32. Benamkan Bibirmu Diantara Bibirku Selamanya.

Baba berlari ke bawah pergola menyambut. Anjing pudel itu sudah mengenal derum suara sepedamotor Dewa. Menyalak dan melompat-lompat kegirangan. Bersungut tiada henti mengikuti hingga sepeda motor berhenti di halaman belakang. Salaknya baru berhenti bila kepalanya sudah mendapat elusan tangan Dewa. Maka setelah turun dari sepeda motornya, Dewa segera menepuk lembut kepalanya. Memijiti bawah lehernya, membuatnya berhenti menyalak.
“Gino sudah memberimu makan?”
Anjing itu bersungut. Matanya berbinar sambil tak hento-hyentinya mengibaskan ekor. Lalu duduk. Matanya tak berhenti mengawasi Dewa.
“Di rumah saja!”
Lorna tertawa kecil memperhatikan ulah Dewa dengan anjingnya.
“Kenapa?”
“Suka pergi!”
"Biarkan saja kenapa?"
"Nanti dikarungi orang?"
"Ih, jahat sekali!"
Dewa mengedikkan bahu.
"Dia hanya perlu teman."
"Sudah kucarikan, tapi hilang. Nanti kita carikan lagi!"
"Kasihan sekali..."
Dewa bangkit dari jongkoknya. Melepas helm serta merapikan ke dalam bagasi motor. Lalu memanggil Gino. Lelaki itu bergegas menghampiri. Lorna sudah melepas helmnya terlebih dulu.
“Tolong dibawakan ini ke dalam. Isinya ikan bakar. Bisa dimakan beramai-ramai.”
“Mereka sedang keluar, Mas.”
“Nanti kalau sudah pulang. Aturlah!”
"Baik, Mas!"
Dewa mengeluarkan dua bungkusan tas berisi ikan bakar dari bagasi motor.
“Bungkusan yang besar dibawa masuk. Yang lain ditaruh di bagasi mobil di depan,” kata Dewa. Yang dimaksudkan adalah mobil Lorna yang diparkir di depan pintu masuk.
Lorna menyerahkan kunci kepada Gino.
“Bisa, Mas Gino?” tanya Lorna.
“Bisa! Bisa, Non!” jawabnya seraya menerima kunci itu.
“Bungkusan yang itu biar aku yang membawa ke dalam,” Lorna meminta.
“Tidak usah, Non! Biar saya sendiri!”
Sesaat di dalam rumah. Di lantai atas. Lorna berniat membersihkan diri di kamar mandi yang terdapat dalam kamar Dewa. Perjalanan tadi membuat kulit tubuhnya terasa lengket dan kotor. Tidak nyaman.
"Mandilah kalau itu keinginanmu."
Lorna mengangguk.
“Handuk bersih ada di dalam!”
Dewa memberikan sebuah kaos hitam polos.
“Ini bisa untuk mengganti atasanmu.”
Lorna mengangguk.
“Terima kasih, De!”
"Kurasa ukurannya cocok."
Dipikirnya kamar mandi Dewa hanya tersedia air dingin. Ternyata di dalamnya memiliki sarana lengkap. Ada suplai air panas. Ada bath up lengkap dengan kran air bertuliskan cold dan hot. Air panas berasal dari tangki water heater tenaga surya yang di letakkan di atas genting.
Lorna menggunakan kamar mandi dalam kamar Dewa. Sedangkan Dewa memakai kamar mandi yang berada di kamar lain. Selesai berdandan dan berniat keluar kamar, keduanya berpapasan saat membuka pintu. Dewa berniat masuk ke dalam, sedang Lorna bermaksud keluar menjumpainya.
“Hei! Mandi di mana?”
“Di bawah!” jawab Dewa.
Lorna tidak jadi keluar karena Dewa menginginkan berdua dalam kamar.
Kamar tidur Dewa luas. Tempatnya tidur terbuat dari kayu mahoni. Tinggi dari lantai lima puluh sentimeter. Lantainya berlapis anyaman tikar berbahan rotan. Di bawah jendela sepanjang dinding terdapat rak berpelitur gelap juga terbuat dari bahan kayu mahoni, berisi buku koleksinya. Sebenarnya ada ruang lain yang berisi banyak buku sebagai perpustakaan kecilnya. Jenis buku dalam rak dalam kamarnya kebanyakan tentang sastra, seni dan budaya.
Lorna lantas duduk di tepi pembaringan karena diminta Dewa.
“Bagaimana kalau Lorna pulang dulu, De?”
Dewa memandangnya.
“Kenapa? Kita pergi bersama-sama! Nanti kuantarkan pulang. Aku bisa pulang sendiri dengan taksi.”
