33. Saat Rembulan Tersenyum.

Di luar hari sudah gelap. Dewa dan Lorna keluar dari dalam kamar. Dewa mengenakan busana yang menjadi kebiasaannya, setelan hitam. Lorna mengganti atasan dengan kaos hitam yang dipinjamkan Dewa. Kaos Lorna sendiri langsung dimasukkan Dewa ke mesin cuci.
Keduanya menuruni tangga. Lorna melangkah anggun di samping Dewa. Berpegangan pada lengan Dewa. Tubuhnya tinggi semampai. Hampir melebihi tinggi Dewa. Padahal tubuh Lorna terlihat tinggi. Tinggi wanita kadang menipu mata.
"Kalau tak ada Daddy dan Mommy mengunjungiku, sebenarnya aku ingin tetap di sini."
"Tak masalah. Sesukamu. Ada banyak kamar disini. Kamu bisa menginap"
Lorna menatap Dewa. Pandangan itu seakan memprotes.
"Tega nian!"
Dewa tersenyum dan berbisik.
"Tentu aku akan menjagamu!"
Lorna tersenyum.
Dama bersama temannya tak berhenti-henti membicarakannya, begitu tahu Mas Dewa dan gadis blasteran itu berada di lantai atas. Menurut teman Dama. Gadis itu pantas jadi bintang film, atau peragawati, model, atau bintang iklan, dan semacamnya.
Namun bagi Dama. Melihat keakraban Mas Dewa dengan gadis bermata biru itu hanya menimbul perasaan iri dalam dirinya. Terjadi pertempuran di dalamnya untuk menepiskan perasaan itu. Tetapi semakin ditepiskan, perasaan itu seakan semakin mencengkeram. Perasaan yang seakan mengklaim dirinyalah yang selama ini merasa lebih dekat dengan Mas Dewa. Yang merasa bahwa dirinya seperti ibu bagi Wulan, anak Dewa, karena dirinya yang merawat Wulan sejak masih bayi, semenjak ditinggal mati kakaknya Nirmala, bunda Wulan. Selama ini dirinyalah yang paling tahu perkembangan Wulan. Setiap hari, sejak bangun pagi hingga berangkat tidur di malam hari. Dan dirinyalah yang paling dikenali Wulan. Dirinyalah yang selalu mengatakan bahwa bunda Wulan sedang pergi jauh. Seorang bidadari yang cantik, yang sedang pergi ke bulan untuk mengambil sebuah selendang yang tertinggal di sana, selendang buat menggendong Wulan.
Wajah Lorna dan kecantikannya memang seperti bidadari. Tentu bidadari inikah yang dimaksud Mas Dewa? Lalu akankah gadis itu akan diperkenalkan kepada Wulan sebagai Bundanya? Pertanyaan itu yang kini muncul dalam pikiran Dama.
“Melamun?”
Dama tergagap ketika Dewa tiba-tiba menyapanya.
Dama tengah menyandarkan diri pada tiang pintu.
“Nggh...Mas!”
“Aku keluar dulu ya?”
Dama mengangguk, lantas mencium punggung tangan Dewa.
Dewa menatapnya, tatapan yang membuatnya tak berdaya, yang membuatnya memeluk erat Wulan saat menidurkannya bila terbayang wajah Mas Dewa.
“Kamu baik-baik?” tanya Dewa.
Dama mengangguk.
“Nanti kita bicara lagi ya?”
“Ya, Mas!”
"Sudah makan? Tadi kita belikan ikan bakar."
"Sudah, Mas!"
"Mungkin aku pulang malam."
"Sesuka, Mas!"
Di teras Gino juga menunggu Dewa. Keberadaan Lorna membuatnya tak berani menemuinya. Takut mengganggu, meski ada hal yang ingin disampaikan.
“Kurasa motor bisa dimasukkan,” Dewa memintanya.
