Dalam hidupnya. Kali ini adalah pertama kali berboncengan sepeda motor, apalagi bersama seorang lelaki. Papi dan Mami tak pernah mengijinkan melakukan hal itu. Alasannya, sepeda motor merupakan pembunuh nomer satu di jalan raya. Mereka tidak menginginkan sesuatu menimpa puteri tunggalnya. Lantas apa jadinya bila mereka mengetahui pelanggaran yang sudah dilakukannya? Tentu keduanya akan sangat kecewa dan akan terus-menerus diliputi kecemasan. Itu tidak baik buat mereka.
Sesungguhnya ada kecemasan saat Lorna duduk di atas sadel motor di belakang Dewa. Namun momen istimewa ini tidak ingin dilewatkan. Pertama, karena yang memboncengnya adalah lelaki yang sudah dikenalnya dekat, yang dahulu juga pernah memboncengnya, tapi bukan dengan sepeda motor, melainkan sepeda pancal. Kedua, lelaki itu tentu tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Tetapi bila takdir berkehendak lain, dirinya akan pasrah asalkan itu terjadi bersama lelaki yang dicintainya.
Berboncengan sepeda pancal bersama Dewa sebelumnya tak pernah seperti berboncengan sepeda motor seperti saat ini. Yang bisa memeluk tubuh. Hal seperti ini dulu masih selalu dalam lamunan. Kenekatannya melanggar larangan Papi dan Maminya lantaran lelaki yang kini dipeluknya, belum lama berselang telah mengucapkan kata cinta kepadanya. Ucapan yang sudah bertahun-tahun ditunggunya. Yang kini memberinya sebuah keyakinan bahwa Dewa adalah takdirnya. Ah, Dewa. Kenapa tak terjadi sejak dulu.
Lalu kemana Dewa akan membawanya pergi? Bukankah akan lebih nyaman dan aman menggunakan mobil kalau ternyata perjalanan yang akan ditempuh akan sejauh ini? Namun hal itu tidak dipedulikan sebagaimana dirinya telah mengabaikan larangan Papi dan Mami. Bila Dewa tahu akan larangan itu, sudah pasti Dewa tidak akan membiarkan itu terjadi. Barangkali selamanya Dewa tak akan membawanya pergi dengan sepeda motor. Dan itu tentu saja akan merepotkan Dewa, sebab Dewa lebih suka leluasa melakukannya dengan sepeda motor.
Sesungguhnya Lorna tak bermaksud melanggar larangan. Hasrat menuruti keinginan Dewa yang tak kuasa ditolak. Ada yang menariknya untuk mengikuti kata hati. Keinginan dibawa kemana saja oleh Dewa, sekalipun harus berboncengan motor. Karena dengan demikian dirinya bisa lebih dekat bersamanya. Keinginan yang sudah lama terkubur.
Wajahnya yang halus yang terlindung kaca helm menempel dekat telinga Dewa, diterpa angin dari depan, terasa sejuk sekali. Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang. Lorna baru menyadari kalau Dewa membawanya ke arah barat menuju kota Batu, sebab mereka sudah melintasi desa Karanglo.
“Bagaimana?”
"What?!" tanya Lorna akibat helm dan derunya angin yang menghalangi pendengarannya.
"Bagaimana rasanya?"
“Keren!” jawab Lorna riang.
Dewa tertawa renyah.
Lorna suka tawa Dewa. Renyah. Kata Joy, sulit menemukan tawa Dewa. Nyatanya tidak seperti itu.
"Dingin?"
"Lorna kan di belakangmu. Nggak langsung kena angin!"
"Peluk aku!"
Wajah Lorna kembali nampak segar. Ucapan Dewa itu yang membuatnya demikian.
"Sudah!"
"Yang erat!"
"Kenapa? Mau ngebut?"
"Ah, nggak. Supaya aku bisa merasakan kehangatanmu!"
"Nakal! Okey! Kupeluk ya biar kamu hangat!"
Lalu Lorna memeluknya kian erat, sebab sejak berangkat dia sudah memeluknya erat. Belum pernah sebelumnya melakukan hal seperti itu.
