34. Kebersamaan.

Sebelum keluar dari dalam kendaraan dia seka kembali hingga kering bawah matanya yang basah. Basah akibat perasaan bahagia yang baru saja dilalui. Lelaki yang bersamanya yang memberinya perasaan itu.
Dewa memandangnya teduh. Lorna membalas tatapan itu. Dewa memperhatikan wajahnya, berharap sudah tidak ada lagi bekas airmata di bawah matanya.
"Terimakasih, Dewa." ucapnya perlahan dengan tersenyum.
Mobil Rahma sudah berada di halaman rumahnya. Artinya Grace dan Rahma sudah datang terlebih dahulu. Terdengar alunan piano. Sudah pasti Daddy yang sedang bermain. Suasana di dalam rumah saat ini terasa hidup. Terasa berpenghuni kembali setelah lama tak ditempati. Kehadiran Rahma dan Grace turut menghidupkan suasana itu.
Keduanya lantas turun dari kendaraan.
Dewa mengunci pintu mobil terlebih dulu. Namun Lorna menunggunya seraya menjinjing tas berisi bungkusan ikan bakar yang dibeli di Batu tadi siang. Wajahnya tersamar cahaya malam berlangit cerah karena bulan sepenuhnya telanjang bulat.
“Lorna masuk duluan!” kata Dewa meminta.
Lorna masih menahan keinginannya bergegas masuk ke dalam rumah. Ingin bermanja dulu dengan Dewa. Ingin memberikan bibirnya ke bibir Dewa dulu. Kalau sudah di dalam tak banyak kesempatan untuk melakukan itu. Dewa tahu keinginannya. Lantas memegang dagunya dan mengecup bibirnya dengan lembut.
“Lorna mencintaimu, De!” ucapnya lirih.
Dewa mengedipkan mata. Memahaminya yang tak pernah berhenti mengucapkan kata cintanya. Sudah tak terbilang dalam sehari ini saja ucapan cinta yang diterimanya.
“Aku pun begitu, Na!”
“Lorna masuk dulu ya? Jangan lama ya?”
Lantas Lorna berlari kecil ke dalam rumah. Saat berada di ambang pintu. Dilihatnya Grace dan Rahma duduk ditemani Mami. Lalu segera berteriak menyapanya girang.
“Hai!”
Teriakannya membuat Grace dan Rahma langsung bangkit dari duduknya dan berteriak bersamaan, "Hai!"
Lalu menghambur memeluknya bergantian. Grace mencium gemas pipi-pipi Lorna.
“Dari mana saja?” tanya Rahma.
“Sebentar ya,” kata Lorna yang terlebih dulu memeluk dan mencium pipi Maminya. Kemudian beralih ke Papinya.
I love you, Dad!
“I love you, sweet heart!
Kemudian kembali membiarkan Grace dan Rahma memeluknya bergantian.
“Lorna! Mana dia?” Rahma bertanya.
Yang ditanyakan muncul di pintu. Lorna mengarahkan pandangan ke pintu.
“Itu dia!” jawabnya.
Dewa berdiri di ambang pintu. Tersenyum.
“Halo, De! Dari mana saja?” Rahma menyapa.
“Halo, De! Masih ingat aku?” tanya Grace.
Dewa menatapnya, lalu tersenyum-senyum. Dihampirinya Grace lantas memeluknya hangat.
“Lorna! Dewa memelukku!” teriak Grace menggoda.
Lorna tertawa.
“Kamu pikir aku melupakanmu,” kata Dewa.
“Terima kasih, De! Kamu lain sekarang!”
"Lainnya?"
"Pokoknya lainlah!"
"Sebentar ya..."
Dewa lalu beralih ke Mami dan Papi Lorna.
“Apa kabar, Dewa?” tanya Nyonya Ivana.
“Baik, Mami!”
Dewa mencium punggung tangannya.
“Beri pelukan Mami!” kata Nyonya Ivana.
Maka Dewa memeluknya sesaat. Lalu Mami mencium kedua pipi Dewa. Lorna memandanginya dengan senyumnya yang menawan.
