35. Pusara di Lereng Bukit.

Gino sudah menyiapkan bunga untuk kebutuhan nyekar ke makam sejak kemarin. Bunga untuk nyekar terdiri dari; bunga kenanga, bunga mawar, dan beberapa jenis bunga lain yang dicampur dalam sebuah lodong berisi air. Bunga memang diperlukan untuk berbagai kebutuhan. Antara lain sebagai ungkapan bahasa cinta, disaat pemakaman, serta saat berjiarah. Bunga melambangkan kasih sayang dan kebahagiaan. Menabur bunga ibarat menunjukkan kasih sayang dan berbagi kebahagiaan.
Bunga pun memiliki maksud dengan aromanya. Kebanyakan bunga beraroma harum, seperti bunga melati, bunga arumdalu, bunga sedap malam, atau bunga wijaya kusuma. Ada bunga yang memiliki aroma tak sedap. Tetapi untuk kebutuhan prosesi keagamaan maupun pemakaman selalu digunakan bunga beraroma harum. Khususnya pada prosesi pemakaman untuk memanipulasi perasaan tak nyaman terhadap aroma jenasah.
Malam Jum’at legi merupakan hari pasaran bagi orang Jawa berkunjung ke makam. Untuk membersihkan dan memberi bunga sambil membacakan doa untuk arwah.
Dewa tak pernah melupakan itu. Bila tidak sempat pergi ke makam, biasanya Gino yang menggantikannya. Gino yang selalu merawat makam keluarga.
Saat mentari mulai beranjak. Serta embun di dedaunan mulai luruh ke atas tanah. Lorna sudah tiba di depan rumah Dewa.
Gino segera membukakan pintu pagar selebarnya.
“Selamat pagi, Mas Gino!” Lorna menyapa lembut dari balik jendela mobil.
“Selamat pagi, Nonik! Langsung diparkir di dalam saja, Non!” kata Gino memberi aba-aba.
Maka Lorna memasukkan mobilnya ke halaman. Gino menutup kembali pintu pagar setelah mobil masuk.
Sesaat kemudian Lorna sudah berada di luar mobilnya.
“Ini lauk untuk makan kalian. Kan ada si mbak itu dan teman-temannya.” lanjut Lorna seraya menyerahkan satu tumpukan rantang berisi lauk pauk kepada Gino.
“Wah, terima kasih, Non!”
“Sudah bangun?” Lorna bertanya.
Gino paham akan pertanyaan yang dimaksudkan gadis blasteran itu, pasti Mas Dewa.
“Bangunnya selalu pagi, Non. Berolahraga dulu kemudian mandi.”
“Olahraga apa?”
“Karate!”
“Karate?”
“Ya, yang bela diri itu lho, Non!”
Lorna mengangguk-angguk.
“Nonik, langsung saja ke atas. Lebih dekat lewat pintu belakang saja. Langsung ke teras atas. Biasanya Mas Dewa sedang minum-minum sambil membaca.”
Lorna lantas ke lantai atas melalui tangga pintu belakang seperti anjuran Gino. Seraya membawa tape ware berisi makanan untuk sarapan Dewa. Dia sendiri yang membuat makanan itu.
Saat menaiki anak tangga, dilihatnya Baba sedang mengejar kupu-kupu kuning di kebun.
Sesampai di teras atas. Dilihatnya Dewa sedang meletakan cangkir setelah meminum isinya. Perhatiannya masih terpaut pada lembaran koran di tangannya, tapi ekor matanya menangkap kehadiran Lorna.
“Selamat pagi, Dewa!” sapa Lorna lembut.
“Hai, pagi!”
Lorna mencium punggung tangan Dewa. Tapi Dewa segera merengkuhnya dan memeluknya hangat. Mengecup bibirnya sesaat. Memandanginya lama. Seakan ingin meyakinkan kembali wajah yang sudah lama tak dilihatnya.
“Lorna tidak mimpi kan, De?” Lorna bertanya manja.
“Anggaplah saja kenyataan ini mimpi. Biar tak kecewa saat terjaga dihadapkan pada kenyataan tak seperti yang diharapkan,” jawab Dewa lembut.
“Ah, jangan begitu, De!”
Lorna balas memeluknya erat.
“Aku menyayangimu,” bisik Dewa lembut di telinganya.
“Aku tahu, De! Aku tahu!” balas Lorna.
Dewa membelai wajahnya.
“De!” panggil Lorna. Suaranya lunak.
Dewa menatapnya lembut. Menempelkan dahi ke dahi Lorna. Kedua mata mereka saling menghujam.