Setelah melalui jalanan berliku dan lengang dari keramaian kendaraan. Sampailah keduanya pada sebuah tempat pilihan Dewa di sebuah desa bernama Punten. Desa yang pernah mereka datangi bertahun-tahun yang lalu. Lorna menjadi teringat. Mereka pernah kemari membeli bibit ikan mas. Ikan-ikan yang pernah dibelinya itu, kini sudah tumbuh besar di kolam rumahnya.
Setelah memarkir sepeda motor, Dewa menggandeng tangan Lorna melintasi jalan selebar satu meter. Di kanan kiri terdapat kolam-kolam pembudidayaan. Kebanyakan yang dibudidaya jenis tombro, strent punten, jenis yang diyakini asli wilayah itu, warga sekitar banyak menernaknya.
Tempat yang pernah dikunjungi dulu, kini terdapat sebuah bangunan rumah makan dengan menu ikan mas dan ikan tombro. Bangunan terbuat dari bambu begitu pula lantainya. Di bawah tempat mereka duduk, merupakan sebuah kolam di mana ikan-ikan hilir mudik di air yang jernih. Air kolam berasal dari aliran mata air yang letaknya tak seberapa jauh dari tempat tersebut. Sebagian besar air yang keluar dari mata air didistribusikan melalui pipa-pipa menuju kota Batu dan Malang.
Lorna menyeka wajahnya dengan tisu basah. Kulit pipinya merona akibat terpaan angin selama perjalanan. Dewa membasuh wajah dengan tisu yang dibagikan Lorna. Udara sejuk tapi terasa kering.
“Kupesan minum dulu, ya?”
“Dimanakah tempat untuk cuci muka, Dewa?”
“Ada wastafel di seberang. Yuk, kuantar!”
"No, no, Dewa! Biar Lorna pergi sendiri. Dewa duduk temani ikan-ikan itu." sergah Lorna menggoda.
Sementara Lorna pergi mencuci muka. Dewa memanggil pelayan untuk memesan minuman.
“Dua gelas air jeruk. Yang hangat. Ikan bakarnya menyusul. nanti kuberi tahu,” kata Dewa kepada gadis pelayan.
Dewa sengaja memilih tidak memesan minuman dingin meski udara kering, sebab minuman hangat akan membuat tubuh bereaksi dingin.
Tidak lama kemudian, keduanya sudah duduk berdampingan di pinggir lantai bambu. Kaki mereka menggelantung ke kolam yang berada di bawahnya. Bersantai sembari memperhatikan ikan-ikan tak lelahnya hilir mudik beriringan dalam air kolam.
Untuk bisa merasakan dinginnya air kolam mereka lalu merendamkan kaki. Dan terlebih dulu melepas sepatu mereka. Lalu melipat celana sebatas lutut.
“Ih!”
Lorna merasakan dinginnya air kolam saat kakinya menyentuh permukaannya.
“Dingin?” tanya Dewa.
“Ya. Dingin sekali!”
Tapi Lorna memaksakan merendamkan kaki. Air di rumahnya di Australia jauh lebih dingin.
Dewa memperhatikan betis kaki Lorna. Kulitnya bersih ditumbuhi banyak rambut halus berwarna keemasan. Kakinya nampak bersinar di dalam air yang gelap. Rambut halus juga terdapat pada tangan, dari lengan atas hingga pergelangan tangan.
Lorna merasakan kenyamanan saat Dewa menggenggam jemarinya. Membuatnya dengan manja menyandarkan kepala ke bahunya. Dewa suka sikapnya. Manja. Seperti dulu tapi tak seperti sekarang. Dulu masih diliputi banyak keengganan. Barangkali disebabkan perasaan malu. Namun sekarang tanpa batas, sebab cinta telah merubahnya.
Sementara ikan yang berwarna hitam, kuning, putih dan oranye berkeliaran bebas di kaki mereka. Sesekali ada yang menciumi kulit kaki mereka. Dasar kolam berpasir hitam terlihat jelas, sebab airnya jernih sekali.