Kemudian Dewa beralih ke Papi.
“Apa kabarmu, Dewa?”
“Baik, Papi! Bahasa Indonesia Papi semakin baik!” jawab Dewa.
Papi Lorna menepuk-nepuk bahu Dewa.
“Lorna yang melatih saya!” kata lelaki bule itu.
“Silahkan duduk. Kita bersantai saja. Rahma dan Grace sudah menunggumu sejak tadi,” kata Papi.
“Lorna ke dalam dulu ya?” kata Lorna.
Lorna lalu masuk untuk berbenah diri. Terlebih dulu meletakkan bungkusan ikan bakar ke belakang.
“Bik. Ini ikan bakar. Untuk melengkapi makan malam. Bungkusan yang lain nanti diberikan ke Rahma dan Grace.”
“Baik, Non!”
Kehadiran teman-teman Lorna membuat rumahnya tak lagi sesepi biasanya. Sesekali terdengar gelak tawa lebar Daddy yang sibuk berbincang dengan Dewa.
Grace selalu curi pandang ke Dewa. Lelaki itu kian cool. Tubuhnya atletis. Diperhatikannya luka di bawah dagunya. Luka itu yang ingin dilihatnya. Baru sekarang luka itu terlihat jelas di depan matanya. Luka yang jadi perbincangan hangat di antara teman-teman. Dirinya merasa bersalah dengan peristiwa yang dialami Dewa. Tapi Dewa tak memperlihatkan kecanggungan kepadanya. Dewa tidak tahu atau sudah melupakannya. Yang pasti Dewa mengabaikannya. Buktinya Dewa telah memeluknya. Tersenyum hangat padanya. Ah, Dewa. Kamu memang memikat.
Lorna muncul kembali mengenakan longdress hitam. Menyesuaikan setelan Dewa. Rahma dan Grace menggeleng halus. Terpesona akan penampilannya. Gadis itu memang benar-benar cantik.
Grace berbisik pada Rahma.
“Lihatlah! Serasi bener mereka!”
“...dan pantas!” Rahma menambahkan.
Lorna lalu duduk di antara.
“Duduklah dekatnya...” bisik Rahma.
Lorna mencubit pahanya. Rahma meringis.
“Kalian berkabung apa?” bisik Grace.
Lorna membelalakkan mata kepadanya.
“Sembarangan!” kata Lorna lirih.
“Kok pakaian kalian hitam?”
Lorna tetap tersenyum. Kedua sahabatnya memang sejak dulu suka menggoda usil, terutama Grace. Barangkali untuk menyenangkannya.
Tapi sikap Rahma dan Grace kepada Dewa tak lagi sama seperti saat berteman di sekolah. Lelaki itu kini terasa berwibawa. Tak banyak berkata. Hanya bicara seperlunya. Pandangan yang tajam tapi teduh. Sulit menahan tatapannya. Tapi Grace dan Rahma senang melihat keceriaan terpancar di wajah Lorna. Semua itu berkat pertemuannya kembali dengan Dewa.
Perbincangan pun kemudian beralih di meja makan. Kedua orangtua Lorna melihat perubahan pada puterinya. Sinar kebahagiaan menyelimuti wajahnya. Mereka berpikir karena kehadiran Dewa.
“Keperluan Daddy bicarakan langsung kepadanya. Dewa sudah di sini!” kata Lorna.
Papinya tertawa.
“Sudah dibicarakan di ruang depan!” jawab Papi.
“O ya?” Lorna melihat Dewa yang duduk di sebelahnya.
Dewa mengangguk perlahan.
“Rahma juga cerita pameran Dewa di Surabaya!” sela Maminya.
“Besok Lorna ke Bali bersama Dewa. Dari Bali Lorna langsung ke Jakarta,” kata Lorna berterus-terang.
Grace dan Rahma terperanjat. Demikian pula Papi dan Maminya.
“Ya?!”
“Kenapa?”