“Ciumlah Lorna...” pinta Lorna manja tanpa malu-malu sebab Dewa sudah pernah menciumnya.
Maka Dewa mencium bibir lunak Lorna. Bibir itu terasa bergetar saat bibir Dewa menyentuhnya. Dewa memilin bibir itu. Hanya sesaat. Kemudian Lorna menarik bibirnya dari pilinan bibir Dewa.
“Terima kasih, De!”
Kehangatan sinar mentari menembus sela-sela dedaunan. Kehangatannya menimpa wajah mereka berdua.
“Sarapan dulu ya?”
Lorna membuka tape ware berisi panekuk buat sarapan Dewa.
Lorna juga sudah menyiapkan sendoknya. Panekuk dari dalam tape ware lantas dipotong kecil lalu mulai disuapkan ke mulut Dewa.
Dewa menikmati suapan Lorna.
“Persiapan Mami dan Papi sudah sejauh mana?” tanya Dewa.
Lorna tak menjawab pertanyaan Dewa. Pikirannya masih terkait dengan perasaan yang baru dirasakan saat dicium Dewa. Bibirnya dibiarkan basah bekas lumatan Dewa.
Lorna hanya mengangkat alis. Rambut alisnya berwarna coklat. Kulit wajahnya halus tanpa sentuhan make up. Bersih. Bulu matanya tebal dan panjang. Juga berwarna coklat pekat.
Lorna menyuapkan lagi makanan ke mulut Dewa. Lalu mengambilkan minuman di meja.
“Bagaimana tiketnya?” tanya Dewa.
“Sudah dikonfirmasi. Agensi akan mengantar pagi ini.”
Lorna mendekatkan bibir cangkir ke bibir Dewa. Dewa meneguknya sesaat.
“Bisa tidur nyenyak semalam?” tanya Dewa.
Lorna mengangguk.
“Kita tidur bertiga. Membicarakanmu. Membicarakan suaramu yang bagus.”
Dewa mengakhiri sarapannya.
“Lalu?”
“Lagumu semalam yang membuat tidurku nyenyak,” jawab Lorna pendek.
“Kemarilah!”
Dewa menarik tubuh Lorna ke pelukannya. Lorna balas memeluk. Alangkah indahnya pagi ini. Alangkah indahnya hari-hari belakangan bersama Dewa. Sejak bersama kembali, perasaannya menjadi lapang. Beban berat yang selama ini dipikulnya terasa lenyap.
“Bagaimana kalau ke makam sekarang? Semua sudah disiapkan Gino. Biar ada waktu untuk yang lainnya.”
Sementara itu Dama dan kedua temannya tidak keluar dari dalam kamar. Mereka sibuk melihat dari balik kaca jendela kamar. Mengawasi gadis blasteran yang nampak demikian dekat dengan Dewa.
Dama tahu mereka hendak pergi ke makam. Semula dirinya berniat ikut mengunjungi makam kakaknya Nirmala serta Ibunda Dewa. Tetapi niatnya diurungkan karena tahu Mas Dewa akan pergi bersama gadis blasteran bermata biru itu. Dama tidak ingin mengganggu mereka berdua.
"Kemana mereka?" tanya temannya.
"Makam!" jawab Dama.
"Kamu tak ikut?"
"Nggak, nanti mengganggu mereka. Mas Dewa buru-buru. Siang ini akan berangkat ke Bali."
"Bersama gadis itu?"
"Nggak tahu!"
Saat ini Lorna sedang membuka pintu mobil. Sementara Dewa membuka bagasi mengawasi Gino meletakan peralatan untuk membersihkan rumput di makam ke dalamnya.
“Bunganya dipegang saja, Mas.” kata Dewa sambil membukakan pintu buat Gino yang dengan hati-hati membawa lodong berisi bunga yang direndam dalam air.
Gino duduk di belakang. Baru kali ini duduk dalam mobil bagus. Kursinya empuk dan lembut. Ada pendingin udara. Ada musiknya. Udara dalam mobil harum baunya. Terutama aroma parfum Lorna menyeruak ke lubang hidungnya. Harum dan segar.
Gino duduk memangku lodong berisi bunga agar air tak tumpah. Tapi mobil itu berjalan tanpa guncangan. Menurutnya Mas Dewa beruntung memiliki pendamping yang cantik. Matanya itu membuatnya tertarik. Warnanya tidak seperti kebanyakan mata perempuan yang selama ini dilihatnya. Mata gadis itu berwarna biru. Baru kali ini melihat gadis bermata biru secara langsung. Biasanya dia hanya melihatnya di film yang diputar di televisi.