“Ya, Mas. Tadi ada pesan dari Griyo Tawang. Apakah sarasehannya jadi dilangsungkan atau ditunda? Maaf, terlambat menyampaikan,” kata Gino.
“Teruskan saja! Kenapa harus menungguku. Besok aku harus ke Bali. Kan sudah terjadwal?”
“Baik nanti disampaikan ke Griyo Tawang. Tadi Mas Beni kemari!” lanjut Gino.
Dewa menjawab dengan tatapan. Tak ada yang dikatakan. Lorna memperhatikan karena menyangkut Beni, ingin mengetahui reaksi Dewa.
Dama dan temannya memperhatikan Lorna yang anggun. Tangan gadis itu tak lepas berpegangan pada lengan Dewa. Seakan tak ingin melepaskan.
“Kuberitahu pada Mas Ben kalau di atas Mas Dewa sedang ada tamu. Tapi pergi lagi. Nampaknya Mas Beni sudah kenal Nonik saat kuberi tahu.”
“Ya, sudah! Aku pergi dulu!”
“Baik Mas!” Dama dan teman-temannya menjawab bersamaan.
“Yuk semua! Lorna pulang dulu ya?” kata Lorna lunak.
Lorna lalu berpamitan.
“Terima kasih, Mas Gino. Lorna pulang dulu ya!”
“Oh, iya Non. Terima kasih ikan bakarnya!”
“Dihabiskan! Dipanggang lagi biar enak.”
Gino mengangguk-angguk.
Dewa membuka pintu mobil. Menutupnya kembali setelah Lorna duduk di dalamnya, sebab Dewa yang akan mengambilalih kemudi.
Sesaat kemudian keduanya sudah berada di jalan raya. Dewa memperhatikan Lorna berdiam diri. Kediaman itu mengganggunya. Maka mencoba bersiul menyanyikan sesuatu. Siulan yang didendangkan iramanya terasa asing di telinga Lorna, membuat usaha Dewa membawa ke suasana ceria tak berhasil.
Akhirnya Dewa tak sabar bertanya.
“Kenapa?”
“Kenapa. Kenapa?” Lorna balik bertanya.
“Kok diam?”
“Ah, nggak kenapa!” jawab Lorna
“Ya, sudah kalau nggak kenapa kenapa.”
Lorna diam sejenak.
“Tadi Mas Gino menyebut Griyo Tawang. Griyo Tawang itu apa sih?”
“Nah, begitu! Tanya saja! Jangan diam begitu.”
Lorna menyembunyikan kegelian.
“Ada apa dengan Beni?”
“Nah, begitu. Kan ada lagi yang mau ditanyakan kan?”
Lorna mencubit pinggang Dewa.
“Jangan berdiam saja. Bertanyalah!” kata Dewa masih bersiul.
“Menyanyi lagu apa itu?”
Dewa tertawa lunak. Dalam hatinya, Lorna senang melihat tawa itu. Tawa yang kata temannya sudah jarang diperlihatkan.
“Langgam Jawa.”
“Apa itu langgam?”
“Langgam itu lagu.”
Lalu Dewa menyanyikan sebait lirik.
Yen ning tawang ana lintang cah ayu. Aku ngenteni tekamu. Marang mega ing angkasa nimas. Sun takoke pawartamu.”
Meski terasa asing di telinga Lorna. Suara Dewa terasa bagus. Nyaman di telinganya. Tapi dia tak mengerti maknanya.
“Apa artinya?” Lorna bertanya.
“Artinya. Bila di langit ada bintang wahai wanita cantik. Aku menantikan dirimu. Kepada awan di angkasa dindaku. Aku menanyakan kabarmu.”
“Wow!” sela Lorna
“Kenapa, wow?”
“Bagus sekali.”
Dewa tertawa renyah.
“Itulah! Terkadang kita selalu lupa akan hal-hal yang sederhana. Padahal di dalam kesederhanaan tercermin keindahan yang tak nampak. Sudah jarang anak muda sekarang tertarik dengan akar budayanya.”
