Di dapur Lorna menyiapkan sarapan untuk Dewa. Di kulkas tak ada bahan yang bisa untuk membuat sarapan Dewa selain mie instant saja. Lorna tidak tahu ada dapur di lantai bawah. Gino dan Dama selalu memasak di sana, di tempat itu almari dan isi kulkas masih terbilang lengkap. Sesungguhnya Lorna tak suka bila harus memasak mie instant, dia lebih menyukai stick noodle yang cukup diberi gourmet sauce spaghetti. Tapi baginya Dewa harus diberi sarapan.
Sementara Dewa turun ke lantai bawah menemui teman-teman Damayanti yang ingin berkenalan dengannya. Kehadiran gadis blasteran itu membuat Dama tidak bisa bebas seperti biasa. Apalagi mulai timbul pertanyaan tentang siapa sesungguhnya gadis blasteran itu. Melihat keakraban Mas Dewa dan gadis itu, Dama yang selama ini merasa sangat dekat dengan Mas Dewa perasaannya jadi terganggu. Muncul kecemasan tanpa dasar. Perasaan yang akan tersisihkan bila gadis blasteran itu ternyata bukan sekedar teman bagi Mas Dewa. Namun Dama berusaha menepiskan kecemasan itu.
Di lantai bawah terdapat beberapa buah kamar tidur. Sebagian kamar biasa digunakan bila ada tamu yang menginap. Di lantai bawah juga terdapat satu kamar yang dulu ditempati Nirmala. Damayanti selalu menggunakan kamar kakaknya itu bila menginap. Damayanti sudah terbiasa di rumah itu, karena dia adik Nirmala, jadi bagian dari keluarga Dewa.
“Kalau sibuk dengan tamu. Mas Dewa bisa tinggalkan Dama. Yang penting temanku sudah berkenalan dengan yang punya rumah,” kata Dama.
Kedua gadis teman Damayanti tersenyum kepada Dewa.
“Kalian masak sendiri ya?” kata Dewa.
“Baik, Mas!”
Dewa lalu menarik pergelangan tangan Dama dan mengajaknya duduk.
"Maaf ya? Aku mau bicara dengannya sebentar."
"Silahkan, Mas Dewa. Kita mau lihat-lihat tanaman di belakang," jawab teman Dama.
"Silahkan. Santai saja ya!"
"Ya, Mas!"
Dewa lalu duduk berdampingan dengan Dama.
"Kamu juga tuan rumah di sini. Ini juga rumahmu," kata Dewa mengingatkan.
Dama menunduk.
"Maafkan Dama, Mas!"
"Tak apa. Bagaimana keadaannya?" tanya Dewa kepada Dama. Yang dimaksud Dewa sudah tentu tentang Wulan, puterinya yang kini ada di Yogya.
"Baik dan sehat, Mas!" jawab Dama.
"Usahakan kamu dapat kuliah di sini. Tolong kepindahkan Wulan segera bisa dilakukan supaya kita bisa berkumpul. Lebih cepat lebih baik."
"Untuk itu Dama kemari dengan teman mencari kampus yang cocok."
"Kamu mau masuk apa?"
"Keguruan saja, Mas!"
"Bagus. Aku dukung."
"Terima kasih, Mas."
"Tapi kalau tak dapat, akan ambil keperawatan saja."
"Itu juga bagus!"
"Jangan lupa ATM mu. Ingatkan kalau aku lupa mengisi."
"Selama ini Mas tak pernah lupa. Selalu cukup buat keperluan Dama dan Wulan."
"Aku percaya padamu. Secepatnya aku akan mengunjunginya."
"Dia selalu menanyakan Ayah dan Bundanya."
Dewa diam sesaat. Memandangi wajah Dama. Dama pun demikian. Terbersit rasa sedih dalam perasaan Dama bila memandang wajah Dewa di saat seperti itu.
"Kamu baik sekali, Dama."
Dama menggeleng perlahan.
"Mas Dewa yang baik. Mas Dewa yang merawat dan mencintai Mbak Nirma. Sudah seharusnya Dama yang merawat dan mencintai Wulan di saat Mas Dewa tak sempat."
Dewa membelai rambut Dama.
"Jangan sampai Wulan tahu bahwa aku bukan Ayah kandungnya. Jaga itu."
"Sudah tentu, Mas. Dama mengerti. Dama tetap akan merahasiakan darinya."
"Lakukanlah seperti biasanya. Walau aku tak tahu bagaimana mengakhiri membohongi Wulan bahwa Bundanya tidak pergi ke Bulan untuk mengambil selendang..."
Dewa melihat bola mata Dama tiba-tiba berkaca-kaca.
"Bukankah Mas Dewa telah menemukan bidadari cantik yang bisa menjadi Bunda Wulan?"
Dewa memandang tajam ke wajah Dama. Lalu mengingsut airmata Dama dengan jarinya.
"Lorna yang kamu maksud?"
Dama mengangguk.
"Entahlah, aku tak yakin. Tetap jaga keadaan seperti ini..." jawab Dewa seraya menarik nafas dalam.