“Kalau begitu aku dan Grace akan mengantarmu ke bandara,” kata Rahma.
Wajah Rahma kecewa tapi senang. Kecewa karena harus berpisah. Senang melihat hubungan Dewa dan Lorna nampaknya semakin dekat.
“Dewa punya keperluan di Bali. Pemilik resor membeli lukisan Dewa,” Lorna berusaha menjelaskan.
“Selamat, Dewa!” kata Papinya turut merasa senang.
Dewa tersenyum saja.
“Pembelinya memintanya datang. Kalau masih ada yang mau disampaikan. Daddy, Mommy please, sampaikan sekarang!” Lorna menambahkan.
“Kalau tidak mendadak. Papi dan Mami bisa ikut. Sekalian pulang ke Australia,” kata Maminya.
“Disiapkan saja. Kan besok berangkat sore hari. Supaya Grace dan Rahma leluasa waktunya ikut ke bandara.”
Kedua orangtuanya berbenah setelah makan malam bersama.
Lorna, Grace, Rahma dan Dewa pindah ke taman. Mereka duduk berhadapan. Bila tidak ada Grace dan Rahma, Lorna akan duduk merapat ke Dewa. Sebenarnya Grace dan Rahma tak peduli. Tapi untuk menghormati Dewa. Mereka tetap menjaga sikap sebagaimana dulu semasa di sma.
Lorna siapkan kamera dan tripod. Untuk berfoto bersama. Sebab saat reuni, Dewa tak ada dalam setiap acara foto. Kamera disetel otomatis, maka tombol pengatur waktu dijalankan. Maka gambar keempatnya tertangkap kamera.
“Sang Dewa dan tiga bidadari!” ujar Grace.
Mereka tertawa bersamaan saat lampu lensa menyala. Foto diambil dalam berbagai pose. Setelah itu ganti Rahma yang mengambil gambar Dewa dan Lorna.
“Merapat!” Rahma menyarankan.
Maka Dewa dan Lorna duduk saling merapat.
“Yang mesra!” Rahma menambahkan.
Maka Dewa memeluk hangat pinggang Lorna. Dan Lornamerebahkan punggung ke dada Dewa.
“Sip!” kata Rahma.
Kemudian mengambil pose wajah keduanya saling menempel.
“Sip!” kata Rahma.
Kemudian pose pipi Lorna dan Dewa saling dipertemukan.
“Sip!”
“Sudah?!” Lorna bertanya.
“Belum!” kata Grace,” Gantian! Aku yang mengambil gambar. Peluk pinggang Lorna, De. Biarkan badan Lorna bersandar ke dadamu. Nah, begitu. Kepala Lorna bersandar ke samping leher Dewa. Nah, begitu!”
Tapi Grace tidak mengambil pose itu. Grace meletakan peralatan kamera ke atas meja.
Rahma tertawa.
“Semprul!” ujar Dewa.
Lorna tertawa. Masih manja rebah di dada Dewa. Dewa memeluk hangat badan Lorna. Ingin menunjukkan kemesraannya dengan Lorna kepada Grace dan Rahma.
Cahaya sinar bulan bersembunyi di balik bayangan pohon bambu. Beberapa kelelawar terbang melintas berulang-ulang di antara pepohonan.
Sementara di dalam rumah Papi kembali meneruskan bermain piano. Melantunkan karya Sebastian Bach. Maminya dibantu bik Inah membenahi barang, sebab besok ikut ke Bali bersama Lorna.
Suara katak di kolam turut menemani. Lorna memejamkan mata saat Dewa dengan lembut menghirup aroma rambutnya. Grace dan Rahma senang melihat keduanya. Lorna ingin berbagi kebahagiaan yang dirasakannya. Seperti yang dibilang Dewa, agar kedua sahabatnya itu turut merasakan apa yang kini Lorna rasakan.
Tiba-tiba bik Inah datang memberitahukan ke Lorna ada tamunya di depan.
“Non! Disuruh Mami ke depan dulu. Ada tamu!” katanya.