Dewa pesan makanan buat ikan berupa pelet saat pelayan mengantar minuman yang dipesannya. Sebentar kemudian pelayan kembali dengan dua bungkus plastik kecil pelet makanan ikan. Makanan ikan dijual kepada pengunjung yang ingin memanjakan ikan-ikan di kolam. Anak-anak menyukainya. Keduanya lalu sibuk melempar pelet ke permukaan air, yang disambut kerumunan ikan yang saling berebut.
Dewa mengambil gelas minuman dari atas meja. Kemudian bibir gelas didekatkan ke bibir Lorna. Lalu Lorna menyambutnya dengan senyum. Lalu meneguknya perlahan. Tatapannya lurus menembus mata Dewa. Mata Dewa yang teduh menerima hunusan ketajaman tatapan Lorna.
"Matamu indah sekali!" kata Dewa dengan suara lunak.
“Terima kasih!”
"Bila wajahmu, hidung, rambutmu, warna kulitmu, postur tubuhmu tak seperti ini, tentu orang akan mengatakan matamu menggunakan softlense." lanjut Dewa.
"Kalau Lorna pakai softlense warna hitam bagaimana?"
"Tetap tak akan menghilangkan kesan kalau kamu gadis blasteran."
Lorna balas memegang gelas. Lalu mendekatkan ke bibir Dewa. Dewa meneguk dari sisi lain. Pandangan keduanya masih tak lepas. Bibir keduanya basah. Gelas lantas diletakkan kembali.
“Si mata biru!” kata Dewa manja.
Lorna tersenyum. Senang. Wajahnya ceria.
“Bidadariku!” kata Dewa menggoda.
“Dewaku!” Lorna membalas.
"Lornaku!" Dewa tak mau kalah.
Dewa menggesekan ujung hidungnya ke ujung hidung Lorna. Lorna meringis. Bahagia. Giginya yang putih bersih berjajar rapi. Lantas dibiarkannya Dewa mengecup lembut bibirnya. Saat bibir Dewa menekan lunak ke bibirnya, kelopak matanya dikatupkan. Berharap bibir itu akan memilin bibirnya seperti beberapa saat yang lalu di rumahnya sebelum berangkat ke tempat ini.
Namun bibir itu hanya mengecup. Hanya menekan lunak. Membuatnya membuka kembali kelopak matanya. Tapi tak kecewa.
Wajahnya dibenamkan ke dada Dewa yang bidang. Tangannya melingkar ke pinggangnya. Lalu berbisik lembut.
“Cintailah aku, Dewa!”
“Sedari dulu aku mencintaimu, Lorna!”
"Kamu baik sekali!"
Dewa tersenyum.
"Aku tidak baik. Aku sudah menyakiti hatimu."
Ucapan itu membuat Lorna segera mengangkat wajah dan menatapnya tajam. Lalu bertanya.
"Bisakah tak mengungkit itu lagi, Dewa?"
"Maafkanlah aku. Kamu benar. Tak seharusnya aku membalas ucapanmu seperti itu."
Beberapa pasang mata tak lepasnya memperhatikan kebersaman Dewa dan Lorna. Pasangan yang nampak menarik untuk dinikmati.
“Kita pesan ikan bakar?” tanya Lorna setelah melepaskan diri dari pelukan Dewa.
“Pesanlah!”
Lorna melambaikan tangan ke penjaga.
“Pesan apa, Dewa?”
“Tombro saja!”
“Memangnya ada yang lain?”
“Ada, mujair!”
Lorna pesan seperti yang dikehendaki Dewa. Dan tak lama keduanya sudah duduk berhadapan menikmati ikan bakar. Menghadapi aroma daging ikan. Gurih dan garing. Dagingnya tebal berwarna putih. Asap masih keluar saat dagingnya dikelupas.
Lalu keduanya saling menyuapi, sebab Lorna ingin bermanja dengan Dewa seperti dulu. Dulu, Dewa tak hanya teman sekolah, tapi lebih dari itu Dewa seakan menganggapnya sebagai adik, perasaan itu mengalir begitu saja, Lorna suka perlakuan Dewa terhadap dirinya, yang selalu melindungi dan memperhatikan.
Beberapa pasang mata masih tetap memperhatikannya.
“Nanti malam makan di rumah, ya?” tanya Lorna.
