnya untuk dikecup. Dewa mengecup sejenak. Lunak. Gadis ini selalu ingin dimanja seperti dulu, ingin diperhatikan seperti dulu, ingin disayang seperti dulu. Dewa tak pernah berhenti memanja, tak pernah berhenti memperhatikan, tak pernah berhenti menyayanginya.
Apakah itu ciri-ciri dari anak tunggal? Dewa lantas mengaca dirinya sendiri sebagai anak yang juga dilahirkan tunggal tanpa bersaudara. Jadi tahu bagaimana memperlakukan anak tunggal. Apalagi gadis seperti Lorna cukup mendapatkan perhatian dari lingkungan dan keluarganya. Serta hidup tak pernah kekurangan. Tak harus berjuang keras untuk mendapatkan semua keinginannya.
"Bergantilah pakaian dalam kamar!"
Lorna mengangguk lalu masuk ke kamar Dewa untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Dia sudah menyiapkan pakaian pengganti dari rumah.
Sambil menunggu Lorna selesai berbenah. Dewa ke lantai bawah menemui Gino. Kemudian berbincang di teras belakang. Gino menyimak saat Dewa memberi pengarahan hal-hal yang dikerjakannya selama dirinya berada di Bali.
"Aku di Bali ada urusan, bukan liburan."
"Nggih mboten menopo-menopo, Mas!"
"Yang penting, semua urusan di Griyo Tawang berjalan seperti biasa. Kalau mbakyu Ningrum minta tambah tenaga untuk nglorot. Utamakan mengambil tenaga dari warga sekitar. Jangan lupa, sampaikan ke pak Parman untuk membuatkan tambahan lima kanvas lagi."
"Baik. Nanti kusampaikan."
"Tolong dibuatkan minum teh hangat lagi untuk gadis cantik itu. Saya mau mandi lagi."
"Ya, Mas. Sekalian saya mau buatkan untuk Mbak Dama dan teman-temannya."
"Sekalian dibuatkan mereka pisang goreng. Pisang tanduk yang di-imbon kemarin rasanya enak."
"Di pagar belakang ada satu lagi sudah cukup tua, tapi saya tak bisa memanen karena di sela-sela sisir buah pisang masih ada sarang burung emprit kaji yang baru menetas."
"Sebaiknya jangan dipanen. Biarkan saja anak burung itu sampai dewasa. Lebih baik korbankan pisang itu sampai tua dan matang."
"Nggih, Mas. saya tak akan mengganggunya."
Setelah itu Gino menyeduh teh hangat lagi buat Nonik Lorna. Dan diletakkan di meja teras lantai atas. Kemudian melanjutkan menggoreng pisang dan membuatkan minuman buat Mbak Dama dan dua temannya. Dama biasanya membuat sendiri.
Sementara Dewa mandi dan mengganti pakaiannya di kamar mandi yang lainnya. Damayanti bersama temannya kembali berada dalam kamar. Mereka masih enggan keluar. Tak mau mengganggu keleluasaan gadis blasteran berada di rumah itu, meski gadis blasteran itu lebih banyak berada di lantai atas.
Rumah itu sesungguhnya luas. Banyak kamar. Apalagi kamar tengah yang seperti aula. Dindingnya dipenuhi lukisan. Ada beberapa kelompok kursi yang satu dengan lainnya dibatasi gebyok berukir yang lebar.
Lorna sudah berada di teras. Belum lama keluar dari kamar Dewa. Dan sudah berganti pakaian. Kini sedang menikmati teh yang dibuat Gino. Sambil menunggu Dewa, diambilnya koran yang tadi di baca Dewa. Membolak-balikkan halaman. Mencari lembar kronik budaya.
Kemudian menemukan bacaan yang dicari. Artikel yang mengulas pameran lukisan Dewa di Surabaya kemarin. Foto Dewa termuat di dalamnya. Dari tulisan itu. Lorna dapat gambaran sosok Dewa. Juga ternyata Dewa memiliki tempat untuk kegiatan berkeseniannya yang disebut Griyo Tawang. Di tempat itu ada usaha kerajinan batik, ukiran dan kegiatan seni lain, serta unit usaha lain.
Di tengah keasyikan membaca. Tanpa disadarinya, Dewa telah berdiri di belakangnya. Tangan Dewa menumpu punggung sofa tempat Lorna duduk. Memperhatikan Lorna serius membaca artikel mengenai dirinya. Sepertinya Lorna membaca artikel itu berulangkali, karena apa yang dilihatnya tak pindah dari lembaran itu. Tulisan di dalamnya menarik perhatiannya.