Kemudian Dewa diam tak meneruskan. Dia tahu Lorna tengah menatapnya tanpa berkedip. Dewa diam lantaran terbersit ingatan di masa kecilnya dulu. Masa saat masih ada ibunya, selalu mendendangkan lagu disaat menidurkannya. Mendengarkan nasehat. Menuntunnya untuk selalu tegar dalam menjalani hidup yang tidak mudah.
Lorna masih menatapnya tanpa berkedip. Dewa tahu bahwa Lorna masih memperhatikannya.
“Bertanyalah. Jangan menatap seperti itu,” kata Dewa.
Lorna masih diam tak segera bertanya.
“Kok, diam?”
“Dewa menyindir Lorna dengan lagu itu ya?”
Dewa menatapnya sesaat.
“Tidak menyindir. Tapi realita yang kuhadapi.”
Lorna diam.
Sesaat kemudian berkata.
“Maafkanlah aku, Dewa!”
“Jangan dimasukkan ke hati!”
“Sudah terlanjur!” jawab Lorna seraya tersenyum.
Dewa ikut tersenyum.
“Senyummu menawan.”
Lorna tersipu. Dewa pintar membuat hatinya senang.
“Griyo Tawang itu apa?”
“Oo itu!”
“Apa artinya?”
”Artinya rumah di awang-awang. Di langit. Di angkasa. Di atas ketinggian. Lain kali kuajak kesana. Ke ketinggian.”
“Punya Dewa?”
Dewa tak menjawab.
"Kenapa?” bahkan balik bertanya.
Lorna menggeleng.
Hatinya yang menjawab; Aku sudah tahu Dewa. Irvan yang memberitahukan itu saat di Surabaya. Aku memahami bila kamu tak menjawab, tetapi aku tidak memahami alasanmu untuk tak menjawab pertanyaanku.
Penunjuk bahan bakar ke indikator minim.
"Kita isi bensin dulu!" kata Dewa saat melihat petunjuk ada pompa bensin di depan. Lalu langsung mampir untuk mengisi bahan bakar.
Lorna ikut turun tapi dicegah Dewa. Maksud Lorna untuk membayar bensin karena itu mobilnya.
"Tak ada bedanya, aku atau kamu yang membayarnya," kata Dewa saat sudah berada kembali di belakang kemudi.
Kendaraan meluncur kembali di jalan raya.
Lorna memperhatikannya kembali. Baginya setiap kesempatan selalu dimanfaatkan untuk memandangi wajah yang sudah bertahun-tahun tak pernah dilihatnya kembali.
“Ada apa hubungan Dewa dengan Beni?”
“Tak ada apa-apa dengan Beni,” jawab Dewa cepat menjawab pertanyaan Lorna.
“Benarkah?”
Dewa mengangguk seraya menatap Lorna sejenak.
“Soal kejadian itu?”
“Ah!” Dewa mendesah.
“Saat itu aku hanya mencemaskan keadaanmu.”
Lorna terdiam. Ucapan itu menyejukkan.
“Sebenarnya...” Dewa berhenti tak melanjutkan. Membuat Lorna bertanya.
“Sebenarnya apa?”
“Sebenarnya reuni itu gagasan Beni. Agar kita bisa bertemu.”
Lorna mengangkat alisnya sesaat. Walau sebenarnya pernah mendengar Rahma dan Grace membicarakannya di depan kantor penyuluhan siswa. Dewa mengangguk. Tersenyum. Sesekali melihat ke arahnya.