“Siapa?” tanya Lorna seraya bangkit dari dada Dewa.
“Tidak tahu, Non. Anak muda, sepantaran Mas Dewa.”
Lorna mengerenyitkan kening. Memandang Dewa.
“Temui saja. Aku tunggu di sini!” kata Dewa.
“Baiklah. Lorna lihat dulu, ya?”
Lorna pergi ke depan. Ke ruang tamu. Dan terkejut melihat tamu yang dimaksudkan. Tapi berusaha menguasai keadaan, sebab saat itu ada Papi dan Mami menemani tamunya itu.
“Kamu Ron!” kata Lorna.
“Beruntung aku kemari. Kalau tidak. Tentu akan lama lagi tidak bertemu Om dan Tante. Katanya besok Om dan Tante mau pulang ke Australia. Sedang kamu mau ke Jakarta,” kata Ronal, lalu berdiri menghampirinya dan menyerahkan seikat bunga.
Lorna bingung. Antara menerima atau tidak bunga itu. Tapi demi menjaga perasaan kedua orangtuanya yang memperhatikan, Lorna terpaksa menerimanya.
“Makasih...” kata Lorna pendek.
Bunga itu lalu diletakannya di atas meja piano.
Lorna duduk berseberang dengan Ronal. Mami dan Papinya segera menghindar. Mereka masih harus membereskan barang-barang.
Lorna diam-diam mengirim sms ke Rahma. Memberitahu bahwa yang datang adalah Ronal.
Isi sms-nya: Rolan yg dtg! bgm ini? bgmn Dewa?
Rahma yang menerima sms itu terkejut. Sms itu diperlihatkan pada Grace. Grace terkejut.
“Ngapain dia kemari?” tanpa sengaja terlontar ucapan itu.
Dewa memandang Rahma dan Grace bergantian. Tapi keduanya menyembunyikan perasaannya seraya senyum-senyum.
“Kamu yang ke depan, aku yang temani Dewa,” kata Grace.
Maka Rahma bergegas ke depan menemui Lorna.
“Ngapain, Ron?” tanya Rahma begitu berada di samping Lorna.
“Biasa. Sejak Lorna datang. Kita belum sempat bertemu lama. Apalagi besok katanya akan ke Bali,” jawabnya.
“Berliburan bersama Papi dan Mami,” jawab Rahma.
“Aku sudah cerita ke Papi dan Mami. Untuk mampir ke Cafe ku bila berada di Denpasar. Baru jalan setahun. Papi dan Mami sudah kuberi kartu namaku,” kata Ronal menunjukkan bahwa dia punya Cafe di Denpasar.
“Eh, Na. Kopermu sudah disiapkan belum buat besok?”
Rahma dapat akal agar Lorna bisa pergi dari situ. Dia bertanya itu dengan maksud menunjukkan saat ini mereka sedang sibuk berbenah.
“Belum!” jawab Lorna pendek. Tahu maksud Rahma.
“Oke, biar kamu berbenah. Aku yang akan temani Ronal.”
“Sorry, Ron?” kata Lorna.
“Ah, nggak apa, Na! Waktuku memang tak tepat!” jawabnya.
“Kurasa begitu...” kata Rahma. Lalu menambahkan, “Aku juga mau bantuin Lorna membenahi barangnya. Waktu kita sempit. Belum lagi sudah malam.”
Ronal merasa kehadirannya mengganggu.
“Aku antarkan ke bandara ya?” tanyanya menawarkan diri.
Mampus kita! Pikir Rahma dan Lorna dalam hati.
“Ah, nggak perlu! Semua sudah diatur. Kita tinggal benahi barang saja,” sela Rahma.
Dengan berbagai upaya, akhirnya Rahma bisa membebaskan Lorna dari Ronal. Lalu kembali ke taman belakang menjumpai Grace dan Dewa.
Lorna kembali ke samping Dewa. Rahma memberi isyarat kepada Grace.
“Beres!”