Dewa tak segera menjawab. Pikirannya segera melayang membayangkan kembali rumah Lorna. Sudah lama tidak mengunjungi rumah itu. Dan tidak pernah lagi bertemu kedua orang tuanya.
“Mami ingin Dewa datang untuk makan malam bersama. Daddy juga mau membicarakan sesuatu dengan Dewa.”
“Membicarakan apa?”
“Soal kecil. Melukis photo grandpa.”
“Oo...”
“Jangan dikerjakan kalau Dewa tak berkenan.”
"Aku tak mengatakan itu!"
Lorna tersenyum.
"Lorna tahu perasaan seniman. Tak mau dipaksa."
"Sok tahu!"
Lorna tertawa kecil.
Dewa menyuapinya dengan potongan kecil daging ikan. Bibir Lorna yang bagus menangkap ujung jari Dewa dengan mulutnya. Mengulumnya manja, dengan mata menatap lurus ke mata Dewa. Ujung lidahnya menari-nari membelai ujung jari Dewa. Dewa tersenyum tergial-gial.
“Sudah lama tidak bertemu mereka,” kata Dewa.
Ganti Lorna tak menjawab, sibuk mengulum jari Dewa yang ada di mulutnya. Namun dalam hatinya mengatakan. Selama kita berpisah, Dewa!
“Sekalian memintakan ijinmu ke Bali besok!”
Wajah Lorna berubah ceria. Bahagia. Disentilnya bibir Dewa dengan ujung telunjuknya. Tapi Dewa menangkap ujung telunjuk Lorna dengan mulutnya. Lorna biarkan ujung telunjuknya dikulum Dewa. Lidah Dewa balas menggelitik jemariitu, membuat bulu-bulu halus di tangan gadis itu terasa merinding.
Dewa melepaskan jari itu dari kulumannya.
“Terima kasih. Tapi Lorna kan bukan gadis kecil lagi yang harus dimintakan ijin.”
Dewa tersenyum. Menunduk dan terdiam sejenak. Lalu kembali menatap Lorna dan berkata.
“Aku punya usul!”
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita ajak Rahma dan Grace?”
Lorna mengangkat kening.
“Kenapa?”
Dewa tersenyum.
“Sekedar berbagi kebahagian!”
Lorna terharu.
“Mereka sudah berbuat baik untukku.”
“Untuk kita, De!” Lorna menambahkan.
“Ya, untuk kita!”
Untuk kita, De! Untuk kita! Tambah Lorna dalam hatinya berulang kali.
“Lorna telpon dulu Mommy sebentar ya?” pinta Lorna.
“Teleponlah!”
Lorna lantas menghubungi Mami dengan ponsel.
“Hai, Mom. Semalam kan Mommy minta Lorna mengajak Dewa makan malam di rumah. Jadi ya Mom. Dewa bersedia. Sekalian Lorna ajak Grace dan Rahma biar ramai.”
“Baguslah, Sayang! Oke, Mommy siapkan! Masih di rumahnya?”
“Lorna berada di Batu, Mommy!”
“Di Batu? Bersamanya?”
“Ya, Mom! Sudah ya. Lorna mau beri tahu Rahma dan Grace dulu. Bye, Mommy! I love you!”
“I love you, sweetheart!”
Mami senang Lorna mengundang Rahma dan Grace. Grace yang sejak pembukaan reuni sama sekali belum bertemu Dewa, berteriak kegirangan. Ajakan itu membuat Rahma dan Grace bersemangat dan tak sabar agar waktu segera berlalu.
Tidak jauh dari tempat mereka duduk, terdengar suara garengpung* bersahut-sahutan di batang pohon randu. Pertanda hari telah siang. Serangga itu hanya jantan yang bisa mengeluarkan suara. Sedangkan yang betina tidak memiliki timpana, alat yang terdapat di bagian perut berwarna oranye yang berfungsi sebagai penghasil suara untuk menarik perhatian betina di musim kawin dengan suara yang dikeluarkan. Suara serangga itu muncul di akhir musim pancaroba seperti bulan Agustus.