Bola mata Lorna mulai berkaca-kaca. Memantulkan gemerlap lampu kendaraan yang melintas. Bibirnya berhias senyum. Entahlah apa yang menyebabkan bola matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Apakah lantaran sikap Dewa yang terkesan menyenangkan? Apakah lantaran hari ini bisa bertemu kembali. Berkumpul dan pergi ke sebuah tempat untuk mengenang kembali tentang hubungan mereka sebelumnya? Ataukah Dewa berlaku jujur mengatakan bahwa reuni yang bertujuan untuk mempertemukan dirinya dengannya adalah gagasan Beni, lelaki yang kemarin membuat hati dan dagunya terluka? Ataukah hari ini mereka berdua bisa berkumpul kembali dengan Daddy dan Mommy, juga dengan Grace dan Rahma seperti dulu, seperti saat-saat masih bersekolah? Entahlah! Barangkali lantaran semua sebab itu yang membuat matanya basah berlinang.
“Reuni itu kuanggap berhasil.”
“Tapi kita tak pernah bertemu dalam reuni itu,” jawab Lorna.
“Walau bukan di ajang reuni. Tetap berhasil mempertemukan kita,” jawab Dewa. Suaranya berdesah. Sesekali melihat ke arah Lorna kembali.
Gadis itu menyeka sudut matanya yang basah dengan sehelai tisu. Hati Lorna diterpa perasaan haru-biru.
“Kulakukan lantaran aku mencintaimu,” ucap Dewa dengan pandangan tetap mengawasi jalan. Seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Lorna menatapnya. Bola matanya kian basah.
“Aku tak akan pernah lelah mencintaimu,” tambah Dewa.
Lorna tak bergeming menatapnya.
Dewa berpaling ke arahnya.
“Aku...” kalimatnya terputus lantaran Lorna tiba-tiba mencium sudut bibirnya. Berbisik sembari mengecup kembali di pipinya.
“Aku tahu kamu sangat mencintaiku,” suara Lorna lirih.
Dewa mengangkat kedua tangan.
“Terima kasih Gusti! Gadis cantik dan baik ini sekarang tahu bahwa aku amat sangat mencintainya!”
Airmata yang menggenang sejak tadi. Jatuh bergulir dari sudut matanya. Lorna mengecup kembali pipi Dewa seraya berkata.
“Terima kasih Gusti! Lelaki ganteng, gagah dan baik hati ini telah mengungkapkan cintanya padaku!” Lorna menirukan ucapan Dewa.
"Apa itu Gusti?" tanya Lorna kembali karena tak mengerti kata Gusti.
Dewa mengelus bawah dagu Lorna. Dagu itu halus. Terasa lembut di tangannya.
"Gusti itu bisa dimaknai sebagai Tuhan. Atau bisa pula yang lain. Tergantung maksud pada penekanannya. Yang kumaksud tadi adalah aku berterima kasih kepada Tuhan, karena kini menemukan kembali bidadari yang semula kuanggap hilang."
Lorna tersipu lagi.
"Kamu berlebihan!" kata Lorna lirih.
Dewa menggeleng lemah. Meliriknya manja. Dalam hatinya mengatakan. Dengan kecantikan yang dimilikinya tetap tidak membuat gadis itu merasa tinggi hati.
Keduanya lantas saling berbalas senyum.
“Aku mencintaimu, Lorna!”
Lorna mengangguk memberinya keyakinan.
“Aku juga mencintaimu, Dewa!”
“Kalau aku sejak dulu!”
Dewa tersenyum.
“Lorna juga, sejak dulu!”
Lorna menatapnya lurus.
“Kalau begitu sama ya?”
“Ya, sama!”
Lorna mengangguk. Tersenyum. Menahan haru.
“Kalau aku mati bagaimana?”
“Hai, janganlah! Aku ikut!”
“Sekalipun ke neraka?”
“Aku ikut!”
“Ke surga?”
“Apalagi!”
Hati Lorna merasa bahagia bisa mengembalikan senyum dan tawa Dewa, yang Joy pernah bilang sulit melihat tawanya lagi. Tapi kini melihat Dewa menebar tawa kepadanya.
Bulan merayap perlahan di langit. Tersenyum-senyum.