Dari kaca spion Dewa melihat Gino.
“Sudah sarapan?” tanya Dewa.
Gino tertawa.
Sampun, Mas! Mencicipi masakan, Nonik.”
“O, ya?”
“Nonik membawakan lauk pauk dan makanan lain!” jawabnya.
Dewa memandang Lorna sekilas. Lorna tersenyum. Bibirnya merah muda. Tanpa pelapis bibir. Warnanya asli. Bibir yang belum lama diciumnya kembali.
Lorna enggan menggunakan make up. Lorna tahu Dewa tak menyukai wajah ber-make up. Itu dikatakan saat pertama berkenalan. Menurutnya tak alami. Tak masalah kalau hanya sekedar bedak dan pelembab untuk pelindung kulit.
"Sekedar buat sarapan..." Lorna menjelaskan.
"Terimakasih..."
"Jauhkah tempatnya?"
“Sebentar lagi sampai!” Dewa menjelaskan.
“Saya sudah beritahu Pak Marto kalau Mas Dewa mau nyekar ke makam,” kata Gino.
“Apa perlu mobil dititipkan ke rumah pak Marto?” tanya Dewa.
“Nggak usah, Mas! Dekat pintu masuk makam saja. Dekat tegalannya Diran keponakannya. Katanya aman karena Diran ada di tempat itu. Dia sedang membuat kandang wedus di tegalannya.”
Mobil diparkir di tepi jalan, di depan tegalan Diran, ponakan Pak Marto, juru kunci makam. Lelaki itu muncul di pintu pagar begitu melihat mobil berhenti di depan tegalannya. Dewa keluar dari dalam mobil.
“O, Mas Dewa!” sapa Diran. Lalu menjabat sambil membungkuk.
Inggih, bagaimana kabar keluarga?” tanya Dewa.
“Baik-baik, Mas Dewa. Pangestunipun.” jawabnya.
Gino menyalami Diran. Keduanya akrab karena sering bertemu.
Dewa memperkenalkan Lorna.
“Saya Diran!” kata Diran.
“Saya Lorna!” Lorna menyebutkan namanya.
“Kalau mau ke makam. Pak Marto sudah di dalam.”
“Baiklah kalau begitu, Pak Diran. Saya ke dalam dulu ya? Mobil saya tidak mengganggu? “ tanya Dewa.
“Tidak, Mas! Biar saya jaga. Pak Marto tadi sudah memberitahu kalau Mas Dewa mau titip mobil di depan.”
Lorna menggenggam tangan Dewa saat menelusuri jalan sempit di tengah pemakaman yang rimbun.
Udara masih diselimuti kelembaban dan aroma bunga kamboja. Lorna mengenakan selendang tipis berwarna hitam untuk menutupi rambutnya. Selendang tipis itu dipersiapkan semalam ketika Dewa merencanakan kemari. Mommy yang membantu menyiapkan selendang itu.
Gino melangkah mendahului Dewa dan Lorna. Mencoba memandu arah menuju pusara.
Sisa embun masih menempel di batang rerumputan. Sepasang kupu-kupu kuning terbang melintas di depan mereka. Lorna masih menggenggam erat jemari tangan Dewa. Dewa memandangnya seakan mengatakan tak ada yang perlu ditakutkan. Memang suasana pekuburan bagi yang tak terbiasa tentu akan terbawa kepada situasi mistis. Apalagi aroma bunga kamboja sedemikian menyengat. Pekuburan yang mereka datangi tak sebagaimana pekuburan yang ada di perkotaan, yang terbuka, lapang, dan nyaris tanpa pepohonan.
Bunga kamboja yang luruh terserak di atas tanah. Batang pohon kamboja yang abu-abu nampak tumbuh rapat. Laiknya memayungi makam dari silaunya terik mentari.
Pak Marto sudah terlihat di balik pokok pohon kamboja. Di tempatnya berdiri, terdapat makam Bunda Dewa. Sesaat kemudian mereka telah bertemu.
“Selamat pagi, Pak Marto!”
“Selamat pagi, Mas Dewa!”
Keduanya bersalaman diikuti Lorna dan Gino.
“Agak siang sedikit mulai ramai orang nyekar.” kata pak Marto seraya menghabiskan isapan rokok kreteknya.
“Silahkan kalau mau memulai. Saya akan ke sana dulu. Tadi ada yang mencari makam keluarganya. Kalau perlu sesuatu, saya tak jauh-jauh dari sini,” lanjutnya.
“Baik Pak Marto, terima kasih,” jawab Dewa.