Waktu tak bisa diulur, sebab keduanya harus pergi. Dewa lalu merangkulnya dari belakang. Lorna terkejut, tapi cepat sadar yang melakukan itu pasti Dewa. Tak ada yang berani bertindak seperti itu terhadap dirinya kecuali lelaki yang dicintainya.
Lantas Lorna melendot manja. Membiarkan ujung hidung Dewa dibenamkan ke pipinya yang lembut. Lorna menyukai itu. Lorna senang lubang hidung Dewa menghirup pipinya. Menghirup keharumannya. Membuat Lorna merasa dimiliki. Merasa dicintai. Merasa diperhatikan. Merasa banyak perasaan yang membuat hatinya berbunga-bunga, walau hal itu berlangsung sesaat. Tapi ada sesuatu yang membuatnya terganggu. Dirinya semakin tahu situasi yang dihadapi Dewa.
"Kita harus pulang ke rumahmu sekarang," bisik Dewa.
Lorna tak membalas. Hanya tangannya balas mengelus pipi Dewa.
Dalam perjalanan kembali ke rumah Lorna. Dewa melihatnya lebih banyak berdiam diri. Dewa menghidupkan radio. Mencari gelombang. Mencari lagu-lagu untuk memecah kebisuan. Saat menemukan gelombang siaran yang berisi lagu-lagu, segera dimatikan kembali, sebab Lorna nampak tak berminat mendengarkan.
Lorna tak suka radio yang berisi orang bicara. Lorna tak suka mendengar orang lain bicara diluar keinginannya.
Dewa mengulurkan punggung tangan agar bisa menyentuh pipinya. Lorna bereaksi dengan menempelkan pipinya ke punggung tangan itu, namun pandangan matanya masih lurus ke kejauhan.
"Apa yang mengganggu pikiranmu, Lorna?" Dewa bertanya halus.
Lorna masih memandang kekejauhan. Menggeleng lemah.
"Lorna, baik-baik, Dewa," jawabnya tak kalah halus.
"Katakanlah kalau ada yang ingin dibicarakan."
Lorna menggesekkan pipinya ke punggung tangan Dewa yang masih di sana.
"Bicarakanlah kalau ada yang membuatmu risau."
Lorna tak menjawab.
"Apakah ada sikapku yang membuatmu terganggu?"
Lorna menggeleng perlahan.
"Tidak ada, Dewa. Lorna baik-baik," jawabnya dengan suara perlahan.
Dewa tak ingin mendesaknya lebih jauh. Tetapi merasakan ada yang disembunyikan. Yang menimbulkan pertanyaan di pikirannya.
Barangkali Lorna merasakan kesedihan sejak dari makam. Karena saat di makam, dilihatnya menangis. Tentu banyak hal membuatnya begitu. Atau lantaran bacaan di surat kabar tentang dirinya? Tetapi tak ada yang salah dengan artikel itu.
Dewa merasa bersalah karena memperbolehkannya ikut pergi ke makam. Tak seharusnya dia mengajaknya mengunjungi makam Nirmala. Pasti itu akan menyakiti hatinya. Barangkali hal itu yang menyebabkan kediamannya. Dewa berusaha menepiskan pikiran itu. Berharap Lorna tak bersikap seperti ini bila berjumpa kawan-kawan.
Akhirnya Dewa pun berdiam diri. Keduanya ditelan kebisuan. Hanya desis suara angin yang keluar dari lubang pendingin mobil yang terdengar. Stelannya terlalu tinggi membuat udara dalam mobil mengalahkan hawa dingin di luar.
Sesampai di halaman rumah Lorna. Dewa tak segera beranjak dari duduknya. Akibatnya Lorna juga tak beranjak keluar dari dalam mobil.
Dewa bertanya kembali.
"Apa yang mengganggu pikiranmu, Lorna?" Dewa bertanya dengan suara yang masih lunak.
Lorna menggeleng seraya membalas tatapan Dewa dengan pandangan sayu.
"Kenapa Dewa berpikir begitu?"
"Hanya bertanya kenapa Lorna berdiam diri."
"Kenapa dengan kediamanku?"
Dewa mengangkat bahu.
"Aku tak tahu, untuk itu aku bertanya padamu. Baiklah kita bahas nanti. Aku tidak ingin mengecewakan kawanmu. Sebaiknya kita hadapi mereka dengan perasaan senang," katanya kemudian.