Karena tak ingin ada salah pengertian, dan tak ada yang disembunyikan, meski Dewa tidak menanyakan perihal tamu yang baru saja dihadapinya, Lorna harus memberitahukan apa yang baru saja berlangsung kepada Dewa. Meski ada kecemasan yang akan membuat perasaan Dewa tak nyaman kepadanya.
Lorna memegang telapak tangan Dewa.
Dewa memandangnya sesaat dengan tenang.
“Yang barusan datang Ronal,” kata Lorna memberitahu.
Dewa hanya memegang punggung telapak tangan Lorna.
Grace dan Rahma menunggu reaksi Dewa.
“Dewa nggak marah kan?” Lorna bertanya lunak.
Dewa memandangnya kembali. Cahaya bulan menampilkan kecemasan wajah Lorna. Lantas didekapnya pipi Lorna dengan kedua telapak tangannya.
“Kenapa mesti marah. Dia kan teman kalian. Temanmu sekelas. Teman Rahma. Teman Grace. Kenapa?”
Jawaban Dewa terasa aneh bagi mereka. Padahal dengan Ronal sering terlibat perkelahian hanya gara-gara Lorna. Rival bebuyutan. Meski Dewa tak pernah mengklaim Lorna sebagai pacarnya. Tapi kedekatannya dengan Lorna membuat Ronal selalu terusik.
Menurut Rahma dan Grace. Seharusnya Dewa bersikap keras kepada Ronal. Tapi kenapa Dewa bersikap lunak?
“Kok diam semua?”
Ucapan Dewa menyentakkan Rahma dan Grace dari pikirannya.
“Dia sudah pergi kok!” jawab Rahma.
“Ah, ini sih nggak bener. Sejak tadi nggak ada minuman dan makanan. Tunggu sebentar ya?” Kata Lorna seraya beranjak ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian kembali seraya menenteng sebuah gitar yang masih dalam pembungkusnya. Bik Inah mengikuti di belakangnya, membawa nampan berisi minuman panas dan makanan kecil.
“Nah, benar sekali! Sudah lama tak dengar nyanyian Dewa,” kata Grace.
Dewa mengeluarkan gitar dari tasnya.
Lorna memperhatikan.
“Punyamu. Lama tersimpan di lemari!” Lorna menjelaskan.
“Terima kasih!”
Gitar itu dulu dipakai saat berkumpul bersama teman-teman. Usai belajar bersama, mereka selalu bernyanyi. Taman itu dulu tak pernah sepi.
“Aku sendiri lupa!”
Gitar itu masih bersih. Dewa mulai mengecek senarnya. Masih bagus. Hanya perlu menala nadanya agar selaras kembali.
Ketiga gadis itu tak bergeming menikmati petikan nada gitar saat Dewa menalanya. Melihat cara Dewa melakukan penyelarasan nada senar, mencerminkannya kepiawaiannya menguasai alat itu. Jemari tangannya cekatan menari-nari menyelaraskan nada. Petikan nada yang terdengar terasa nyaman.
Dewa memandang ketiganya.
“Bagaimana?”
“Enak sekali!” kata Grace dan Rahma.
Lorna tersenyum.
“Siapa yang mau menyanyi? Rahma? Grace? atau Lorna?”
Dewa menatap Lorna.
“Dewa yang menyanyi!” Lorna meminta.
Dewa mengangkat alisnya.
"Keberatan?" tanya Lorna.
“Lagu apa?”
Lorna merasa lega.
Lorna ingin mendengarkan lagu ciptaan Dewa sendiri, seperti yang diberitahukan Joy bahwa Dewa sudah mencipta banyak lagu. Tapi keinginan itu diurungkan. Untuk menghindari Joy dipersalahkan Dewa karena dianggap telah menyebarkan yang seharusnya menjadi rahasia mereka.
“Lagu apa?” Dewa mengulangi pertanyaannya.
“Bagaimana kalau lagunya Ebiet.” usul Grace.
Lorna dan Rahma mengangguk setuju.