Gino sudah mulai membersihkan makam dari rumput yang tumbuh di sekitarnya. Lodong berisi bunga diletakkan di samping tanah makam.
Dewa jongkok di sisi makam. Diikuti Lorna. Mata Dewa terpejam memulai dengan doa. Lorna turut memejamkan mata. Saat selesai lalu membuka mata, Dewa melihat Lorna masih memejamkan mata. Dari sela kelopak matanya, air mata mengalir turun melintasi sudut bibir dan jatuh ke bawah dagu. Bibirnya gemetar berusaha menahan keharuan yang tiba-tiba melanda hatinya.
Dewa menaburkan bunga basah. Kemudian memegang tangan Lorna, menuntunnya ke dalam lodong untuk memungut bunga. Lorna mengambil segenggam bunga dengan mata masih terpejam. Bola matanya basah berkaca-kaca saat terbuka. Isak tangisnya mulai pecah saat menaburkan bunga di atas pusara Bunda Dewa. Wanita yang pernah akrab dan meninggalkan banyak kenangan. Kini membuatnya merasa bersalah tak mengetahui akhir hayatnya.
Suasana membisu. Di kejauhan desah suara aliran air sungai sayup-sayup terdengar.
Gino memandang Dewa. Dewa memahami tatapan Gino. Setelah ini mereka akan meneruskan ke makam Nirmala. Bunga dalam lodong disisakan separuh. Biasanya satu lodong di bagi dua untuk makam ibu dan makam Nirmala. Makam ayahnya tak berada di tempat ini. Makam ayahnya ada di kota lain, di Yogya.
“Kita ke sana!” kata Dewa lirih kepada Gino.
Gino mengangguk.
Lorna menatap Dewa.
“Sudah?” tanya Dewa.
Lorna mengangguk. Dewa bangkit membantu Lorna berdiri. Dia memahami kesedihan Lorna.
Sinar mentari mulai menembus sela-sela pohon kamboja. Dewa mengikuti langkah Gino. Lorna enggan bertanya. Kemana sekarang. Namun mencoba berpikir bahwa langkah selanjutnya mengunjungi makam Ayahanda Dewa. Tetapi dugaannya keliru.
Dewa berhenti. Lalu jongkok di samping sebuah makam, dan mulai menaburkan bunga. Kemudian memejamkan mata dan berdoa untuk beberapa saat seperti saat di makam bundanya.
Lorna terpana saat berjongkok mengikuti Dewa. Pandangannya tertuju pada tulisan pada batu nisan yang terbuat dari marmer. Di situ tertulis nama Nirmala. Jadi mereka kini berada di makam Nirmala.
Lorna seakan terjebak situasi tak nyaman. Tapi berusaha sembunyikan kegalauannya. Agar tak mengusik Dewa. Lalu ikut menaburkan bunga ke atas makam tersebut. Seakan tak ada keresahan dalam hatinya. Lalu memejamkan mata untuk mengatasi perasaannya. Bukan berdoa untuk Nirmala, namun berusaha meredakan kekacauan hatinya. Apa yang salah pada diriku? Tanyanya dalam hati.
Lantas Lorna bangkit mengikuti Dewa. Kemudian beranjak meninggalkan tempat itu. Semakin menjauh dari tempat itu kegalauan hatinya perlahan-lahan mulai menjauh.
Dewa meminta tolong Gino untuk menyampaikan sejumlah uang buat Pak Marto. Sebelum Gino pergi menemui Pak Marto. Tangan Lorna dan Dewa dibersihkan dengan air sisa bunga di lodong.
“Kutunggu di mobil!” kata Dewa.
“Ya, Mas!” jawab Gino seraya menuangkan sisa air di lodong ke atas pusara.
Lorna menggandeng tangan Dewa. Tanpa bersuara melangkah perlahan. Menuruni jalanan setapak keluar komplek makam. Makam tersebut berada di lereng sebuah bukit. Yang diapit dua buah aliran sungai. Ada beberapa pohon besar seperti pohon tanjung, pohon kepel, pohon beringin dan juga pohon jambu monyet.
Dewa memetik sebuah bunga kamboja putih bersemu merah muda. Lalu menyelipkannya di sela daun telinga Lorna bagian kiri. Kelopak mata Lorna nampak bekas airmata. Lorna berusaha tersenyum. Tapi Dewa tahu hati Lorna sedang gundah.
Dewa mengedipkan sebelah mata. Berusaha menggoda.
Di kejauhan terlihat puncak gunung Semeru mengepulkan asap. Pertanda hari mulai meninggalkan pagi.

lodong : toples, tempat terbuat dari bahan kaca berbentuk bejana berpenutup.