"Maafkan sikapku kalau membuat Dewa merasa tak nyaman."
Dewa memandang sejenak.
"Aku hanya ingin melihatmu bahagia, tidak murung seperti ini."
"I am sorry!"
Dewa tersenyum.
"I am sorry, Dewa!"
"Sudahlah..."
Kedatangan mobil Lorna di halaman memancing perhatian teman-temannya yang sudah berada di rumahnya. Pandangan mereka tercurah kepada Dewa dan Lorna yang masih belum nampak keluar dari dalam mobil. Kaca mobil yang gelap, menghalangi pandangan mereka menembus ke dalamnya. Namun tidak berapa lama, Dewa terlihat keluar membukakan pintu mobil untuk Lorna.
Lorna memandangnya sekilas dengan mata berkaca-kaca sebelum bangkit dari tempat duduknya. Dewa balas menatap teduh. Mencoba memberinya senyum. Sikap Dewa semakin membuat Lorna ingin menangis. Lelaki yang di hadapannya sungguh baik sekali.
Ketika Lorna sudah keluar dan Dewa menutup kembali pintu mobil. Keduanya berdiri dan saling memandang kembali.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Dewa lunak seraya memandangnya teduh.
Lorna mengangguk, dan menyambut pelukan Dewa.
"Aku tidak ingin hatimu risau."
Lorna mengangguk.
"I am sorry, Dewa!"
Semua temannya menyaksikan apa yang Dewa dan Lorna lakukan. Dan itu cukup menjelaskan arti hubungan keduanya. Tak pernah sebelumnya melihat keduanya berpelukan seperti itu.
"Aku mencintaimu, Lorna." bisik Dewa di telinganya.
"Maafkanlah sikapku, Dewa!"
"Sudahlah..."
Ucapan Dewa membuat butiran airmata Lorna bergulir jatuh di atas bahu Dewa. Dewa lekas menyeka air matanya, tetapi bola matanya kembali basah saat teman-temannya menghambur kepadanya. Mereka mengira bola mata Lorna basah lantaran keharuan akan pertemuan itu, dan bukan akibat perasaan yang terganggu oleh sikap Dewa.
"Hai, Dewa! Apa kabar?" tanya Ndari yang masih dipelukan Lorna.
Dewa berdiri di belakang Lorna.
Dewa tersenyum datar. Ndari berusaha bersikap wajar setelah apa yang terjadi dengan insiden di sekolah kemarin. Dia masih merasa bersalah, meski melihat hubungan Lorna dengan Dewa sudah tidak ada masalah.
Dewa menyalami mereka satu persatu. Ada Joy. Nababan. Dini dan yang lain. Yang perempuan kebanyakan adalah teman sekelas Lorna. Sementara yang lelaki dari kelas Dewa.
"Apa ada reuni di sini?" tanyanya.
Semua tertawa. Semua senang melihat Dewa. Sebagian teman perempuan Lorna baru kali ini melihat Dewa lagi.
"Kamu yang tak ikut reuni!" kata Dini.
"Apa kabar, Din?"
"Baik!"
"Kemana saja kamu selama ini, De?"
"Ada di rumah."
"Kamu sombong tak pernah mengajakku ke rumahmu."
"Bagaimana mengajakmu kalau kita tak pernah bertemu."
"Kamu tak punya facebook?"
Dewa tertawa datar.
"Rupanya media jejaring itu jadi tempat kalian kongkow."
Semua tertawa."
"Ya lah biar nggak kuper!" kata Grace.
"Aku memilih yang itu."
"Apa itu?"
"Kuper!"
"Ah, dasar Dewa mahluk soliter!"
Semua tertawa.
"Jadi bagaimana. Apa kita ikut mengantar ke bandara?" tanya Joy.
"Nggak usah!" sela Dewa.
Lorna masuk ke dalam berkumpul dengan yang ada di dalam rumah. Sementara Dewa memilih berada di teras bersama Joy, Nababan dan Ismet.
"Berapa lama di Bali?" tanya Nababan.
"Belum tahu."
"Aku nyesal nggak kemarin-kemarin kemari? Kupikir akan mengganggunya, karena dia masih dalam pemulihan kesehatan," kata Joy.
Ndari keluar dari dalam ikut bergabung. Menyalami Dewa.
"Selamat ya De!" katanya seraya mencoba tersenyum. Berusaha bersikap ramah.
"Selamat apa, Ndar?"
"Selamat berkumpul kembali!" jawab Ndari.
"Maksudmu?"