Dewa lalu berbaring di tempat tidur. Kakinya menjuntai ke lantai. Tubuh Lorna berpaling menghadap kepadanya. Keduanya saling memandang lama. Kedua mata mereka saling mengait seperti tak ingin lepas. Tangan Dewa perlahan diulurkan untuk mengelus pipi Lorna dengan lembut. Lorna suka elusan itu. Merasa nyaman dan diperhatikan.
“Lorna buatkan minum, ya?” Lorna bertanya seraya memegang punggung telapak tangan Dewa yang mengelusi pipinya.
“Nggak usah. Di meja di teras luar sudah dibuatkan Gino.”
Tangan Dewa membelai rambut Lorna.
“Boleh aku memelukmu?” tanya Dewa. Suaranya lembut terasa di telinga Lorna.
Lorna tersenyum dan menjawab.
“Kenapa mesti bertanya?”
Lalu perlahan Lorna merebahkan diri ke atas dada Dewa.
“Aku masih ingin dekat denganmu. Jangan pergi!”
“Siapa mau pergi?”
“Aku masih rindu!”
“Lorna juga, De!”
“Aku ingin memelukmu!”
“Lorna juga, De!”
Matur nuwun Gusti!
"Apa artinya itu, Dewa?"
"Terimakasih Tuhan!"
Wajah Lorna membersit sukacita.
Lorna memeluk tubuh Dewa lebih erat. Dewa membalas pelukan Lorna. Dewa ingin Lorna berbaring di atas dadanya. Ingin memuaskan kerinduannya setelah sekian lama keduanya berpisah.
Peluklah aku, Dewa! Kata Lorna dalam hati. Peluklah sesukamu! Di kamar ini tidak ada yang melihat, berbuatlah sesukamu. Sudah bertahun-tahun perpisahan yang kita alami, tentu membuatmu ingin melampiaskan kerinduanmu padaku. Perasaanku pun sama, Dewa.
Bagi Dewa, kini kamarnya tak lagi terasa sepi. Tak seperti sebelumnya, sepi, walau dulu ada Nirmala, tetapi Nirmala memilih berada di lantai bawah. Lantaran sakit Nirmala lebih baik di lantai bawah biar tidak naik-turun.
Keberadaan Nirmala pun tak mampu menepiskan kesepiannya. Ada banyak sebab yang membuatnya merasa kesepian. Apalagi sejak ibunya tiada. Praktis sebagai anak tunggal hal itu semakin melengkapi perasaan sepinya. Terlebih saat Lorna, gadis blasteran, gadis bermata biru, yang dulu kerap hadir di rumahnya, gadis yang selalu menemani kesibukan ibunya disaat membatik bila datang berkunjung, gadis yang selalu mengiriminya makanan di saat jam istirahat sekolah, gadis yang selalu mencarinya bila tak melihatnya sehari. Semakin menggenapi kesepiannya saat gadis itu pergi jauh dari kehidupannya tanpa meninggalkan pesan.
Kenapa Lorna sedemikian akrab dengannya? Barangkali latar belakangnya sebagai gadis yang dilahirkan tanpa bersaudara sama dengan dirinya sebagai anak tunggal. Semua itu menciptakan hubungan piskologis membuat hubungan mereka seperti bersaudara. Secara tak langsung Dewa merasa memilikinya dan menganggapnya sebagai adik perempuan, begitu pun sebaliknya sikap Lorna terhadap Dewa. Tetapi perjalanan waktu mentakdirkan lain.
Lorna menelusupkan wajahnya ke leher Dewa. Nafasnya yang hangat terasa teratur pada kulit Dewa. Gadis itu merasakan nafas teratur dari lubang hidung Dewa. Mendengar irama jantung di dalam sana, di dalam dada Dewa. Lalu mencoba menyesuaikan irama jantungnya dengan irama detak jantung Dewa.
Masih saling membisu. Lorna memejamkan mata. Meresapi keheningan kamar. Menantikan Dewa bicara. Setelah lama menunggu Dewa tak juga bicara. Baru menyadari Dewa telah terlelap tidur saat mengangkat wajah untuk memandang wajahnya.
Diusapnya dahi Dewa penuh kelembutan.Ditempelkannya bibirnya ke sudut bibir Dewa penuh perasaan. Dibenamkan lama di sana. Nafas teratur Dewa menerpa wajahnya. Harapannya saat rebah di atas dada Dewa, berharap Dewa menepati janji yang dikatakan saat di Cangar. Mencium bibirnya selamanya. Ah, tapi Dewa telah lupa.
Lorna tersenyum.
I love you, Dewa.” ucapnya tanpa suara. Hanya gerak bibir saja. Dan karena tidak ingin membangunkan. Lalu bangkit meninggalkannya sendiri dalam kamar. Ditutupnya pintu kamar perlahan.