Dewa berdiam diri sejenak. Mengatur nafas. Berkosentrasi sesaat. Lalu jemarinya mulai gemulai memetik senar yang menciptakan irama yang merdu di telinga. Setelah intro. Mulai melantunkan sebuah lagu yang dominan akustiknya. Irama petikan gitar terasa nyaman di telinga ketiga gadis itu. Menciptaka suasana damai dan nyaman. Apalagi suara Dewa yang merdu dan jernih, membuat ketiganya terpukau.

Pohon pinus di tengah hutan
Terduduk yang sendiri
Menjeritlah bersuara
Angin gunung basa basi
Menyapa dan terbang entah kemana
Jalan setapak terbungkus kabut
Darahku dan jiwaku
Menyatu ditelan bumi
Kerlap kerlip kunang-kunang memancarkan kebisuan

Aku berjalan hanya dengan mata hati
Bernafas hanya dengan tekat
Aku mendaki penuh dengan teka-teki
Dimanakah matahariku

Aku terantuk sebatang dahan
Melintang di depanku menghentikan beban
Tanda tanya gundah hati kapankah akan terjawab

Disinilah di dalam dada
Menetes terbungkus
Cintaku bagai itu
Disinilah di dalam jiwa
Menangis hasratku mengikuti petunjukmu
Mengikuti petunjukmu

Suara Dewa yang jernih ditelan sunyi sepinya malam. Grace dan Rahma masih terpana. Lantunan lagu dan petikan gitar itu serasa masih terngiang di telinga mereka, padahal Dewa sudah menyelesaikannya.
Dewa menyandarkan gitar di tepi meja. Lorna memandang lembut. Bola matanya berkilat memantulkan cahaya bulan. Dewa menyibak rambutnya yang terurai agar wajah itu nampak jelas bila ditimpa sinar bulan. Rambutnya yang coklat keemasan terasa lembut di tangannya.
“Sudah malam. Aku harus pulang. Dan kalian perlu beristirahat. Masih ada hari esok.”
Lorna menunduk mengangguk lemah.
“Suaramu bagus!” ucapnya.
“Lagunya yang bagus. Suara Ebiet yang bagus!” bantah Dewa.
“Ih, Dewa. Suaramu enak didengar!” Grace memuji.
“Lagi, De!” Rahma meminta.
Untuk menyenangkan gadis-gadis itu. Dewa menyanyikan lagu Ebiet lainnya. Ketiganya memuji. Tak hanya suaranya yang indah, tapi permainan gitarnya membuat ketiganya terpukau. Suaranya pas di telinga. Malam kebersamaan mereka terasa menyenangkan. Tetapi waktu yang membuat mereka harus berpisah.
“Bisa saja kulakukan ini sampai pagi. Tapi kalian harus istirahat. Tak baik perempuan tidur malam.”
“Ah, Dewa. Memangnya kenapa?” tanya Rahma.
“Kecantikan kalian bisa berkurang.”
“Apa hubungannya?” tanya Grace.
“Kulit wajah kalian bisa keriput!”
Ucapannya membuat ketiga gadis itu tertawa terbahak-bahak. Tapi Dewa tak ikut tertawa. Wajahnya tetap datar.
“Nanti saja kita puaskan. Aku punya rencana dengannya,” Dewa berkata seraya menatap pada Lorna.
What?” Lorna bahkan tak mengerti.
“Rencana apa?” Grace dan Rahma ingin tahu.
Lorna yang semula tak mengerti apa yang dikatakan Dewa, lalu membenarkan ketika Dewa menyinggung pembicaraan dengannya saat di Cangar tadi siang.
“Kita kemping sendiri bersama-sama. Bagaimana?”
Rahma dan Grace menyambut senang.
“Kemana?”
“Nantilah kuberitahu. Tidak sekarang!” jawab Lorna.
“Boleh aku pulang dulu?” tanya Dewa kepada ketiga gadis itu.
“Boleh, De. Terima kasih ya,” jawab Rahma.
“Kemana saja kamu menculik Lorna tadi siang?” tanya Grace.