"Ya berkumpul Lorna!"
Dewa tersenyum datar.
"Semua kan berkumpul dengannya."
Ndari mencubit lengan Dewa.
"Tapi yang ini lain. Maafkanlah aku soal kemarin ya De?" tanya Ndari mengungkit saat kunjungannya ke rumah Dewa. Saat itu sikap Dewa terlihat kesal.
Dewa menatapnya.
"Lupakanlah!"
Tiba-tiba Rahma ikut bergabung.
"Joy bersiaplah! Kita semua ikut ke bandara. Lorna tak keberatan diantar. Jadi ada empat mobil!" kata Rahma mengatur.
Tas Dewa masih berada dalam bagasi mobil Lorna. Tetapi dia ikut dalam mobil Joy. Grace, Rahma dan Lorna berada di mobil Rahma. Mobil Lorna hanya ada Papi dan Maminya. Mobil Grace mengangkut teman perempuan lainnya. Sementara yang lelaki jadi satu di mobil Joy.
Tak lama kemudian iring-iringan kendaraan mereka sudah meluncur ke arah utara. Meninggalkan kota Malang. Mentari sudah melewati kulminasi dan udara terik berangsur mereda. Mereka sudah makan siang di rumah Lorna. Tetapi Dewa tak bernafsu makan, meski Lorna sempat memaksanya menemani makan.
"Kamu seharusnya ikut mobil Rahma!" kata Joy.
Dewa tak menimpali ucapan Joy. Dia duduk di depan di sebelah Joy yang mengemudi. Ucapan Joy menyambung dengan ucapan Rahma, yang pada saat yang sama mengutarakan hal serupa di mobilnya.
"Seharusnya Dewa ikut kita di sini!"
Lorna tak menimpali apa yang diutarakan Rahma. Pandangannya tak bergeming melihat ke luar jendela mobil. Grace melirik Lorna. Tidak ada Dewa di dalam kendaraan mereka seperti mempengaruhi sikap Lorna yang nampak lebih banyak berdiam diri.
"Perjalanan ini masih sejam lebih. Apa sebaiknya Dewa pindah kemari?" tanya Grace di belakang kemudi.
Lorna tetap tak bergeming. Tak mengindahkan mereka. Pikirannya sibuk menerawang. Rahma dan Grace berasumsi Lorna menginginkan Dewa berada di mobil mereka. Tapi asumsi mereka termyata keliru. Sebab Lorna terlihat heran ketika mobil berhenti di tepi jalan mengikuti mobil Joy yang berhenti di depannya.
Lorna melihat Joy keluar mobil dan menghampirinya.
Grace membuka jendela pintu dan bertanya.
"Mana Dewa?"
"Tidur!" jawab Joy.
Lorna memandangi mereka.
"Bagaimana, Na?" tanya Rahma.
"Maksudmu?" Lorna bertanya.
"Dia tidur!"
"Siapa?" tanya Lorna keheranan.
"Dewa!"
"Lalu?"
"Kusuruh pindah kemari."
"Kenapa?"
Maka perjalanan dilanjutkan kembali. Grace dan Rahma salah menangkap diamnya Lorna. Keduanya tak berbicara, apalagi Lorna kemudian memejamkan mata. Tidak ingin mengusiknya lagi. Selama perjalanan Lorna tertidur sebagaimana keadaan Dewa di mobil Joy, hingga sampai di depan pintu pemberangkatan domestik bandara.
Rahma membangunkan dengan menggoyang bahunya.
"Sudah sampai!"
Lorna membuka kelopak matanya perlahan.
"Bangun!"
Lorna memulihkan kesadarannya sejenak.
Dilihatnya kawan-kawan berdiri mengelilingi orangtuanya. Mobil Rahma dibawa ke tempat parkir diantar Grace. Di sepanjang sisi koridor, kendaraan hanya boleh berhenti untuk menurun dan menaikkan penumpang.
Dewa dan Joy sibuk menaikkan koper dan tas ke atas troli.
Lorna turun dari kendaraan. Menghampiri mereka yang berkumpul. Rahma ikut Grace ke tempat parkir.
"Terima kasih banget mau mengantarkan Lorna."
"Kapan kita kumpul lagi, Na?" tanya Ndari
"Iya, Na. Reuni kemarin kayaknya nggak lengkap nggak ada kamu," kata Dini.
"Kan aku ada juga di Cangar!" jawab Lorna.
"Iya, tapi kan sehari itu. Mana lagi nggak ada Dewa," kata Ismet.