Di teras di atas meja, dilihatnya dua cangkir minuman. Tentu itu yang dimaksud Dewa. Gino sudah membuatkan minum. Minuman yang berbeda. Secangkir cappuccino, dan secangkir teh. Tentu minuman teh diperuntukkan baginya. Lalu diambilnya cangkir teh dan menegukkan perlahan. Memberikan kehangatan di dinding tenggorokannya.
Lorna ingin mencari kesibukan di saat menunggu Dewa terbangun. Semula ingin sekali ikut tiduran di samping Dewa. Tapi dirinya tidak ingin mengganggu tidurnya. Dia ingin Dewa bisa beristirahat. Apalagi wajah lelaki yang bertahun-tahun dirindukan membuatnya iba, bila mengingat semua yang melatarbelakangi hubungan mereka.
Lorna kemudian turun ke bawah untuk mengambil laptop di dalam mobil, dan kembali lagi ke tempat duduknya semula. Lalu segera menghidupkannya, memasang flash modem. Setelah itu mengisi waktunya dengan online.
Tanpa terasa hari semakin masuk ke dalam gelap. Udara semakin dingin. Mentari berada di horison barat berselimut cahaya senja. Daunan pohon nampak keemasan.
Lorna menutup leher dengan syal berwarna putih susu. Udara dingin datang menyergap seiring datangnya selimut gelap.
Dirinya masih terpaku di depan laptop saat Dewa sudah bersandar di pintu tidak jauh di belakangnya. Matanya sayu, sebab belum lama terjaga dari tidur, dan mendapati Lorna sudah tak ada dipelukannya.
Lama berdiri sembari memperhatikan seksama apa yang sedang dikerjakan gadis berambut coklat keemasan yang duduk sendiri di sofa. Gadis itu baru tahu saat menengadah, yang tanpa sadar ekor matanya menangkap bayangan di cermin daun jendela di dekatnya. Lalu tersenyum sendiri berpura-pura tak mengetahui dirinya sedang diperhatikan.
Tetapi Dewa sudah tahu, gadis itu memergokinya. Dengan mengendap didekatinya dari belakang. Lalu menyergap dengan melingkarkan lengannya ke leher jenjangnya, membenamkan hidungnya ke pipinya yang halus lembut.
Lorna tertawa renyah kegelian.
“Aku bermimpi buruk!” Dewa mengadu lembut di telinganya.
“Oh, ya?” Lorna agak terkejut. “Mimpi apakah itu?”
“Mimpi kamu tidur di dadaku.”
Lorna tertawa renyah lagi.
“Lho, buruknya apa?”
“Buruknya, begitu bangun kamu tak ada di atas dadaku.”
Lorna ketawa halus yang panjang. Nafasnya terasa harum di lubang hidung Dewa.
“Kemarilah! Peluk Lorna kembali!” pinta Lorna manja.
Dewa berguling ke depan, sejurus sudah berada di sampingnya, yang disambut Lorna dengan merebahkan diri ke dadanya, balas minta dipeluk.
“Nanti di lihat Gino?” tanya Dewa.
“Biar!”
“Nanti dilihat Dama!”
“Biar!”
“Nanti dilihat Baba!”
“Biar! Biar!”
Dewa memindahkan laptop dari pangkuan Lorna. Meletakannya ke atas meja. Lalu mendekap pipinya. Lantas merapatkan wajahnya. Lantas memilin lembut bibirnya. Lantas keduanya saling memilin bibir yang berlangsung lama, hingga nafas Lorna tersengal. Kemudian Dewa melepaskannya pilinannya, namun Lorna tak ingin melepaskan pilinan bibirnya pada bibirnya.
“Ah!”
Lorna mendekap pipi Dewa. Memegangnya penuh kelembutan. Bibirnya merah muda. Basah. Matanya menatap lembut. Lalu memeluknya erat. Merasakan damai. Merasakan kenyaman. Merasakan kembali perasaan yang pernah hilang. Merasa terlindungi. Merasakan dicintai. Merasakan diperhatikan. Lorna demikian banyak merasakan yang membuat hidupnya terasa lengkap.
“Aku mencintaimu, De!” bisiknya lembut.
“Aku tahu, Na!”
“Letakkan bibirmu di bibirku selamanya. Seperti yang kamu katakan tadi, ingin menciumku selamanya.”
Dewa menjentik ujung hidungnya.
Mentari sudah tenggelam. Angin tak lagi bertiup. Awan di langit pun tak lagi bergerak. Daun-daun di pepohonan tak lagi bergoyang. Menandakan semuanya sedang beristirahat setelah seharian berpacu dengan waktu untuk menggapai ujung kehidupan.