Dama mengangguk.
"Aku menyayangimu, Dama."
"Dama tahu, Mas."
"Kamu cantik, seperti kakakmu!"
Dama tersipu dan tersenyum. Hatinya terenyuh.
"Mas Dewa baik sekali. Sungguh beruntung gadis yang bisa mendapatkan Mas Dewa."
"Ah, sudahlah."
Dama tidak ingin mengganggu Dewa. Juga tidak ingin bertanya siapa wanita blasteran bermata biru itu. Walau terbersit rasa ingin tahu. Ada kecemburuan tiba-tiba dirasakannya saat melihat keakraban mereka. Mas Dewa menyayanginya barangkali sebatas sayang kepada seorang adik. Padahal dirinya menuntut lebih dari itu. Dirinya ingin menggantikan posisi kakak perempuannya. Menjadi bunda dari Wulan yang sesungguhnya. Ah! Entahlah kenapa tiba-tiba ada perasaan demikian. Dama berusaha menepiskan perasaan itu jauh-jauh, tapi sulitnya minta ampun.
Mobil bagus di depan itu tentu milik gadis blasteran itu. Karena Dama tahu bahwa Mas Dewa tak mempunyai mobil seperti itu. Mobilnya ada di Griyo Tawang yang dipergunakan untuk keperluan usaha di sana. Di rumah ini hanya ada sepeda motor besar kuno dan motor bebek untuk keperluan Gino mondar-mandir.
Motor besar sudah dikeluarkan Gino di halaman belakang. Dibersihkan. Mesinnya sudah mulai dipanaskan.
Dewa menghampiri.
“Besok saya ke Bali untuk beberapa hari. Tolong diberitahu ke Griyo Tawang kalau saya belum bisa ke sana.”
“Ya, Mas. Jadi motor ini dimasukkan kembali ke dalam?”
“Jangan! Saya mau pakai keluar sebentar.”
Gino mengangguk-angguk.
“Mobil di depan di awasi ya?”
“Ya, Mas!”
Dari balkon Lorna melihat Dewa tengah berbincang dengan Gino. Sesungguhnya Lorna menunggu Dewa sejak tadi. Dia telah membuatkan sarapan. Lantas memberi isyarat kepada Gino yang melihat ke arahnya agar memanggilkan Dewa.
“Mas, dipanggil Nonik yang tadi,” kata Gino seraya mengarahkan pandangan ke balkon.
Dewa melihat Lorna memberi tanda untuk segera ke atas.
“Namanya Lorna!” Dewa memberi tahu.
“Ya, Mas. Tapi meminta saya memanggilnya cukup Nonik saja. Saya sudah berkenalan tadi,” jawab Gino. Lalu bertanya karena ingin tahu saja. “Bule ya, Mas Dewa?”
“Hus, Jawa!” Dewa menyela.
“Lho, orang Jawa kok matanya biru?” tanya Gino nampak bodoh.
“Memangnya orang Jawa nggak boleh punya mata biru?”
“Amit-amit, Mas. Dari jaman kolobendo yang saya tahu, tidak pernah ada orang Jawa bermata biru, yang ada berdarah biru.”
Dewa ketawa.
“Mas Dewa ada-ada saja. Warna kulitnya putih bersih.”
“Seperti warna kulit bapaknya.”
"Rambutnya keemasan."
"Bagus kan?"
"Ya, Mas. Bagus sekali rambutnya. Wajahnya juga cantik sekali."
"Ya, cantik sekali dia."
“Bapaknya orang mana to, Mas?”
“Australia!”
“Pantes!”
“Pantes apa?”
“Pantes buat pendamping Mas Dewa buat menggantikan Mbak Nirma,” kata Gino meyakinkan sambil tersenyum-senyum memuji.
"Hus!" sergah Dewa.
Gino lantas diam. Keceriaan di wajahnya seketika hilang. Lalu meminta maaf.
"Mohon dimaafkan, Mas!"
"Ya, sudah. Dia memang cantik."
"Inggih, Mas. Ayu saestu kados Dewi Sembodro!"
"Kowe kui kok ngerti cah ayu!"
"Lah, mangertos sanget to, Mas!"
"Yo golek kono cah wadon, mengko tak rabek no!"
Gino tertawa.
"Tenan iki. Ora guyonan!"
Dewa selalu bisa melipur hati. Gino yang semula merasa bersalah tak lagi tegang. Dewa hanya tak ingin membicarakan Nirmala. Gino merasa kelepasan bicara, karena selama ini Mas Dewa tak pernah membicarakan almarhum.
Dewa ketawa melihat perubahan di wajah Gino.
"Kamu sudah sarapan?”
“Sudah, mas. Tadi pagi pingin sarapan nasi tumpeng Mbok Nah di pertigaan depan. Mas Dewa mau? Tapi kalau sekarang sudah habis.”
“Kamu nawarkan kalau sudah habis. Biasanya kamu masak buat sarapan. Yang penting kamu ini. Pagi-pagi sarapan dulu.”