“Biar korban penculikan yang jelaskan sendiri, tapi tunggu penculiknya pulang dulu,” jawab Dewa.
Lorna yang ditunjuk Dewa hanya tersenyum.
Tanpa terasa bulan telah mencapai langit. Berkalang cahaya. Grace dan Rahma memutuskan menginap di rumah Lorna. Ingin tidur bersama bertiga. Memuaskan kerinduan setelah bertahun-tahun berpisah.
Sementara Lorna mengantar Dewa. Taksi dipesan Grace melalui telepon. Dewa menolak diantar mobil Lorna, meski oleh supirnya. Grace dan Rahma tak ikut mengantar agar Lorna bisa melepas Dewa di pintu pagar dengan leluasa.
Lorna melendot manja pada Dewa.
Sementara dari balik korden jendela kamar. Di lantai dua. Nyonya Ivana mengawasi anak gadisnya mengantar kekasihnya hingga pintu pagar.
Di bawah siraman cahaya rembulan. Nyonya Ivana menyaksikan bibir anak gadisnya tenggelam dalam himpitan bibir kekasihnya. Memberikan tubuhnya untuk dipeluk. Merebahkan kepala ke dada kekasihnya. Saling memandang. Tersenyum.
“Besok Jum’at legi. Aku ke makam ibu dulu. Kita berangkat agak siang bukan?” tanya Dewa.
“Boleh Lorna ikut ke makam ibu? Sekalian menjemput Dewa.”
“Boleh. Kutunggu besok!”
“De!”
“Ya?”
“Terima kasih. Telah datang kembali ke rumah ini.”
“Sama-sama. Kamu juga sudah datang ke tempatku. Datanglah kapan saja. Sesukamu. Anggap saja rumahmu.”
“Terima kasih.”
“Boleh aku memelukmu lagi?”
Lorna mengangguk.
“Peluklah. Kenapa mesti tanya?”
“Barangkali kamu enggan, takut ada yang melihat.”
“Kan sudah Lorna bilang. Sekalipun Dewa ajak Lorna ke neraka, Lorna nggak takut.”
Dewa tersenyum.
“Benar?”
Lorna mengangguk dan tersenyum.
“Aku lebih suka mengajakmu ke nirwana.”
Lantas Dewa memeluknya. Hangat. Mencium rambutnya yang lebat. Terasa keharuman di sana. Ada kelembutan saat bibirnya memagut bibirnya.
Dari balik jendela. Nyonya Ivana tersenyum. Hari ini semakin diyakininya bahwa anak gadisnya mencintai Dewa. Saat berbenah almari, tanpa sengaja menemukan sebuah kotak, yang kemudian diketahui itu milik anak gadisnya. Di dalamnya terdapat; sebuah buku harian, sapu tangan batik, bersama beberapa kuntum bunga bougenvile yang sudah mengering.
Buku harian itu sempat dibukanya. Walau sepintas meneliti halaman demi halaman, cukup menangkap catatan-catatan dari anak gadisnya mengenai Dewa. Catatan yang ditulisnya semasa masih sekolah sma. Dari catatan itu diketahui kalau anak gadisnya mencintai Dewa. Catatan yang berisi keraguan mengenai cinta Dewa terhadap dirinya. Perhatian yang diberikan Dewa meski diartikannya sebagai cinta, tetapi baginya tidaklah cukup. Anak gadisnya ingin ungkapan yang diucapkan, dan itu yang selama ini selalu mengganggunya.
Namun kini nampaknya mereka sudah saling mengungkapkan. Tercermin dari keakraban dan saat berpelukan. Mereka saling memagut bibir di bawah siraman sinar bulan.
Nyonya Ivana menutup tirai jendela perlahan. Dan kembali berbaring di samping suaminya yang terlelap terlebih dulu. Kini mencoba membayangkan perasaan anak gadisnya yang sedang dipeluk dan membiarkan bibirnya terbenam dalam pagutan bibir kekasihnya. Betapa manisnya mereka.
Oh, bidadariku! Rupanya kamu telah menemukan pujaan hatimu.