Semasa kecil Dewa suka menangkapnya. Ada dua cara untuk menangkapnya. Pertama, menggunakan sebilah bambu panjang menurut kebutuhan. Bagian ujung disambung potongan yang diraut lebih kecil. Di bagian ujungnya diletakkan segumpal lem karet yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Lem bisa dibuat sendiri, atau dapat menggunakan pulut atau getah nangka yang berfungsi sebagai perekat menjerat sayap binatang itu agar menempel.
Cara kedua lebih mudah. Menangkapnya saat pagi sekali, saat binatang itu masih tertidur, dimana sayapnya masih dalam keadaan kaku. Hanya dengan menggoyangkan dahan tempatnya hinggap, membuat binatang itu akan berjatuhan, seiring jatuhnya butiran embun ke atas tanah.
Dewa terjaga dari lamunannya saat batang hidungnya dipijit Lorna.
“Kupesan untuk dibawa pulang, ya?” tanyanya.
“Yuk!”
Lorna lantas memanggil pelayan.
“Tolong dibuatkan delapan ekor!”
Dewa lekas menyela.
“Banyak sekali, siapa yang mau makan?”
“Untuk di rumah Dewa lima ekor. Untuk di rumah Lorna tiga ekor. Eh, kurang malah. Buat Grace dan Rahma. Pesan enam belas saja, Mbak. Dijadikan empat tempat. Sebungkus delapan ekor. Sebungkus empat ekor. Yang dua bungkus masing-masing dua.” kata Lorna menambahkan.
Pelayan mencatatnya. Lorna langsung melunasi pembayarannya.
Sambil menunggu pesanan diproses. Dewa mengajak Lorna melihat mata air yang letaknya tak jauh dari tempat itu.
Sesaat kemudian keduanya sudah menelusuri jalan setapak di pinggiran sungai kecil yang dialiri air jernih. Tangan Lorna memegang pergelangan tangan Dewa.
Arus sungai kecil di sisi jalan yang mereka lalui alirannya deras. Tentu sumbernya juga mengalir deras. Tempat yang dituju tak jauh letaknya. Bunyi gemericik air yang jatuh dari pancuran semakin terdengar. Tak lama kemudian keduanya sudah sampai di tempat itu.
Sumber mata air tertutup dalam kubah bangunan penampung. Ada empat pipa air yang menyalurkan air keluar dari bangunan. Dasar kolam air kelihatan sekali. Sebagian disalurkan pada beberapa pipa pancuran, yang digunakan warga sekitar untuk keperluannya.
“Mau mandi?” Dewa menggoda.
“Ih, dingin!” Lorna merapatkan tubuhnya ke tubuh Dewa. Dewa memeluknya, “Nanti dilihat orang!” tambahnya.
Dewa tersenyum.
"Orang-orang kalau sore mandi telanjang di sini."
Lorna tersenyum.
"Hanya laki-laki, terutama anak-anak." kata Dewa melanjutkan.
"Dewa tahu sekali tempat ini."
"Kalau aku beli bibit ikan, selalu mampir kemari."
Tapi Lorna tak menyimak ucapan Dewa. Untuk apa Dewa beli bibit ikan. Yang Lorna tangkap bahwa mereka pernah membeli bibit ikan ditempat ini. Lorna tidak tahu bahwa Dewa memiliki lahan peternakan budidaya ikan tombro. Bila tahu maka Lorna akan lebih suka mendatangi tempat itu.
Mereka mengamati pemandangan di sekitarnya. Terdapat beberapa pohon besar, seperti pohon beringin, angsana, tanjung. Semak-semak liar memberi nuansa hutan. Padahal di sekitar lokasi mata air dipadati pemukiman. Tanah di atas sumber berdiri sebuah hotel. Sumber berada di tepi dasar lereng yang terjal.
Tempat tersebut saat ini sepi. Sore hari baru digunakan warga sekitar untuk mandi. Gemericik suara aliran air memberi suasana damai. Lorna merengkuh pinggang Dewa. Dewa membalas mengaitkan lengan ke lehernya. Untuk memberinya kehangatan.
Langit cerah berwarna biru. Secerah hati Lorna dan sebiru warna matanya.
* Garengpung (jawa) = Ciccada