Menyebut nama Dewa, maka mata Lorna mengedar mencari Dewa. Sebelumnya sempat melihatnya, tapi kini kehilangan. Hanya melihat troli yang berisi tas mereka berada di samping Daddy dan Mommy yang kini sedang duduk pada bangku yang tersedia di koridor.
Tapi dia melihat Rolan dan Timi berbincang dengan Daddy-nya. Lalu kemana Dewa dan Joy?
Kemunculan Nababan di hadapannya membuatnya segera bertanya.
"Kemana Joy dan Dewa?"
"Toilet!"
Tak lama kemudian menyusul Rahma dan Grace yang baru selesai memarkir mobil. Lorna tak memberitahu kehadiran Ronal dan Timi yang kini bersama Daddy dan Mommy nya. Rahma dan Grace sudah tahu. Selain keduanya, kawan yang lain juga bertanya dari mana Ronal dan Timi tahu bahwa mereka mengantar Lorna ke bandara?
Lorna sebal dengan situasi itu. Apalagi saat Ronal dan Timi mulai ikut bergabung.
"Halo!" sapanya.
"Sudah lama, Ron?" tanya Lorna basa-basi.
"Sudah dari jam sebelas. Kita berdua menunggu di cafe di sana." jawabnya seraya menunjuk sebuah kedai minum yang bisa dilihat dari tempat mereka berdiri. Karenanya tahu kedatangan Lorna dan rombongan. Dari tempat itu leluasa mengawasi setiap mobil yang datang.
Lorna melihat ke arah lain. Berharap Dewa muncul.
"Kamu Balinya di mana?" tanya Ronal.
Pertanyaan Ronal membuatnya sebal. Tentu tidak akan memberitahukannya.
"Sebentar ya aku ke Mommy ku dulu!" kata Lorna, kemudian beranjak ke tempat Maminya berada.
"Bagaimana, Mom. Kita masuk saja ke dalam?"
"Terserah! Temanmu bagaimana? Mana Dewa?"
"Dewa masih di toilet. Lorna pamitan dulu ke teman-teman."
Lorna kembali bergabung untuk berpamitan. Satu persatu saling menyalami. Rahma dan Grace memeluknya lama. Kedua mata Rahma dan Grace berkaca-kaca. Keduanya sedih melepas kepergiannya.
Lorna memegang kedua pipi Rahma dan Grace. Menatap juga dengan mata basah berkaca-kaca.
"Terima kasih, ya. Kutelepon kalian nanti. Oke?"
Rahma dan Grace mengangguk.
"Jangan lama-lama. Jangan lupakan kita!"
"Hai! Setelah ini kita terus tetap berhubungan..." kata Lorna meyakinkan.
Ronal menyalami Lorna. Memegang telapak tangan Lorna lama. Menahannya agar tak terlepas. Saat itu Dewa baru muncul dan berdiri dekat orangtuanya. Melihat Lorna tengah bersalaman lama dengan Ronal. Lorna berusaha melepas tangan Ronal saat melihat kehadiran Dewa.
Dewa mengalihkan pandangan ke arah lain. Berpura tak melihatnya. Tapi Lorna tahu Dewa sempat memperhatikannya.
Kedua orangtua Lorna bangkit dari duduk saat Lorna menghampiri. Di belakang kawan-kawannya mengikuti. Dewa berdiri agak jauh di belakang troli. Merasakan wajah Ronal yang tak bersahabat kepadanya.
Ronal merasa terganggu dengan keakraban Dewa dan Lorna. Apalagi keduanya pergi bersama ke Bali. Dirinya paling merasa sebagai lelaki yang berharap mendapatkan simpati Lorna sejak dulu. Yang dia pahami keakraban Dewa dan Lorna sebatas persahabatan. Sebaliknya tidak mengharapkan hubungan Dewa dan Lorna lebih dari itu.
"Sudah siap, sayang?" tanya Maminya.
"Siap, Mom!"
Lorna melihat dan tersenyum pada kawan-kawannya.
"Daa semua! Thanks banget!"
Lorna melambaikan tangan.
Dewa memberi salam dengan mengangkat tangan seraya mendorong troli.
"Yuk, Joy!" kata Dewa datar.
Kemudian menyapa ke Nababan dan Ismet dan yang lainnya.
"Dewa!"
Dewa berpaling.
"Titip Lorna!" teriak teman-temannya.
Mereka melepas sampai pintu masuk seraya melambai-lambaikan tangan, hingga Dewa dan Lorna lenyap dari pandangan.