Itulah enaknya ikut dengan Dewa. Orangnya baik. Sopan. Penuh perhatian. Sebelumnya Gino pekerjaannya hanyalah mengumpulkan pasir di sungai. Pertemuannya dengan Dewa ketika Dewa memerlukan banyak pasir dan koral batu kali untuk membangun Griyo Tawang. Sejak itu dia ikut membantu Dewa. Melayani semua kebutuhan. Juga seperti memasak karena dia juga bisa memasak. Menyediakan minuman dan makan di rumah itu. Menjaga rumah itu. Memelihara rumah itu. Dan kini menjadi bagian dari keluarganya.
Sesaat kemudian, Lorna dan Dewa sudah duduk berhadapan di meja makan.
“Terima kasih, Lorna!” kata Dewa menghadapi semangkuk mie instant lengkap dengan telur. Asap masih keluar dari masakkan itu.
“Hanya ada itu.” jawab Lorna.
“Di dapur bawah lengkap. Kenapa hanya satu, buat Lorna?”
“Lorna sudah breakfast.”
Dewa mengangguk-angguk. Lalu menuju teras. Memanggil Gino agar naik ke atas. Lorna tak mengerti. Gino bergegas ke atas.
“Ada apa, Mas?” tanya Gino.
“Ini sarapan khusus dibuatkan Nonik untuk Mas Gino sebagai salam perkenalan,” kata Dewa menjelaskan.
Wajah Gino ceria. Segera menyalami Lorna sambil tak berhentinya mengucapkan terima kasih. Lorna tersenyum keheranan.
“Terima kasih, Non!”
“Duduk dan habiskan! Sementara aku pergi dulu!” kata Dewa seraya menggandeng Lorna turun dari lantai atas memberi keleluasaan Gino menyantap mie rebusnya.
“Pergi dulu ya, Mas Gino!” kata Lorna.
"Silahkan, Non!"
Lorna baru mengerti, bahwa Dewa hendak mengajaknya pergi mencari sarapan di luar.
Di lantai bawah Lorna dan Dewa berpapasan dengan Damayanti dan dua temannya. Mereka sedang berada di teras.
“Hai!” Lorna menyapa mereka.
“Silahkan berkenalan!” kata Dewa.
“Lorna!”
Lorna lantas menyalami Dama dan dua temannya. Dengan Dama dia sudah berkenalan saat di atas. Dewa tak mau berlama-lama, dan Lorna mengikutinya menuju motor yang sudah disiapkan Gino di samping rumah.
Sementara itu di teras, Dama dan kedua temannya sibuk berbincang.
“Ih, cantik banget!” kata teman Damayanti.
“Penggantinya Mbak Nirma, ya?” temannya bertanya.
Ditanya begitu. Damayanti ragu menjawab. Dia sendiri baru pertama kali melihat gadis blasteran itu. Bagaimana bisa memastikan bahwa gadis bule itu calonnya Mas Dewa? Kalau toh betul. Artinya Mas Dewa kini punya pendamping baru. Cantik banget seperti bidadari. Calon ibunya Wulan. Walau tadi Mas Dewa tak memberi penjelasan saat keduanya berbincang.
Damayanti dan dua temannya memandang kagum pada saat gadis itu sudah duduk membonceng di sadel belakang motor besar Dewa. Dia sudah mengenakan helm dan jaket yang sudah dipersiapkan Dewa.
Perasaan cemburu tiba-tiba melanda Dama, namun dia berusaha menepiskan saat gadis blasteran itu duduk membonceng di belakang Dewa. Jok motor itu sedikit menjorok ke depan. Membuat tubuh Lorna condong jatuh, menghimpit buah dadanya di punggung Dewa. Tangan Lorna memeluk perut Dewa. Matanya tertutup kaca mata rayben gelap. Rambutnya yang coklat keemasan bergelombang tergerai ke belakang.
Kedua teman Damayanti kagum pada keduanya. Dewa dan Lorna.
“Mas Dewa ganteng, dan gadis itu cantik banget. Aduh, cocok banget!”
"Matanya biru kayak mata boneka!"
Lorna dan Dewa melambaikan tangan ke Damayanti dan temannya. Mereka tak tahu hendak kemana perginya. Barangkali hendak mencari udara segar. Atau pergi berkencan ke suatu tempat.
Dama berusaha menepiskan kegundahan hatinya. Membayangkan andai saja yang dibonceng itu adalah dirinya, betapa menyenangkan. Selama ini dirinya kerap membayangkan yang bukan-bukan. Membayangkan menggantikan posisi kakaknya Nirmala. Membayangkan dirinya, Mas Dewa dan Wulan sebagai anak mereka. Ah!
Hari ini nampaknya langit tersibak cerah sekali. Suasana alam lengang. Sesekali terdengar suara burung prenjak di antara ranting pohon mencari ulat. Dedaunan tertiup angin sepoi. Namun udara cerah tidak secerah hati Dama yang kini tenggelam dalam kecemburuan.
Burung prenjak (white eye javanese). fisik burung ini kecil, membangun sarang di antara daun tak jauh dari permukaan tanah. Bentuk sarangnya terbuka, seperti mangkuk.